TEKS SULUH


Selasa, 30 Desember 2014

2014 TAHUN CACAT SASTRA INDONESIA (catatan kilas balik sastra / Indonesia 2014)



Pada 3 Januari 2014 Pusat Dokumentasi HB Jassin memngumumkan 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia sejak tahun 1900 hingga kini. Pekerjaan menyeleksi 33 tokoh sastra tersebut dilakukan oleh Tim 8, dan hasil selengkapnya diterbitkan dalam bentuk buku oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan judul " 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang diumumkan oleh Aryany Isna Murti , pelaksana di Pusat Dokumentasi HB Jassin. Acara ini sekaligus peluncuran buku tersebut.
Sontak dalam hitungan jam buku itu mendapat protes keras dari pelbagai aktifis sastra Indonesia. Pasalnya buku yang ditulis oleh 'tim 8' itu dituduh tidaklah mencerminkan independensi penulis sastra dan tidak ilmiah. Hal demikian dikarenakan 33 tokoh sastra yang katanya paling berpengaruh itu terdapat nama yang asing bagi dunia sastra Indonesia yakni Denny JA .
Pada acara peluncuran dan diskusi buku 3 Januari di Jakarta ini, para penyaji dengan bangga mengatakan bahwa buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" adalah karya paling komprehensif tentang sejarah sastra Indonesia modern yang pernah dihasilkan oleh penulis-penulis Indonesia. Sebuah pernyataan yang mengingkari sejatinya seorang sastrawan. Pernyataan ini justru membuat berbagai lapisan masyarakat sastra protes keras. Bagaimana tidak membuat kesal masyarakat sastra yang merasa dilecehkan begitu saja oleh mereka tim penulis dikarenakan permasalahan 33 tokoh sastra berpengaruh itu yang tidak bisa diterima.
Buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" itu diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) yang tak lain adalah Grup Gramedia, raksasa penerbitan di Indonesia yang memiliki usaha perbukuan dari hulu ke hilir. Ini berarti jika memang benar buku ini tidak sesuai kenyataan maka telah meracuni rakyat Indonesia dalah hal pengetahuan sastra Indonesia.
Sebagai seorang penyair daerah saya sendiri (penulis) merasa heran kenapa Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin pun dilibatkan. Sesuatu yang aneh apabila lembaga sastra langsung menerima dan berperan memberi kelayakan sebuah buku tanpa sebelumnya buku itu dikaji atau setidaknya dicatat dulu sebagai buku di perpustakaan lembaga itu.
Dari dua hal ini saja dapat dilihat bagaimana proses buku itu dibuat. Pantas jika sampai berbulan-bulan buku ini menerima kecaman dari berbagai lapisan masyarakat sastra dan akademika.
Seperti angin lalu saja, padahal seluruh media nasional memuat berbagai penolakan dari banyak kalangan terhadap buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" itu, bahkan sampai didemo, tak juga merubah wacana yang sudah terlanjur dipublikasikan. Bahkan penarikan buku dari peredaran pun tgak digubrisnya. Sepertinya ada sesuatu sikap dari berbagai tokoh untuk memberi kesempatan pada publik untuk memberikan penilaiannya tentang buku itu.
Seperti diberitakan, nama Denny JA masuk sebagai salah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Polemik mencuat karena latar belakang Denny yang lebih dikenal sebagai konsultan politik. Namun tentu kita berfikir sah-sah saja apa pun profesinya dapat berkarya sastra, namun justru tak dapat dipungkiri apabila terdapat 'pesan sponsor' dan ditambah-tambah peluncuran buku itu bertepatan dengan hari ulang tahun Denny JA.
Penulis sendiri sebetulnya tidak sama sekali mempermasalahkan ke 33 tokoh tersebut dinobatkan apa pun namanya, namun seperti juga insan sastra Indonesia memandang ketidakadilan terdapat pada 33 nama itu manakala terdapat satu atau beberapa nama terlewatkan . sebut saja tokoh sastra Indonesia senior yang tak diragukan lagi karya-karyanya dan sangat berpengaruh baik tulisan maupun tindak-tanduknya yakni Goenawan Muhammad. Meski Goenawan Muhamad sendiri tidak keberatan tidak tercantum namanya di buku itu bahkan dalam pernyataan di media Ia merendahkan diri dengan mengatakan ia tak layak masuk 33 tokoh itu, namun masuyarakat memandang tetap terdapat ketidakpercayaan terhadap buku itu.
Jamal D Rahman ketua tim 8 yang menulis buku itu mengatakan bahwa jika pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu terpilih sebagai 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh karena ia melahirkan genre baru dalam puisi Indonesia yang disebut 'puisi-esai'. Genre puisi esai ini memancing perdebatan luas di kalangan sastrawan Indonesia . Aneka perdebatan itu sudah pula dibukukan. Jamal pun beralasan bahwa terlepas dari pro kontra pencapaian estetik dari puisi esai, pengaruh puisi esai dan penggagasnya Denny JA dalam dinamika sastra mutakhir tak mungkin diabaikan siapapun. Sebuah pernyataan yang patut diuji dokumentasi sejarah sastra Indonesia apakah benar Denny JA adalah pelopor puisi -esai ? Salah satu penyanggah persoalan ini adalah sastrawan asal Yogyakarta, Saut Situmorang yang menjelaskan, puisi jenis ini sangat populer dalam kesusastraan Inggris abad 18, terutama seperti yang ditulis oleh sang maestro genre tersebut Alexander Pope.
Antologi puisi esai ‘Atas Nama Cinta’ karya Denny JA itu katanya telah mempengaruhi sastra Indonesia. Akan tetapi ditemukan justru mereka sendiri yang kemudian membukukan perdebatan, membuat lomba, dan mensponsori penerbitan puisi-esai sehingga mendukung pengakuan terhadap Denny JA. Bahkan ada disebut Denny JA sebagai 'Bapak Puisi-Esai Indonesia.'
Kini  samampailah kita pada penghujung tahun 2014, polemic panjang seakan telah berakhir. Dunia sastra Indonesia mengalami perubahan  seperti Indonesia yang berkembang. Kejadian ini adalah sebuah tantangan terhadap pelaku sastra di daerah. Peran kapitalis telah merambah dunia sastra dunia kebebasan itu dengan mudahnya dibelenggu.
Akhirnya kita tak banyak berbuat apa , hanya kepa publiklah segala persoalan sastra Indonesia ke depan  memiliki nasibnya.
Bicara kebebasan tentu kita juga harus memberikan kesempatan pada siapa pun untuk bebas berkarya.
Sangat salah besar apabila kita melarang kreatifitas seseorang.  Seperti apa yang diungkapkan oleh Sapardi Djojo damono, “Karya seni itu biasa menimbulkan polemik, biarkan saja semua ngomong, berbeda pendapat kan boleh saja. Yang tidak boleh itu orang lain harus berpendapat sama.” 
Sapardi benar,  karena karya seni itu akan besar jika banyak dibicarakan. Yang tidak boleh itu adalah memaksakan  pada orang lain harus menerima  atau menolak buku itu. Yang jelas 2014 sastra kita punya cacat yang akan menjadi  kenangan  sastra Indonesia. 

Indramayu, 30-12-2014
Rg Bagus Warsono, penyair di sanggar sastra Meronte Jaring Indramayu

Jumat, 26 Desember 2014

Dan ini salah satu puisiku di buku 'Jangan Jadi sastrawan " yang diterbitkan Indie publishing Jakarta berjudul Aku Batu tak Bersinar: 8.Aku batu tak bersinar

Sebab pilihan berbeda
Membentuk rangkai kata
Menggoreskan lembar penuh warna
teka teki baca
menyembunyikan goresan penyair


(rg. Bagus Warsono 2004, Jangan Jadi Sastrawan)
2.Ukulele

musik cepat lagu lambat
keroncong penyair
memainkan jemari tak henti
namun tida hafal
pengalaman
mengulang dan mengulang
waktu percuma
namun uku lele
berhenti nyaring menamatkan syair
(rg. Bagus Warsono 2004, Jangan Jadi Sastrawan)
3.Lilin Penyair




Diam tak ada tiupan angin
Sedikit angin, api bergerak
Besar angin aku padam
Menari aku di angin pelan
airmata diam dalam nyala mahkotaku api
meleleh melumuri tubuh
bahwa membekas pengalaman
Semakin kecil aku menerang
untuk semua dalam jangkauanku

(rg. Bagus Warsono 2004, Jangan Jadi Sastrawan)
4.Pena Penyair


Menerjang lebaran hampa

menelusuri angan mencari idealisme
menari kesombongan
penuh kepalsuan diri
pena penyair memberi keteduhan
hati mengering menahan pergolakan
aku sampah atau emas
atau hanya menyiram di pasir gurun

(rg. Bagus Warsono 2004, Jangan Jadi Sastrawan)
5.Diantara acliric




Dapatkah tuan tak memohon
paduan acliric di kanvas
meski berani ganti
berikan kami kebebasan
diantara acliric
untuk tuan berani ganti
agar aku tetap diantara aclirics
(rg. Bagus Warsono 2004, Jangan Jadi Sastrawan)
6.Lentera Kecil

lentera kecil berjuta
tak dapat menerang jalan
percuma
lentera kecil adalah makna
bagi nenek tua di hutan gelap
lentera berjuta dijajar
tak akan menerang mata
percuma
(rg. Bagus Warsono 2004, Jangan Jadi Sastrawan)
7.Bisakah indah berlari seperti kuda



Bisakah indah berlari seperti kuda
mengharap cita
dengan pesona
bisakah berlari mengejar mereka
dengan ringkik dan derap
diri cita penyair
(rg. Bagus Warsono 2004, Jangan Jadi Sastrawan
8.Aku batu tak bersinar


aku batu tak bersinar
diantara gunduk manikam
akik kecil tak bertuan
menunggu pandai batu
mengangling aku
namun akik lain , firus, safir, pualam
menjadi cincin pujaan
aku masih menunggu
pak tua mengikir
sampai kapan?

(rg. Bagus Warsono 2004, Jangan Jadi Sastrawan)
9.Sebatang Rokok
Sebatang rokok terakhir
Dari sebungkus rokok
Dalam satu puisi adalah kalimat pamungkas
Penutup sebelum berakhir
Membunuh nafsu
Megulung kertas
Sebatang rokok semakin pendek menjadi abu
Dan akhirnya menyentuh batas harapan.
Puntung yang tersisa

(rg. Bagus Warsono 2004, Jangan Jadi Sastrawan)
10.Istri
Tak ada kegembiraan istri
Walau puisi terindah
Karena puisi baginya adalah hati perempuan
Keinginan dari otak ringan
Yang tak mau pusing kemudian
Namun  menyimpan
Puisi indah dari suaminya penyair.

Rabu, 24 Desember 2014

Aku memang seperti ikan,

RgBagus Warsono  
Aku memang seperti ikan, di tahun 2014 ,
 bernafas dalam air , minum air banyak tapi tak kembung, 
diair jernih terlihat buruk rupaku, diair kotor apalagi,
 berjalan disangka melayang, disangka berlari padahal menerjang deras air. 
Jika aku ikan aku hanya ingin di air yang tenang.

Penyair Indonesia dari Kalimantan Selatan dalam buku kumpulan puisi :




“Memo Untuk Presiden”



Oleh : Ali Syamsudin Arsi



“Puisi sebagai anak kandung kebudayaan pada dasarnya dapat berperan sebagai pengingat dan penggugah jiwa kehidupan berdasarkan fakta kebenaran serta nurani kejujuran. Sebab, penyair sebagai individu yang berdaya di dalam jaman – baik sebagai sasksi maupun agen perubahan – terbukti mampu melahirkan gagasan secara jernih untuk menangkap suara rakyat, suara jaman, dan suara kebenaran. Dengan mempresentasikan gagasan tersebut lewat penerbitan, mendistribusikan dan menyosialisasikan secara luas, puisi bisa berfungsi sebagai penjaga moral bagi semua yang terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Nukilan pengantar dalam buku “Memo untuk Presiden” tersebut di atas memberi kesempatan luas kepada “puisi” untuk bergerak-menyeruak-menukik-mengepung-menghujam jauh ke lunas-lunas terdalam dan sangat jauh menjelajah-merambah-memeluk-membelai-menghentak-membongkar nuansa-nuansa waktu maupun wilayah tanpa batas atau pun sesuatu yang berbatas, sampai ke batas-batas laku dan gerak bernama sifat, karakter bahkan tabiat. Sifat, karakter dan tabiat ternyata adalah sebuah produk kebudayaan dari manusia individu selanjutnya berkumpul menjadi kumpulan individu – konvensi, kemufakatan yang mengarah terhadap adat sebagai cikal-bakal terbentuknya kebudayaan, tentu dengan kelengkapan seperangkat syarat lainnya , adalah daya, adalah kekuatan, adalah energi ; demi keutuhan kesatuan dalam balutan persaudaraan – hal mendasar ini perlu penguatan agar kondisi ‘cerai-berai’ yang nyata-nyata sudah terpampang di depan mata dan keretakan demi keretakan karena geografi, maka cara pandang dengan wawasan luas kuat berakar sangatlah perlu dan prioritas utama.

Kepada satu nama tetapi sebenarnya kepada banyak nama. Telunjuk mengarah kepada satu wajah – dengan seperangkat sifat, karakter dan tabiatnya – padahal sebenarnya kepada banyak wajah, banyak sifat, banyak karakter, banyak tabiat. Kita sebagai “indonesia” adalah kekuatan sekaligus sesuatu yang sangat mudah rapuh bila tatanan mendasar selalu memberi peluang jalan ke arah cerai-berai.
Puisi yang telah memiliki kekuatan mandat sebagai perekat walau sampai ke tingkat paling getir dari segala yang dirasakan merupakan lingkar-jerat kuat dari sudut batinnya.

Puisi bicara dari sudut semangat, semangat dalam kata-kata, karena setiap kata memiliki makna.

Presiden telah mendapat mandat dari sejumlah individu melalui suara pilihannya, sama halnya ketika puisi mendapat keluasan merambah ke segala celah. Ini menguatkan isyarat bahwa presiden dan puisi menjadi satu lembaga dengan landasan semangat kuat dan berdaya guna.

Di negeri indonesia ini presiden dengan kekuatan puisi pada pikiran-pikiran yang tertuang dalam kebijakan demi kebijakan tentu saja akan membuka wahana luas, menukik dan sangat merasa. Indonesia yang kaya melimpah ruah adalah kenyataan karena itu berupa potensi, tetapi ketika tata kelola yang tidak sebagaimana dirasakan oleh rakyatnya maka puisi selayaknya tampil untuk membuka jalan dan menghantam ketidakwajaran yang dilakukan.

Sistem adalah bagian penting dari kemufakatan tersebut di atas, dan seorang presiden punya kekuatan untuk meluruskan penyimpangan demi penyimpangan yang cara kerjanya dilandasi pemahaman demi pemahaman puitis, jalan-jalan keindahan dari nurani terdalam yang berlaku secara damai; penyelesaian akar masalah tanpa harus mengalirkan darah demi darah. Sebab, darah biasanya akan berbalas darah.
Presiden, tanpa jalan puitis yang lain, perangkat lengkap di bawahnya, maka boleh jadi menjadi lalai dalam satu-kesatuan sistemnya.

Benar bila, puisi seperangkat kata-kata. Benar pula bila presiden, dalam ruang geraknya adalah seperangkat kata-kata. Sinergi di jalan puisi adalah bicara dengan hati nurani. Berani tentu seorang presiden membaca banyak puisi dengan seperangkat pemahaman di dalam ruang geraknya. Semua karena semangatnya.

Presiden dan puisi adalah semangat kata-kata, semangat kata-kata sebagai landasan kuat berdaya guna pada ruang gerak kerja, kerja dan kerja.

Memo untuk Presiden melalui jalan puisi adalah sebuah upaya secara batin bahwa daya ingat seorang individu manusia, tak terkecuali kepada sosok seorang presiden dengan perangkat lengkap di bawahnya, diperlukan adanya semacam ‘penghalau daya ingat’ bahwa kepentingan kita adalah kepentingan sebuah makna besar bernama negara. Tak lain dan tak bukan Negara Indonesia.

Sejumlah karya dari sejumlah nama penulisnya telah diupayakan dengan sungguh-sungguh dikumandangkan dan dikumpulkan dalam sebuah buku kumpulan, maka di dalamnya pun beriak-bergelombang-bergejolak-mengalun-bahkan menghentak-hentak. Memo adalah catatan pendek dan penting bahkan mengarah kepada genting, segera dicermati ditindaklanjuti, segera, sesegeranya.
Hanya langkah tepat dan cerdas seorang presiden yang mampu mengatasi karena Indonesia bukanlah sebuah Negara Kecil, Indonesia adalah sebuah Negara Besar dengan tata kelola penyelesaian bersifat besar tetapi tidak boleh lalai dalam hal-hal yang kecil, sekecil apa pun itu tetaplah dan seterusnya dalam tanggungjawab negara. Gemericik air jernih dan sehat sudahkah sampai ke ujung terjauh dalam celah tubuh manusia, manusia indonesia. Bening udara bebas beban virus sudahkah dihirup secara benar oleh paru-paru manusia, manusia indonesia. Jerit dan teriak pilu sudahkah mendapat sinyal yang selayaknya oleh tangan-tangan manusia, manusia indonesia.

Peluncuran buku Memori untuk Presiden (selanjutnya MuP) dilakukan pertama kali di kota Blitar, tepatnya di Istana Gebang (rumah kediaman keluarga Bung Karno, Sabtu 1 November 2014.

Hal yang menarik bagi warga sastra di tanah banua, tanah Kalimantan Selatan, tepatnya pada tanggal 9 – 10 Januari nanti di Kotabaru dilaksanakan agenda peluncuran kedua buku MuP, tepatnya dikaitkan dengan acara HUT ke-8 Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) SMKN 1 Kotabaru. Semoga lancar dan sukses agenda sesuai rencana. Amin.

Adapun beberapa nama penulis puisi dari (saat ini berdomisili di) Kalimantan Selatan terdapat di dalam buku MuP tersebut adalah Sybram Mulsi (Rantau), Syarif Hidayatullah (Banjarmasin), Sumasno Hadi (Banjarmasin),  Maria Roeslie (Banjarmasin), M. Amin Mustika Muda (Marabahan), Jhon F.S. Pane (Kotabaru), Iberahim (Barabai), Helwatin Najwa (Kotabaru), Fahrurraji Asmuni (Amuntai), Awan Hadi Wismoko (Banjarbaru), Arsyad Indradi (Banjarbaru), Anna Mariyana (Marabahan), Andi Jamaluddin AR.AK. (Pagatan), Ali Syamsudin Arsi (Banjarbaru), dan Abdurrahman El Husaini (Martapura). 15 penulis puisi dari 196 nama secara keseluruhan yang tersatuka oleh tema bahwa ada harapan besar agar puisi-puisi tersebut mampu memberikan perhatian dan dorongan atas kerja seorang presiden di negara tercinta ini. Pihak kurator sendiri, seorang bernama Sosiawan Leak, sangat menjaga kemandirian selama proses penyertaan dan tahap seleksi seluruh karya puisi yang masuk untuk tidak bercondong ke pihak tertentu agar “ puisi yang terangkum di dalamnya senantiasa merdeka dari pemikiran yang bersifat partisan, serta bebas dari ‘pesan sponsor’ pihak-pihak yang punya kepentingan menyimpang,” tulisnya pada kelanjutan pengantar. Itu sangatlah dimaklumkan karena gesekan politik sebelum menjadi orang pilihan, telah bukan rahasia lagi bila banyak berteburan saling tendang saling rubuh saling hujat bahkan saling bungkam. Lantas, apakah seorang presiden mampu meletakan semua semangat kata-kata dalam buku yang tebalnya 476 itu tertuangkan di semua ruang gerak kebijakan demi kebijakannya.

Nah, semangat dalam kata-kata itu, diterjemahkan oleh seorang bernama Helwatin Najwa sebagai bagian penting untuk menyatakan bahwa kerja, kerja dan kerja itu memerlukan semangat penggerak secara nyata.

Sekedar mengingatkan bahwa “Kerja belum selesai, belum apa-apa,” (Chairil Anwar) atau ketika, “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata,” (WS Rendra).
Maka, masuklah wahai presiden terpilih, masuklah melalui jalan pilihan, jalan itu bernama puisi. Karena,  puisi dapat menyerap dan menyuarakan semua suara, suara kebijaksanaan berlandaskan hati nurani kebenaran.

Tentu saja makna demi makna dalam buku itu, dalam seluruh puisi itu,  bukan hanya untuk saat ini tetapi ia akan berlaku pula di rentang waktu jauh ke depan.

Salam gumam asa, Banjarbaru, 22 Desember 2014.
(sesaat dalam renungan terdalam untuk mama di mana pun berada, di seluruh tanah indonesia)

Sabtu, 20 Desember 2014

Kesaksian Pembaca Sebuah Karya Sastra

Kesaksian Pembaca Sebuah Karya Sastra
Bagaimana pembaca bersaksi bahwa Anda adalah seorang pengarang dengan karya yang besar. Padahal pembaca tak memiliki legetimasi sebagai pemegang kesaksian karya itu. Bukan tidak mungkin akhirnya merupkan pengakuan sementara dari seseorang, kelompok /beberapa orang yang kemudian pernyataan kesaksian itu ditelan waktu dan lupa.
Baiklah kita gali lebih jauh bagaimana peran pembaca terhadap sebuah karya sastra menjadi berperan sebagai saksi bagi sebuah karya sastra yang dibuat pengarangnya.
Apresiasi Pembaca
Sejauhmana karya Anda mendapat kesaksian pembaca, adalah sejauhmana apresiasi didapatkan dari membaca karya sastra. Apresiasi pembaca diwujudkan dalam kehidupan dan kegiatannya mengisi hidup dan apresiasi lain adalah diwujudkan dalam bahasa tulis.
Hidup dan kegiatnnya ditampilkan dalam kegiatan mengisi dunia merteka melakukannya wujud kesaksian itu dengan berbagai kegiatan relevan dengan sastra seperti lomba membaca karya sastra (puisi/cerpen), penampilan drama , film, diskusi, bedah buku dan sebagainya. Kesaksian pembaca yang demikian biasanya mengundang orang untuk membuat kesaksian dengan bahasa tulis seperi pemberitaan melalui media massa, atau wujud apresiasi ragam tulisan lain.
Kesaksian dalam bahasa tulis ini menjadi kesaksian yang berkualitas karena memiliki ujud kebendaan yang memang bersumber dari seseorang yang menuliskan tentang karya Anda itu. Semakin banyak orang memberi kesaksian dalam bahasa rtulis maka semakin kuat karya sastra dan pengarangnya diakui seluas sebuah kesaksian itu.
bersambung............
RgBagus Warsono 21-12-14

Kamis, 18 Desember 2014

Ibu Takan Kecewa

Ibu Takan Kecewa
melihat nilai raportku " A "
sehingga ibu tak menghitung piring nasi sarapan pagi
dan membelikan baju seragam dari telor mata sapi setiap hari
ia tak makan enak hanya untuk anak
dan yang dicucinya setiap hari
piring kotor dan kaos kaki.
Ibu takan kecewa
dengan nilai ijazahku "A"
membelikan toga yang sekali pakai
dan tak menghitung lagi transver bulanan
atau ketika aku mengarang kebutuhan
serta fotocopy ribuan lembar
Ibu takan kecewa
walau aku belum dapat kerja
itu bukan nilai raportmu
Ibu tahu aku mendapat "A" di setiap seleksi penerimaan kerja
Ibu tak kecewa

Jumat,19-12-2014