Butho di masyarakat Indramayu - Cirebon hingga daerah Subang-Karawang utara adalah perlambang keangkaramurkaan dan slalu dalam barisan wayang-abang (pihak yang jahat) dalam cerita-cerita Sandiwara , seni khas daerah ini, (Madres/Ludruk/Wayang orang). Biasanya keluar disaat saat pihak jahat mengalami keterancaman atau kepepet. Butho keluar di tengah malam sehingga menambah pertunjukan Sandiwara itu semakin seru.
Seiring dengan sepinya orang nanggap pertunjukan ini, para seniman beralih profresi dan sebagian seniman lain pindah ke seni pertunjukan lain. Peran butho semakin sepi di panggung. Alat (kedok) butho pun dimanfaatkan untuk hal lain. Salah satunya adalah sebagai cara meinta-minta. Semula hanya pada saat-saat tertentu seperti pada jelang dan saat lebaran, atau hari perayaan nasional. Kini butho sudah sering muncul sebagai alat untuk meminta-minta sedekah.
Kini butho pertunjukan itu sudah tidak menakutkan lagi anak-anak. Ia kerap hadir siang hari bahkan dikeramaian orang. Tampa malu-malu butho hadir di seni pertunjukan obrok , gotong singa , dan karnafal orang jhajatan.Wajah seram butho tidak lagi menakutkan, bahkan ia akrab dengan anak-anak. Doloe sekali butho sangat menakutkan bahkan di panggung sandiwara saja kehadirannya membuat anak-anak lari ketika menonton pertunjukan itu.
Certa-cerita yang menghadirkan butho sebetulnya hanya pada cerita-cerita tertentu. Kemudian dalam cerita carang lain butho selalu hadir untuk menarik minat penonton. Sandiwara pun semakin penuh sesak penonton. Cerita sandiwara yang sering menghadirkan butho adalah cerita-cerita kerajaan Cirebon. Tetapi grup Sandiwara Dharma Saputra yang sering membawakan cerita perjuangan tak luput menghadirkan butho sebagai pemanis cerita perjuangan itu, misalnya ketika sang ksatria tengah bertapa dan digoda oleh butho ijo ! (rg bagus warsono, 20-08-18)