TEKS SULUH


Senin, 30 September 2013

Dorothea Rosa Herliany

Dorothea Rosa Herliany 
(lahir di MagelangJawa Tengah20 Oktober 1963; umur 49 tahun) adalah seorang penulis dan penyair Indonesia.
Setamat SMA Stella Duce di Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta (kiniUniversitas Sanata Dharma) dan tamat dari sana tahun 1987.
Ia mendirikan Forum Ritus Kata dan menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Pernah pula membantu harian Sinar Harapan dan majalah Prospek diJakarta. Kini ia mengelola penerbit Tera di Magelang.
Ia menulis sajak dan cerpen. Kumpulan sajaknya: Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang(1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), dan Kill the Radio (Sebuah Radio, Kumatikan; edisi dwibahasa2001). Kumpulan cerpennya: Blencong (1995),Karikatur dan Sepotong Cinta (1996).

Tanti Restiasih Skober

Tanti Skober anak perempuan Tandi Skober
 
Tanti Restiasih Skober, lahir di Medan tanggal 24 Nopember 1975. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan wong Jawa, Tandi Skober, seorang pensiunan Pegawai Negeri dan halak Batak Nuriah Daulay, ibu rumah tangga.
Menulis esai, cerpen, puisi di berbagai media cetak, seperti Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Lampung Post, Pikiran Rakyat, Kartini, Media TV, Tabloid Mandala Bandung, Bandung Pos.
Pemenang Pertama Karya Tulis tingkat Nasional diselenggarakan Tempo,Kartini dan PGRI tahun 1990, menjadi Pemuda Pelopor tingkat Provinsi Jawa Barat tahun 1992. Peraih Naskah Istimewa, pada sayembara penulisan naskah cerita pada tahun 1998. Kumpulan Cerita Pendeknya telah diterbitkan berjudul “Bicara” (1992)
Kini staf pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Unpad

Catatan: Rg Bagus Warsono, Tanti ini pernah menjadi muridku di SD Sindang II Kec. Sindang Indramayu

SASTRAWAN CIREBON TANDI SKOBER TLAH MENINGGALKAN KITA

Kabar duka menyelimuti dunia sastra Indonesia. Sastrawan dan budayawan Tandi Skober meninggal dunia di Rumah Sakit Al Islam Bandung, pada Minggu (29/9/2013).

Minggu, 29 September 2013

Musuh kedua penyair

Musuh kedua penyair 
Musuh pertama penyair biasanya adalah penguasa ketika karyanya menyinggung mereka. Kritik, melalui sastra di zaman orla/orba disangkanya melawan. Jadilah sastrawan dianggap musuh pemerintah. 
Dan siapa musuh kedua? 
Musuh kedua adalah teman kita seprofesi. Guru bersaingnya dengan guru lagi, polisi bersaingnya dengan polisi lagi, tentara ya dengan tentara lagi, karyawan sepabrik bersaingnya dengan temannya sendiri. Mengapa? Jawabnya karena tahu "rahasia perusahaan" walau tidak mendetail hanya secara umum saja. 
Ketika teman seprofesi guru (misalnya) membeli mobil baru, maka kita yg juga guru (misalnya) merasa panas ati. Panas ati lalu menimbulkan iri, iri menimbulkan syirik, syirik menimbulkan fitnah, dan kurang puas , melakukan kejahatan untuk menjatuhkan.
Adanya hacker yang merusak, nama samaran, dsb itu berasal dari yang iri itu.
Jadi musuh kedua penyair boleh jadi dari teman kita juga (biasanya). Mereka terkadang kurang puas dengan prestasinya sendiri. kurang bersyukur. Suatu ketika teman kita dikontrak jutaan rupiah oleh penerbit, tetap saja iri dengan yang mendapat honor limapuluhribu rupiah hasil menjadi juri lomba baca puisi.
Nah jadi bukannya menuduh, hanya ini kebiasaan budaya hidup di dunia.
Yang paling bagus adalah enjoy saja, biar saja mereka tak suka kita yang penting kita tidak menyakiti mereka. Dan hidup akan menjadi indah.

Semua saudara kita

Semua saudara kita, 
Tidak ada ketentuan profesi sastrawan itu harus kelihatan perlente atau berambut gondrong bagi yang laki-laki atau berkesan urakan atau ciri yang lainnya. 
Semua itu hanya penampilan . Cak Nun yang kiyai saja tampil baca puisi apa adanya, sebaliknya ada penyair yang mau tampil di pentas terkesan menyepelekan penonton, berbaju asala-asalan , rambutnya tidak disisir dan mungkin juga belum mandi. Chairil dan Asrul sani adalah penyair yang perlente ketika mudanya dan berkesan biasa ketika dihari tuanya yang slalu hidup kekurangan. Sebagaimana di zamannya, pemuda pergerakan doeloe, pemuda intelek kerap berbaju perlente berlengan panjang dengan kelihatan bekas setrika, sepatu disemir mengkilap, berdasi, dan rambut disisir rapi dengan potongan tempo doeloe. 
Sastrawan yang juga kalangan akademika memang tampak terlihat terpelajar karena memang harus tampil sopan di depan mahasiswanya, namun sastrawan lain yang juga memiliki profesi serabutan, tak sempat memikirkan segi penampilan. Yang berrambut gondrong karena memang kesukaannya, ciri penampilannya. 
Dibalik itu semua, kita tidak boleh memandang bahwa penampilan adah kepribadian.
Ternyata banyak orang yang berpenampilan biasa bahkan terkesan gembel tetapi memiliki kepribadian yang sangat baik, sebaliknya yang terlihat perlente belum tentu pemiliki kepribadian baik. Seorang pemimpin yang terlihat berpenampilan mempesona tetapi kelakuannya buruk, raja tega, buas, rakus uang, dan biasa korupsi.
Yang jelas jika kita mengaku sastrawan mereka yang sastrawan adalah saudara kita, siapa lagi yang akan mengangkat nama baik dan membela kalau bukan seprofesi.

Banyak cara golek rezeki untuk profesi penyair

Banyak cara golek rezeki.
Dunia ini penuh rezeki demikian bila Allah masih memberi hudup , maka pasti bisa makan. Buktinya banyak penyair yang tetap sehat dan hidup meski tidak ada penghasilan sama sekali. Inilah kebesaran Allah itu.
Rezeki tidak semata-mata akan turun dengan sendirinya (walau ada juga yang tiba-tiba datang) tetapi untuk meyakinkan kita harus bisa makan adalah berusaha. 
Ada banyak penghasilan sambilan yang dapat diraih oleh para penyair/sastrawan diluar menjual karyanya. Syaratnya tidak malu, tidak berat tangan, tidak sombong bahwa saya ini sastrawan besar kedudukannya tinggi, dan tidak menolak rezeki kecil. 
Beberapa yang mungkin bisa ditawarkan pada masyarakat yakni:
Manfaatkan latop atau computer kita untuk jasa pengetikan
Manfaatkan jika lagi tak ada inspirasi untuk jasa pembuatan proposal atau pidato atau sambutan atau lainnya.
Manfaatkan tempat kita untuk kegiatan sanggar belajar sastra.
Manfaatkan diri kita bila disambat jadi pembawa acara, melamarkan tetangga ke bakal mantu, atau memberi sambutan di berbagai acara keluarga dsb.
Sampaikan ke lembaga pendidikan bila membutuhkan jasa pelatihan baca atau cipta puisi atau berkesenian lain.
Sampaikan ke lembaga pendidikan taman kanak-kanak/paud bilamana mereka memasukan hal mendongeng dalam kurikulum sekolahnya.
Sampaikan pada kantor yang menangani kebudayaan bila membutuhkan tenaga berkaitan dengan budaya dan sejarah serta sastra.
Cetak buku kita dan dicopi lalu tawarkan pada lembaga pendidikan sebagai bahan ajar latihan baca puisi atau cerpen.
Tawarkan kepada pembawa acara profesional bilamana dibutuhkan ada sisen baca puisi dan sebagainya.
Tawarkan kepada kepala sekolah bilamana membutuhkan teknik pengajaran baca puisi atau menulis pada guru-guru sebagai bentuk pelatihah intern sekolah (ini banyak dananya dan dianggarkan lho.)
Yang jelas tadi itu modalnya, tidak ada kata malu.

Nani Tandjung


Nani Tandjung 

Lahir di Sibolga 26 Agustus 1950 dari Ibu yang tegar bernama Nurdjani, disayangi oleh ayah bernama Chairuddin. Putranya empat orang semuanya lelaki, Dani, Dana, Dinova, dan Miko, teman mereka menjadi temannya. 1982 pernah mampir sebentar kuliah di Institut Kesenian Jakarta Jurusan Teater, 1988 di Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Muhammadiyah Jakarta. Sekarang bekerja sebagai Pimpinan Teater Kail. Sebagai pemain teater sejak tahun 2000 bermain monolog, memberikan work shop teater serta membacakan puisi-puisinya di kota-kota di Jawa, Madura, Bali dan Sumatra

Bedah buku

Bedah buku
Bedah buku adalah membedah sebuah judul buku (jika buku ini berjilid 1 dst atau berseri maka seluruhnya juga dibedah). Bedah sebagaimana arti katanya dalam KBBI, dan ketika kata ini dipakai untuk buku maka membedah mulai dari kulitnya hingga selesai. Untuk sebuah buku yang dikarang oleh seorang tentu kajian bedah senantiasa berkaitan dengan penulisnya. Referensi, buku pembanding sejenis, pendapat ahli/pakar, sisi keilmuan lain nya boleh digunakan. Kesemuanya menyoroti isi buku dan slalu berkaitan dengan penulisnya. Pertanyaannya ketika Membedah buku antologi (kumpulan puisi atau cerpen yang dikarang beberapa penyair/cerpenis) ini bagaimana? 
Berkaitan dengan jumlah penyair dan cerpenis yang banyak dalam satu buku maka tidak adil jika ulasan sorotan hanya satu karya yang berarti satu orang penyair atau cerpenis. Dan penulis juga harus menyadari bahwa tak mungkin ulasan itu satu-per satu.
Ada beberapa cara untuk ini bila kita mengadakan acara jeperti ini:
1. Pembedah buku menyebutkan kreteria khusus mengenai telaahnya seperti : unik, baru ada (hal yang baru), dsb.
2. Menyebutkan diawal pembicaraan siapa penyair yang karyanya akan dibedah misalnya : penyair muda, penyair daerah terpencil dsb .
Dengan demikian semua penyair yang menulis puisi/cerpen di buku bersama itu menjadi lega hatinya.

Talenta

Kata talenta sekarang ini menunjuk pada bakat alam. Jadi jika seseorang mempunyai talenta artistik, dia akan sangat kreatif dan sangat dikagumi karen a mempunyai talenta ini. (dalam hal ini bukan arti talenta :timbangan/ukuran/keping mata uang seperti harfiahnya)
Talenta yang dibicarakan adalah talenta sastrawan.
Rendra disamping penyair juga memiliki talenta sebagai pembaca puisi yang dikagumi, juga yang lain. Ebiet G Ade juga seorang penyair namun memiliki talenta menjadikan syair ciptaanya menjadi lirik lagu sekaligus dinyanyikan dengan bagus dan membuat pendengarnya tertarik menghafal lagunya. Khusus penyair dengan talenta mampu mebaca puisi bagus juga banyak, tetapi banyak juga penyair terkenal tetapi membaca puisinya kurang menarik. Kita dapat menilai tokoh-tokoh sastrawan Indonesia dengan talenta atau yang talentanya tidak terlihat. 
Jika seorang penyair bisa membaca sajak berarti memiliki talenta keduanya. 
Tidak memiliki talenta membaca puisi yang istimewa tetapi memiliki talenta menyair bagus tetap disebut penyair, namun tidak memiliki talenta baca puisi yang istimewa tetapi tak pandai menulis syair sulit disebut penyair. 
Ketika seorang penyair membacakan sebuah puisi dan terlihat seperti membaca dan kesan datar biasa, tidaklah harus mencemohnya. Namun jika seorang penyair memiliki talenta keduanya ini istimewa. 
Lebih istimewa lagi ketika tentara, sopir bus atau pedagang sayur memiliki talenta baca puisi yang baik kata temanku, sebab dia memili talenta pada jalur yang berbeda. Juga sangat istimewa jika presiden pandai membuat puisi. Meski tidak dikatakan puisi, Bung Karno, jika menulis pesan atau menggoreskan kata-kata beberapa baris slalu memiliki makna tersendiri. sebuah talenta yang istimewa juga pada jalur yang berbeda. Jadi talenta yang kita miliki patut kita syukuri.

Puisi puisi Hardho Sayoko Spb penyair asal Ngawi Jawa Timur




     Suatu Sore di Antara Sisa Gerimis

Bocah-bocah kecil berlarian dikejar bayangnya
yang tak juga lelah meski genangan air
dan lumpur berulangkali menyergapnya
masih saja digulung canda
Mimpi apa saat bianglala sandar di kaki langit?
setelah layang-layang tinggal kerangka di kawat telepon
yang sudah tidak sanggup lagi menari-nari
setiap angin dengan beringas melepas syahwatnya
Bocah-bocah kecil berlarian dikejar bayangnya
yang tak juga lelah meski genangan air
dan lumpur berulangkali menyergapnya
masih saja digulung canda

                              * Kedunggalar, 3 Juni 2008 


          Menatap Lengkungan

Akhir sujud ketika keluh telah menjelma uap
yang berterbangan ke celah-celah langit
kalian masih saja mencoba meretasnya
lewat kesiur serapah yang sengau
memantul di tebing sunyi
gagal jadi sebait katayang rintih janin doa


                         * Kedunggalar, 20 Nopember 2009


     Ketika  Merenda Bianglala

Waktu demi waktu pergi entah ke mana
setelah terekam sebagian perjalanannya
di pergelangan tangan yang lemah 
berdetak
tanpa suara tanpa kata
sekadar sapa
Kau masih saja setia meniup kelopak puisi
setiap angin menggoyang daun-daun di pepohonan
katamu biar nenek yang meniup canting tidak kesepian
setelah kucing yang selama ini mengaku karib
ternyata diam-diam meninggalkan 
rembulan
Di pergelangan tangan yang lemah 
berdetak
kau masih saja terekam menggiring 
waktumeski tanpa suara tanpa kata
atau sekadar sapa
pada bianglala ada bayang meongnya

                              * Kedunggalar, 6 Juni 2008


                    Kuncup Daun

Selembar daun bergetar di ujung ranting
saat angin bukit berlari menuju hutan cemara
di pelataran sekubang air masih 
beriak
ketika bayang-bayang mencoba mengaca
di likat lumpur setengah berjelaga
"Berilah daku kesempatan menimang waktu,"
ajuknya setelah puas menyerahkan 
kehijauannya
dan semikan putik-putik penanda jejaknya
sebelum lewati perjalanan busurnya
Selembar daun bergetar seperti berdansa
sebelum dari jauh terdengar gemuruh suara
dan mentari sore yang letih 
tersangkut di jendela
ketika sebait sajak meluncur dari arasyNya
serta sangsai pelahan menguraikan belitannya

                         * Kedunggalar, 20 Nopember 2009


               Kerinduan

Berulang kali mencoba retas bentangan sepi
tetapi selalu gagal setiap terengah menyibaknya
gelisah demi gelisah luruh bersama titik embun
tak pupus walau angin suka rela menghapus
nyatak peduli matahari yang kelu ikut membakarnya
Mencari jejakmu di antara warna bayangtak
jemu betapa keterbatasan memasung juga
padahal betapa keinginan selalu ingin menjamah 
mengapa selalu ganggang dan ikan mendahuluinya?
Berulang kali menyingkap tabir yang tergerai
tetapi selalu saja enggan berlipat di luar hendak
padahal kesendirian selalu tak henti gapai
menghapus bercak lewat larik-larik noktah
yang rakus melahap jalinan mimpi-mimpinya

                         * Kedunggalar, 20 Nopember 2009

Sabtu, 28 September 2013

Rg Bagus Warsono tentang Popularitas Sastrawan

Popularitas sastrawan menjadi hal sangat penting bagi seorang sastrawan. Baiklah kita mulai dari kebutuhan popularitas itu untuk apa?
Ada beberapa kebutuhan dasar untuk seorang sastrawan: mutu sebuah karya, pembaca karyanya, popularitas,pengakuan, inspirasi, kolega penerbitan, memiliki fans, promosi karyanya, pengukuhan dari sastrawan lain atau yang lebih senior dengan esai, resensi, ulasan berkaitan dengan karya itu, teman sastrawan, dan yang terakhir adalah pangsa pasar. Kebutuhan itu saling menunjang dan berkaitan. Diantara kebutuhan dasar itu terkadang banyak sastrwan pemula mengambil keputusan mana kebutuhan dasar yang diprioritaskan yakni promosi diri bukan promosi karyanya. Jelas ini keliru. Promosi diri tanpa karya bermutu akan sia-sia.(Rg Bagus warsono)

ANTOLOGI PUISI DARI NEGERI POCI 5


UNDANGAN BERGABUNG DALAM ANTOLOGI PUISI DARI NEGERI POCI 5
September 26, 2013 at 11:55pm

Komunitas Negeri Poci/ Radja Ketjil mengajak dan mengundang para penyair --termasuk para alumnus penyair Dari Negeri Poci-- di seluruh Indonesia, untuk ikut bergabung dalam sebuah antolo gi puisi DARI NEGERI POCI 5 yang direncanakan terbit pada 1 April 2014.

Persyaratan umum:

1.Siapa saja, segala usia, pria-wanita, domisili di mana saja (di bumi kita tercinnta!)

2.Para penyair dipersilakan mengirim sebanyak 10 (sepuluh) puisi dan foto & biodata terbaru

3.Panjang setiap puisi maksimal 40 baris (atau cukup dicetak 1 halaman dalam buku)

4.Tema bebas

5.Puisi harus karya terbaru, dan harus tidak/ belum pernah dimuat dalam media apapun. (termasuk dalam grup di iinernet baik Facbook maupun yahoo dan blog)

6.Silakan kirim karya terbaik Anda, ke email: antologidnp5@gmail.com, paling lambat sudah harus diterima pada 28 Feb. 2014. Jangan lupa, sertakan juga biodata dan foto terbaru/ terbaik Anda.

Lain2:

1.Puisi-puisi yang masuk akan diseleksi oleh tim kurator/ editor yang ditunjuk.

2.Tidak ada pungutan apa pun bagi keikutsertaan dalam antologi ini, termasuk bagi mereka yang puisinya terpilih.

3.Mengingat penerbitan buku ini tidak untuk keperluan komersial, para penyair yang karyanya dimuat tidak memperoleh honorarium/royalti, dan sebagai gantinya setiap penyair yang karyanya terpilih dan dimuat akan mendapat sebanyak 1(satu) buku sebagai nomor bukti.

Salam sastra!

Prof.Dr. Prijono Tjiptoherijanto/ Komunitas Negeri Poci/ Komunitas Radja Ketjil

PS: Antologi DARI NEGERI POCI 5, adalah kelanjutan dari antologi puisi NEGERIABAL-ABAL - DARI NEGERI POCI 4 (2013), 99 Penyair, DARI NEGERI POCI (1993) 12 Penyair, DARI NEGERIPOCI 2 (Ed. F. Rahardi, 1994), 45 Penyair dan DARi NEGERI POCI 3 (Ed. Adri Darmadji Woko, Handrawan Nadesul dan Kurniawan Junaedhie, 1996), 49 Penyair.

Kamis, 26 September 2013

Rg Bagus Warsono tentang banjirnya sastrawan baru/pemula

Sebetulnya tak ada batasan jumlah sastrawan, selama dunia sastra masih tetap ada, sastrawan akan mengisi dunianya. Mereka yang menginventarisir akan slalu memantau perkembangan sastra Indonesia. Orang-orang sastra baru semakin banyak jumlanya. Ini menandakan sastra Indonesia berkembang pesat. Semua lembaga, tokoh sastrawan dapat menginventarisir sastrawan Indonesia yang terus berkembang ini. Jadi sastrawan tidak mengunci jumlah namun membuka siapapun untuk menjadi sastrawan. Sungguhpun demikian produk sastra belum dapat dijadikan lahan profesi yang menjanjikan secara umum, hanya sewaktu-waktu mendapatkan profit dari produk sastra. Kendalanya sangat banyak seperti kegemaran membaca yang kurang, promosi, daya beli masyarakat pada buku, serta intertaiment yang minim pada kegiatan sastra. Dibalik itu semua menjadi sastrawan adalah kepuasan tersendiri, seperti sastra itu sendiri yang tak dapat dinilai dengan rupiah.
(rg bagus warsono/agus warsono/masagus)

Rabu, 25 September 2013

Saut Poltak Tambunan

Saut Poltak Tambunan, lahir di Balige, kota kecil pinggir Danau Toba, menikah dengan gadis Kawanua - Menado (Lenny Runturambi). Mungkin tidak laku untuk gadis Batak karena tidak bisa main gitar dan tidak suka catur. Punya anak 3 (1-2 perempuan, alumni di PR London School dan alumni FH Unpad, yang ke-3 laki-laki masih tahun I di FIKOM UNPAD).

Saut Poltak Tambunan, adalah penulis cerita pendek, novel, skenario, puisi, kolom, artikel. Mantan PNS, tahun 1981 mendirikan Yayasan Pengarang Indonesia AKSARA di Jakarta dan menjabat sebagai Ketua I dan sekaligus menjadi Ketua Yayasan Pengarang AKSARA hingga sekarang. (Oktober 2009 mendirikan Komunitas Kedailalang – Kedai Sastra Ide Kalimalang bersama Kurnia Effendi (KEF) dan teman-teman. Aktif menyelenggarakan workshop penulisan cerpen/novel dengan bukunya ’Kiat Sukses Menulis Novel’.
Saut menyelesaikan/menerbitkan puluhan novel, ratusan cerita pendek/artikel dan skenario film/sinetron. Beberapa novelnya menjadi bestseller pada dekade tahun 80-an, diangkat ke layar lebar dan belakangan menjadi sinetron. Antara lain, Hatiku Bukan Pualam (layar lebar), Jangan Ada Dusta (sinetron), Dia Ingin Anaknya Mati (Sinetron Mini Seri), Harga Diri (layar lebar) , Yang Perkasa (layar lebar), Jalur Bali (layar lebar). Beberapa novel masih dalam penulisan skenario untuk sinetron, yaitu Harga Diri, Kembalikan Anakku, Lia Nathalia, Permata Hati. Termasuk 3 kumpulan cerpen Rinai Cinta Seorang Sahabat (1985) Lanteung, (2004), Jangan Pergi, Jonggi (2005). Kumpulan cerpen ke-4 ’Tortor Orang Batak’ sedang dalam proses.
Sambil menjadi PNS ketika di Jakarta, sempat nyambi menjadi wartawan, editor dan penulis kolom ‘perilaku konsumen’ pada majalah Kartini termasuk ’penjaga gawang’ Departemen Buku Kartini. Juga sempat menjadi dosen pada Akademi Sekretaris Managemen Indonesia (ASMI) dan Akademi Maritim Indonesia (AMI) di Jakarta. Tahun 2008 menjadi co-writer dan editor untuk buku marketing managemen berjudul Launching.


erani Meski Tak Benar
Sekolahku Sekolah Rakyat biasa di kaki bukit dekat Danau Toba,
di kelas dua kami masih saja belajar membaca dan pelajaran berhitung pun baru sampai di perkalian tiga
Belebas panjang beringas di tangan Encik Guru menyimpan ratusan sidik betis turun temurun sejak zaman Namboruku, membesut anak-anak kampung ke kursi tinggi empuk berlapis beledru
Kata Encik benderaku sang dwi warna merah putih perlambang berani karena benar,
setiap pagi dan siang kami hormat setegak bisa sambil menggegap Indonesia Raya dan Garuda Panca Sila (yang belakangan kutahu tak benar syairnya)*.
Encik guruku sudah tak ada. Masih kuingat pesannya merah putih lambang berani karena benar. Tetapi mengapa benderaku kini kian memerah putihnya? Mengapa di negeriku semakin banyak orang berani meski tak benar?
saut poltak tambunan
Jkt, 24 Jan 2010
* Ketika itu tak ada buku dan tak pernah melihat teks lagu Garuda Panca Sila yang sebenarnya, hanya meniru-nirukan bunyinya dari kakak kelas:
Garuda Panca Sila,
akulah pendukurmu
Patiroprop lamasi (menurut teman sebangku ‘tapilopot lamasi’)
Setia berkota untukmu
Panca Sila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Dibang dibangsaku
Ayo, maju, maju, ayo, maju, maju!

Ingkar
Ilalang
membakung
Gunung
hilang akar

Lelangit
runtuh
spt, 29 Nov 2009
GARUDA
Dalam temaram garudaku nelangsa
terjelapak jatuh di belakang gudang jemuran padi
lunglai lehernya terkulai
digelantung beban lambang-lambang besar
sementara gambar lainnya berebut posisi
di kepala
di mata
di dada
di paruh
di cakar
Dalam temaram gagahnya sirna
Perisai lama bergambar lima
telingsut lenyap entah di belahan dada mana
Tujuhbelas delapan empatlima
bulunya jadi umbul-umbul dan bendera
berkibar berkobar berwarna-warna
Dalam temaram garuda meradang tiba-tiba
mencakar mata sendiri
mematuk cakar sendiri
merobek dada sendiri
Dalam temaram garuda berteriak:
tak akan cucakrowo menggusur aku!
lalu diam
lalu diam
lalu ...!?
November 2009
Masih, Meski Bukan yang Dulu
Risaukan apa lagi, kekasihku. Masih ada taman ini menjulurkan rindangnya untuk kita berteduh. Masih ada rumpun semak untuk kita sembunyi bercumbu. Masih ada kupu-kupu putih mungil melintas di atas kepala kita. Masih, meski semua itu bukan yang dulu.
Risaukan apa lagi, kekasihku. Masih ada langkah yang bisa kita ayun bersama, meski sedikit goyah terseret. Masih ada helai rambut yang harus kusibak di keningmu untuk dapat membisikkan suara dari hatiku, meski mulai memutih. Pendengaran kita mungkin mulai berkurang, tetapi kita selalu sudah mendengar sebelum kita mulai mengatakannya.
Risaukan apa lagi, kekasihku, aku selalu ada, meski semakin meski..
spt, mei 2009
KULO NIKI . . . . !

Saut Poltak Tambunan, lahir di Balige, kota kecil pinggir Danau Toba, menikah dengan gadis Kawanua - Menado (Lenny Runturambi). Mungkin tidak laku untuk gadis Batak karena tidak bisa main gitar dan tidak suka catur. Punya anak 3 (1-2 perempuan, alumni di PR London School dan alumni FH Unpad, yang ke-3 laki-laki masih tahun I di FIKOM UNPAD).
Saut Poltak Tambunan, adalah penulis cerita pendek, novel, skenario, puisi, kolom, artikel. Mantan PNS, tahun 1981 mendirikan Yayasan Pengarang Indonesia AKSARA di Jakarta dan menjabat sebagai Ketua I dan sekaligus menjadi Ketua Yayasan Pengarang AKSARA hingga sekarang. (Oktober 2009 mendirikan Komunitas Kedailalang – Kedai Sastra Ide Kalimalang bersama Kurnia Effendi (KEF) dan teman-teman. Aktif menyelenggarakan workshop penulisan cerpen/novel dengan bukunya ’Kiat Sukses Menulis Novel’.
Saut menyelesaikan/menerbitkan puluhan novel, ratusan cerita pendek/artikel dan skenario film/sinetron. Beberapa novelnya menjadi bestseller pada dekade tahun 80-an, diangkat ke layar lebar dan belakangan menjadi sinetron. Antara lain, Hatiku Bukan Pualam (layar lebar), Jangan Ada Dusta (sinetron), Dia Ingin Anaknya Mati (Sinetron Mini Seri), Harga Diri (layar lebar) , Yang Perkasa (layar lebar), Jalur Bali (layar lebar). Beberapa novel masih dalam penulisan skenario untuk sinetron, yaitu Harga Diri, Kembalikan Anakku, Lia Nathalia, Permata Hati.
Termasuk 3 kumpulan cerpen Rinai Cinta Seorang Sahabat (1985) Lanteung, (2004), Jangan Pergi, Jonggi (2005). Kumpulan cerpen ke-4 ’Tortor Orang Batak’ sedang dalam proses.
Sambil menjadi PNS ketika di Jakarta, sempat nyambi menjadi wartawan, editor dan penulis kolom ‘perilaku konsumen’ pada majalah Kartini termasuk ’penjaga gawang’ Departemen Buku Kartini. Juga sempat menjadi dosen pada Akademi Sekretaris Managemen Indonesia (ASMI) dan Akademi Maritim Indonesia (AMI) di Jakarta. Tahun 2008 menjadi co-writer dan editor untuk buku marketing managemen berjudul Launching.
Jakarta, 2010.

Dwi Ery Santoso




Dwi Ery Santoso
Lahir di kota Tegal, Jawa Tengah, 21 September 1957. Aktif berteater sejak masih di Sekolah Pendidikan Guru di Tegal. Ia Ikut berperan dalam berdirinya Teater Puber.

Setelah hengkang dari Teater Puber, melanjutkan kiprahnya di Teater Massa Hisbuma. Bersama Teater ini, tahun 1985, ia meraih prestasi sepuluh besar dalam Festival Teater Nasional yang memperebutkan Trophy Ibu Tien Suharto di Gelanggang Remaja Bulungan Jakarta Selatan lewat lakon Surabaya Berguncang, karya Haryo Guritno.

Telah beberapa kali mengikuti Festival Teater Jawa Tengah, antara lain tahun 1997, di PKJT (Pusat Kesenian Jawa Tengah) Taman Budaya Surakarta dalam lakon, Pelangi Sajeroning Ati, yang mengantarkannya terpilih sebagai penulis naskah dan Sutradara, dengan prestasi sebagai Penyaji Terbaik ke III. Tahun 1999, sebagai penulis naskah dan sutradara, lakon Apologi Senja Hari, terpilih meraih prestasi sebagai Penyaji Harapan dan sebagai Naskah Terbaik I Lomba Penulisan Naskah Drama Tingkat Jawa Tengah tahun 2007.
Tahun 2002, melalui lakon Martoloyo –Martopuro karya Eko Tunas, ia meraih gelar Sutradara Terbaik I, Aktor Pembantu Putra terbaik I, Artistik terbaik I dan Penyaji Grup terbaik II. Ditahun 2005, lewat naskah Cahaya-Cahaya, ia terpilih sebagai Juara I Cipta Naskah Monolog.
Selain aktif berteater ia juga menulis puisi. Karya-karyanya banyak dimuat di media massa. Karyanya yang terbit dalam bentuk antologi puisi antara lain ; Antologi Puisi Nelayan-Nelayan Kecil terbitan Teater Massa Hisbuma (1997), Antologi Jentera Terkasa dalam Pasar Puisi 2000 Terbitan Dewan Kesenian Jawa Tengah dan Taman Budaya Surakarta, Antologi Puisi Potret Reformasi Dalam Puisi Tegalan Terbitan Koran Tegal (2000), Antologi Puisi Juada Pasar bersama 52 penyair Tegal, terbitan Dewan Kesenian Kota Tegal (2002), Antologi Puisi dalam rangka Khaul 1000 hari wafatnya Piek Ardijanto Soeprijadi (2004), Kumpulan Puisi Mimbar Penyair Tegal (2005), Antologi Puisi Muara Bercahaya terbitan Teater Massa Hisbuma (2005), Kumpulan Puisi Tegalan Brug Abang terbitan Dewan Kesenian Kota Tegal (2007), Kumpulan Puisi Tegalan Ngambah Paran, Terbitan Komunitas Sastra Tegal (2007).

Kamis, 19 September 2013

puisi KH. A. Mustofa Bisri : Surabaya

Jangan anggap mereka kalap
jika mereka terjang senjata sekutu lengkap
jangan dikira mereka nekat
karena mereka cuma berbekal semangat
melawan seteru yang hebat

Jangan sepelekan senjata di tangan mereka
atau lengan yang mirip kerangka
Tengoklah baja di dada mereka
Jangan remehkan sesobek kain di kepala
tengoklah merah putih yang berkibar
di hati mereka
dan dengar pekik mereka
Allahu Akbar !
Dengarlah pekik mereka
Allahu Akbar !
Gaungnya menggelegar
mengoyak langit
Surabaya yang murka
Allahu Akbar
menggetarkan setiap yang mendengar
Semua pun jadi kecil
Semua pun tinggal seupil
Semua menggigil.
Surabaya,
O, kota keberanian
O, kota kebanggaan
Mana sorak-sorai takbirmu
yang membakar nyali kezaliman ?
mana pekik merdekamu
Yang menggeletarkan ketidakadilan ?
mana arek-arekmu yang siap
menjadi tumbal kemerdekaan
dan harga diri
menjaga ibu pertiwi
dan anak-anak negeri.
Ataukah kini semuanya ikut terbuai
lagu-lagu satu nada
demi menjaga
keselamatan dan kepuasan
diri sendiri
Allahu Akbar !
Dulu Arek-arek Surabaya
tak ingin menyetrika Amerika
melinggis Inggris
Menggada Belanda
murka pada Gurka
mereka hanya tak suka
kezaliman yang angkuh merejalela
mengotori persada
mereka harus melawan
meski nyawa yang menjadi taruhan
karena mereka memang pahlawan
Surabaya
Dimanakah kau sembunyikan
Pahlawanku ?

Colombella karya Acep Zamzam Noor

Aku masih digayuti kabut yang semalam melaju dalam tidurku Melewati petak-petak ladang, tangki air dan lengkung biru Pebukitan. Rumah-rumah kotak yang kecoklatan Jalan-jalan kecil yang melingkar serta sebuah sungai Yang berliku membelah perkampungan Semuanya bermuara di mataku
Ini masih awal musim semi, kureguk Hangatnya kopi serta bait-bait pendek Ungaretti Betapa angin telah menggemburkan permukaan tanah Dengan lidahnya. Topan mengkilapkan wajah bebatuan Sebuah lapangan kota lama yang lahir kembali Dengan katedralnya yang lain

Ini masih awal musim semi Semburat matahari menerobos kaca dan sayup-sayup Kudengar dengus pepohonan yang menahan getar birahi Akar-akarnya. Ladang-ladang menghamparkan tikar pandan Sungguh musim semi telah membangunkan tidur bumi Yang panjang. Ketika langit menguraikan rambut ikalnya Sebuah kastil putih muncul dari balik pebukitan Dengan air mancurnya yang menyemburkan kilatan cahaya 

Nyanyian Untuk yang dilupakan 0leh Ranadhan KH

Tuhan yang menciptakan seni dan bumi,
air dan udara dan api
menciptakan semua kita yang ada,
selalu hormat dan cinta padamu.
Langit dan dedaunan gemelepar,
bulan danbintang hidup berkhitmat selalu
bagimu dan bagimu dan bagimu
Sebanyak daunan digantung di dahan pohonan
untuk memeriahkan istana yang asing dan tetap asing bagimu
meja bangket dan kemwahan dibuka,
berbatasan dengan lingkaran dunia yang pahit, duniamu.
Bulan dn bintang yang setia dan tetap setia padamu,
meredupkan lampu-lampu yang banyak dusta dan penipuan.
Namamu tergoreskan di setiap rangka tulang bangunan dan keuntungan
kendatipun tidak dicanangkan, malahan dilupakan.
Kaulah sebenarnya yang lahirkan kemerdekaan,
tanpa idamkan taman dan tugu kemerdekaan.
Kaulah sebenarnya yang bangkitkan pembebasan.
Butir padi, garam dan perlindungan
ladang daratan, air dan kekuatan,
adalah kepunyaan dan kelahiranmu.
Warisanmu adalah sungai, tanaman,
warisanmu adalah tiap tegukan dan santapan.
Kau adalah kapten barisan yang selalu ada di depan
untuk kemerdekaan dan kemanusiaan.
Kau adalah pertahanan utama yang selalu pantang menyerah
untuk pembebasan dan keagungan.
Pahlawan kemerdekaan, kaulah satu-satunya pahlawan kemerdekaan,
dan tiada yang lainyang lebih patut pakaikan mahlota kemerdekaan !
pejuang perdamaian, kaulah satu-satunya pejuang perdamaian,
dan tiada yang lain yang lebih patut kenakan bintang perdamaian.
Waktu pestol pertama meletus untuk kemerdekaan,
adalah pestol jantungmu yang ditembakkan.
Waktu bendera pertama berkibar untuk pembebasan,
adalah bendera semangatmu yang diacungkan.
Waktu kurban pertama diminta untuk keagungan,
adalah nyawamu yang pertama dikurbankan.
Kau adalah alas dan puncak semua pujian dan pujaan;
Sejak fajar sampai jadi sasaran penipuan dan pencekikan

Puisi karya Ramadhan KH

Seruling di pasir ipis, merdu
Antara gundukan pohon pina
Tembang menggema di dua kaki,
Burangrang – Tangkubanperahu 
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun.

Membelit tangga di tanah merah
Dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali,
Kenakan kebaya ke pewayangan.

Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut dihati gadis menurun.

Puisi -pisi karya Leon Agusta

Doa dalam Kabut

Suatu ketika, akan ada yang siuman
Mungkin tak semua mati jadi korban kegilaan
Pohon dan daunan masih akan saling berbisik:

Jangan sampai mereka tak melihat cahaya
Jangan sampai mereka tak mendengar suara

Para pertapa sudah menduga, dari awal prahara
Sebuah akhir yang pedih sudah menunggu
Menyita waktu menjemput bencana baru

Suatu ketika, akan ada yang siuman
Mungkin tak semua mati jadi korban kegilaan
Ada geliat dari tanah merayap ke atas batu
Bagai bayi mencari ibu karena merasa mencium susu
Bayi yang disisakan bencana, busuknya dunia

Fajar baru akan bermula dari senyum sang bayi
Orangtuanya mati setelah melahirkannya
Menelan api benci yang dimuntahkan senapan

Tuhan
Berilah keajaiban, tumbuhkan susu pada batu
Selimut hangat dari lumut bagi sang bayi
Berikan pula pada orang-orang berbedil
Keagungan cinta dalam membaca Manusia
Ajari mereka berjalan dengan peta warisan para nabi
Perkenankanlah.


Ode Buat Proklamator

Bagi negeriku, bermimpi di bawah bayangan burung garud
Bertahun setelah kepergiannya kurindukan dia kembali
Dengan gelombang semangat halilintar dilahirkannya sebuah
negeri; dalam lumpur dan lumut, dengan api menyapu kelam
menjadi untaian permata hijau di bentangan cahaya abadi; yang
senantiasa membuatnya tak pernah berhenti bermimpi; menguak
kabut mendung, menerjang benteng demi benteng
membalikkan arah topan, menjelmakan impian demi impian
Dengan seorang sahabatnya, mereka tandatangani naskah itu !
Mereka memancang tiang bendera, merobah nama pada peta, berjaga
membacakan sejarah, mengganti bahasa pada buku. Lalu dia meniup
terompet dengan selaksa nada kebangkitan sukma
Kini kita ikut membubuhkan nama di atas bengkalainya;
meruntuhkan sambil mencari, daftar mimpi membelit bulan
Perang saudara mengundang musnah, dendam tidur di hutan-hutan,
di sawah terbuka yang sakti
Kata berpasir di bibir pantai hitam
dan oh, lidahku yang terjepit, buih lenyap di laut bisu
derap suara yang gempita cuma bertahan atau menerkam
Ya, walau tak mudah, kurindukan semangatnya menyanyi kembali
bersama gemuruh cinta yang membangunkan sejuta rajawali
Tak mengelak dalam bercumbu, biar di ranjang bara membatu
Tak berdalih pada kekasih, biar berbisa perih di rabu
Berlapis cemas menggunung sesal mutiara matanya tak pudar



Puisi Karya Toety Heraty

Karya Toeti Heraty
benarkah setiap senjamatahari masih terbenam jugakasihku?pernah kupelajari, sudah sekian waktuyang lalu, bahwa bulan mengitaridunia, dan dunia matahari –bulan, yang bagai mangga kemuningmenyandarkan diri pada awan-awanyang bergerigidan matahari terbakar merajai hatisewaktu mobil menyusur kali dan kalimengalir ke laut, lautan luas –benarkah setiap senja?karena sebelah kiri hanya tampaknyala jingga langit merenggut-renggut lambaian benderadan cakrawala dirembeti gubuk-gubuk, rapuh dan kelabubenarkah begitu; bahwasuatu saat matahari dan lautanakan bersentuhan, dan berjanjibagai kedahsyatan yang menghilangdan akan kembali lagi

Toeti Heraty.

Toeti Heraty merupakan Sarjana Muda Kedokteran Universitas Indonesia (1955), Sarjana Psikologi Universitas Indonesia (1962), dan pada tahun 1974 menjadi Sarjana Filsafat dari Rijk Universiteit, LeidenBelanda. Pada tahun 1979, dia lulus sebagai Doktor Filsafat dari Universitas Indonesia.
Ia pernah mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran, Bandung. Selain itu, Toeti Heraty juga pernah menjadi Ketua Jurusan Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Ketua Program Pascasarjana Universitas Indonesia Bidang Studi Filsafat, Rektor Institut Kesenian Jakarta, dan Direktur Biro Oktroi Roosseno. Tahun 1994, dia dikukuhkan menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tahun 1968-1971, Toety menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, dan tahun 1982-1985 menjadi ketua Dewan tersebut.
Toety Heray juga aktif mengikuti beberapa festival internasional, di antaranya Festival Penyair International di Rotterdam (1981) dan International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City (1984). Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, antara lain dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis.
Toeti Heraty dijuliki sebagai "satu-satunya wanita diantara penyair kontemporer terkemuka Indonesia".[5] Puisi-pusinya digambarkan sebagai sulit dimengerti, mengkombinasikan 'ambiguitas yang disengaja' dengan 'perumpamaan yang asosiatif dan tak dinyana'. [5] Namun mungkin gayanya yang menggunakan ironi dalam menggarisbawahi kedudukan rendah wanita di masyarakat patriakhal, yang membuat puisinya berbeda dengan para penyair lainnya.[5] Ia menerbitkan kumpulan puisi pertamanya, berjudul "Sajak-Sajak 33" pada tahun 1974, termasuk di dalamnya "Dua Wanita", "Siklus", "Geneva Bulan Juli". Kumpulam puisinya yang kedua, "Mimpi dan Pretensi" terbit tahun 1982. Ia juga melakukan editing sebuah terbitan puisi berbahsa Belanda dan Indonesia, dan sebuah koleksi puisi dari para penyair wanita.[6] Puisinya yang terbaru, "Calon Arang: the Story of A Woman Victimized by Patriarchy", adalah lirik setebal buku, yang memberikan pandangan kritis atas persepsi dari figur tipikal Indonesia, Calon Arang. Puisi itu menghadirkan gambaran tiga dimensi dari seorang wanita yang mencoba bertahan terhadap lingkungan patrikhal yang represif, namun malangya ia malah dianggap sebagai penyihir legendaris.[2]
Toety Heraty dianggap sebagai salah satu wanita pemikir feminis generasi pertama dan banyak menulis banyak pemikiran penting tentang wanita. [2] Puisinya merefleksikan tidak hanya penadangan feminisnya, tetapi juga kecintaannya terhadap seni. Rumahnya di Menteng merangkap sebagai gallery, menyimpang sejumlah koleksi lukisan karya pelukis terkenal, diantanyaAffandiS. SudjojonoSrihadi Soedarsono. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Mitra Budaya Indonesia, pada tahun 1998. Toety Heraty juga adalah pendiri Jurnal Perempuan, majalah feminis yang mengangkat isu-isu penting tentang wanita. Ia juga mengabdikan dirinya pada Suara Ibu Peduli, suatu organisasi non-pemerintah, yang memperjuangkan pemberdayaan wanita.
Sajak-sajak 33 (kp, 1973), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (ap,1979, Ed), Mimpi dan Prestasi (kp, 1982), Aku dan Budaya (s, 1984), Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda (ap, 1986, Ed. bersama A.Teeuw), Antologi Puisi Indonesia 1997 (ap, 1977), Sembilan Kerlip Cermin (ap, 2000).

Bondan Haryo Winarno (BONDAN WINARNO)

Nama Lengkap : Bondan Haryo Winarno

Bondan Winarno, atau yang akrab disapa dengan panggilan Pak Bondan, namanya memang mulai dikenal sejak menjadi presenter kuliner yang mengajak pemirsa berkeliling negeri, bahkan luar negeri, untuk mencicipi sajian khas di tiap daerah. Tagline "pokok'e maknyus" membuat sosok ini makin terkenal.
Namun, sosok pria kelahiran Surabaya ini hendaknya tak dipandang hanya sebagai ahli kuliner. Pengalaman hidupnya jauh lebih beragam daripada sekedar icip-icip masakan nikmat dari satu restoran ke restoran lain. Meski tak bisa dipungkiri, bidang satu ini tak pernah bisa jauh dari hidupnya dan selalu melekat dalam dirinya, apapun profesi yang dijalaninya.
Hidup dalam keluarga besar dengan 8 orang anak, Bondan kecil sudah mengenal kuliner dari ibu yang berasal dari Madiun dan jago masak, seperti yang diakuinya dalam berbagai wawancara. Walaupun tak merasa dirinya anak kesayangan dalam keluarga, Bondan kecil cukup pantas dikagumi dengan kegemarannya meraup informasi. Hobi membaca disalurkannya dengan berlangganan berbagai majalah dan buku, termasuk sering berkunjung ke Perpustakaan Semarang, yang sayangnya harus dilakukannya secara sembunyi-sembunyi demi menghindari ejekan kawan-kawan di sekolah yang menganggapnya terlalu serius.
Selepas SMA, Bondan sempat berniat melanjutkan sekolah ke Fakultas Sastra. Sayangnya, keinginan ini ditentang oleh sang ibu yang menganggap profesi sastrawan tidak menjanjikan. Demi orang tua, Bondan pun mengalah dan bersekolah di Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro.
Namun belum sempat selesai, Bondan sudah menjadi fotografer Puspen Hankam di Jakarta hingga tahun 1970. Setelah itu, ia berpindah-pindah kerja, tetapi tetap tidak lepas dari lingkup komunikasi massa. Sempat bertugas sebagai wartawan ke berbagai negeri, antara lain ke Kenya, Afrika. Sebagian pengalamannya dari negeri itu ia tuangkan menjadi cerpen berjudul Gazelle, yang kemudian memenangkan hadiah pertama lomba penulisan cerpen majalah Femina pada tahun 1984. Menulis sudah hampir merupakan kebiasaan bagi Bondan. Ia pun bisa menulis di mana saja, di pesawat udara, di mobil, atau bahkan di toilet.
Karir Bondan dimulai dengan menjadi seorang jurnalis, tepatnya Pimred Majalah Swa, sebuah majalah ekonomi, di tahun 1985. Tak sampai dua tahun, karirnya melesat ke arah berbeda, justru karena rengekan Gwen, anaknya, yang ingin bersekolah di Amerika. Gaji sebagai jurnalis dirasa tidak cukup, hingga Bondan berniat mencoba menjadi pengusaha.
Hal ini tak sulit dicapainya, terutama karena kesempatan yang diberikan pengusaha muda Sutrisno Bachir. Dengan ujian perjanjian bisnis di Jepang yang berhasil dilakoni Bondan dengan sangat baik, pria ini akhirnya berkesempatan untuk mengepalai cabang perusahaan seafood yang berlokasi di Amerika.
Setelah sempat berbisnis dan tinggal di Los Angeles dan Seatlle, pria yang bergelar Pangeran Raden Haryo Mangkudiningrat ini menyadari dunia ini tak sesuai untuknya. Bondan kembali ke Indonesia tanpa membawa Gwen, yang meneruskan sekolah di Amerika. Di Indonesia, Bondan kembali menekuni dunia yang dicintainya, jurnalisme.
Namanya tercatat sebagai jurnalis di berbagai media, seperti Kompas, Matra, Asian Wall Street Journal, Far Eastern Economic Review, Jakarta Post, Kompas, Bisnis Indonesia, Kontan, Swa, Suara Pembaruan, dan Detik.com. Selain itu, Bondan juga dikenal sebagai penulis cerpen dan wartawan investigatif. Karyanya, Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi membawa kesuksesan baginya, yang sayangnya tak berlangsung lama. Buku Bondan dilarang terbit setelah dirinya dipanggil oleh salah satu pejabat.
Kematian ayah dan kakak di usia muda membawa duka sekaligus niatan baru untuk Bondan. Dirinya pun memutuskan untuk menjalani masa pensiun sebagai pengusaha dan jurnalis, banting setir ke dunia kuliner. Dengan alasan keseimbangan hidup, Bondan resmi pensiun setelah kontraknya sebagai Pimred Suara Pembangunan habis setelah 3 tahun. 
Dunia kuliner 'menemukannya' di tahun 2000. berkat tawaran Ninok Leksono, Bondan mulai menjadi penulis rubrik Pariwisata untuk Cyber Media. Lambat laun, tulisan Bondan mulai fokus di dunia kuliner yang ditayangkannya di kolom Jalasutra, yang kini telah memiliki lebih dari 8.000 anggota di seluruh dunia. Tulisannya seputar kuliner sempat dipandang sebelah mata, mengingat dirinya dulu berprofesi sebagai penulis bidang ekonomi dan investigasi yang cukup mumpuni. Mendengar kritik ini, Bondan tak menganggapnya serius, karena baginya, kedua profesi ini sama terhormatnya karena keduanya dilakukan dengan serius demi menghasilkan karya terbaik.
Tahun 2005 adalah awal karirnya di dunia hiburan. Digaet oleh PT Unilever, Bondan melahirkan program Bango Cita Rata Nusantara dengan visi berusaha mempopulerkan pusaka kuliner Indonesia. Komentar 'mak nyus' mulai menjadi ciri khasnya, walau tak diakuinya sebagai 'trade-mark'. Ungkapan ini 'dipinjamnya' dari Umar Kayam, yang sering melontarkan ungkapan yang sama tiap kali menyantap hidangan lezat. Setelah 15 bulan menjadi presenter Bango Cita Rata Nusantara, pria yang gemar memasak di rumah untuk keluarga besarnya ini memutuskan untuk mundur.
Tak lama, Bondan kembali digaet Trans TV untuk menjadi pembawa acara program Wisata Kuliner. Berbagai pengalaman berharga tak hanya dialami Bondan, namun juga para kru yang harus bekerja sama dengannya di berbagai daerah, juga para fans yang setia mengikuti perjalanan Wisata Kuliner di seluruh penjuru negeri. Kerja keras dan kedisplinan Bondan sangat dihafal para kru, yang juga menunjukkan bahwa Bondan adalah sosok yang begitu profesional dan cerdas. Walau sudah menjadi selebriti, pria ini mengaku tak terbiasa dengan kehadiran para penggemar, bahkan sering terganggu dengan mereka yang kurang sopan.
Namun, saat berada di puncak popularitas, Bondan sekali lagi memilih berhenti dan mundur. Dirinya berniat menikmati hidup bersama keluarga dengan berwisata ke berbagai daerah. Hal ini tak berarti Bondan lantas menganggur. Kakek enam cucu ini masih berencana menciptakan sebuah program motivator demi pengembangan diri  yang diharapkan akan membantu peningkatan kualitas individu.
Riset dan analisa oleh Ellyana Mayasari.

Alias : Pak Bondan | Bondan Winarno
Profesi : -
Agama : Kristen
Tempat Lahir : Surabaya
Tanggal Lahir : Kamis, 20 April 1950
Zodiac : Aries
Hobby : Jurnalis | Kuliner
Warga Negara : Indonesia

Istri : Yvonne Winarno
  • Pimred Majalah Swa (1985 - 1987)
  • Presiden Mitra Inc (perusahan seafood di Los Angeles) (1989-1991)
  • Presiden Ocean Beauty International (perusahaan seafood di Seattle) (1991-1994)
  • Penerbit Globalink (majalah milik Garuda Indonesia) (1994-1998)
  • Penulis cerpen untuk Kompas dan Matra (1994-1998)
  • Editor Asian Wall Street Journal, Far Eastern Economic Review, Jakarta Post, Kompas, Bisnis Indonesia (1994-1998)
  • Penulis profil profil Telkom, Indosat, freeport, dan Petrokimia Gresik (1994-1998)
  • Kolumnis Kontan dan Swa (1994-1998)
  • Penasehat pribadi Menteri Informasi RI (1998)
  • Staf Bank Dunia (1998)
  • Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Alam Nusantara (1999-2001)
  • Pimred Suara Pembaruan (2001-2003)
  • Komisaris independen Detik.Com (2004-sekarang)
  • Wartawan senior Suara Pembaruan (2004-sekarang)
  • Presenter acara kuliner (2004-sekarang)

Penghargaan
  • Baden Powell Adventure Award dari lembaga pramuka dunia (1967)
  • Satyalencana Pembangunan dari pemerintah RI (1988)
  • Gelar kanjeng Raden Haryo Mangkudiningrat dari PB XII (2001)
  • Gelar Kanjeng Pangeran dari PB XIII (2006)