TEKS SULUH


Kamis, 31 Oktober 2013

FATIN HAMAMAH

FATIN HAMAMAH

Al Hadid
by Fatin Hamamah

Ketika sepotong besi jadi tombak
besi tak pernah tahu
untuk apa dia dijadikan tombak

ketika sepotong besi jadi pisau
pisau tak pernah tahu
untuk apa dia jadi pisau

ketika sepotong besi jadi peniti
peniti tak pernah tahu
untuk apa dia jadi peniti

kecuali suatu hari tombak
di jadikan alat pembunuh
dan bersarang di jantung kini
tombak mengeluh
aku tak ingin jadi seperti ini

demikian pisau
ketika menemukan dirinya
di leher sebagai penebas
pisau mengaduh
aku tak bercita-cita begini

Ketika besi-besi yang menjadi senjata
berubah fungsi
diam-diam peniti mensyukuri
aku menjadi penyemat baju
seorang sufi setiap hari aku dibawa
rukuk sujud dan mensyukuri
nikmat Tuhan yang diberi
aku tak ingin patah
biar berkarat aku kini

Jakarta Des 2000.
Fatin Hamamah

FARRA YANUAR

Farra Yanuar

EVI IDAWATI

Evi Idawati suarakarya-online.com/9 April 2011 Fatima hidup dengan tiga anaknya sendirian di rumah kecil yang ditinggalinya sejak dua tahun yang lalu. Sebelum waktu dua tahun, orang mengenalnya sebagai perempuan yang sukses. Hidupnya berlebihan dengan harta benda yang berlimpah. Dia mempunyai usaha yang dikelola bersama suaminya. Cabangnya hampir di semua propinsi Negara.

Dianing Widya Yudhistira

Dianing Widya Yudhistira (lahir di Batang, Jawa Tengah, 6 April 1974; umur 39 tahun) adalah seorang sastrawati Indonesia. Mengawali debutnya sebagai penulis puisi, cerita pendek, dan resensi buku sejak 1992, dipublikasikan di berbagai media massa antara lain Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Nova, HorisonWawasan, Cempaka, Suara Merdeka, Memorandum, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Waspada, Serambi Indonesia, Suara Nusa, Bali Pos, Majalah GEN dan Tunas Cipta (Malaysia), dan Bahana (Brunei Darussalam)

Tahun 1996 diundang dan mengikuti “Mimbar Penyair Abad 21” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Desember 2003 diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk baca puisi dalam forum “Temu Sastra Jakarta”. Kini Dianing Widya tinggal di Perumahan Vila Pamulang, Blok Dj-7/8, Pondok Petir, Sawangan, Depok 16517
Dianing Widya Yudhistira (lahir di Batang, Jawa Tengah, 6 April 1974; umur 39 tahun) adalah seorang sastrawati Indonesia. Mengawali debutnya sebagai penulis puisi, cerita pendek, dan resensi buku sejak 1992, dipublikasikan di berbagai media massa antara lain Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Nova, HorisonWawasan, Cempaka, Suara Merdeka, Memorandum, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Waspada, Serambi Indonesia, Suara Nusa, Bali Pos, Majalah GEN dan Tunas Cipta (Malaysia), dan Bahana (Brunei Darussalam)

Tahun 1996 diundang dan mengikuti “Mimbar Penyair Abad 21” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Desember 2003 diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk baca puisi dalam forum “Temu Sastra Jakarta”. Kini Dianing Widya tinggal di Perumahan Vila Pamulang, Blok Dj-7/8, Pondok Petir, Sawangan, Depok 16517

D Kemalawati

D. Kemalawati, beliau adalah penulis puisi kelahiran 1965 dari kota Meulaboh yang porak poranda oleh tsunami 2004.
D. Kemalawati, beliau adalah penulis puisi kelahiran 1965 dari kota Meulaboh yang porak poranda oleh tsunami 2004.

Delasari Pera

Delasari Pera

Cok Sawitri



Cok Sawitri lahir di Sidemen, Karangasem, Bali, 1 September 1968, kini tinggal di Denpasar, Bali. Pertengahan tahun 2006, ia berkolaborasi dengan Dean Moss dari New York dalam acara Dance Theater.

Selain sebagi aktivis teater, Cok juga menulis beberapa artikel, puisi, cerita pendek dan juga aktif dalam aktifitas budaya sosial sebagai pendiri Forum Perempuan Mitra Kasih Bali ditahun 1997 dan Kelompok Tulis Ngayah ditahun 1989. Cok tercatat sebagai salah satu dari penasehat The Parahyang untuk majelis Desa Pekraman atau desa dat) di Sidemen, Karangasem, Bali. Ia juga aktif dalam organisasi yang bergerak dalam bidak perempuan dan kemanusiaan sampai grup-grup teater di Bali.

Menurutnya teater di Bali sangat berbeda dari teater lain di Indonesia, atau di dunia pada umumnya. Perbedaan yang sederhana adalah teater di Bali sangat berdasarkan pada proses kreatif budaya di pulau tersebut. Pertunjukan di Bali umumnya menampilkan kekuatan dan semangat.

Karya-karya dari Cok sawitri adalah Meditasi Rahim tahun 1991, Pembelaan Dirah dan puisi Ni Garu tahun 1996, Permainan Gelap Terang ditahun 1997, Sekuel Pembelaan Dirah pada tahun 1997, Hanya Angin Hanya Waktu tahun 1998, Pembelaan Dirah pada festival monolog tahun 1999 di Bali, Puitika Melamar Tuhan tahun 2001, Anjing Perempuanku, di Denpasar, Singaraja, Karangasem dtahun 2003, Aku Bukan Perempuan Lagi tahun 2004, Badan Bahagia, bagian dari wisuda Gumi, episode pertama dari Pembelaan Dirah di Ubud, dan Pusat Seni Provinsi Bali pada tahun2005.

Alya Salaisha-Sinta

Alya Salaisha-Sinta

Alina Kharisma

Alina Kharisma

Perempuan Penyair Indonesia terkini

Ayo siapa menyusul


Abidah el Khaleiqy
Akidah Gauzillah
Alina Kharisma
Alya Salaisha-Sinta
Ana Westy
Ariana Pegg
Cok Sawitri
Dalasari Pera
D. Kemalawati
Dhenok Kristianti
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dianing Widya Yudhistira
Divin Nahb
Elis Tating Bardiah
Endang Werdiningsih
Evi Idawati
Fanny J. Poyk
Farra Yanuar
Fatin Hamama
Fitriani Um Salva
Frieda Amran
Hanna Fransisca
Hanna Yohana
Helvy Tiana Rosa
Heni Hendrayani
Hudan Nur
Imelda Hasibuan
Inung Imtihani
Ira Ginda
Kalsum Belgis
Lina Kelana
Medy Loekito
Nadine Angelique
Nana Riskhi Susanti
Nella S. Wulan
Nenden Lilis A.
Nening Mahendra
Nia Samsihono
Nona G. Muchtar
Novy Noorhayati Syahfida
Nurani Lely Metta Widjaja
Oka Rusminii
Pipiek Isfianti
Puput Amiranti
Qurrota A’yun Thoyyibah
Ramayani Riance
Ratna Ayu Budhiarti
Ratu Ayu
Rika Istianingrum
Rini Febriani Hauri
Rini Ganefa
Rita Oetoro
Rita Sri Hastuti
Rukmi Wisnu Wardani
Sandra Palupi
Sartika Sari
Sendri Yakti
Seruni Tri Padmini
Shinta Miranda
Sirikit Syah
Sri Runia Komalayani
Sus Setyowati Hardjono
Susy Ayu
Weni Suryandari
Wiekerna Malibra
Winarti Juliet Vennin
Yvonne de Fretes
Zubaidah Djohar

Minggu, 27 Oktober 2013

KOPRAL DALI TAK MAU NAIK PANGKAT cerpen karya Rg Bagus Warsono

SAMBUT HARI PAHLAWAN 10 NOFEMBER 2013

KOPRAL DALI TAK MAU NAIK PANGKAT
Kopral Dali adalah seorang prajurit TNI yang gugur di Indramayu.
Kopral Dali kini merupakan nama sebuh jalan di Indramayu.
Kopral Dali gugur di usia masih sangat muda, karena itu pangkat pun masih rendah.

Berkikut cuplikan cerpen karya RgBagus Warsono

//Begitu kopral itu melewati kerumunan prajurit yang berkumpul di gardu jaga, semua pembicaraan diam seketika, mata ketua kelompok prajurit itu terbelalak melihat penampilan Kopral Dali. Bukan hanya tampan (bak Koes Hendratmo) , namun juga gagah (bak Wiranto Muda), apalagi Dali diiringi dua temannya yang mungkin anak buahnya. Tapi bukan karena itu sebetulnya. Ketua kelompok itu memperhatikan Dali karena sandangan Dali menggunakan sebuah pistol. Ya pistol yang kala itu merupakan sebuah idaman bagi setiap prajurit.
"Bagaimana kalau kita lapor saja pada Sentot bahwa Dali Punya pistol", kata teman pemimpin kelompok itu. Pemimpin kelompok itu diam sambil mengelus-elus keris di pinggangnya. "Kan Sentot , hanya pistol Belanda yang besar?" kata orang itu meyakinkan. "Benar Juga katamu, Tok, biar aku naik pangkat Sersan kata pemimpin kelompok yang diketahui bernama Darja itu.//...............
//Komandan memanggil saya? kata Dali gugup. "Ya" Sentot mempersilahkan dali duduk. "Siap"// ............... //'Berikan pistol itu padaku, dan abil pistol di kastok itu untukmu!" perintah Sentot sambil menunjuk pistol dengan sarungnya yang digantung di kasok. Kemudian kamu sekarang Letnan!!
"Tidak!" kata KOPRAL Dali sambil memberi hormat dan keluar ruangan komandannya.//

KEKERASAN , CERPEN PUTU WIJAYA

KEKERASAN                                                          putu wijaya
Warga menyerbu rumah Afandi. Ada kabar burung pelukis itu adalah bandar pornographi. Ketika massa menemukan lima buah lukisan bugil, kontan diseret ke lapangan. Lalu sambil berteriak-teriak lukisan dibakar beramai-ramai.
Afandi mencoba untuk mempertahankan haknya. Tetapi ia langsung digebuk babak belur. Rumahnya nyaris dibakar. Untung saja istrinya kemudian menyembah dan meminta ampun pada pimpinan massa.
“Tetapi dalam waktu 3 kali 24 jam, kamu harus minggat dari sini. Kalau kamu nekat masih berkeliaran berarti menantang! Akan kami sikat habis, sebab kami tidak mau hidup berdampingan dengan manusia bejat yang otaknya dikendalikan oleh setan!”
Istri Agandi menangis tersedu-sedu. Itu dianggap sebagai persetujuan.
Afandi sendiri tak mengatakan apa-apa. . Tetapi air matanya tetes karena lukisan yang merupakan pantulan hati nuraninya hangus. Ia merasa dirinya ikut terbakar mati. Seluruh kegairahan hidupnya lenyap. Ketika istrinya membereskan barang-barang karena takut digempur lagi, Afandi tetap saja diam.
Pelukis itu kemudian pindah ke kota. Tetapi hidupnya sudah ditakdirkan tidak tenang. Setiap hari ia didatangi oleh para wartawan yang haus berita. Semuanya mengorek-orek apa sebenarnya yang sudah terjadi. Seakan-akan bukan mencari fakta tapi ingin mencari apa yang mereka harapkan terjadi.
Afandi yang sudah lemas jiwa-raganya, selalu menghindar. Dia bukan jenis pahlawan atau pemberontak. Ia cenderung lari dari kepungan mata kuli tinta itu. Publikasi berbahaya. Karena itu akan mengundang malapetaka. Ia ingin banting stir, berhenti menjadi seniman. Lebih baik hidup tertindas daripada mati konyol, karena anak-anaknya masih kecil.
Tetapi istri Afandi yang merasa disakiti secara tidak adil, sebaliknya. Ia menuturkan kekerasan yang dideritanya secara panjang lebar sampai ke ketiak-ketiak peristiwa dengan sangat rinci. Ia seperti bisa menghitung jumlah air matanya yang tumpah dan berapa memar yang diderita oleh suaminya karena tamparan, tendangan dan pukulan. Ia juga hapal semua kata-kata yang diucapkan oleh massa yang menggerebeknya.
“Lima buah lukisan yang yang harganya satu milyar sebuah dibakar seperti barang-barang maksiat. Kami diusir dan diancam akan dibunuh kalau masih tinggal di rumah yang kami beli dengan menjual semua harta warisan kami di kampung. Anak-anak putus sekolahnya dan sampai sekarang belum dapat sekolah lagi. Suami saya juga sudah berhenti melukis.”
“Kenapa?”
“Sebab dia tidak bisa melukis yang lain.”
“Tidak bisa atau tidak mau?”
“Tidak bisa dan tidak mau.”
“Kenapa?”
“Dia hanya mau dan hanya bisa melukis orang telanjang.”
“O jadi suami ibu betul-betul pelaku pornographi?”
Istri Afandi terkejut. Wartawan cepat-cepat menjelaskan.
“Pornographi adalah semua usaha untuk memperlihatkan gambar telanjang yang berarti kecabulan. Apa betul suami ibu bandar kecabulan?” tanya wartawan memancing.
Istri Afandi masih belum selesai terkejut.
“Gambar telanjang apa saja yang sudah dibakar itu?”
“Gambar anak-anak saya.”
“Hanya itu?”
“Gambar suami saya sendiri.”
“Yang tiga lagi?”
“Gambar saya.”
“Yang lain?”
“Gambar orang tua.”
“Siapa dia? Pemimpin kita?”
“Kata suami saya itu Bisma yang dalam pewayangan berkorban untuk bangsa dan negara.”
“Terus yang lain?”
“Yang kelima?”
“Saya tidak tahu.”
“Laki atau perempuan?”
“Seperti laki-laki seperti perempuan.”
“Banci?”
“Bukan.”
“Mirip siapa?”
“Tidak tahu. Kata suami saya sih, itu hati nurani.”
Wartawan terkejut.
“Tuhan?”
Istri Afandi bengong dan langsung menutup mukanya ketika ada kilat cahaya lampu pijar dari para wartawan bertubi menghajar wajahnya. Esoknya sebuah berita muncul mengegerkan.
“Tuhan dibakar!”
Rumah Afandi yang sudah berhenti melukis kembali diserbu. Para pembaca koran marah. Yang mendengar berita itu lewat mulut orang lain juga marah. Massa yang dulu menyerbu rumah Afandi juga mendidih darahnya.
“Gila dasar budak setan! Belum kapok juga dia. Habisi saja!”
Mereka lalu berangkat ke kota dengan tekad bulat untuk membuat Afandi benar-benar bertobat. Tetapi begitu samnpai di pemukiman Afandi yang baru, mereka hanya menemukan puing-puing. Rumah kontrakan itu sudah tersikat habis oleh api berikut seratus rumah lain di sekitarnya. Konon karena ada yang sembarangan membuang puntung rokok.
“Pemburuan terhadap pelukis telanjang melalap 100 rumah warga yang tidak berdosa!” kata seorang penyiar.
Para petugas keamanan berkeliaran di antara puing-puing dan kerumunan orang yang menonton sisa musibah itu. Ketika mereka menemukan sejumlah orang asing dari luar kota – di antaranya ada yang membawa senjata tajam, langsung diamankan. Kelompok orang itu tak sudi ditangkap. Mereka menolak dan melawan. Akhirnya terjadi bentrokan yang memakan korban jiwa.
“Ini pembelajaran demokrasi!” kata seorang pengamat.

Sabtu, 26 Oktober 2013

IKUTI DOKUMENTASI PUISI PEREMPUAN INDONESIA Sumbangsih puisi untuk Indonesia KABAR GEMBIRA UNTUK PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA

RALAT PEMBERITAHUAN : 
1. Karena tidak bersifat lomba, puisi tidak diseleksi.
2. Penyeleksi diganti menjadi pemberi kata pengantar/esai.
3. Penyelenggaraan adalah murni kegiatan sastra.
4. Pengiriman naskah dapat melalui Grup facebook Sastrawan 
Indonesia ini.
5. Tujuan pembuatan buku ini adalah untuk dokumentasi biasa 
dan menghindari kepentingan yang bersifat pribadi , narsis, 
atau politik dan menjunjung kreatifitas berpuisi.

IKUTI DOKUMENTASI PUISI PEREMPUAN INDONESIA
Sumbangsih puisi untuk Indonesia
KABAR GEMBIRA UNTUK PEREMPUAN  INDONESIA

MENYAMBUT HARI IBU 22 DESEMBER 2013
HIMPUNAN MASYARAKAT GEMAR MEMBACA (HMGM) INDONESIA
MENYELENGGARAKAN DOKUMENTASI PUISI PEREMPUAN  INDONESIA
DOKUMENTASI PUISI UNTUK ANTOLOGI PUISI “IBU INDONESIA”
BERTEMA:
“SAKSI IBU MELIHAT INDONESIA DI ERA REFORMASI”
Sarat Peserta :
Penyair adalah berjenis kelamin perempuan
Kirimkan 1-5 buah puisi terbaru sesuai tema pada : agus.warsono@ymail.com/gus.warsono@gmail.com/grup facebook Sastrawan Indonesia ini berikut biodata singkat serta fotho, dan alamat tempat tinggal dapat melaui email di atas.
Puisi diterima akan ditampilkan dalam grup facebook Sastrawan Indonesia
Puisi harus masuk paling lambat 1 Desember 2013
Panitia menunjuk untuk memberi kata pengantar/esai menyoroti isi buku terdiri dari 2 sastrawan 2 sastrawati terkenal yang akan ditunjuk HMGM Indonesia
Puisi diterima (laik terbit) menjadi isi buku antologi Ibu Indonesia
Pengumuman puisi laik terbit tanggal 10 Desember 2013 melaluiwww.ayokesekolah.com dan majalahsuluh.blogspot.com
Peserta dengan puisi yang menjadi isi buku akan dikirim 2 buah buku antologi puisi tersebut kealamat peserta fia pos tertanggal 22 Desember 2013.
Buku antologi puisi ini tidak diperjual-belikan tetapi untuk dokumentasi Penyair Perempuan Indonesia di Perpustakaan HMGM Indonesia yang beralamat di Jl. Alamanda Merah No. 6 Perumahan Citra Dharma Ayu (Sanggar Sastra Meronte Jaring} Indramayu-45211
Peluncuran buku akan dilaksanaan secara sederhana dan ditentukan waktunya kemudian. (mengingat anggaran untuk peluncuran buku tidak disediakan)
Kabar kegiatan ini selanjutnya akan disampaikan secara berkala melalui grup facebook Sastrawan Indonesia.
Peserta tidak dikenakan biaya apa pun (GRATIS)
Panitia menerima sumbangsih berupa saran (bukan kritik) untuk lebih sempurnanya kegiatan ini, serta menerima sumbangan dari donatur dalam bentuk apa pun untuk acara launching buku agar menarik.
Panitia : ANTOLOGI PUISI SAKSI IBU MELIHAT INDONESIA DI ERA REFORMASI “IBU INDONESIA”
Koordinator
Rg. Bagus Warsono, SPd.MSi.

SULIS BAMBANG, KATANYA DALAM PUISI : HUJAN DI HALAMAN RUMAH BESAR


Anak-anak itu tetap saja bermain hujan-hujanan, merasakan dinginnya air hujan yang turun dari langit, membasahi badannya yang setengah telanjang. Kegembraan mereka menjadi-jadi saat mereka bisa saling ciprat-cipratan dengan genangan air yang ada di tengah halaman itu. Teriakan teriakan senang kala temannya tercipratoleh air genangan, dan yang terciprat sibuk menutup mukanya agar air kotor itu tidak mengenai muka, terutama matanya.

Saking senangnya, ke tiga anak itu tak merasakan betapa dingin air hujai sore itu, mereka sibuk dengan berlari- lari dan sesekali menabrakkan tubuh mereka satu dengan yang lain, menimbulkan bunyi lucu, membuat mereka merasa kuat dan hangat. Saat suara adzan mahgrib terdengar dari mikrofon masjid, merekapun saling pandang, dan sama-sama berteriak “mulih”. Ketiganya belari cepat ke rumah masing-masing.

Halaman rumah besar itu kembali kosong, pintu gerbangnya yang setengah terbuka hanya diam dalam guyuran hujan yang semakin deras. Semakin sepi saat gelap mulai menelan senja. Hanya bunyi  air mengucur dari talang depan rumah yang bocor menimpa bangku kayu yang sudah setengah reyot. Rumah besar itu semakin gelap dikungkung malam.

Jalanan sepi,  hujan masih saja riang menyiram bumi
Anak anak meringkuk berselimut sarung
Merajut mimpi dalam dekapan bunda
Kehangatan yang sempurna
Sementara rumah besar itu
Cuma membisu
tercekik oleh rindunya
pada penghuni cinta merana
ditinggal mati kekasihnya

*) Sulis Bambang, Penyair dan praktisi kebudayaan menggerakan gairah kesenian dan kebudayaan di berbagai kota di Jawa Tengah Dan Jawa Timur

Jumat, 25 Oktober 2013

KOTA-KOTA BERLARIAN karya Dian Hartati

sebuah gerbang telah dibuka
jalan menuju arah lain
warna hidup yang kian ramai
jangan lupakan hari-hari kemarin
kenangan telah menyatukan kita
dalam obrolan panjang
kisah tentang rumah dan kerabat
akan kuperhatikan langkahmu
dari gerbang yang berbeda
agar kita tetap saling berkunjung
melihat kota-kota berlarian

 
SudutBumi, 2013

Dimuat Jawa Pos, 14 Juli 2013
Dian Hartati (lahir di Bandung, Jawa Barat, 13 Desember 1983; umur 29 tahun) adalah seorang penyair perempuan. Bergiat di dunia kepenulisan sejak tahun 2002. Desember 2005 mengikuti workshop penulisan cerpen yang diadakan oleh Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga, bekerja sama dengan Creative Writing Institute (CWI) di Jakarta. Juli 2006menjadi peserta workshop Bengkel Kerja Budaya: Belajar Menulis Sejarah Sosial Masyarakat yang diadakan oleh Lafadl dan Desantara di Yogyakarta. Mengikuti Workshop Penulisan Kritik, Esai, dan Jurnalisme Sastra yang diadakan oleh Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta (2008).

Ning Ida



ITU..! PEDATI TUA... TERONGGOK DI BIBIR SAWAH, MENGUNING, MENGONTRAS LANGIT, MERAH SAGA... JIKA KAU LUPA, PEGANG TANGANKU ! JUGA UJUNG BAJU AYAH YANG SUNYI, AGAR MENUNTUNMU... MENEMUKAN JALAN PULANG KE LADANG ABADI...

PROFIL HANNA FRANSISCA


*Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia), lahir 30 Mei 1979, di Singkawang, Kalimantan Barat. Jatuh cinta dengan bacaan sastra dan aktif menulis di dunia maya. Tulisan-tulisan motivasinya bisa dijumpai diandaluarbiasa.com. Menulis puisi dan prosa. Puisi dan cerpennya dimuat di Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka, Malang Pos, dan sejumlah majalah sosial. Kumpulan puisinya terbit pada April 2010 dengan judul Konde Penyair Han (Penerbit KATAKITA). Cerpen-cerpennya diterbitkan dalam antologi Kolecer & Hari Raya Hantu (Juni 2010). Selain aktif di organisasi sosial dan profesi Lions Club Jakarta Kalbar Prima, ia adalah seorang pengusaha yang mengelola bisnis di bidang otomotif. Hingga kini, ia menetap di Jakarta.

Hutang Budi Ibu karya Sandra Palupi sastrawati asal Semarang












Belahlah aku ibumu,
ibu yang tak sempurna.
Belalah hakmu, anakku
anak yang selalu sempurna,
di mata ibu
di mata ibu.

Bukan kau, tapi Ibu
yang hutang budi
di dunia ini
lahirkanmu adalah
kutukan pertama kehidupan
yang bagimu, kuberikan.

Maaf, maafkan ibu
bila dunia, tak bisa kujanjikan keindahannya
tak sanggup kutagih kekuatannya untukmu
agar kau dapat melawan balik,
atau setidaknya berjalan bersama
tapi malah,
kesemuanya bagimu, jadi
terlalu memerahperihkan. Maka.
Maafkan Ibu.

Nak, bila kau pilih
jalani hidup sebagaimana adanya
tanpa ingin sengaja mengakhirinya di tanganmu sendiri
meski rusak, luka kelam, terselip tak terperi
ketahuilah,
saat itu hutang budi Ibu mulai terlunasi
berkat semangat memanggul hidup
yang nyasar.


Sandra Palupi, Lahir di Jakarta, 1 April 1976. Mari bebas berkarya. Saling bagi, saling isi. Kita mengembara bersama
Semarang, 2012

Serimpi Oleh : Lara Prasetya

Serimpi
Oleh : Lara Prasetya

Telah lupa berapa umur ranting
ketika daun kenanga kuntum
bibirnya merah ranum, ia kagum
lelaki  pelamun pun senyum

Sejak kapan asmara semi?
kakikaki langsing menari srimpi,
lengannya sibak selendang,
lelaki penyamun pun gandrung

Dibawah atap limasan ia kesiap
perempuan biru lenggaklenggok
lelaki tanah menggeliat
esok kukirim sapa, aku tresna, Dik

Pada sudut pengilon:
Bathok, Gulu, Dhada lantas Buncit
sipusipu mengulum pongah
"Gemulai mata angin sesatkan mereka, yo Jeng!
2013
*) Nama Pena: Lara Prasetya
Biodata: Kelahiran Jakarta 24 Desember 1970, menetap di Bali.
Pekerja paruh waktu pada perusahaan Perancis sebagai Wood Quality Control.
Aktivis Kemanusiaan di Lembaga Bhinneka Indonesia
Beberapa puisinya terdapat di Antologi Puisi Menolak Korupsi, Antologi Indonesia Dalam Titik 13

Canting cinta

Canting cinta 
kubakar dari bara
rindu arang 

cantingmu memberi warna
kain putihku
warnailah aku sesukamu
dengan garis atau lengkung
kulum senyummu
dan aku setia dalam hiasanmu
apapun itu
aku suka

canting cinta
mekarkan truntum-truntum 
menuntun kuntum-kuntum
melati tak harus berdarah
tak kan lagi airmata sunyi

sebab cantingmu
selalu kubawa pergi
kemana pun 
aku ingin menjadi malam 
yang meleleh setiap malam leleh lelah
cumbuiresah gelisah

canting cinta:
apa kau juga setia pada malam ?

sragen, 27 April 2012

Kamis, 24 Oktober 2013

BIBIR BIRU

Oleh Naning Pranoto
BIBIR BIRU

Kulihat ratusan ribu bibir biru di layar kaca saat gelar konser World Cup 2010 Opening Ceremony di Orlando Stadium di Soweto Johannesburg Afsel 11 Juni lalu. Bibir-bibir biru itu mengingatkanku pada gadis bernama Robben. Aku memanggilnya: Bi-Bi. Nama lengkapnya, Robben Rolihlahla Mvezo Umtata.

“Namamu panjang sekali. Sulit kuingat!” komentarku spontan, ketika Bi-Bi, bola matanya yang hitam berkilau membelalak. “Padahal, itu nama bertuah.”

“Oya? Coba jelaskan,” pintaku serius. Aku ingin mengenalnya lebih jauh.

“Okey!” bibirnya yang biru menguak lebar, deretan gigi putih tampak berkilau – kontras dengan kulitnya yang sehitam arang.

“Sure. Agar kita akrab, jadi sahabat.”

Sahutku sepenuh hati. Aku memang ingin punya sahabat gadis dari Benua Hitam, tepatnya dari Afrika Selatan.

“O… great! Aku juga. Persahabatan itu itu kado istimewa dari Tuhan.” Ia memelukku erat. Tubuhnya beraroma lavender. Siang itu kami duduk di bawah pohon gums, dibalut musim semi. Bi-Bi mengurai namanya sambil sesekali mengunyah kentang bakar, makan siangnya.

“Kakekku yang menamaiku. Ayahku meninggal terserang malaria ketika aku dalam kandungan.

Ibuku gone saat melahirkanku. Kakek pengikut setia Inkosi tktktk ya Tuan Nelson Mandela. Maka, aku dinamai Robben Rolihlahla Mvezo Umtata.”

Uraiannya panjang, kuringkas demikianT: Robben – nama pulau yang pernah untuk memenjarakan Mandela 18 tahun. Rolihlahla, nama asli Mandela yang artinya ‘berani melawan karena benar’. Sedangkan Mvezo Umtata itu kampung halaman Mandela, yang juga kampung halaman kakek Bi-Bi.

“Kakek Mandela itu Enkhulu Inkosi, raja di Umtata. Keluarga kakekku menghamba mereka puluhan tahun. Aku lahir dan besar di Mvezo, high-school-ku di Jo-bo…” Bi-Bi menyebut Johannesburg ‘Jo-bo’. “Di Jo-bo, aku tinggal di asrama putri Anglican, untuk siswi miskin seperti aku.” Sambungnya lugas. “Miskin secara ekonomi, tapi jiwanya tidak, seperti jiwa Inkosi Mandela. Why? Kata Inkosi, penderitaan itu justru membuat penderitanya powerful and has thousands of wings!” tegas Bi-Bi, tangan kanannya mengepal dan diangkatnya tinggi-tinggi. Hebat!” seruku. Gadis berusia 19 tahun ini ternyata matang dan kukuh.

Sejak itu aku bersahabat dengannya. Kucatat di diary-ku, 4 September 1995. Taman kampusku yang bertengger di pantai Queensland menjadi saksi, dikukuhkan langit biru, tarian ombak putih dan ratusan kepak sayap camar putih. Bi-Bi tinggal sekamar denganku di Tower A, yang dihuni oleh mahasiswa dari berbagai negara.

* * *

B-L (baca: Bi-El), itulah nama beken Bi-Bi di kampus. Maksudnya, Blue-Lips, alias Bibir Biru. Aku memanggilnya B-B (baca: Bi-Bi), Bibir-Biru. Sebetulnya, banyak bibir biru di kampus kami, tapi, gadis yang berbibir biru indah, sexy dan menawan hanyalah Bi-Bi. Bibir Bi-Bi begitu tebal, segar, ranum dan terkesan legit karena selalu dihiasi senyuman manis. Keistimewaan lainnya bibir Bi-Bi mampu meluncurkan orasi-orasi pelestarian bumi, pidato-pidato pembakar semangat cinta negeri, menyanyikan lagu-lagu perdamaian dan membaca puisi menyuarakan democrazy dan humanity. Ini yang membuatnya dijuluki pula The Golden Bi-El.

Bi-Bi studi prodi Information Technology (IT) strata S-1. Aku ambil fak International Relations (IR) strata S-2. Saat aku berteman dengan Bi-Bi usiaku di ambang 40 tahun. Perbedaan usia yang relatif jauh sama sekali tidak menimbulkan gap di antara kami. Ini sudah kuperkirakan sejak awal aku mengenalnya di Loket International Student Service. Ia begitu tampak dewasa, cerdas dan mandiri. Pikirku, ia calon mahasiswa pasca sarjana. Aku pun berkenalan dengannya.

Aku terkejut ketika ia mengatakan baru saja lulus SMA. Tubuhnya yang bongsor, gurat-gurat wajahnya yang tegas dan sorot matanya yang tajam, membuatnya tampak seperti perempuan dewasa, berusia 30-an. “Banyak orang bilang, aku ini bermutu, alias bermuka tua.” kata Bi-Bi santai. “Kau tidak bermuka tua, tapi sangat dewasa!” tanggapku, sejujurnya. “Perhaps, situasi yang membuatku begini,” kedua tangannya membentang.

* * *

Suatu siang, ketika aku membersihkan kamar, menemukan album foto di kolong ranjang Bi-Bi. Album itu berisi foto aneka pose manis dan sexy. Gadis itu Bi-Bi. Tak satu pun ia berpose syur. Lembar-lembar awal album itu menyajikan foto Bi-Bi dinobatkan cover-girl majalah Teens. Lainnya, memperagakan kain tradisional sukunya dan jadi ikon sebuah obyek pariwisata.

“Hem,ternyata, sahabatku ini tidak hanya The Golden Bi-El, tapi juga The Golden Body,” godaku pada Bi-Bi ketika kami menjelang tidur.

“Haaahhh? Jangan ngigau. Siapa bilang?” teriak Bi-Bi, tersipu-sipu. “Album yang kutemukan di kolong ranjangmu mengatakan itu.” Sahutku santai.

“Haaaaa,badut!” tawa Bi-Bi meledak. Ia ambil album yang kusebutkan.

“Kau hebat. YBS!” komentarku jujur. “What do you mean Y-B-S?” desak Bi-Bi tegas, tapi bernada manis.

“Young, Beauty and Sexy.” Kueja tiga huruf Y-B-S. Timpal Bi-Bi cepat, “Bagiku, Y-B-S itu singkatan Yuk, Bad and Suffer!”

“Kau sama sekali tidak Yuk, menjijikkan, Bad, jelek dan Suffer, menderita. Kau tulen Young, Beauty and Sexy!” tegasku padanya.

Tiba-tiba ia murung. “Ketika terpilih cover-girl tiga tahun silam, aku berpendapat begitu. Bisa kujual YBS-ku.”

“Cepat kaya, jadi Top Model kelas dunia.” Selaku.

“Not at all. Jika aku punya uang, itu untuk studi dan mendirikan sekolah untuk anak-anak di desaku. Itu tanda hormatku pada kakekku, mahaguru hidupku dan Inkosi Mandela, bapak agung kebangsaanku. Tapi, kandas,” mata Bi-Bi membasah.

“Kenapa Bi-Bi?” tanyaku penuh empati. “Ternyata untuk punya uang banyak harus berani pose syur. Alasannya untuk seni fotografi. Puihh, itu eksploitasi dan pelecehan perempuan. Kata kakekku, menyerap ajaran Inkosi Mandela: jika perempuan mau dieksploitasi dan dilecehkan itu berarti jadi perempuan terjajah tanpa martabat. Aku ingin jadi perempuan merdeka, sampai akhir hayatku. Maka, kuciptakan citra berbeda bagi seorang model , tidak usah berpose syur. Aku malah jadi ejekan dan dicepat dari Himpunan Model Afrika Selatan, kata mereka aku ini sakit jiwa, jelek dan menjijikan. Benar, sekarang ini Zaman Edan seperti kata pujangga negerimu, Ronggo Warsito yang pernah kau ceritakan padaku. Di Zaman Edan ini, justru orang-orang yang eling dan waspodo dicap edan. Puihhh, aku bersumpah tak mau jadi model, tak mau jual tubuh demi uang. Makanya, singkatan YBS kuartikan Yuk-Bad-Suffer!” tegas Bi-Bi.

“Lalu, siapa yang membiayai sekolah dan biaya hidupmu?” tanyaku hati-hati.

“Uang tabunganku dan ada bantuan dari Sister Juliana Barker.” “Siapa Sister Juliana Barker itu?” aku penasaran.

“Dia biarawati dan pianis kondang. Sebagian honornya bermain piano untuk membiayai kuliahku tahun pertama. Selanjutnya, Sister Jul advised agar aku cari partime job. Sebagai student kita dapat izin kerja dua puluh jam seminggu kan? Apa kau juga?” tanya Bi-Bi padaku.

“Tidak. Aku memilih belajar keras agar dapat diskon uang kuliah lima puluh persen,” jelasku. “Upah cuci piring dan clean up kebun terlalu rendah.”

“Benar.” Ucap Bi-Bi, “Aku dapat kerjaan berupah tigapuluh lima dolar per jam. Sabtu dan Minggu aku bisa kerja full dua puluh jam. Upah itu okey sekali buat bayar kuliah tahun depan plus makan.” Mata Bi-Bi yang basah kembali berbinar.

“Itu upah selangit. Kau kerja apa, B-Bi?” aku penasaran.

“Yang jelas bukan jadi foto model yang pamer lekuk-liku tubuh itu. Aku bekerja mengandalkan kemampuanku panjat tebing.” Tutur Bi-Bi dengan mata berbinar.

“Kau jadi instruktur panjang tebing?” aku penasaran.

“Not at all.” Bi-Bi menggeleng. Kemudian ia mengucapkan ‘good nite’ padaku. Kumatikan lampu kamar. Waktu memasuki tengah malam.

* * *

Asramaku berjarak sekitar 70 kilometer dari pusat kota yang lazim disebut City. Jadi aku jarang ke City. Selain kuanggap jauh, itu berarti pengeluaran besar. Selain untuk transportasi, aku perlu makan-minum, menghabiskan sekitar 30 dolar. Maka, kujadualkan ke City cukup sebulan sekali, Sabtu atau Minggu.

Ingin sekali aku ke City bersama Bi-Bi yang kuanggap adikku. Jika aku ke City bersamanya, ia akan kutraktir nasi goreng di Restoran Lezat di sudut City. Bi-Bi tertarik sekali. Ia mengaku, belum pernah sekalipun makan nasi goreng tapi ia pernah dengar tentang itu dari Suzy, berdarah Belanda, temannya di SMA.

“Bi-Bi, yuk ke City, kutraktir nasi goreng. Minggu lalu kau menang lomba panjat tebing. Nah, nasi goreng itu hadiah special dariku. Okey?” bujukku.

Bi-Bi meminta maaf padaku, ia tidak bisa ke City bersamaku. Alasannya, ia harus bekerja. Ia memang bekerja Sabtu-Minggu, berangkat kerja naik kereta api pertama, pukul 05.00, pulangnya pukul 19.00. Ia selalu tampak letih dan langsung tidur sepulang kerja. Aku tak berani menganggunya.

* * *

Sabtu pagi cerah, aku ke City naik kereta api dari Stasiun White Dove. Pukul 10.30 aku sampai di City, langsung ke toko buku favoritku di Elizabeth Street. Kulewati beberapa gedung bertingkat yang menjadi landmark pusat bisnis di City. Salah satu gedung itu bertingkat 42 dan lobby-nya dihiasi air mancur unik. Setiap jam, air mancur itu beratraksi, menyerupai seekor naga bersisik warna-warni kemilau – diiringi musik hip-hop dan dibanjiri pengunjung. Aku ingin menyaksikannya.

Kubeli seporsi fish and chips regular dan sebotol kecil mineral water untuk kunikmati sambil nonton si Naga berhip-hop. Kubayangkan, alangkah asyiknya jika aku bersama Bi-Bi menyaksikan atraksi unik itu. Kupastikan Bi-Bi membandingkan si Naga berhip-hop dengan tontonan menarik di Mvezo kampungnya. Dia memang selalu begitu dan itu membuatku jadi tahu banyak tentang seni dan budaya Afsel. Aku juga sering bercerita berbagai seni-budaya yang ada di Indonesia. Bi-Bi sangat menikmatinya, ia catat yang dianggapnya penting. Katanya, itu akan bahan novel yang akan ditulisnya, novel bernafaskan kebudayaan global.

“Kecelakaan! Kecelakaan!” kudengar teriakan di depan gedung tempat bermukimnya Si Naga Hip-Hop. Teriakan itu disusul raungan sirene ambulans, lampunya menyilaukan mata.

“Siapa yang kecelakaan Miss?” tanyaku pada perempuan muda di dekatku.

“Gadis pembersih kaca. Ia jatuh dari lantai tiga puluh, tali lift kereta pembersih yang dinaikinya putus.” Sahutnya singkat. Ia berlari menuju kerumunan orang. Aku mengikutinya. Kerumunan orang itu melihat si Korban.

“Di saku jeans si Korban ada foto seorang kakek dan Mandela.” Kata polisi. Tubuhku gemetar mendengarnya. Aku menyeruak orang-orang yang mengerumuni si Korban. Jantungku seperti digodam begitu melihat bibir biru berkerut-kisut kesakitan. “Bi-Bi! She is my roomate, teman sekamarku!” aku histeris.

Kulihat sekilas, tubuh Bi-Bi yang bersimbah darah berkepala pecah dibawa lari ambulans. Sejak itu aku tak pernah lagi bisa bicara dengannya: Bi-Bi, Bibir Biru yang indah, menawan dan penuh pesona. Bibir Biru itu mahkota gadis perkasa, cerdas dan bermartabat karena dialiri spirit Inkosi Nelson Mandela, Bapak Anak Bangsa Bumi Afrika Selatan.***