TEKS SULUH


Sabtu, 19 September 2020

Mengenal Umbu Landu Paranggi

 Umbu Landu Paranggi merupakan seorang penyair yang pernah dijuluki "Presiden Malioboro". Julukan itu lahir karena aktivitasnya dalam berkesenian, khususnya dalam dunia sastra. Di Malioboro, Yogyakarta, bersama-sama dengan para penyair dan penulis Yogyakarta, Umbu Landu Paranggi sering bertemu, berkumpul, dan berbincang-bincang tentang masalah-masalah kebudayaan. Julukan sebagai "Presiden Malioboro" juga tidak lepas dari posisi Umbu Landu Paranggi sebagai pengasuh Persada Studi Klub (PSK) yang didirikan pada tanggal 5 Maret 1969. Persada Studi Klub didirikannya dengan tujuan menyalurkan bakat dan minat kalangan muda yang tertarik pada kesenian, khususnya kesastraan. Meskipun nama Persada Studi Klub mirip dengan nama rubrik "Persada" (rubrik kebudayaan mingguan Pelopor Yogya), Umbu mengatakan bahwa kesamaan nama itu hanya kebetulan saja, dan tidak ada hubungan organisatoris antara Pelopor Yogya dan Persada Studi Klub. Walaupun tidak memiliki hubungan organisatoris, Persada Studi Klub bermarkas di kantor Pelopor Yogya yang beralamatkan di Jalan Malioboro 175 atas. Di tempat itu pula Umbu mengajarkan apresiasi puisi kepada "murid-muridnya". Oleh karena tugasnya itu, ia sering tidur di atas tumpukan surat kabar. Persada Studi Klub yang diasuh Umbu itu di kemudian hari ternyata cukup menunjukkan perannya yang berarti dalam membesarkan beberapa sastrawan di pentas nasional. Beberapa nama "murid" Umbu yang mengorbit di tingkat nasional atau tingkat lokal antara lain, adalah Linus Suryadi Ag., Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Suwarna Pragolapati, Joko S. Passandaran, dan Arwan Tuti Artha. Emha Ainun Nadjib (2010) mengomentari Umbu Landu Paranggi sebagai "sosok yang merangsang dan menantang lewat 'Pos Konsultasi' (dalam Pelopor Yogya) yang diasuhnya. Di tangan Umbu sebagai kipernya, menggunakan metafor seakan-akan permainan sepak bola yang menggairahkan: stamina, teknik, intuisi, dribbling, dan akurasi tembakan". Sementara itu, Arwan Tuti Artha (2010) menggambarkan betapa para penyair asuhan Umbu setiap minggu gelisah menunggu terbitnya Pelopor Yogya " dan penyair yang menghuni ruang Persada akan mabuk mimpi memasukkan goal ke Persada Pilihan serta cita-cita jangka panjang kapan menembus ke kelas berat Sabana yang ketatnya sama dengan masuk gawang sajak majalah Horison ketika itu". Betapa pentingnya peran Umbu Landu Paranggi dalam membangun dan mengembangkan suasana sastra yang kreatif, tampak dari komentar Emha Ainun Nadjib pada tahun 1985--sepuluh tahun setelah Umbu meninggalkan Yogyakarta--tentang iklim sastra di Yogya: "Sastra Yogya seringkali jadi nostalgik, romantik, dan nyinyir." Dalam melanjutkan komentar Emha, Arwan Tuti Artha berpendapat, "Beberapa sastrawan potensial hanya berhasil memacu dirinya, sedikit mengguncangkan situasi, tetapi tak seorang pun mampu menempati peranan Umbu sebagai ustadz." Umbu Landu Paranggi lahir di Sumba, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Dia menyelesaikan Sekolah Rakyat dan Sekolah Menengah Pertama di Sumba, menempuh Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta, dan kemudian melanjutkan studi ke Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta hingga tahun 1965. Umbu mulai menulis ketika duduk di SMP. Tahun 1960 karyanya pertama kali dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia (ruang "Fajar Menyingsing"). Umbu berusaha terus meningkatkan diri sehingga puisinya akhirnya menembus "Ruang Budaya" pada tahun 1962. Selanjutnya, sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia, Gajah Mada, Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Gelanggang, dan Pelopor Yogya. Kumpulan sajaknya yang pertama adalah Melodia (sajak-sajak tahun 1962--1967), tetapi belum terbit. Tahun 1968 bersama-sama puisi Darmanto Jt. dan Abdul Hadi W.M., puisi Umbu Landu Paranggi hadir dalam antologi Manifes yang diterbitkan oleh Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia dan dengan ilustrasi oleh pelukis Amri Yahya. Tahun 1965, sekeluarnya dari Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Umbu Landu Paranggi menganggur total dan menikmati gaya hidup bohemian. Akan tetapi, tidak lama kemudian ia segera menjadi redaktur mingguan Pelopor Yogya, yang segera naik tirasnya karena Umbu menampilkan pawai puisi dalam satu halaman tiap kali terbit. Penyair-penyair muda berdatangan, dan Umbu menerima mereka dengan kesetiaan yang luar biasa. Dengan para penyair muda itu Umbu mendiskusikan masalah-masalah sastra dan filsafat hingga larut malam. Selain itu, Umbu juga menyanyikan puisinya bersama Deded, gitaris Yogya yang terkenal. Umbu dengan pembacaan puisinya dan musikalisasi puisinya kemudian merambah ke kampus-kampus dan radio-radio swasta di Yogyakarta. Tahun 1975 Umbu Landu Paranggi meninggalkan Yogya dan kemudian bermukim di Denpasar, Bali. Di Denpasar ia melanjutkan dedikasinya dalam dunia apresiasi puisi, khususnya dalam penggodokan calon-calon penyair, sebagaimana yang dilakukannya selama berada di Yogya. Murid-muridnya di Bali yang namanya sempat mencuat dalam khazanah sastra nasional berkat tempaan sang "Presiden Malioboro" antara lain, adalah Nyoman Tusthi Eddy dan Raka Kusuma. Di Denpasar Umbu Landu Paranggi bekerja sebagai redaktur Bali Post dengan mengasuh ruang remaja "Pos Remaja" dan ruang kebudayaan "Pos Budaya".. Seorang tokoh sastra di wilayah Mataram, Putu Arya Tirtawirya, berpendapat bahwa keunggulan Umbu Landu Paranggi lahir dari dedikasinya yang tinggi dalam mengembangkan apresiasi sastra, terutama puisi, di kalangan masyarakat luas, khususnya di kalangan generasi muda.


Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Umbu_Landu_Paranggi | Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia