TEKS SULUH


Sabtu, 18 Oktober 2014

Yudhistira Ardi Nugraha

Nama Lengkap: Yudhistira Ardi Nugraha Moelyana Massardi
Nama: Yudhistira Ardi Nugraha
Tanggal Lahir: 28 Februari 1954
Tempat Lahir: Subang, Jawa Barat, Indonesia


Penyair ini lebih dikenal sebagai novelis. Novel yang membuat dirinya terkenal adalah Arjuna Mencari Cinta. Karya-karya puisinya juga memberi warna baru dalam dunia perpuisian Indonesia, yakni puisi surat kabar karena ditulis berdasarkan berita-berita koran. Sajak-sajaknya dalam Rudi Jalik Gugat banyak dijadikan lirik lagu oleh Franky, seorang penyanyi country asal Surabaya.


Yudhistira Ardi Nugraha lahir pada tanggal 28 Februari 1954, di Subang Jawa Barat. Pernah menjadi redaktur majalah Le Laki dan majalah Tempo. Drama-dramanya "Wot Atawa Jembatan" dan "Ke" memperoleh hadiah harapan dan hadiah ketiga penulisan naskah sandiwara  DKJ tahun 1977 dan 1978.


Novel yang berjudul mencoba tidak menyerah (1979), mendapat hadiah penghargaan Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta Tahun 1977. Karya-karya nya yang lain: Arjuna Mencari Cinta(1977), yang dinyatakan sebagai fiksi terbaik 1977 oleh Yayasan Buku Utama, Ding Dong (novel, 1978), Omong Kosong (kumpulan sajak, 1978), Sajak Sikat Gigi (kumpulan sajak 1978), Arjuna Mencari Cinta II ( NOVEL, 1980), Yudhistira Duda, dan Rudi Jalak Gugat (kumpulan sajak 1982).


Riwayat Pendidikan:
SD di Subang,
SMP,
SMA Taman Siswa di Yogyakarta (1972),
Akademi Sinematografi LPKJ selama satu semester (19760)


Karier :
Penjual Koran,
Pengarang Novel,
Wakil Pemimpin Redaksi majalah Le Laki (1976-1978),
Wartawan majalah Tempo (1979)

Karya-karya Yudhistira Ardi Nugraha:

Sajak Sikat Gigi, Kumpulan Puisi (1976),
Arjuna Mencari Cinta (1977),
Wot (1977),
Ke (1978),
Dingdong,
Obladi Oblada,
Puber,
Arjuna Mencari Cinta II (1980),
Perjalanan Kehilangan,
Terbit Bulan Tenggelam Bulan,
Tinton,
Kuda-Kuda,
Mencari Taman Bagi Kasih,
- See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/05/biografi-yudhistira-ardi-nugraha.html#sthash.e69dmA8v.dpuf

Andrea Hirata

Andrea Hirata Seman Said Harun
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Agama: Islam
Tanggal Lahir: Belitong, 24 Oktober

Nama Andrea Hirata Seman Said Harun melejit seiring kesuksesan novel pertamanya, LASKAR PELANGI. Pria yang berulang tahun setiap 24 Oktober ini semakin terkenal kala novel pertamanya yang jadi best seller diangkat ke layar lebar oleh duo sineas Riri Riza dan Mira Lesmana.

Selain LASKAR PELANGI, lulusan S1 Ekonomi Universitas Indonesia ini juga menulis SANG PEMIMPI dan EDENSOR, serta MARYAMAH KARPOV. Keempat novel tersebut tergabung dalam tetralogi.

Setelah menyelesaikan studi S1 di UI, pria yang kini masih bekerja di kantor pusat PT Telkom ini mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi Master of Science di Université de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom.

Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua universitas tersebut dan ia lulus cum laude. Tesis itu telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu telah beredar sebagai referensi Ilmiah.

Penulis Indonesia yang berasal dari Pulau Belitong, Provinsi Bangka Belitung ini masih hidup melajang hingga sekarang.Status lajang yang disandang oleh Andrea sempat memicu kabar tak sedap. Karena pada bulan November 2008, muncul pengakuan dari seorang perempuan, Roxana yang mengaku sebagai mantan istrinya.

Akhirnya terungkap bahwa Andrea memang pernah menikah dengan Roxana pada 5 Juli 1998, namun telah dibatalkan pada tahun 2000. Alasan Andrea melakukan pembatalan ini karena Roxana menikah saat dirinya masih berstatus istri orang lain.

Sukses dengan novel tetralogi, Andrea merambah dunia film. Novelnya yang pertama, telah diangkat ke layar lebar, dengan judul sama, LASKAR PELANGI pada 2008. Dengan menggandeng Riri Riza sebagai sutradara dan Mira Lesmana pada produser, film ini menjadi film yang paling fenomenal di 2008. Dan jelang akhir tahun 2009, Andrea bersama Miles Films dan Mizan Production kembali merilis sekuelnya, SANG PEMIMPI.


Biografi Chairil Anwar

Biografi Chairil Anwar

Chairil Anwar yang lahir pada tanggal 6 Juli 1922 di Medan. dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.

Chairil masuk Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah memengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus.Tidak ada banyak diketahui mengenai orang-tuanya. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.

Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin). Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangikondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah sakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

KARYA CHAIRIL ANWAR
1. Deru Campur Debu (1949)
2. Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
3. Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
4. "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk
5. Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
6. Derai-derai Cemara (1998)
7. Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
8. Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

KARYA CHAIRIL ANWAR YANG DITERJEMAHAN KE DALAM BAHASA ASING
Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah:

1. "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960)
2. "Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
3. Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
4. "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
5. The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
6. The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
7. Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
8. The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)
- See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2009/11/biografi-chairil-anwar-biografi.html#sthash.sORg2Mzx.dpuf

Ajip Rosidi

Biografi Ajip Rosidi Sosok Ajip Rosidi di mata rekan-rekannya sesama pencinta sastra dan kebudayaan merupakan sosok yang lengkap, paripurna. Selain dikenal sebagai sastrawan Sunda, Ajip juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Sunda di dunia internasional. Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage itu juga dinilai sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan polarisasi dalam banyak hal. Salah satunya, polarisasi antara kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional. Pulang dari Jepang, setelah tinggal di sana selama 22 tahun, Ajip Rosidi merasa gamang. Kegamangan itu dipicu oleh kekhawatiran adanya "pengultusan" terhadap dirinya. Juga kegamangan akan nasib budaya tradisional yang terus terlindas oleh budaya global. "Saya merasa ngeri karena saya mendapat kesan bahwa saya hendak dikultuskan sehingga timbul pikiran menciptakan Ajip-Ajip baru. Saya ngeri karena saya khawatir hal itu menimbulkan rasa takabur," katanya. Suara batin itu diungkapkan Ajip Rosidi di hadapan para pencinta sastra, termasuk para pengagumnya, pada seminar di Universitas Padjadjaran, Bandung, yang khusus membedah kiprahnya di dunia sastra, Rabu (28/5/03). Hampir semua yang hadir memuji semangat dan dedikasi sastrawan kelahiran Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938, itu. Pengamat sastra Dr Faruk HT, misalnya, secara implisit memosisikan Ajip sebagai "orang langka" dengan kelebihan yang tidak dimiliki HB Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio Sastrowardoyo. Ajip dinilai sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan polarisasi dalam banyak hal. Salah satunya, polarisasi antara kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional. Ketika kebudayaan modern dianggap sebagai pilihan yang niscaya, kata Faruk, Ajip malah getol berbicara tentang kebudayaan tradisional. Redaktur PN Balai Pustaka (1955-1956) itu dikenal sangat taat asas (konsisten) mengembangkan kebudayaan daerah. Terbukti, Hadiah Sastra Rancage-penghargaan untuk karya sastra Sunda, Jawa, dan Bali-masih rutin dikeluarkan setiap tahun sejak pertama kali diluncurkan tahun 1988. Ajip juga dikenal sebagai "juru bicara" yang fasih menyampaikan tentang Indonesia kepada dunia luar. Hal ini ia buktikan ketika bulan April 1981 ia dipercaya mengajar di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka, Jepang, serta memberikan kuliah pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto (1982-1996), Tenri Daigaku di Nara (1982-1995), dan di Asahi Cultural Center. Di Negeri Matahari Terbit itu, seminggu Ajip mengajar selama 18 jam dalam dua hari. Lima hari sisanya ia habiskan untuk membaca dan menulis. Ia mengaku, Jepang memberinya waktu menulis yang lebih banyak ketimbang Jakarta. Maklum, ia tidak disibukkan mengurus kegiatan-kegiatan lain yang cukup menyita waktu, sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981), Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya, maupun Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979). Hasilnya, lebih dari 50 judul buku dalam bahasa Indonesia dan Sunda ditulisnya selama di Jepang. Satu hal yang mengesankan Ajip tentang masyarakat Jepang adalah kesadaran mereka akan pentingnya sastra dalam hidup mereka. Menurut Ajip, sastra tidak hanya menjadi bahan konsumsi para sastrawan atau budayawan, tetapi juga telah menjadi bahan bacaan para dokter atau arsitektur. Kondisi itu tercipta akibat dukungan kebijakan pemerintah dan budaya yang ada. Ajip mengatakan, masyarakat Jepang sejak usia dini telah diperkenalkan dengan buku. "Anak kecil sejak umur dua hingga tiga tahun sudah diperkenalkan dengan buku." Kondisi perbukuan di Jepang juga mendukung terciptanya suasana itu. Harga buku di sana ditetapkan sama di semua wilayah. " Harga majalah juga sama," katanya. Pendidikan juga lebih tertata rapi, tinggal melanjutkan tradisi yang sudah berkembang. Tradisi itu mulai tertancap sejak reformasi Meiji. Reformasi yang ditandai dengan pengiriman orang-orang Jepang ke negara-negara maju untuk belajar banyak hal. Selain itu, juga dilakukan penerjemahan besar-besaran berbagai macam ilmu, karya budaya, dan karya sastra ke dalam bahasa Jepang. "Jadi, orang Jepang, walaupun tidak bisa bahasa asing, misalnya, mereka mengetahui (dan) menguasai ilmu-ilmu di negara-negara asing," kata Ajip. Semua itu dilakukan bangsa Jepang dengan penuh semangat dan keseriusan. Seorang profesor asal Amerika Serikat yang mengajar bahasa Inggris di Jepang bercerita kepada Ajip, ada seorang mahasiswanya belajar dengan menghafal kamus bahasa Inggris. Orang Jepang memang dikenal sebagai bangsa yang amat bangga dengan bahasanya sendiri, tetapi hal itu tidak membuat mereka antibahasa asing. Minat orang Jepang terhadap studi-studi Indonesia juga cukup kuat. Jurusan Bahasa Indonesia (Indoneshia-go Gakuka) sudah ada di Tokyo Gaikokugo Daigaku sejak tahun 1949. Selama mengajar di Jepang, Ajip tidak pernah kekurangan mahasiswa. Di Osaka Gaidai, ia mengajar rata-rata 30 mahasiswa setiap tahun, 40 mahasiswa di Kyoto Sangyo Daigaku, dan 60 mahasiswa di Tenri Daigaku. "Saya mengajar bahasa Indonesia, sastra Indonesia, budaya Indonesia, dan Islam di Indonesia," kata Ajip. Beberapa muridnya kini sudah menjadi presiden direktur dan manajer pada perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia. Namun, Ajip mencatat, tingginya gairah dan minat mereka terhadap bahasa asing bergantung pada kepentingan terhadap negara yang dipelajari itu. Ketika perekonomian Indonesia berkembang, perhatian orang Jepang terhadap bahasa Indonesia meningkat. "Sekarang Indonesia ambruk, perhatian juga berkurang. Ada beberapa universitas yang tadinya punya jurusan bahasa Indonesia, sekarang dan diganti dengan Cina," katanya Ajip. Kendati telah menghabiskan sebagian hidupnya di negeri orang, Ajip tidak kehilangan pijakan pada kebudayaan daerah Indonesia. Hadiah Sastra Rancage yang lahir sejak tahun 1988 terus berjalan rutin setiap tahun. "Saya mulai dengan serius, dan saya usahakan dengan serius. Ternyata banyak yang membantu. Orang mau membantu kalau (kegiatan yang dibantunya) dilaksanakan secara profesional," tuturnya mengenai ketaat-asasan Hadiah Sastra Rancage. Namun, di tengah derasnya arus globalisasi, Ajip menyimpan sebersit kekhawatiran mengenai nasib kebudayaan-kebudayaan daerah. Bagi dia, globalisasi lebih banyak mengorbankan budaya-budaya daerah. Hal ini terjadi karena serbuan budaya global sulit diimbangi kebudayaan daerah. Budaya global didukung oleh modal kuat serta teknologi tinggi, sedangkan kebudayaan daerah hanya bisa bertahan secara tradisional karena tidak ada yang menyediakan modal. Menurut Ajip, hal itu merupakan suatu pertarungan yang tidak adil. "Saya kira kita tidak mengharapkan bahwa (pemeliharaan kebudayaan daerah) itu harus dilakukan pemerintah. Pengalaman saya membuktikan bahwa tidak bisa mengharapkan pemerintah," ujar budayawan yang sudah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Suluh Pelajar (1953-1955) pada usia 15 tahun. Oleh karena itu, banyak sastrawan dan budayawan Indonesia menyambut dengan sukacita kedatangan Ajip ke Tanah Air. Ia pun telah merancang dengan sejumlah agenda menghidupkan kembali kebudayaan daerah agar tidak hanya mampu bertahan, melainkan juga bisa berkembang. Wujud konkretnya, antara lain dengan mendirikan Pusat Studi Sunda bersama para sastrawan dan budayawan Sunda pada hari Sabtu ini. Pusat Studi Sunda ini, salah satu programnya, akan menerbitkan jurnal ilmiah Sundalana. Selain itu, Ajip masih tetap akan berkutat dengan kegiatan membaca dan menulis. Untuk itu, suami Hj Patimah ini pun berencana tinggal di Magelang, Jawa Tengah. "Saya berlindung kepada Allah, mudah-mudahan dijauhkan dari rasa takabur. Mudah-mudahan saya selalu diberi kesadaran bahwa apa yang saya lakukan hanyalah sebiji sawi." Paripurna Sosok Ajip Rosidi di mata rekan-rekannya sesama pencinta sastra dan kebudayaan merupakan sosok yang lengkap. Selain dikenal sebagai sastrawan Sunda, Ajip juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Sunda di dunia internasional. Pandangan para sastrawan tentang Ajip Rosidi ini terangkum dalam dialog yang bertema Meninjau Sosok dan Pemikiran Ajip Rosidi, yang digelar Rabu (28/5/03), di Graha Sanusi Hardjadinata, Universitas Padjadjaran Bandung. Dalam dialog yang berlangsung sekitar enam jam itu, tampil sebagai pembicara Abdullah Mustappa, Teddy AN Muhtadin, Ganjar Kurnia, Ignas Kleden, Faruk HT, serta Yus Rusyana. Selain itu, hadir pula beberapa sastrawan seperti Ramadhan KH, Sitor Situmorang, tokoh politik Deliar Noer serta puluhan mahasiswa dan pencinta sastra. "Sunda menjadi menarik di tangan Pak Ajip karena bukan sesuatu yang baku," ujar pengamat sastra dari Universitas Gadjah Mada, Dr Faruk HT. Menurut dia, Ajip Rosidi mengalami polarisasi politik dan kultural sepanjang hidupnya. Faruk menganggap polarisasi politik dan kultural tersebut membuat karya-karya Ajip Rosidi terasa kaya makna, kritis, serta tidak terjebak hanya pada satu budaya dan ideologi. Dia mencontohkan, ketika Ajip dielu-elukan sebagai orang yang berjasa dan terhormat dalam kehidupan sastra Sunda, Ajip justru menengok sastra Jawa dan sastra daerah lain. "Sulit mencari orang seperti Ajip dalam dunia sastra Indonesia," kata Faruk. Sementara itu, menurut Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (PPIT) atau Center for East Indonesian Affairs (CEIA) Dr Ignas Kleden, Ajip merupakan tokoh penting dalam sastra Indonesia. Ajip, kata Kleden, tidak hanya memainkan peranan luas dalam kesusastraan saja, namun juga meninggalkan banyak jejak langkah dalam perkembangan kebudayaan daerah dan kebudayaan Indonesia. "Sumbangan sastra dan kebudayaan Sunda kepada sastra dan kebudayaan Indonesia diwujudkan melalui penulisan kembali dalam bahasa Indonesia cerita-cerita sastra daerah," kata Kleden. Sedangkan peneliti dari Pusat Dinamika Pembangunan Unpad, Dr Ganjar Kurnia, memandang sosok Ajip sebagai orang Sunda modern. Hal itu dapat dilihat dari perhatiannya terhadap sastra Sunda. Ganjar menilai Ajip memiliki perhatian sepenuhnya untuk melestarikan budaya Sunda, namun dia juga tidak melepaskan keindonesiaannya. "Ajip Rosidi bukan orang yang etnocentris, provinsialis, atau sukuisme dalam arti sempit," kata Ganjar. Dia menambahkan, Ajip juga telah membawa budaya bangsa sampai kepada tingkat internasional. Selain itu, Ajip juga dinilai sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah kesundaan sehingga dapat dianggap sebagai "arsip hidup" paling lengkap. "Dapatkah kita memiliki Ajip-Ajip yang lain di masa mendatang?" kata Faruk, di akhir ceramahnya. Perkataan Faruk tersebut ternyata ditanggapi dengan kekhawatiran oleh Ajip Rosidi. Menurut Ajip, dia khawatir masyarakat akan mengultuskan dirinya. Padahal, kata Ajip, dia sangat tidak suka dipuji, apalagi dikultuskan. "Saya lebih suka dikritik daripada dipuji," kata Ajip. Sastra "Rancage" dan Sastra Daerah Hadiah Sastra "Rancage" sudah berlangsung sejak 1989. Semula Hadiah Sastra tahunan ini khusus untuk pengarang dalam sastra Sunda, namun mulai tahun 1994 diberikan juga kepada pengarang sastra Jawa. Empat tahun kemudian, 1998, Hadiah Sastra "Rancage" juga diperuntukkan bagi pengarang sastra Bali. Sejak itu, setiap tahun Yayasan Kebudayaan "Rancage" yang diketuai Ajip Rosidi selaku pemberi Hadiah Sastra "Rancage" menyediakan dua hadiah untuk setiap daerah tersebut, yakni satu untuk "karya sastra" dan satu lagi untuk kategori mereka yang ber-"jasa". Seluruh suku bangsa di Indonesia saat ini merasa bahwa hidup matinya sastra daerah menjadi tanggung jawab masing-masing daerah. Padahal sesungguhnya perkembangan sastra daerah menjadi tanggung jawab nasional yang harus dihadapi secara nasional pula. "Pengembangan sastra dan bahasa daerah seakan-akan diserahkan kepada suku bangsa pemiliknya begitu saja, pemerintah seperti tak mau tahu," ujar sastrawan Ajip Rosidi, di Denpasar. Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage itu berada di Bali dalam rangka menyerahkan Hadiah Sastra Rancage 1999 kepada para sastrawan Sunda, Jawa, dan Bali. Ajip Rosidi merasa prihatin atas keberadaan sastra dan bahasa daerah di Indonesia sekarang ini. Pemerintah nyaris tak memberi perhatian yang mamadai terhadap kehidupan sastra-sastra daerah tersebut. Padahal menurut konstitusi, hal itu termasuk tanggung jawab pemerintah. "Masalah yang dihadapi daerah di mana-mana sama, masalah pendidikan dan penerbitan buku-buku," ujar Ajip Rosidi. Pada tahun 1998 lalu, terbit enam judul buku berbahasa Sunda, dua bahasa Jawa, dan tiga bahasa Bali. Nama: Ajip Rosidi Lahir: Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938 Isteri: Hj Patimah Profesi: Sastrawan-Budayawan Pekerjaan/Kegiatan: Pendiri Pusat Studi Sunda (2003) Selama 22 tahun (sejak April 1981) pengajar bahasa Indonesia di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka, Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto (1982-1996), Tenri Daigaku di Nara (1982-1995), dan di Asahi Cultural Center, Jepang. Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981) Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Budaya Jaya (1968-1979) Redaktur PN Balai Pustaka (1955-1956) Pemimpin Redaksi Majalah Suluh Pelajar (1953-1955) pada usia 15 tahun Buku: Menulis lebih dari 50 judul buku dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Referensi: tokohindonesia.com - See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-ajip-rosidi.html#sthash.vMgFI5Sz.dpuf

NH Dini

Biografi NH Dini

Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telajur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.

Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.
Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya.
Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, sepertl komentar Putu Wijaya; 'kebawelan yang panjang.'

Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.

NH Dini dilahirkan di Semarang, 29 Februari 1936 dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. la anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah, darah Bugisnya muncul.”

la mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.

Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi supir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.

Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.

Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. “Barangkali renungan dan khayalan itu yang membentuk perkembangan saya,” kata Dini.

Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam acara Tunas Mekar.

Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk.

Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejak itu, karyanya terus mengalir. Hingga kini, buku-bukunya mudah dijumpai di toko-toko buku. Beberapa karyanya yang menjadi percakapan luas adalah Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), Dari Parangakik ke Kampuchea (2003). Belum termasuk di dalamnya karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.

Sejumlah bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai beberapa kali - hal yang sulit dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan Keberangkatan. la juga menerbitkan serial kenangan, sementara cerpen dan tulisan lain juga terus mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit sekalipun, ia terus berkarya.

Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.

Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.

Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai cerita.

Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang (kini 42 tahun) dan Pierre Louis Padang (kini 36 tahun). Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis.

Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.

Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang ditempatkan di Manila, Filipina. Pada 1976, ia pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal Prancis. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.

Mantan suaminya masih sering berkunjung ke Indonesia. Dini sendiri pernah ke Kanada ketika akan mengawinkan Lintang, anaknya. Lintang sebenarnya sudah melihat mengapa ibunya berani mengambil keputusan cerai. Padahal waktu itu semua orang menyalahkannya karena dia meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak. Karena itulah ia tak memperoleh apa-apa dari mantan suaminya itu. Ia hanya memperoleh 10.000 dollar AS yang kemudian digunakannya untuk membuat pondok baca anak-anak di Sekayu, Semarang.

Dini yang pencinta lingkungan dan pernah ikut Menteri KLH Emil Salim menggiring Gajah Lebong Hitam, tampaknya memang ekstra hati-hati dalam memilih pasangan setelah pengalaman panjangnya bersama diplomat Perancis itu. la pernah jatuh bangun, tatkala terserang penyakit 1974, di saat ia dan suaminya sudah pisah tempat tidur. Kala itu, ada yang bilang ia terserang tumor, kanker. Namun sebenarnya kandungannya amoh sehingga blooding, karena itu ia banyak kekurangan darah. Secara patologi memang ada sel asing. "Setelah lima tahun diangkat, sudah lolos. Kandungan saya diangkat pada 1980. Ketika itu keluarga di sini tidak mau tanggung, takut kalau saya tidak bangun lagi," kenangnya.

Kepulangannya ke Indonesia dengan tekad untuk menjadi penulis dan hidup dari karya-karyanya, adalah suatu keberanian yang luar biasa. Dia sendiri mengaku belum melihat ladang lain, sekalipun dia mantan pramugrari GIA, mantan penyiar radio dan penari. Tekadnya hidup sebagai pengarang sudah tak terbantahkan lagi.

Mengisi kesendiriannya, ia bergiat menulis cerita pendek yang dimuat berbagai penerbitan. Di samping itu, ia pun aktif memelihara tanaman dan mengurus pondok bacanya di Sekayu. Sebagai pencinta lingkungan, Dini telah membuat tulisan bersambung di surat kabar Sinar Harapan yang sudah dicabut SIUPP-nya, dengan tema transmigrasi.

Menjadi pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini, ia menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Tahun-tahun sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantu oleh teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan.
Tahun 1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia sering dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan. Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup sampai tahun 2000.
Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya menyatakan ada batu di empedunya. Biaya operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh, Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli kepadanya.
Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta. Ia, yang semula menetap di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.

Alhasil, Dini di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu Semarang pada 1986 itu, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Ia senantiasa berpesan agar anak-anak muda sekarang banyak membaca dan tidak hanya keluyuran. Ia juga sangat senang kalau ada pemuda yang mau jadi pengarang, tidak hanya jadi dokter atau pedagang. Lebih baik lagi jika menjadi pengarang namun mempunyai pekerjaan lain.

Dalam kondisinya sekarang, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya. “Saya tidak mau mengorbankan harga diri demi uang. Misalnya saya disuruh bikin biografi seseorang, dikasih bahan padahal bahan itu bayangan. Saya tolak, meski pada saat yang sama saya butuh uang,” jelasnya.

la merasa beruntung karena dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan prinsip-prinsip hidup yang senantiasa menjaga harga diri. Mungkin karena itu pulalah NH Dini tidak mudah menerima tawaran-tawaran yang mempunyai nilai manipulasi dan dapat mengorbankan harga diri.

la juga pernah ditawari bekerja tetap pada sebuah majalah dengan gaji perbulan. Akan tetapi dia memilih menjadi pengarang yang tidak terikat pada salah satu lembaga penerbitan. “Saya pikir, kalau tidak punya pekerjaan rutin, kreativitas dan daya cipta berkembang dan terus diasah,” kilahnya.

Bagi Dini, kesempatan untuk bekerja di media atau perusahaan penerbitan sebenarnya terbuka lebar. Namun seperti yang dikatakannya, ia takut kalau-kalau kreativitasnya malah berkurang. Untuk itulah ia berjuang sendiri dengan cara yang diyakininya; tetap mempertahankan kemampuan kreatifnya.

Menyinggung soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. “Saya spontan menuliskannya. Kalau sekarang saya disuruh membacakannya di depan umum, saya baca. Hal itu unsur kehidupan juga, seperti bernafas. Kenapa kalau bernafas tidak malu. Seks dalam bentuknya tersendiri adalah satu puisi,” ujarnya. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan kisah perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnya

Nama: Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin

Nama Populer:NH Dini

Lahir: Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936

Agama: Islam

Suami:
Yves Coffin (bercerai)

Anak:
Marie Claire Lintang
Pierre Louris Padang

Pendidikan:
SD di Semarang, 1950
SMP di Semarang. 1953 -SMA di Semarang, 1956
Kursus Pramugari GIA di Jakarta, 1956
Kursus B 1, Sejarah, 1957-1959

ekerjaan & Karya:

Pramugari GIA (Garuda Indonesia Airways) 1950-1960
Menulis dan diterbitkan dalam bentuk kumpulan cerpen dan novel “Dua Dunia”, 1956
“Hati yang Damai” (1956)
“Pada Sebuah Kapal” (1973)
“La Barka” (1975)
“Namaku Hiroko” (1977)
“Keberangkatan” (1977)
“Sebuah Lorong di Kotaku” (1978)
“Padang Ilalang di belakang Rumah” (1978)
“Langit dan Bumi Sahabat Kami” (1979)
“Orang-orang Tran” (1983)
“Pertemuan Dua Hati” (1984)
“Polyboth” (1984)
“Pertemuan Dua Hati” (1986)
“Dari Parangakik ke Kampuchea” (2003)

Penghargaan:
Penghargaan sastra terbaik dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
SEA Write Award bidang sastra dari Pemerintah Thailand


Organisasi:
Wahana Lingkungan Hidup
Forum Komunikasi Generasi Muda Keluarga Berencana

Referensi: tokohindonesia.com
- See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-nh-dini.html#sthash.LvHvpzPu.dpuf

Ramadhan KH

Biografi Ramadhan KH (Ramadhan Kartahadimadja)

Wartawan dan penulis biografi Ramadhan KH (Ramadhan Kartahadimadja yang akrab dipanggil Kang Atun) meninggal dunia tepat di hari ulang tahunnya yang ke-79, Kamis 16 Maret 2006 pukul 08.30 waktu Cape Town, Afrika Selatan, atau pukul 13.30 WIB. Jenazah pria kelahiran Bandung 16 Maret 1927, ini  akan tiba di Tanah Air Sabtu 18 Maret 2006 dan dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta.

Anggota Akademi Jakarta yang sudah lama menderita kanker prostat itu meninggalkan satu istri, dua anak (Gumilang Ramadhan dan Gilang Ramadhan), serta lima cucu. Istrinya Salfrida Nasution Ramadhan, yang bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Cape Town, Afrika Selatan adalah istri kedua yang dinikahi 1993. Istri pertamanya, Pruistin Atmadjasaputra, yang dinikahi 1958 telah lebih dulu wafat 1990.


Menurut isterinya, Salfrida Nasution, walaupun beberapa bulan ini kankernya sudah sangat menjalar, bahkan hingga ke tulang sehingga kondisi tubuhnya sudah sangat lemah, Ramadhan masih bersemangat menulis dua buku terakhirnya. Dua buku yang belum terselesaikan tersebut adalah kumpulan cerpen dan novel. ”Bapak juga menjanjikan akan menulis satu sajak lagi buat saya, tetapi belum kesampaian, beliau sudah keburu dipanggil...,” tutur Salfrida yang masih larut dalam kesedihan, sebagaimana ditulis Kompas 17/3/2006.

Ramadhan, anak ketujuh dari sepuluh bersaudara dari pasangan Raden Edjeh Kartahadimadja dan Sadiah, ini sejak kecil sudah akrab denga dunia sastra dan tulis-menulis. Dia sudah mulai produktif menulis sejak masih di SMA.



Hingga akhair hayatnya, sastrawan Angkatan '66, itu telah menulis lebih dari 30 judul buku. Salah satu karyanya berupa kumpulan puisi yang diterbitkan dalam buku berjudul Priangan Si Djelita (1956), ditulis saat Ramadhan kembali ke Indonesia dari perjalanan di Eropa 1954. Kala itu, ia menyaksikan tanah kelahirannya (Jawa Barat) sedang bergejolak akibat berbagai peristiwa separatis. Kekacauan sosial politik itu mengilhaminya menulis puisi-puisi tersebut.

Sastrawan Sapardi Djoko Damono, menilai buku tersebut sebagai puncak prestasi Ramadhan di dunia sastra Indonesia. Menurut Sapardi, sebagaimana dirilis Kompas, buku itu adalah salah satu buku kumpulan puisi terbaik yang pernah diterbitkan di Indonesia. "Dia adalah segelintir, kalau tidak satu-satunya, sastrawan yang membuat puisi dalam format tembang kinanti,” papar Sapardi.

Karya Ramadhan itu disebut Sapardi sebagai salah satu tonggak sastra Indonesia pada periode 1950-an, bersama karya-karya WS Rendra dan Toto Sudarto Bachtiar.

Pada tahun 1958, sesaat setelah menikah dengan Pruistin Atmadjasaputra, Ramadhan resmi menekuni karier sebagai wartawan kantor berita Antara di Bandung, Jawa Barat. Dia juga pernah bertugas sebagai Redaktur Majalah Kisah, Redaktur Mingguan Siasat dan Redaktur Mingguan Siasat Baru. Tugasnya sebagai wartawan dan kiprahnya di dunia sastra membuat Ramadhan banyak bergaul dengan para seniman Indonesia.

Menurut Kompas, perjalanan hidup kemudian membawanya sebagai salah seorang penulis biografi terbaik di negeri ini. Diawali dengan biografi Inggit Garnasih, Kuantar ke Gerbang (1981), dia kemudian menulis biografi tokoh-tokoh terkenal di Indonesia, seperti AE Kawilarang, Soemitro, Ali Sadikin, Hoegeng, Mochtar Lubis, dan DI Panjaitan.

Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, yang merupakan biografi mantan Presiden Soeharto yang dibuat saat Soeharto masih berada di puncak kekuasaannya pada tahun 1988.



Selain menulis buku-buku biografi, Ramadhan juga menulis karya sastra: Priangan Si Djelita (1956); Ladang Perminus
- Royan Revolusi, Novel, 1958;  Antologie Bilingue de la Poesie Indonesienne Contemoraine, Novel, 1972; Kemelut Hidup, Novel, 1976; Keluarga Permana, Novel, 1978 dan Untuk Sang Merah Putih, Novel, 1988. Karyanya, Ladang Perminus berhasil meraih penghargaan SEA Write Award, 1993.


Nama: Ramadhan KH

Nama Lengkap: Ramadhan Kartahadimadja
Nama Panggilan:Kang Atun

Lahir: Bandung, 16 Maret 1927

Wafat:
Cape Town, Afrika Selatan 16 Maret 2006

Agama:
Islam

Isteri:
- Pruistin Atmadjasaputra (menikah 1958 dan wafat 1990)
- Salfrida Nasution Ramadhan (menikah 1993)

Anak:
- Gumilang Ramadhan
- Gilang Ramadhan

Ayah:
Raden Edjeh Kartahadimadja
Ibu:
Sadiah

Profesi:
Wartawan dan Penulis Biografi

Pendidikan:
- ITB Bandung
- Kuliah Jurnalistik, Belanda, 1952-1953

Karir:
- Wartawan Kantor Berita Antara
- Redaktur Majalah Kisah
Redaktur Mingguan Siasat
Redaktur Mingguan Siasat Baru
- Anggota Akademi Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta sampai 2003

Karya:
Telah menulis lebih 30 buku, di antaranya:
- Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit Garnasih dengan Bung Karno (1981)
- Biografi AE Kawilarang
Biografi Soemitro
Biografi Ali Sadikin
- Biografi Hoegeng
- Biografi Mochtar Lubis
- Biografi DI Panjaitan
- Autobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya
- Priangan Si Djelita (1956)
- Ladang Perminus
- Royan Revolusi, Novel, 1958
- Antologie Bilingue de la Poesie Indonesienne Contemoraine, Novel, 1972
- Kemelut Hidup, Novel, 1976
- Keluarga Permana, Novel, 1978
- Untuk Sang Merah Putih, Novel, 1988

Penghargaan:
SEA Write Award, 1993

Referensi: tokohindonesia.com
- See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-ramadhan-kh-ramadhan.html#sthash.ouSPMvQq.dpuf

Sanusi Pane

Biografi Sanusi Pane
Sanusi Pane, sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Pria kelahiran Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905, ini juga berprofesi sebagai guru dan redaktur majalah dan surat kabar. Ia juga aktif dalam dunia pergerakan politik,  seorang nasionalis yang ikut menggagas berdirinya “Jong Bataks Bond.” Karya-karyanya banyak diterbitkan pada 1920 -1940-an. Meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968. Bakat seni mengalir dari ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Mereka delapan bersaudara, dan semuanya terdidik dengan baik oleh orang tuanya. Di antara saudaranya yang juga menjadi tokoh nasional,adalah Armijn Pane (sastrawan), dan Lafran Pane salah (seorang pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam). Sanusi Pane menempuh pendidikan formal HIS dan ElS di Padang Sidempuan, Tanjungbalai, dan Sibolga, Sumatera Utara. Lalu melanjut ke MULO di Padang dan Jakarta, tamat 1922. Kemudian tamat dari Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sahari, Jakarta, tahun 1925. Setelah tamat, ia diminta mengajar di sekolah itu juga sebelum dipindahkan ke Lembang dan jadi HIK. Setelah itu, ia mendapat kesempatan melanjut kuliah Othnologi di Rechtshogeschool. Setelah itu, pada 1929-1930, ia mengunjungi India. Kunjungan ke India ini sangat mewarnai pandangan kesusasteraannya. Sepulang dari India, selain aktif sebagai guru, ia juga aktif jadi redaksi majalah TIMBUL (berbahasa Belanda, lalu punya lampiran bahasa Indonesia). Ia banyak menulis karangan-karangan kesusastraan, filsafat dan politik. Selain itu, ia juga aktif dalam dunia politik. Ikut menggagas dan aktif di “Jong Bataks Bond.” Kemudian menjadi anggota PNI. Akibat keanggotannya di PNI, ia dipecat sebagai guru pada 1934. Namun sastrawan nasionalis ini tak patah arang. Ia malah menjadi pemimpin sekolah-sekolah Perguruan Rakyat di Bandung dan menjadi guru pada sekolah menengah Perguruan Rakyat di Jakarta. Kemudian tahun 1936, ia menjadi pemimpin surat kabar Tionghoa-Melayu KEBANGUNAN di Jakarta. Lalu tahun 1941, menjadi redaktur Balai Pustaka. Sanusi Pane sastrawan pujangga baru yang fenomenal. Dalam banyak hal berbeda (antipode) dari Sutan Takdir Alisjahbana. Jika STA menghendaki coretan yang hitam dan tebal dibawah pra-Indonesia, yang dianggapnya telah menyebabkan bangsa Indonesia telah menjadi nista, Sanusi malah berpandangan sebaliknya, mencari ke jaman Indonesia purba dan ke arah nirwana kebudayaan Hindu-Budha. Sanusi mencari inspirasi pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya sampai pada sintesa Timur dan Barat, persatuan rohani dan jasmani, akhirat dan dunia, idealisme dan materialisme. Puncak periode ini ialah dramanya Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940. Karya-karyanya yang terkenal diantaranya: Pancaran Cinta dan Prosa Berirama (1926), Puspa Mega dan Kumpulan Sajak (1927), Airlangga, drama dalam bahasa Belanda, (1928), Eenzame Caroedalueht, drama dalam bahasa Belanda (1929), Madah Kelana dan kumpulan sajak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1931), naskah drama Kertajaya (1932), naskah drama Sandhyakala Ning Majapahit (1933), naskah drama Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940). Selain itu, ia juga menerjemahkan dari bahasa Jawa kuno kekawin Mpu Kanwa dan Arjuna Wiwaha yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940). Jiwa nasionalismenya terlihat antara lain dari pernyataan Sanusi Pane tentang akan dibentuknya perhimpunan pemuda-pemuda Batak yang kemudian disepakati bernama “Jong Bataks Bond.” Ia menyatakan: “Tiada satu pun di antara kedua pihak berhak mencaci maki pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya.” (Dikutip dari Nationalisme, Jong Batak, Januari, 1926). Dalam naskah itu, Sanusi Pane menyampaikan gagasannya bahwa perhimpunan bagi pemuda-pemuda Batak bukan berarti upaya pembongkaran terhadap de Jong Sumateranen Bond (JSB). Tetapi sebaliknya, menumbuhkan persaudaraan dan persatuan orang-orang Sumatera. Karena itu, Sanusi Pane mengingatkan agar tak ada caci maki antara kedua belah pihak. Semua harus saling menghargai dan menghormati sebagai sesama bangsa, lebih-lebih sebagai sesama. Biodata Sanusi Pane Nama: Sanusi Pane Lahir: Muara Sipongi, Tapanuli, Sumatera Utara, 14 November 1905 Meninggal: Jakarta, 2 Januari 1968 Pendidikan: - HIS dan ELS Padang Sidempuan, Tanjungbalai, Sibolga, - MULO Padang dan Jakarta (1922), - Kweekschool, Gubung Sahari, Jakarta (1925), - Rechtshogeschool bagian Othonlogi Karier: - Guru, - Redaktur majalah Timbul (1929-1930), - Pemimpin surat kabar Kebangunan (1936-1941), - Redaktur Balai Pustaka (1941) Karya Tulis: - Pancaran Cinta (1926), - Prosa Berirama (1926), - Puspa Mega (1927) - Kumpulan Sajak (1927), - Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928) - Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929) - Madah Kelana (1931) - Kertajaya (drama, 1932) - Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933) - Manusia Baru (drama, 1940) - Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940) Referensi: tokohindonesi.com - See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-sanusi-pane.html#sthash.ZGNAAYkk.dpuf

Soetardji Calzoum Bachri

Soetardji Calzoum Bachri

Pria kelahiran 24 Juni 1941 ini digelari 'presiden penyair Indonesia'. Menurut para seniman di Riau, kemampuan Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.



Dia telah meraih sejumlah pengharaan atas karya-karya sastranya. Antara lain Hadiah Sastra ASEAN (1979),  Hadiah Seni (1993), Anugerah Sastra Chairil Anwar (1998), serta Anugerah Akademi Jakarta (2007). Dia memiliki gaya tersendiri saat membacakan puisinya, kadang kala jumpalitan di atas panggung, bahkan sambil tiduran dan tengkurap.


Penyair kondang lulusan FISIP Unpad jurusan Administrasi Negara, ini pada ulang tahun ke-67 Sutardji Calzoum Bachri, Selasa (24/6/2008) malam, yang diperingati di Pekanbaru, Riau, mendapat apresiasi dan kejutan.



Kejutan pertama dari rekan-rekannya di Dewan Kesenian Riau berupa penerbitan kumpulan puisi Atau Ngit Cari Agar dan buku ...Dan, Menghidu Pucuk Mawar Hujan yang berisi kumpulan tulisan mengupas perjalanan sastranya. Atau Ngit Cari Agar adalah kumpulan puisi yang dia buat dalam kurun 1970-an hingga 2000-an. Puisi-puisi itu tak ada dalam buku kumpulan puisinya, Amuk (1977) dan Amuk Kapak (1981).

Kejutan tak terduga kedua ialah dari seorang pencinta seni Riau yang tak disebutkan namanya berupa uang Rp 100 juta. Soetardji tentu berterimakasih atas apresiasi itu, walau dia terlihat biasa saja saat menerima hadiah Rp 100 juta itu. "Sehebat-hebat karya sastra yang dihasilkan seniman tak berarti jika tidak mendapat apresiasi masyarakat," ujarnya berterimakasih. Menurutnya, dia termasuk beruntung karena mendapat apresiasi.

Ketua Dewan Kesenian Riau Eddy Akhmad RM, mengatakan, pihaknya menabalkan Juni sebagai bulan Sutardji. Penabalan ini tak bermaksud mengultuskan Sutardji. Ini, katanya, pengakuan seniman Riau terhadap kemampuannya menjadi rajawali di langit, menjadi paus di laut yang bergelombang, menjadi kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.


Nama: Soetardji Calzoum Bachri
Lahir, Riau, 24 Juni 1941
Agama: Islam

Pendidikan:
FISIP Unpad jurusan Administrasi Negara

Profesi:
Redaktur, Penyair

Karya Tulis:
= O (1973),
= Amuk (1977),
= Amuk (1979),
= O Amuk Kapak (1981)
= Hujan Menulis Ayam (Kumpulan Cerpen, 2001)
= Isyarat (Kumpulan Esai)

Penghargaan:
= Kumpulan sajak Amuk (1977), memenagkan hadiah puisi DKJ 1976/ 1977
= Hadiah Sastra ASEAN (1979),
= Hadiah Seni (1993),
= Anugerah Sastra Chairil Anwar dan dianggap sebagai pelopor angkatan 70-an (1998)
= Anugerah Akademi Jakarta (2007)

Sumber: tokohindonesia.com
- See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/soetardji-calzoum-bachri.html#sthash.xpHnjiYp.dpuf

Taufik Ismail

Biografi Taufik Ismail
Penyair penerima Anugerah Seni Pemerintah RI (1970) yang menulis Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999), ini lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Pendiri majalah sastra Horison (1966) dan Dewan Kesenian Jakarta (1968) ini berobsesi mengantarkan sastra ke sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi.



Taufiq Ismail, lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia, Bogor (1963, sekarang Institut Pertanian Bogor. Selain telah menerima Anugerah Seni Pemerintah RI juga menerima American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57).



Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan, antara lain: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.), Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970), Tirani (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu Museum Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1973), Puisi-puisi Langit (1990), Tirani dan Benteng (1993), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999).



Selain itu, bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad, Taufiq menerjemahkan karya penting Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Sedangkan bersama D.S. Moeljanto, salah seorang seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan, menyunting Prahara Budaya (1994).



Taufiq sudah bercita-cita jadi sastrawan sejak masih SMA di Pekalongan, Jawa Tengah. Kala itu, dia sudah mulai menulis sajak yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Dia memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang suka membaca, sehingga dia sejak kecil sudah suka membaca.



Kegemaran membacanya makin terpuaskan, ketika Taufiq menjadi penjaga perpustakaan Pelajar Islam Indonesia Pekalongan. Sambil menjaga perpustakaan, dia pun leluasa melahap karya Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, sampai William Saroyan dan Karl May. Dia tidak hanya membaca buku sastra tetapi juga sejarah, politik, dan agama.



Kesukaan membacanya, tanpa disadari membuatnya menjadi mudah dan suka menulis. Ketertarikannya pada sastra semakin tumbuh tatkala dia sekolah di SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS. Dia mendapat kesempatan sekolah di situ, berkat beasiswa program pertukaran pelajar American Field Service International Scholarship. Di sana dia mengenal karya Robert Frost, Edgar Allan Poe, Walt Whitman. Dia sanga menyukai novel Hemingway The Old Man and The Sea.

Namun setelah lulus SMA, Taufiq menggumuli profesi lain untuk mengamankan urusan dapur, seraya dia terus mengasah kemampuannya di bidang sastra. Dia juga kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia di Bogor, lulus 1963. Semula dia berobsesi menjadi pengusaha peternakan untuk menafkahi karir kepenyairannya, namun dengan bekerja di PT Unilever Indonesia, dia bisa memenuhi kebutuhan itu.



Taufiq menikah dengan Esiyati  tahun 1971. Mereka dikaruniai satu anak, yang diberinya nama: Abraham Ismail. Dia sangat bangga dengan dukungan isterinya dalam perjalanan karir. Esiyati sangat memahami profesi, cita-cita seorang sastrawan, emosi sastrawan, bagaimana impuls-impuls seorang sastrawan.



Taufiq bersama sejumlah sastrawan lain, berobsesi memasyarakatkan sastra ke sekolah-sekolah melalui program “Siswa Bertanya, Sastrawan Menjawab”. Kegiatan ini disponsori Yayasan Indonesia dan Ford Foundation.

Taufiq sudah menerbitkan sejumlah buku kumpulan puisi, di antaranya: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.); Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970); Tirani (1966); Puisi-puisi Sepi (1971); Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971); Buku Tamu Museum Perjuangan (1972); Sajak Ladang Jagung (1973); Puisi-puisi Langit (1990); Tirani dan Benteng (1993); dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999).


Dia pun sudah menerima penghargaan: - American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57); - Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970; dan - SEA Write Award (1997).


Biodata:

Nama:Taufiq Ismail

Lahir:Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935

Agama: Islam

Isteri: Esiyati Ismail (Ati)

Anak:
Abraham Ismail

Ayah:
KH Abdul Gaffar Ismail (almarhum)

Ibu:
Timur M Nur

Pendidikan:
- Sekolah Rakyat di Semarang
- SMP di Bukittinggi, Sumatera Barat
- SMA di Pekalongan, Jawa Tengah
- SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS
- Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan UI, Bogor, 1963

Karir:
- Penyair
- Pendiri majalah sastra Horison (1966)
- Pendiri Dewan Kesenian Jakarta (1968)
- Redaktur Senior Horison dan kolumnis (1966-sekarang)
- Wakil General Manager Taman Ismail Marzuki (1973)
- Ketua Lembaga Pendidikan dan Kesenian Jakarta (1973-1977)
- Penyair, penerjemah (1978-sekarang)

Kegiatan Lain:
- Dosen Institut Pertanian Bogor (1962-1965)
- Dosen Fakultas Psikologi UI (1967)
- Sekretaris DPH-DKI (1970-1971)
- Manager Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978)
- Ketua Umum Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1985)

Karya:
- Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.)
- Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970)
- Tirani (1966)
- Puisi-puisi Sepi (1971)
- Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971)
- Buku Tamu Museum Perjuangan (1972)
- Sajak Ladang Jagung (1973)
- Puisi-puisi Langit (1990)
- Tirani dan Benteng (1993)
- Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999)

Penghargaan:
- American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57)
- Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970
- SEA Write Award (1997)

Alamat Rumah:
Jalan Utan Kayu Raya No. 66 E, Jakarta Timur 13120 Telepon (021)8504959, 881190

Alamat Kantor:
Jalan Bumi Putera 23, Jakarta Timur

Sumber:tokohindonesia.com

- See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/01/biografi-taufik-ismail.html#sthash.cYOyo55T.dpuf

Kahlil Gibran

Biografi Kahlil Gibran  - Biografi Pengarang Puisi

Nama : Kahlil Gibran
Jenis Kelamin: Laki-laki

Tanggal Lahir: 6 Januari 1883


Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di Beshari, Lebanon. Beshari sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.

Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Bairut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat (School of Wisdom) sejak tahun 1898 sampai 1901.


Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Tirani kerajaan Ottoman, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.

Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang meyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronite. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.

Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.

Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.

Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.

Sebelum tahun 1912 "Broken Wings" telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.

Pengaruh "Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama "Broken Wings" ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.

Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Syria yang tinggal di Amerika.

Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.

Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems". Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman". Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.

Sebelum terbitnya "Sang Nabi", hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.

Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi". Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.

Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain "The Garden of the Propeth".

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hati dan TBC, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.

Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Ma Sarkis, sebuah biara Carmelite di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku."

Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kahlil_Gibran dan http://pelitaku.sabda.org/biografi_kahlil_gibran_1883_1931
- See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/02/biografi-kahlil-gibran-biografi.html#sthash.Jyn2sjX2.dpuf

Abdul Karim Amrullah

Biografi Haji Abdul Karim Amrullah Nama Lengkap: Abdul Karim Amrullah Tanggal Lahir: Sumatera Barat, 10 Februari 1879 Haji Abdul Karim Amrullah, disebut pula sebagai Haji Rasul, dilahirkan di desa Kepala Kabun, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 10 Februari 1879, dengan nama kecil Muhammad Rasul. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Amrullah, seorang syekh dari tarekat Naqsyabandiyah. Ibunya bernama Andung Tarawas. Pada tahun 1894 beliau dikirim ayahnya ke Mekah untuk menimba ilmu, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib yang pada waktu itu menjadi guru dan imam Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari perjalanan ke Jawa, beliau mengembangkan cabang organisasi Muhammadiyah di Minangkabau, yaitu di Sungai Batang, kampung halamannya. Haji Abdul Karim Amrullah wafat pada tanggal 2 Juni 1945. Salah satu puteranya, yaitu Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Karim_Amrullah - See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/02/biografi-haji-abdul-karim-amrullah.html#sthash.Pgpaepe8.dpuf

Goenawan Mohamad

Biografi Goenawan Susatyo Mohamad

Goenawan Susatyo Mohamad merupakan seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah, ia memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom "Catatan Pinggir" di Majalah Tempo.

Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini  pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair.  Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum.



Ia juga pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).

Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas VI SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B. Jassin. "Mbakyu saya juga ada yang menulis, entah di harian apa, di zaman Jepang," tutur Goenawan.

Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.

Goenawan Mohamad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot. Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi majalah politik.

Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Pak Harto diturunkan pada 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti perubahan jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian bernama Koran Tempo.

Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan bulan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohamad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tomy Winata, (17/5/2004). Pernyataan Goenawan yang dimuat Koran Tempo pada 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Arta Graha itu.

Goenawan yang biasa dipanggil Goen, mempelajari psikologi di Universitas Indonesia, mempelajari ilmu politik di Belgia dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.

Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), dan Catatan Pinggir (1982).

Hingga kini, Goenawan Mohamad banyak menghadiri konferensi baik sebagai pembicara, narasumber maupun peserta. Salah satunya, ia mengikuti konferensi yang diadakan di Gedung Putih pada 2001 dimana Bill Clinton dan Madeleine Albright menjadi tuan rumah.

Biodata Lengkap Goenawan Susatyo Mohamad

Nama:Goenawan Susatyo Mohamad
Lahir:Karangasem Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941
Agama:Islam

Istri:
Widarti Djajadisastra

Anak:
2 orang

Pendidikan:
- SR Negeri Parakan Batang, (1953)
- SMP Negeri II Pekalongan, (1956)
- SMA Negeri Pekalongan, (1959)
- Fakultas Psikologi UI Jakarta, (tidak selesai)

Karya Tulis:
- Parikesit, (kumpulan puisi, 1973)
- Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang (esei), (Pustaka Jaya, 1974)
- Interlude, (puisi, 1976)
- Sex, Sastra, Kita (esei), (Sinar Kasih 1980)
- Catatan Pinggir, (Grafitipers, 1982)

Penghargaan:
- Internasional dalam Kebebasan Pers (International Press Freedom Award) oleh Komite Pelindung Jurnalis (Committee to Protect Journalists), (1998)
- Internasional Editor (International Editor of the Year Award) dari World Press Review, Amerika Serikat, (Mei 1999)
- Louis Lyons dari Harvard University Amerika Serikat, (1997)
- Penghargaan Professor Teeuw dari Leiden University Belanda, (1992)

Organisasi dan Karir:
- Redaktur Harian KAMI, (1969-1970)
- Redaktur Majalah Horison, (1969-1974)
- Pemimpin Redaksi Majalah Ekspres, (1970-1971)
- Pemimpin Redaksi Majalah Swasembada (1985)
- Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO, (1971-sekarang)

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/g/goenawan-mohamad/index.shtml
- See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/02/biografi-goenawan-susatyo-mohamad.html#sthash.bGCZL6zW.dpuf

Abdoel Moeis

Biografi Abdoel Moeis

Abdoel Moeis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang sastrawan dan wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada tahun 1918 mewakili Centraal Sarekat Islam. Ia dimakamkan di TMP Cikutra – Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959).

Karir Beliau

Dia pernah bekerja sebagai klerk di Departemen Buderwijs en Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung pada surat kabar Belanda, Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim. Dia sempat menjadi Pemimpin Redaksi Kaoem Moeda sebelum mendirikan surat kabar Kaoem Kita pada 1924. Selain itu ia juga pernah aktif dalam Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan

Riwayat Perjuangan

    * Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express
    * Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite Bumiputera bersama dengan Ki Hadjar Dewantara
    * Pada tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat
    * Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School – Institut Teknologi Bandung (ITB)

Karya Sastra

    * Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972)
    * Pertemuan Jodoh (novel, 1933)
    * Surapati (novel, 1950)
    * Robert Anak Surapati(novel, 1953)

Terjemahannya

    * Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)
    * Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)
    * Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932)
    * Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)

TAGS: Biografi Abdoel Moeis,biodata Abdoel Moeis, profil Abdoel Moeis, riwayat hidup Abdul Muis

Referensi: http://biografitokohdunia.wordpress.com/2009/11/18/abdoel-moeis/
- See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-abdoel-moeis.html#sthash.MuoVaMVp.dpuf

Amir Hamzah

Tanggal Lahir: Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911
Wafat: Begumit, 20 Maret 1946
Angkatan     : Pujangga Baru
Karya terkenal     : Buah Rindu
Penghargaan     : Pahlawan Nasional, Pemerintah RI.

Amir Hamzah  adalah seorang sastrawan  Indonesia  angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu  (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu.

Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.

Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru.

Kumpulan puisi karyanya yang lain:
Nyanyi Sunyi (1937),
Setanggi Timur (1939),
Bagawat Gita (1933),
Syirul Asyar .

Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang.

Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatra bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.

Referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/Amir_Hamzah
- See more at: http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/05/biografi-amir-hamzah-sastrawan.html#sthash.TjtZGx7b.dpuf

Minggu, 12 Oktober 2014

Sambut Antologi Nasional Memo untuk Presiden

Dunia sastra Indonesia kembali digebrak dengan segera diluncurkan Antologi Puisi yang diberinama Memo untuk Presiden. Siapa lagi kalau bukan Leak Sosiawan , sastrawan asal Solo yang pada 2013 sukses menggagas Puisi Menolak Korupsi. Memo untuk Presiden dimaksudkan untuk mencermati gonjang-ganjing dunia politik nasional serta suksesi kepemimpinan nasional yang banyak menyita perhatian. Leak tidak bermaksud untuk membawa sastrawan ke kancah politik, namun hanyalah mengajak sastrawan Indonesia memberi kontribusi dalam bidangnya (bersyair) sesuai dengan mementum tersebut. Lebih dari itu Memo untuk Presiden sebagai penyejuk masyarakat pembaca sastra di Tanah Air untuk mengapresiasi karya sastra dalam sorotan pada Presiden. Walau pun begitu tetap pada jati diri puisi itu yakni pembawaannya yang 'terselubung' makna disamping nilai seni.
Antologi puisi Memo untuk Presiden  disamping Leak Sosiawan sebagai penggeraknya juga didukung banyak tokoh sastrawan Indonesia saat ini seperti, Akhmad Sekhu dari Jakarta, Eka Pradhaning dari Magelang, Rg. Bagus warsono dari Indramayu, Dyah Kencono Puspito Dewi dari Bekasi, Acep Syahril dari Jambi, Fransisca Ambar Kristiani dari Semarang, Syarifudin Arifin dari Padang, Nurochman Sudibyo dari Tegal, Rini Ganefa, dari Jakarta, Ali Syamsudin Arsi dari Banjarmasin, Hasan Bisri Bfc dari Bogor, dan  penyair berbakat dari Cilegon, Muhamad Rois Rinaldi serta banyak lagi sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia.
Lebih dari 200 puisi Memo untuk Presiden dari 196 penyair mengisi buku antologi tersebut. Kemungkinan banyak lagi 'memo' puisi yang akan mengisi buku selanjutnya mengingat banyak sastrawan ingin turut serta dalam kegiatan antologi bersama ini.
Peluncuran buku ini pertama kali akan dilaksanakan di Blitar di Taman Makam Pahlawan Proklamator Soekarno pada 1 Nofember 2014 yang akan datang. 

Sabtu, 11 Oktober 2014

Buku - buku sastra lama


  Potho Ragil: Antologi Tegalan karya penyair Indonesia

  Potho Ragil: Antologi Anak Panah karya Bambang Widiatmoko

  Potho Ragil:
  Potho Ragil: Antologi Pasar Kabut

  Potho Ragil: Antologi sastra Pedalaman

Antologi: Orasi Sunyi karya Yuhanto A Nugraha (Indramayu)

Antologi : Sketsa Kembara karya 8 Penyair

Antologi: Potret Reformasi karya 32 penyair Indonesia

Antologi Mencari dan Kehilangan karya Toto S Radik

  Potho Ragil Percakapan ombak karya Safrofin Arba MF dkk

  Potho Ragil: Antologi puisi dari negeri minyak

 Potho Ragil
  Potho Ragil
  Potho Ragil

  Potho Ragil

  Potho Ragil