TEKS SULUH


Selasa, 30 Oktober 2012

Rg Bagus Warsono profile

Rg Bagus Warsono (lahir di Tegal, Jawa Tengah, 29 Agustus 1965; umur 49 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Menulis sejak bangku sekolah berupa puisi di Pikiran Rakyat edisi Cirebon, dan sejak tahun (1985) menulis puisi, cerita pendek, cerita anak, dan artikel di berbagai media massa di antara lain Majalah Gentra Pramuka, Bekal Pembina, Mingguan Pelajar, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Binakop, Bhinneka Karya Winaya, Suara Guru, dan Suara Daerah. Buku puisinya antara lain Bunyikan Aksara Hatimu (1992), Jangan Jadi sastrawan , Indhi Publishing (2014), Jakarta Tak Mau Pindah (Indhie publishing, Jakarta 2014), Si Bung (Leutikaprio, Yogyakarta 2014), dan Mas Karebet (Sibuku Media, Yogyakarta, 2015). Selain sebagai menyair, dia mendirikan Himpunan Masyarakat Gemar Membaca.

Setamat SPG melanjutkan ke UTPGSD , kemudian ke STAI Salahudin di Jakarta, dan Mengambil Magister STIA Yappan Jakarta. Sambil menjadi Guru , dia menggeluti profesi sebagai jurnalis sejak tahun (1992), reporter Majalah Gentra Pramuka dan Hamdalah (1999), kegiatan reportasi di bawah organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesi (PWI) Cabang jawa Barat dan pengamat sinetron. Kini, Rg Bagus Warsono adalah pengasuh sanggar sastra Meronte Jarring di Indramayu yang didirikan 2011 dan coordinator Himpunan Masyarakat Gemar membaca (HMGM) sejak tahun 1992 yang berpusat di Indramayu. Sejak tahun 2014 dia adalah penggagas antologi Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia yang dikelolanya sejak 2013 untuk mendokumentasikan karya-karya penyair terkini dari seluruh Indonesi, kini telah menerbitkan jilid III yang diterbitkan oleh penerbit Sibuku Media, yogyakarta, tokoh lainnya dalam lumbung puisi adalah Sosiawan Leak, Wardjito Soeharso, Tomas Haryanto Soekiran, Hasan Bisri, BSC, Dyah Styawati, Ahmad RH zaid, dan Ali Arsy. Aktif sebagai penggagas, kurator, editor, sekaligus ikut membidani terbitnya buku Saksi Ibu Melihat Reformasi (2012). Rg Bagus Warsono tercatat kerap menyelenggarakan berbagai lomba baca/cipata puisi dan mengasuh remaja belajar sastra di sanggar Meronte Jaring

Karya antara lain:
1. Rumahku di Tepi Rel Kereta Api (Kumpulan cerpen anak 1992)

2. Menanti hari Esok (antologi puisi)
3. Mata Air (antologi puisi)

4. Bunyikan Aksara Hatimu (BAH) (antologi puisi) , Sibukumedia , Yogyakarta, 2014

5. Si Bung (Bung Karno) (antologi puisi), Leutikaprio, Yogyakarta 2013

6. Jangan Jadi Sastrawan , Indie Publising, Jakarta (2014)

7. Jakarta Tak Mau Pindah ,Indie Publising, Jakarta (2014)


8. Maskarebet , Sibukumedia, Yogyakarta 2014


9. Surau Kampung Gelatik, Sibukumedia , Yogyakarta 2015

10. Satu Keranjang Ikan , Sibuku Media Yogyakarta 2015

 Antologi bersama :

 .1.Puisi Menolak Korupsi (PMK II) (2013)

 2.Ensiklopedia Koruptor Puisi Menolak Korupsi (2014)

 3.Tifa Nusantara I (2013)

 4.Lumbung Puisi Jilid I (2014)

 5.Lumbung Puisi Jilid II (2014)


 6.Lumbung Puisi Jiloid III (2015)

 7.Surau Kampung Glatik (2015)



Cergam antara lain :

1. Laskar Wiradesa

2. Kopral dali

3. Pertempuran Heroik Di Ciwatu

4. Pertempuran Selawe

5. Si Jagur 

6. Panglima Indrajaya

7. Endang Dharma



Sabtu, 27 Oktober 2012

HARI SUMPAH PEMUDA DIPERINGATI, TAPI SEMANGAT PERUBAHAN TAK ADA, YANG SUDAH UJUR TETEP KEPINGIN DUDUK TERUS DI PUCUK PIMPINAN



MAKNA HARI SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER, PEMUDA KITA MASIH TERBELENGGU OLEH KESEMPATAN

masagus
Pada tahun 1928 Kongres Pemuda II di Jakarta berlangsung penuh semangat perubahan. Perubahan tentu dimulai dengan cita-cita, keinginan untuk merubah situasi yang kala itu masih terbelenggu penjajahan Belanda.
Di saat kongres Pemuda II yang menelorkan "Sumpah Pemuda " suatu keinginan "mimpi" para pemuda untuk menyatukan bahasa Nusantara, suku Nusantara, dan Budaya Nusantara menjadi Bangsa yang bersatu.
Ketika sumpah itu diucapkan pemuda saat itu, mereka tak tahu bahwa Indonesia merdeka 17 Agustus 1945.
Mereka tak juga meramalkan atau menentukan hari kapan Indonesia Merdeka. Namun cita-cita itu telah bersemayam di jiwa para pemuda. Suatu cita-cita yang sangat dasar sebagai kunci perubahan situasi saat itu.
Kini Setelah Indonesia 67 taun merdeka, justru makin terpuruk dengan apa yang dimaksud  Sumpah Pemuda itu.
Pemuda kita masih terbelenggu oleh kesempatan bahkan dibeberapa tempat dimana pemuda harus tampil. Seperti di berbagai organisasi kepemudaan, tampak yang tua-tua masih ingin saja menjadi pemimpin. Di organisasi politik apalagi, yang muda ditempatkan di barisan "cape" bukan di bagian pemimpin apalagi pemegang kendali. Kemudian pendapat pemuda kadang menjadi suara angin lalu seperti lagu kontemporer yang silih berganti,  dianggap hiburan semata, dan tak dihargai suaranya.
Jika yang tua-tua tetap masih "kemaruk" menjadi pemimpin maka bukan tidak mungkin negeri ini lamban atas  perubahan, lamban merubah tatanan pemerintahan , lamban merubah karakter korupsi , lamban merubah karakter partai politik dan sebagainya.
Bukan tidak mungkin karena masalah yang tua-tua ini tidak memberi kesempatan pada para pemuda, maka kita lambat reformasi. Bagaimana mungkin akan berubah jika para pemimpin partai politik tetap sampai dicabut nyawanya  tidak mau lengser memberikan kesempatan pada para pemuda. Bagaimana mungkin negara menjadi semakin baik, jika suara para pemuda tak didengar. Bagaimana munglkin menjadi negara yang menjadi produsen, jika yang tua-tua beranggapan bahwa daya cipta pemuda Indonesia lebih rendah dari produk luar.
Percuma kita memperingati hari sumpah pemuda kalau yang tua-tua tidak memberikan kesempatan pada yang muda.