TEKS SULUH


Sabtu, 30 November 2013

Nieranita

Nieranita nama pena dari Erni Rahmayunita. Lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Lampung Barat. Menyukai filateli dan sastra. Semasa SMA ia sangat aktif di organisasi Karya Ilmiah Remaja dan pernah menjadi juari pertama Lomba KIR tingkat SLTA se Kab Lebak dengan tema "Peranan Pemuda Dalam Mencegah Disintregasi Bangsa" Kumpulan puisi-puisinya di dalam buku antologi tunggalnya "Diary Hujan" (Sembilan Mutiara Publishing, 2013) dan di buku antologi bersama "Wakil Rakyat" ( Javakarsa Media, 2013)

Nieranita

Antologi Puisi " Ibu Indonesia"
_Puisi Untuk Anak Bangsa_ Oleh : Nieranita
Ketika aku menulis puisi ini Mungkin kau sedang bersemedi di dalam kaleng-kaleng soda, sedang bersembahyang di kolong-kolong jembatan Atau mungkin sedang pulas ditumpukan papan iklan Lantas siapa yang akan membaca sajak keluh kesah negeri ini ?
Ketika aku menulis puisi ini Kau mungkin sedang ketakutan

Menyaksikan kebakaran hutan, sedangkan di warung pojok sebakul nasi hanya diasapi puntung rokok Bahan bakar hanya membakar dada demonstran
Aku menulis puisi ini Mungkin kau sedang gelisah dalam kecemasan Ketika tiang listrik lebih tinggi daripada tiang bendera Merah putih menjadi warna hitam di limbah-limbah pabrik yang lupa jalan pulang


Aku menulis puisi ini Mungkin kau sedang terheran-heran Para pembesar memperbesar kuak saku mereka Gedung-gedung raksasa dihuni rakyat-rakyat sengsara Rumah-rumah kardus mendengus Oh Nak, aku takut puisiku hangus
Kuwait 3 November 2013


























PutriSakinah

BIODATA
NAMA                  : PutriSakinah
ALAMAT              : GetasPejaten 19 Jati Kudus
TTL                         : Kudus, 09 Januari 1996
SEKOLAH             : SMA MUHAMMADIYAH KUDUS

EMAIL                   : akinap.utri@gmail.com

Putri Akina

TERIAKAN LIRIH

Sengit mentari memancar di atas awan
Sepasang mata menyipit
Di tenggah arus kemacetaan jalan
Memantau derasnya keegoisan
Tak ada senyum hangat menyapa
Manusia menggila dengan hidupnya
Tercabik kenyamanan hidup

Berlinag air mata sang ibu
Malu lihat kebusungan dada para buntutnya
Wajah terpasang memelas
Di belakang seringai sinis  mulai Nampak
Menghina tanpa merajuk

Suara lirih menggema
Tak terima dengan apa yang didapatkan
Meminta supaya disanjung

Tap tak tahu apa arti  sanjungan itu..
TakHenti
Waktutakberhentiberdetak

Jumat, 29 November 2013

Mariyana Hanafi profile

Mariyana,lahir di Marabahan,25 mei 1989.Tinggal di Jalan Anggrek No.22B kelurahan kebun bunga,Banjarmasin. Mulai menulis sejak masih remaja. Beberapa puisinya terangkum dalam antologi bersama diantaranya Balian Jazirah Anak Ladang,Puisi Menolak Korupsi jilid 2,Kepak Sayap satra Banua untuk Kemanusiaan(Aruh Sastra Kalimantan Selatan X,2013),dan Tadarus Rembulan (Aruh Sastra Kalimantan Selatan X,2013). Membaca,travelling dan mendengarkan musik adalah kesenangannya di waktu senggang. Sementara waktu sibuknya dihabiskan sebagai staff administrasi di salah satu perusahaan ekspedisi.


Mariyana Hanafi

Elegi kekosongan ibu

ibu menatap kosong
terdiam di depan kain yang masih berayun
dia mencari putranya
yang dulu sempat ditimang kebersahajaan
tapi kini,entah dimana

oh ibu,tak perlu menunggu anakmu
mungkin dia berpesta di geliat waktu
merayakan titik-titik kemenangan
atau sedang larut pada euphoria reformasi
sudahlah,lebih baik lelap saja pada malam yang masih setia menemanimu

ibu menatap kosong
hatinya pilu,lumpuh
tak lagi mampu mengenali anaknya
dia lupa cara disayangi tapi mampu mengasihi
meski kini keriput menghampirinya
oh ibu,senjamu kini menanti

Banjarmasin,29 November 2013








Ibu di balik rindu

nak,duduklah di sini
kita mengeja senja lagi,seperti dulu
ketika kau merangkak dan terus menatapku
seakan kau meminta restu untuk bergerak

nak, aku rindu memangkumu
menyenandungkan romantisme burung-burung
diantara lirih detak juang yang kau dendangkan
aku rindu kamu ,nak

kini aku tak lagi mengenalimu
mana senayan yang dulu kita agungkan,sayang?
aku melihatnya hingar bingar tanpa sepakat
inikah wajah reformasi yang kau banggakan?

nak, mendekatlah
aku ingin mengecupmu dengan hangat
dengan semangat yang dulu berkibar gagah
seperti kibar sang saka di ujung langit
kemarilah nak,ibu menunggumu

Banjarmasin,29 November 2013





ARSYAD INDRADI RAJA PUJANGGA KALIMANTAN, PAK TUA YANG RAJIN BERSYAIR

ARSYAD INDRADI RAJA PUJANGGA KALIMANTAN,
PAK TUA YANG RAJIN BERSYAIR
ARSYAD INDRADI RAJA PUJANGGA KALIMANTAN,
PAK TUA YANG RAJIN BERSYAIR
Arsyad Indradi lahir di Barabai, 31 Desember 1949. Arsyad Indradi termasuk penyair generasi 1970-an. Menulis puisi baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Banjar. Kumpulan puisi tunggalnya dalam bahasa Indonesia yang sudah terbit, antara lain, Nyanyian Seribu Burung ( 2006a ), Romansa Setangkai Bunga ( 2006b ), Narasi Musafir Gila ( 2006c ),Anggur Duka (2009). Kumpulan puisi tunggalnya dalam bahasa Banjar dan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang sudah terbit, antara lain Kalalatu ( 2006 ) dan Burinik (2009).
Puisi Arsyad Indradi juga dimuat dalam beberapa antologi bersama, antara lain, Jejak Berlari (1970 ), Panorana (1972), Tamu Malam (1992), Jendela Tanah Air (1995), Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang Pemukiman (1997 ), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000 ), Bahana (2001 ), Tiga Kutub Senja (2001 ), Bulan Ditelan Kutu ( 2004 ), Bumi Menggerutu ( 2004 ), Baturai Sanja ( 2004 ), Anak Jaman ( 2004 ), Dimensi ( 2005 ), Puisi Penyair Nusantara : “ 142 Penyair Menuju Bulan (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006),Penyair Kontemporer Indonesia dalam Bhs China (2007),Kenduri Puisi Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008),Tarian Cahaya Di Bumi Sanggam (2008),Bertahan Di Bukit Akhir (2008),Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009),Konser Kecemasan (2010), Akulah Musi (2011), Doa Pelangi di Tahun Emas (2010), Kambang Rampai Puisi Anak Banua (2010), Kalimantan dalam Puisi Indonesia (2011), dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011).
Dari empat kumpulan puisi Arsyad Indradi yang ditulisnya dalam bahasa Indonesia sejak 1970 hingga 2010 Nyanyian Seribu Burung ( 2006a ), Romansa Setangkai Bunga ( 2006b ), Narasi Musafir Gila ( 2006c ),Anggur Duka (2009), suatu hal menarik, melalui puisinya dapat diketahui rangkaian kehidupan yang barangkali memang dekat dengan kehidupan penyair,. Pertama, melalui puisinya dapat diketahui mengenai kota yang dipilih penyair sebagai tempat tinggalnya. Melalui puisi “Aku Suka Kota Ini (2006a:61) penyair mengatakan bahwa kota yang dipilihnya sebagai tempat tinggal yaitu kota Banjarbaru. Mengapa penyair memilih Banjarbaru sebagai tempat tinggal ? Menurut penyair “ tidak seperti kota lain/kota ini mungil/hutan karamunting di sanasini/waktu pagi aku berada di surga burungburung/kala malam sejuta kunangkunang bertebaran/banjarbaru sebuah kota lahir dari rahim gunung apam/di ranahnya kutanam bungabunga cinta”.
AKU SUKA KOTA INI
tidak seperti kota lain
kota ini mungil
hutan karamunting di sanasini
tak ada untung rugi
kubangun rumah di sini
dengan keringat sendiri
waktu pagi aku berada di surga burungburung
kala malam sejuta kunangkunang bertebaran
di wajahmu mengantarkan s’luruh mimpimimpiku
kusenandungkan lagulagu rindu buat sang kekasih
lewat derai dedaunan pinus
banjarbaru sebuah kota lahir dari rahim gunung apam
di ranahnya kutanam bungabunga cinta
banjarbaru, 1978
Melalui puisi “Banjarbaru Kotaku Sayang” (2006a.62) penyair juga mengemukakan beberapa pernyataan mengapa ia memilih Banjarbaru sebagai kota tempat tinggalnya. Penyair mengatakan “jika kau beri aku seribu kota”,katanya “kupilih banjarbaru”. Bahkan penyair mengatakan “jika kau beri aku surga”,katanya “kupilih banjarbaru”. Kemudian penyair mengemukakan alasannya mengapa ia memilih Banjarbaru sebagai kota tempat tinggalnya. Menurut penyair “banjarbaru kota idaman” dan penyair mengatakan “kupersembahkan bungabunga cinta/buat kotaku sayang”.
BANJARBARU KOTAKU SAYANG
jika kau beri aku seribu kota
kupilih banjarbaru
jika kau beri aku surga
kupilih banjarbaru
banjarbaru kota idaman
kupersembahkan bungabunga cinta
buat kotaku sayang
banjarbaru,1978
Khusus mengenai pernyataan seorang penyair mengenai sebuah kota, jauh sebelum puisi di atas ditulis. sebenarnya pernah juga dikemukakan oleh penyair Kalimantan Selatan lainnya. Misalnya D.Zauhidhi melalui puisi “ Kandangan Kotaku Manis” (2004:i).
KANDANGAN KOTAKU MANIS
Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis
Di Kandangan aku dilahirkan
Dibelai timang sang matahari
Dipeluk cium sang rembulan
Di Kandangan aku kenal diri dan cinta
Susah senang seluruh duka
Roma atau Paris
Indah Kandangan kotaku manis
1960
Kembali kepada puisi Arsyad Indradi, sehubungan dengan kota yang dipilihnya sebagai tempat tingggalnya, pada puisi “Taman di Tengah Kota” (2006a:112) penyair menghendaki bahwa pada kota tempat tinggalnya tersebut (Banjarbaru) ada sebuah taman. Melalui taman tersebut, antara lain anak-anak dapat bermain dan bersuka ria. Taman tersebut juga diharapkan sebagai tempat bagi anak-anak untuk mengasah kreativitasnya dan mengembangkan bakat serta minatnya, misalnya melalui melukis.
TAMAN DI TENGAH KOTA

Ada taman di tengah kota
Sejuta impian siapa
Yang tumbuh di sana
Kota tak pernah diam
Dari pesona
Kota melahirkan
Bocahbocahnya dahaga
Taman adalah ranah
Sejuta bunga
Pesta hari anak se dunia
Bocahbocah melukis
Kota idamannya
Di dinding menara
Ada bocah melukis menara
Yang kehilangan madu lebah
Dari bungabunga
Yang susahpayah ditanamnya
Ada taman di tengah kota
Ada sejumlah impian
Yang tumbuh di sana
Banjarbaru,1997
Selain mengemukakan mengenai kota tempat tinggalnya, melalui puisinya Arsyad Indradi juga mengemukakan mengenai rumah yang dihuninya. Hal tersebut dapat dibaca melalui puisi “Rumah Kecilku” (2006a:17) berikut :
RUMAH KECILKU
rumah kecil pohon bergoyang berlagu duka
pintu dan jendela menghadap matahari terbit
lampu berkedip pada dunia berpaut sempit
bulan kecil tiga beranak di dalamnya
angin menyerahkan diri di gorden jendela
segala berderak bila dibuka
bapa terkapar di kaki malambuta
peluh mengucur sepanjang senyum kota
rumah kecil, rumah kecilku
bila kita cerita tentang esok pagi
betapa kejangnya urat nadi
serta kecilnya langit biru di lorong buntu
segala melaju, segala berlagu
pelabuhan siul pelaut
bapa, ibu kita berpacu
biar kita dirajuk mimpi enggan berpaut
banjarmasin, 1970
Membaca puisi di atas, mengenai rumah kecil yang dihuni oleh beberapa jiwa, barangkali mengingatkan pembaca pada puisi Chairil Anwar (1996:50). Meskipun melalui puisinya tersebut Chairil Anwar mengemukakan mengenai sebuah kamar yang sempit yang dihuni oleh beberapa jiwa.
SEBUAH KAMAR
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”
Ibuku tertidur dalam tersedu
Keramaian penjara sepi selalu
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan Bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan :Kamar begini
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!
1946
Terlepas dari “Rumah Kecil”. di kota idamannya dan di rumah yang dihuninya, selain melalukan aktivitas, Arsyad Indradi juga melaksanakan ibadah sekaligus mendekatkan kepada Tuhan terutama pada malam hari. Salah satu puisinya yang mengemukakan mengenai pendekatan dirinya kepada Tuhan, dapat diketahui melalui puisi “Malam Hening” (2006a:71). Bahkan melalui puisi tersebut, dalam beribadah sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan, penyair mengatakan “setiap untai zikir/sukma sejatiku/tak letih menunggu-Mu”.
MALAM HENING
lilin merah berkalikali dipadamkan angin
entah apa setiap kunyalakan
aku ingin dekat denganMu
dedaunan pinus berdesir
kusembunyikan degup jantungku
dalam hamparan sajadahMu
setiap untai zikir
sukma sejatiku
tak letih menungguMu
banjarbaru,1979
Melalui puisi di atas dapat diketahui bahwa waktu yang dipilih penyair dalam beribadat sekaligus mendekatkan diri. Mengapa penyair memilih waktu malam hari ?
Melalui puisi “Pintu Doa” (2009:35) penyair memberikan alasannya. Kata penyair”Mengapa aku memilih malam menemuimu/Agar aku leluasa mencurahkan isihatiku”. Penyair juga mengatakan “ Di tengah malam yang sunyi yang maha gulita/ Tapi maha bercahya di mataku/ Kurebahkan rinduku di pangkuanmu/ menumpahkan airmataduka/Yang terperangkap dalam dusta dunia”.
PINTU DOA
Mengapa aku memilih malam menemuimu
Agar aku leluasa mencurahkan isihatiku
Begitu ramah membuka pintu setiap aku mengetuk
Di tengah malam yang sunyi yang maha gulita
Tapi maha bercahya di mataku
Kurebahkan rinduku di pangkuanmu
Menumpahkan airmataduka
Yang terperangkap dalam dustadunia
Berkalikali aku datang padamu
Agar aku kaulahirkan kembali
Merindukan tangisan bayi
Yang tak pernah dusta menyerumu
Bbaru, 2008
Melalui puisi di atas, Arsyad Indradi juga mengemukakan mengenai harapannya kepada Tuhan. Sebagaimana ditulisnya pada bait terakhir, ”Berkalikali aku datang padamu/ Agar aku kaulahirkan kembali/ Merindukan tangisan bayi/ Yang tak pernah dusta menyerumu”. Secara tersirat penyair berharap agar ia kembali suci seperti ”bayi yang baru dilahirkan”. Sementara melalui puisi ”
AKU LARON YANG MENCARIMU
DALAM CAHAYA ITU
JANGAN KAU PADAMKAN LAMPU
gerimis semakin menebarkan sepi
semakin jauh ke perut bumi dan
impian yang digantungkan pada diri
bergetar dalam lindap bayangbayang
di sudutsudut ruang yang gelisah
dan memaya ujudnya tapi terasa
menyentaknyentak tak henti
membiarkan rinduku menggelepar
pada sayapsayap luka dalam perjalanan
yang teramat panjang dan betapa letih
dan beribu bisik yang teramat asing
lalu seketika terbaring dengan
kerongkongan kering
dan sampaikah menggapai kendi itu :
aku laron yang mencariMu
dalam cahaya itu
jangan Kau padamkan lampu
banjarbaru, 1999
Mengenai harapan penyair melalui doanya kepada Tuhan, juga dikemukakan penyair melalui puisi “Tuhan Jangan Kau Sembunyikan Doaku” (2009:8). Lewat puisi tersebut penyair mengatakan “Duhai jagat, aku tak pernah mau terajal sedikitpun/Pada sekalian dusta semesta/ Sebab aku pada diri sendiri/ Selamat tinggal pada Fatamorgana”. Kemudian, puisi tersebut ditutup penyair dengan suatu harapan, sebagaimana judul puisi tersebut, “Tuhan jangan kau sembunyikan doaku”.
TUHAN JANGAN KAU SEMBUNYIKAN DOAKU
Darahku seperti alapalap bersayapangin
Begitu isak kecil membuka pintu yang lama terkunci
Jemputlah anganmu yang terbengkalai
Aku tumpah dari perjalananmu yang panjang
Tumpah dari lukalukarindumu
Setiap jalan bersimpang kau bergumul dengan bimbang
Di batubatu kehidupan kau tulis riwayat impian
Sebelum matahari keburu terbenam
Duhai jagat,aku tak pernah mau terajal sedikitpun
Pada sekalian dusta semesta
Sebab aku lahir pada diriku sendiri
Selamat tinggal pada fatamorgana
Kubaca isak dis’luruh tapaktapakkakiku
Dan tak letihletih menulis aksaranamamu
Tuhan jangan kau sembunyikan doaku
Serpong – Tangerang, 2007

Kamis, 28 November 2013

Wulan Ajeng Fitriani

Rindu Ibu dan Setia Negaraku

Dan aku masih merindu
Ketika Bapak Indonesiaku mengadu
Menggeluti akal dengan krisisnya jiwamu
Berfikir untuk maju
Meski otak telah menjadi abu

Dan aku masih merindu
Ketika Presidenku dulu
Menyeberangkanku
Dari era demokrasi terpimpin
Menuju zaman orde baru

Dan aku masih merindu
Saat Bapak menyelimutiku
Menggenggam dan mendekap negaraku
Sembunyi dari mentari yang menyengatku
Sembunyi dari badai yang merapuhkanku

Dan aku masih merindu
Walaupun ku tak melihat dalam tatapan mataku
Aku tau semua yang kau tau
Dari saksi jiwa yng mengasihiku
Dari saksi mata yang membesarkanku

Oh bapak, daku masih merindumu
Rindu indonesiaku yang dulu
Meski ku tak pernah melihat dengan mata hatiku
Pun! Aku rindu ibuku
Yang menjadi saksi berkembangnya Indonesiaku
Yang menorehkan cerita masa lalu
Melalui tinta hitam di atas secarik kertas  layu
Aku merindu setiaku
Jiwa ibu dan raga Indonesiaku







Jujur Tlah Dikubur

Ibupun ternganga
Tak menyangka
Hidup seberapakah kita di alam fana?
Mengapa tikus-tikus liar itu masih berdiri tegak disana?
Bagai pembantu yang menilap uang majikannya
Nampak kacang yang lupa kulitnya
Mengendap – endap mengambil jatah rakyat
Menilap rizki umat

Dan ibu masih termangu
Patahnya:
Dulu di era Rezim Soeharto
Kita tentram makmur, sejahtera selalu
Serasa angin di udara yang mengalun merdu
Berseok-seok bersama mentari yang mungil
Di bawah purnama yang rindang

Jauh dari masa ini
Tekanan dari pemerintah yang otoriter
Dan kondisi ekonomi yang krisis
Membuat tikus-tikus berkeliaran dimana-mana
Hukum tak membuat mereka jera
Bahkan tikus semakin merajalelara
Kebohongan dipelihara dan dibangga
Kejujuran sia-sia dikubur masa
Sungguh, ibu turut berduka
Indonesia tak lagi mengenal kita
Indonesiaku yang dulu, dimana?


Biodata
Nama                       : Wulan Ajeng Fitriani
Usia                         : 14 tahun
Jenis Kelamin           : Perempuan
Sekolah                    : MA NU Miftahul Falah Cendono Dawe Kudus
Alamat                     : Lau Dawe Kudus
Tempat/Tanggal Lahir :Kudus/18 Januari 1999

AGUS WARSONO (RG BAGUS WARSONO} PENGASUH BAHASA INDONESIA YANG BENAR)

Roosetindaro Baracinta

  • Percakapan dimulai hari ini




  • Setelah reformasi, korupsi merajalela. Kelaparan, kemiskinan semakin menjadi. Perebutan kekuasaan ada dimana-mana, Indonesia seakan hilang.
    NEGERI (YANG) HILANG I
    inikah wajah Indonesia muram, pucat pasi bau anyir darah di setiap penjuru inikah tubuh Indonesia begitu dekil dan kotor sumpah serapah terdengar membahana inilah rakyat Indonesia yang mati sebelum ajal Tangerang, 17 Juni 2013
    NEGERI (YANG) HILANG II
    ibuku, ibu bumi menangis tanpa isak airmatanya merah, darah luka di sekujur tubuh sayatan pedih, hijau yang hilang ibuku, ibu bumi tiada kesempatan napas lagi asap-asap menyesakan keadilan yang mati ibuku, ibu bumi tanpa daya, tercerabut nyawa oleh elit berdasi luka di atas luka negeri yang hilang Tangerang, 12 Juli 2013
    HILANG DALAM SEBUAH ATLAS
    kesombongan telah meruntuhkan sebuah kota sungai-sungai menghitam bumi penuh sampah aliran laju kendaraan tiada henti ini adalah kota yang hina bukan karena perempuan lacur yang tiap siang-malam menjajakan diri tapi, karena elit berdasi sang penguasa tak lagi peduli runtuh, mati adalah kota yang hilang tak ada lagi meskipun dalam sebuah atlas Depok, 12 September 2013
    LAPAR
    piring, sendok, garpu, gelas kosong, jatuh pyar Surabaya, Januari 2013
    SEORANG BOCAH BERTANYA TENTANG KORUPTOR
    seperti rumput liar tercerabut akarnya masih tertinggal oleh matahari tumbuh lagi telah mendarah daging hanya kematian memisah di desa maupun kota di jalanan, pasar, kantor, sekolah, rumah sakit sampai instansi pemerintah merambah hingga terdalam begitu busuk menyengat bagai onggokan sampah hanya api yang bisa memusnahkan ya......kematian dan api Tangerang, 5 Juli 2013
    MONYET BERDASI
    aku lihat monyet berdasi di lembaga kita, memperebutkan pisang mereka berjingkrak kegirangan ketika kota menjadi ladang pisang Depok, 29 Mei 2013
    Diana Roosetindaro, lahir di Kartasura, 22 November 1969. Sejak kecil suka melukis dan menulis. Pernah bergabung di Sanggar Teater Gidag Gidig Surakarta (1986) dan Surya Sine Studio Jakarta (1989-1990). Tahun 1995, melakukan atraksi melukis dengan rambut yang disiram cat serta pameran lukisan secara tunggal bertajuk Cinta di THR Surabaya. Dalam tahun yang sama mengikuti lomba drama lima kota di Cak Doerasim Surabaya. Saat ini mulai menggeluti dunia puisi setelah tiga belas tahun tak dijamah. Yang menjadi obsesinya dapat berarti dan memberi arti bagi dunia seni. Beberapa puisinya tergabung pada antologi puisi bersama; Kartini masih disitukah kau? (April 2013), Mei Wulan (Mei 2013), Pancasila Mencinta (Agustus 2013), ketiganya diterbitkan Penerbit D3M Kail-Tangerang. Puisi Menolak Korupsi 2a dan 2b penerbit Forum Sastra Surakarta.
    Saat ini tinggal di toko subur jalan jendral akhmad yani 56 kartasura no hp. 083878874769 fotonya dapat diambil di profilku, kawan