TEKS SULUH


Sabtu, 18 Mei 2019

Antologi Anak Cucu Pujangga (ACP) Penyair Indonesia


Antologi
Anak Cucu Pujangga
(ACP)
Penyair Indonesia





Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia VII 2019


Anak Cucu Pujangga (ACP) Antologi Puisi Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia VII 2019 Penyair Indonesia
Penulis :
1.Raeditya Andung Susanto (Brebes)
2.Carmad.(Indramayu)
3.Anisah
4. Ure Maran (Larantuka)
5. Zaeni Boli (Larantuka, Flores)
6. Sarwo Darmono (Lumajang)
7.Gilang Teguh Pambudi (Jakarta)
8. Bd'oel Santri Bangor
         9. Mohd Zainal Bin Abdul Karim
            (Pasangkayulawesi Barat)
10. Teguh Ari Prianto (Cimahi)
11.Rg Bagus Warsono (Indramayu)
12. Pensil Kajoe
13.Heru Mugiarso (Semarang)
14.Emby B. Metha (Lama Halla, Flores)
15.Sami’an Adib (Tegal)
16. M. Sapto Yuwono (Muara Bungo)
17. (Arie Png Adadua) Syaiful B. Harun.(Palembang)
18.Agus Mursalin (Kebumen)
19. Sugeng Joko Utomo.  (Gombong)
20.M Dhaun El Firdaus (Gombong)
21.Karan Figo (Jakarta).
22.Anom Triwiyanto (Gombong)
23.Buanergis Muryono (Depok)
24. Lela Hayati (Bandung)
25.Barokah Nawawi (Semarang)
26.Sukma Putra Permana (Kota Gede)
27. Fian N,Dalam Waktu (Maumere)
28. Wanto Tirta (Banyumas)
Mengenang Pujangga

   Ternyata banyak tokoh penyair yang menjadi kesan generasinya, Tokoh-tokoh seperti Ane Matahari ditulis dalam puisi-puisi Zaeni Boli, Emha Ainun Nazib oleh Teguh Ari Prianto, Rendra oleh Pensil Kajoe , Ronggo Warsito oleh Karan Figo , Chairil oleh Sukma Putra Permana sedangkan Barokah Nawawi tentang Toto Sudarto Bachtiar.
Pada lain puisi yang menarik lainnya Mas Yono Buanergis Muryonomengagumi penyair yang juga nabi yaitu nabi Sualaiman As Salomo, sedang M Dhaun El Firdaus menulis tentang Gus Candra Malik.
Tentu saja buku ini menarik untuk dibaca generasi muda pecinta sastra Indonesia bahwa penyair itu menjadi perbincangan sebagai manusia yang patut dikenang karena jasanya.

   Lebih menarik lagi ada penyair menulis tentang Widji Thukul, seorang penyair yang fenomental sebagai tokoh reformasi negeri yang hilang di masa reformasi Indonesia berkecamuk. Seperti penyair Sugeng Joko Utomo dan Karan Figo, sedang Heru Mugiarso menulis tentang Afrizal Malna. Sisi lain penyair Sami’an Adib menulis tentang Gus Mus. Dan Sapardi Djoko Damono ditulis oleh penyair Sukma Putra Permana Dukamu Sapardi .

 


Daftar Isi :

1.Raeditya Andung Susanto, Tidur dengan Celana Jokpin………………………………………..
2.Carmad, Merak di Ufuk Senja…………………..
3.Anisah, Sang Api Buat: Gus Warsono………….
4. Ure Maran, Kembang Sajak Bulan Desember;
    Ketika Semesta Dalam Kebingungan………….
5. Zaeni Boli, Rindu Baang…………………………
6. Sarwo Darmono,  Aku Cucu Pujangga
7.Gilang Teguh Pambudi, Aku Cerita Lewat Pertanyaan
8. Bd'oel Santri Bangor, Anak Pujangga
9. Mohd Zainal Bin Abdul Karim, Serpihan Cahaya Ane Matahari
10.Teguh Ari Prianto, Kurir Kata-kata Emha
11.Rg Bagus Warsono, Celana Pendek Leak
12. Pensil Kajoe, Semalam Kubertemu Rendra
13.Heru Mugiarso, Aku Ingin
14.Emby B. Metha, * Tuhan Ku Dimana
15.Sami’an Adib, Pewaris Celurit Emas
16. M. Sapto Yuwono, Kepada Zara Zetira ZR dan Putriku
17. Arie Png Adadua  (Syaiful B. Harun), Tapi Aku
18.Agus Mursalin, Omongan Tanpa Naskah (kau yang selalu bergejolak)
19. Sugeng Joko Utomo, Ode Buat Rendra
20.M Dhaun El Firdaus, Setelah Pertemuan Itu (Teruntuk Gus Candra Malik)
21.Karan Figo, Aku Pengagummu Ki Ronggo Warsito
22.Anom Triwiyanto, Rebel Anwar……………..
23.Buanergis Muryono, Sulaiman As Salomo...
24. Lela Hayati,Manteramu Candu Cintaku
25.Barokah Nawawi, Kepada Toto Sudarto Bachtiar
26.Sukma Putra Permana, Catatan untuk Chairil di Batu Kilometer
     Terakhir Antara Krawang –Bekasi
27. Fian N,Dalam Waktu: Kita Abadi



























1.Raeditya Andung Susanto

Tidur dengan Celana Jokpin

Semalam, saya tidur dengan Jokpin
Diajari olehnya bagaimana cara menenangkan malam
Menimang kata-kata
Kemudian latihan tidur berselimut puisi
Dia memberikan celananya yang tua dan kedodoran
saya kenakan, kemudian dibungkus sarung
Yang pernah berkibar gagah
Di pantai; bersama pacar senjanya
Bekasi, 2019



















Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dan sebisanya
Supaya kelak tak menjadi duka yang abadi
Pada suatu hari nanti
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dan sebisanya
menjadi selembar daun yang terbang ke kotamu
Untuk melipat jarak dari waktu yang fana
Kemudian menyepi di pinggir telaga
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dan sebisanya
Lalu bercermin di matahari
Mencipta baying-bayang
Hingga angin meniup hujan bulan juni
Dan kasih kata-kata : abadi
Bekasi, 2019

Raeditya Andung Susanto, penulis muda kelahiran Bumiayu Brebes yang sedang menempuh pendidikan S1 di Bekasi.Anggota Komunitas Bumiayu Creative City Forum (BCCF). Karya-karyanya pernah dimuat dalam antologi Senyum Lembah Ijen, Indonesia Lucu Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia jilid VI, Menjemput Rindu di Taman Maluku, Abu-abu Merah Jambu, Mblekethek. Puisinya tayang di redaksi Tembi Rumah Budaya Jogja, Penulis RUAS Indonesia-Malaysia 2017, Di tahun 2019 ia sedang menyelesaikan buku pertamanya.



2.Carmad.

Merak di Ufuk Senja

Ku dengar sirine sunyi
Di antara berisik di sebalik tembok kaca
Di sana, burung merak merontokkan mahkota

Engkau, merak yang menerjang angin
Setelah kabut  menyapa pagimu
Dan mentari membakar dadamu

Aku tak faham tentang siangmu
Tentang dua ekor lain di belakangmu
Aku pun tak mengerti
Jalan cahaya yang terangi langkahmu

Aku hanya menjumpamu senja ini
Saat tabir malam jelas terpampang
Masih ku saksikan jua
Indah ukiran tanganmu,
Jejak-jejak wasiatmu

Apa yang harus ku suguhkan
Di antara nisan-nisanmu yang agung?

Ya, kelak aku akan membelai nisanmu saja
Engkau, Willi, sang burung merak
Hanya menyisa petuah indah
Jejak perjuangan, bayang-bayang siangmu

Tenanglah bersama malam
Izinkan anak-cucumu melantun kidung
Bersama syair barzanji
Bersama tengadah telapak tangan
Indramayu, 16 Maret 2019
(Mengenang peristiwa 6 Agustus 2009)



















Carmad, lahir di Indramayu 21Agustus 1986. Menulis puisi untuk beberapa antologi bersama di Lumbung Puisi sastrawan Indonesia. Entahlah, apakah ada garis keturunan penyair atau tidak. Yang jelas, ibu-ayahku kuli tani. Lulus dari SMA N 1 Kandanghaur – Indramayu (2006), mencoba kuliah tiga tahun kemudian, namun gagal meraih strata 1 karena kekurangan dana. Sekarang lebih fokus menjadi manager, koki, marketing, juga bendahara di balik gerobak Mielor dan batagor.

3.Anisah
Sang Api
Buat: Gus Warsono

Kau pengusung kata-kata bijak
Berbondong penyair dan tidak lupa calon penyair
Mendatangimu, mengomentarimu, menilaimu
Awal kubaca peraturan-peraturan
Tak juga kumengerti, terlalu jauh pengalaman
Sangat rumit kucari arti sebuah kesempatan
Hingga berhari-hari kutunggu julukan, jawaban, apresiasi
darimu Gus Warsono

Apa ya mungkin ada jawaban
Mengingat
Jauhnya
Pengetahuan
Pengalaman

Tetap kutunggu
Walau
Sampai di ujung waktu

Biodata. Anisah, lahir 19 Agustus. Pendidikan, SDN Ngrajek, Magelang, MTsN Borobudur, MAN 2 Yogyakarta, IKIP Yogyakarta, UII Yogyakarta. Menulis laporan dan berita di Majalah Rindang(2009 - 2010) menulis puisi di buku antologi Di Titik Nol(2009).









4. Ure Maran

Ketika Semesta Dalam Kebingungan

Ku ingin memeluk semesta
"apa bumi tak irikan itu?"
ku ingin memeluk semesta
"apa lautan hanya terdiam?"
ku ingin memeluk semesta
"apa aku hanya penyejukmu?", dengung sang sepoi
dan batuan menaruh dendam, senja kau sunyikan remang
di langit ku hanya menghayal

ketika semesta dalam kebingungan
jangan mencari cakrawala di pijak
di kebun kau petik
warna-warni pelangi adalah janji yang hilang di surat kabar

ketika semesta dalam kebingungan
kejauhan adalah mimpi
di belakang dapur umum dan sisa-sisa makan mewah

ketika semesta dalam kebingungan
" itu.. dia di depan matamu"
cukup kamu katakan yang sebenarnya terjadi..
"tolong aku!!"
katakan iya..

Lewolere, 10 desember 2018

Ure Maran

Kembang Sajak Bulan Desember

Mega membumbung bak tenda hitam
musim kuncup menyambut rintik
kembang sajak tersembul malu
berkiprah, ku petik syair
namun getir menyapa peluh
sejenak terdiam
"ragu"

Di cipta langit biru
dan lekuk awan menabarak gunung
ku bagai bianglala tanpa warna
sejenak terdiam
"lunglai"

diam-diam ia menjawabku
"tak ada mimipi, ini nyata"
kembang sajak bulan desember
putik-putik larik bergumam, gugup
aroma?..
lahak membekap
mencekik imaji, inspirasi hilang
"pergi"

lihat.. disana
berpinar menari gemulai
sang kirana memamerkan megahnya
hangatkan yang kedinginnan
mengusir embun keresahan

ahhkk..bising
mengobrak-abrik ketenangan
panorama mengerikan dunia pagi
"hilang.. hilang entah kemana"

kembang sajak bulan desember
ku tunggu kau di tepian
di lereng-lereng bukit
"cepat beranjak"
Lewolere, 01 Desember 2018




















Kaliktus Ure Maran, mahasiswa di Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka (IKTL)



5. Zaeni Boli

Rindu Baang

Guruku mengajarkan ku jalan kesetiaan 
Kan ku tempuh ia meski sunyi dan berbatu
2016


Banyak Cinta

Terlalu banyak cinta yang kau tebar 
Ia berbunga di mana mana
Menjadi ajakan 
Untuk memberi warna 
Pada dunia yang kasar dan kotor
Ia tumbuh menjadi nasehat dan ingatan
Cinta seorang ayah
Cinta abang pada adik adiknya yang nakal
Cinta pada orang orang terpinggir
Pada pedagang kaki lima
Pada para santri
Bahkan pada preman
Inilah kesenian
Yang di katakan Sutardji
Di atas panggung terapung pertama
Kesenian tak sebatas kulit
Bang Ane Matahari
2016





Zaeni Boli

Jalan sunyi

ijinkan aku melebur dalam cinta yang sama 
jalan sunyi yang kau pilih 
seorang ibu menulis puisi sambil memasak 
ia yang memilih kata jatuh cinta pada kata 
kau yang ajarkan itu padaku 
sastra bukan dilangit 
bahkan pada wajah Pao kita temukan puisi bang
2016

Doa untukmu

seperti yang kau pinta 
akhirnya hujan turun jua 
gerimis turun seperti ingatanku pada mu 
kesetiaan itu mahal 
tapi kau ajarkan kami dengan jalan yang sederhana
silahturahmi batin guru 
terimalah doa kami
2016
Singgasana kecil
Jangan kau hidangkan untukku dunia
Aku rindu guruku
Disini manusia mencabik cabik daging saudara 
Sambil terus berdoa berharap Tuhan menonton televisi 
Boli jangan nyanyi fals 
Itu yang ku ingat tentang guru 
Tak ada lagi cita cita 
Hanya harapan ingin bertemu dia 
Guru jiwaku
Guru kehidupan 
Singgah sana kecil 
Saung Perpus pinggir kali
Taman Ane Matahari
Negeri tatih tayang 
Tempat bocah ,penyamun ,pemabuk tidur pulas di gigit nyamuk

2016


Zaeni Boli

Kehilangan

Berapa kali 
Nyala rokok padam
Nyala kembali
Akhirnya aku rasakan juga
Hati Rumi
Saat kehilangan Matahari
2016











Zaeni Boli

Mencari kata

Bener bang susah sekali menemukan kata .
Pagi ini aku coba merenungkan kata kata
Puisi adalah sukma kata mutiara bahasa begitu katamu suatu kali.
Kau ajak semua orang menulis puisi itu bukan puisi
Paling tidak di dasar hati mereka akan memilih kata yang tepat atau mereka telah bersungguh sungguh menulis.
Kau suruh anak Cibarusah menuliskan apa saja tentang masjid yang baru kita rapihkan 
Kau minta anak anak jalanan menulis puisi
Puisi terbaik lahir dari sel tikus 
Ya kita selalu merasa pantas paling benar 
Tapi lalai memilih kata yang tepat untuk di sampaikan

Sastra Kalimalang 2016





Semua tulisan ini aku dedikasi untuk mengenang Guruku Alm Ane Matahari.
Ane Matahari Pendiri sekaligus ketua Sastra Kalimalang 2011-2016



Moh Zaini Ratuloli (Zaeni Boli), Tempat tgl lahir: Flores,29-08-1982
Belajar membaca puisi sejak 1989 ,belajar menulis puisi sejak 2002 biasa menulis dihalaman facebook ,tapi beberapa karyanya juga pernah ikut di Antologi Puisi menolak korupsi (Jilid 2b dan jilid 4),Memandang Bekasi 2015,Sakarepmu 2015,Capruk Soul jilid 2,Antologi Puisi Klukung 2016,Memo Anti  Kekerasan terhadap  anak,Lumbung Puisi jiid 5 “Rasa Sejati”(antologi) 2017 ,Negeri Bahari 2018 dan Koran maupun bulletin lokal di Bekasi .sejak 2013 –sekarang tergabung dalam komunitas Sastra Kalimalang(Bekasi) .Sempat tampil di ajang Internasional “Asean Literary Festival “ tahun 2015 membawakan puisi Widji Thukul  “Lawan” .
Juga aktif bergiat di literasi dan teater.Sekarang tinggal di Flores aktif di Nara Teater ,mendirikan TBM Lautan Ilmu dan mengajar di SMK SURA DEWA Flores Timur sekaligus mendirikan Bengkel Seni Milenial sebagai wadah eskul kesenian di sekolah tempat mengajar ,tergabung juga dalam Agupena Flotim .









6. Sarwo Darmono
                                                          Aku Cucu Pujangga
Embuh aku ora weruh
Apa aku anak putune Pujangga
Apa aku anak putune Pandito
Apa aku anak putune Raja
Ngunu kuwi mung tetenger
Tetenger kang ora tinulis
Tetenger hamung jruning Lisan
Tetenger kang sinebut jruning bebrayan
Aku iki hamung titah
Titah kang seneng nata Aksara
Sanajan aku ora pirsa
Sapa sing nyipta aksara
Aksara ditata kanthi prayoga
Nuwuhke rasa suka
Nuwuhke rasa Tresno
Nuwuhke rasa bagya mulya jruning Nala
Kanggo sing gelem maca lan Ngrasa
Embuh aku ora weruh
Apa aku anak putune Pujangga
Apa aku sing diarani Pujangga
Aku hamung titah
Kang lagi nglakoni jatah
Jatah gesang ing alam nyata
Gesang kanthi laku prayoga
Gesang tansah Syukuri parenge Gusti
Gesang kang tansah Pasrah lan Mbudi daya     
                                                 
Lumajang Rebo Pon 23 – 1 – 2019 Pangripto Sarwo Darmono


Sarwo Darmono, lahir , Magetan 27 Oktober 1963 Pekerjaan Penyiar Radio. Dikenal sebagai penyair yang menulis geguritan, Puisinya mengisi Lumbung Puisi Jilid VI, Penebar Pustaka 2018,Sedekah Puisi Tadarus Puisi 2, Penebar Pustaka




























7.Gilang Teguh Pambudi

Aku Cerita Lewat Pertanyaan

apakah yang menari janger di Bali
adalah gubernur Bali?
Apakah yang azan tiap tiba waktu sholat
adalah pak RW setempat?
apakah presiden kita
suka menyanyi pake rok seksi?
apakah ustad pesantren
ada yang merasa MC dangdutan?
apakah yang mengasah keramik Plered
adalah bupati Purwakarta?
apakah ketika polisi terpaksa menembak penjahat,
Ibu Aisah boleh merasa sebagai sang penembak
sebagai musuh kejahatan?
siapakah yang menanam pohon
menyelamatkan tanah tandus?
siapa menari ularkan korupsi?
siapa pula yang menanam ganja
menyemai maksiat
lewat gambar pada topi dan ikat pinggang?
apakah Bung Karno adalah Chairil?
apakah Hamka juga mengajar
di suatu sekolah di Papua atau Madura?
lalu siapakah pelacur itu
kalau di suatu kota ada lokalisasi
dan lorong remang-remang?
maka bagaimana mestinya jadi pribadi,
jadi orang,
jadi pejabat publik
supaya tidak hina dan hianat?
kalau perbuatan pejuang yang humanis kau sebut Aku,
maka siapa kamu supaya dia juga menyebutmu Aku?
bagaimana kalau kita menemukan hikmah 
di dalam Al-Qur'an dan As-Sunah, bahwa Rosulullah
berkata, semua perbuatan mulia hamba Allah
adalah umur dan perbuatanku!
Kemayoran, 05 02 2019



Gilang Teguh Pambudi sesungguhnya memiliki nama KTP, Prihana Teguh Pambudi. Nama Gilang dipergunakan sejak memulai jadi Orang Radio Indonesia, dengan alasan nama radio dengan dua suku kata sangat mudah diucapkan dan diingat oleh para penggemar. Nama Gilang dipilih karena memiliki makna, pemersatu yang sukses. Penyair ini berdomisili di Kemayoran, DKI Jakarta. Putra dari alm. Soetoyo Madyo Saputro (Bogor-Kendal) dan Siti Djalaliyah (Jogja). Ayah dari Nurulita Canna Pambudi (Bandung) dan Findra Adirama Pambudi (Purwakarta), buah pernikahannya dengan Wihelmina Mangkang (Manado). Menulis sejak SMP dan mulai dimuat koran kelas 1 SMA/SPGN. Beberapa puisinya sudah dimuat dalam berbagai antologi puisi bersama dan antologi puisi pribadi. Antologi puisi pribadinya yang terbaru adalah, JALAK (Jakarta Dalam Karung).

8. Bd'oel Santri Bangor

Anak Pujangga

Hanya Coretan Puisi Yang Menghiasi Benak Ini
Hanya Uraian Kata Yang Selalu Membayangi Benak Ini
Coretan Puisi Seorang Anak Penyair
Coretan Kata Yang Menjadikan Sebuah Karya

Aku Terlahir Dari Rahim Sebuah Kata
Aku Di Besarkan Dari Untaian Kalimat
Sebuah Kata Yang Menjadikan Ku Seorang Penyair
Sebuah Untaian Kalimat Yang Membesarkan Seorang Penyair

Alam Dan Isinya Yang Menjadi Jiwaku
Angin, Sinar Mentari Menjadi Nyawaku
Jiwa Seorang Penyair Berkawan Alam
Nyawa Seorang Penyair Bagaikan Angin













9. Mohd Zainal Bin Abdul Karim (Detektifsenja)

Serpihan Cahaya Ane Matahari

Dipenghujung masa
Serpihan logika harap ada canda tawa
Belum kita bercerita sudah ada anunggra menyapa
Cukup menyebut namamu terobati lapar dan dahaga

Namamu merasuk, merangsang, mematangkan logika yang sempat tak ku percaya
Menebar cahaya tak pilih pilah selera
Tingkah mu sepadan namamu
Beri cahaya meski pada yang tak punya logika
Meski tanpa imbalan pendukung realita

Saat pertama bertatap mata, cahaya mu melekat di jiwa
Tak sempat bercanda tawa, hanya nikmati masa yang tersisah, untuk mengisi lubang yg tak berpelita dengan cahaya sang pujangga
Diluar duga ....
Pertemuan ini ternyata dipenghujung masanya didunia
Raga mu kini tinggal nama, namun tulusnya jiwa sisahkan berjuta cahaya

Dipenghujung masa...
Kau tak memberi tanda
Setelah semalaman kita bercerita tanpa suara, hanya terjaga
Dipagi buta, aku membuta sedikit lelah
Yang ternyata penghujung kisah
Serpihan cahaya mu mengisi jiwa ku yg penuh tanya
Meski sekedar serpihan, namun sudah cukup membuat aku dijuluki anak cucu pujangga

Baras 4, 11/01/19.


























Mohd Zainal Bin Abdul Kari

Sastra Genetika Dunia

Mari meluruskan cerita
Teori tentang genetika dan sastra
Meski tak merdu saat bersuara
Namun tak ada manusia tak bisa bermuka dua

Dari lembah ku merangka
Bermodal suara dan tingkah gila
Mengikuti angin apa adanya
Lewati dunia tak sengaja temukan petunjuk arah

2 manusia yang hanya menjalankan sumpah dan hobinya, 'tak sengaja'
Berikan ku arah, menjelaskan makna genetika yang sebenarnya
Kini ku tau benar adanya malaikat dalam dunia nyata
Kini ku tau makna biologis dan ideologis benar adanya

Dia NASIR menanam benih saat ku dibangku SMA
Dia ANE MATAHARI memupuk ku hingga benih berkelopak bunga
Kini aku tak lagi miris akan pepatah yang berbunyi garis lurus genetika dari "dari'sononya"
Kini aku juga bisa dijuluki "Anak Cucu Pujangga"

Baras, 06/01/19.
Mohd Zainal Bin Abdul Karim nama lainnya detektifsenja. lahir di Hing Lee Estate, Sabah, Malaysia. 20 April 1995. Penyair ini tinggal di desa Batu Matori, Kec. Lariang, Kabupaten Pasangkayulawesi Barat. Sehari harinya penyair ini adalah wirausaha.




























10. Teguh Ari Prianto

Ceruk Laku Chairil

Ketulusan doamu, Chairil
Mengantarku menuju pemeluk teguh
Kerdip lilin
Terangi lelaki malam

Kuasa meremuk redam
Adalah iba yang kemudian reda

Seteguk waktu yang kau miliki
Berjuta semangat yang menyala-nyala

Chairil, desing peluru di kepala
Pengiring jiwa meronta

Saat-saat masa juang
Jiwa itu bertenaga
Kegigihan tak pandang usia

Aku rindu gelora Chairil
Bersama iringan tanyamu yang sederhana
Bagaimana mungkin dunia tanpa cahya-Nya?

Kegelisahan itu menembus langit
Hingga tiba dunia merdeka

Kami iri kepada Chairil
Perjuangannya terus bersua
Luka di dada bukanlah neraka

Pikir mana terus dipijak
Penanda sakti mengiringi
Menembus senja beranjak kelam

Sesaat sunyi
Sesekali melirih

Chairil, engkau masih di sini!

 (Dedikasi untuk Chairil Anwar)
Bandung, 09-2-2019
























Teguh Ari Prianto
Kurir Kata-kata Emha

Saat tak menulis puisi
Aku juga kurir kata-kata Emha

Bukan sekedar tunai predikat
Tapi menenun juluk

Bahwa aku penyair?

Semula kukira cukup
Selembar kertas dan pena ditangan

Sementara Emha
berjibaku dengan Buku bergunung-gunung

O, sejauh ini ternyata aku kurir kata-katanya
Sayangnya kau tak tahu
Hatimu luluh terbius usai menelan kata-kata yang kupinjam

Aku ternyata pengantar kata-kata
Yang seperti tanpa paham siapa pemiliknya

Mengapa pula kau terlena dan mencinta
Tanpa kritik, cukup merasa saja

Sayang, cintaku seperti palsu
Sejatinya ia adalah milik Emha
Kata-kata yang menelanjangi hati
 (Dedikasi untuk Emha Ainun Najib)
Bandung, 7 Pebruari 2019

Teguh Ari Prianto. lahir di Cimahi, 20 Mei 1978. Menghabiskan sebagian besar masa kecilnya,  bersekolah, berkesenian serta aktivitas lain di Kota kelahirannya. Menulis sejak masa sekolah menengah atas, menekuni sastra dan teater lebih lanjut di Kelompok Drama Radio 1026 AM Radio Litasari, Teater Bandung Mooj, Studi Klub Teater Bandung (STB) melalui kursus singkatnya dan beberapa kelompok teater lainnya.
Menjadi penggiat pergerakan musik melalui penyelenggaraan event-event musik lokal yang rutin dilaksanakan bersama Insan Seni Satu Bumi sejak 1999.
Dunia jurnalis sempat dijalani hingga pertengahan 2007 dengan bergabung menjadi wartawan di media-media cetak local serta di Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional (PRSSNI) Cabang Bandung.
Selepas berhenti dari beberapa perusahaan media massa, lalu menghabiskan sebagian waktunya dalam kegiatan aktivis kampus dan kepemudaan mulai dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Daya Mahasiswa Sunda (Damas) dan Pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Bersamaan dengan itu, menjalani pekerjaan mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta dan mendirikan sekolah menengah kejuruan.
Dunia pendidikan lain yang ditekuni adalah bekerja bersama relawan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) melalui gerakan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Melalui TBM ini, pada tahun 2017 melaksanakan program Kampung Literasi bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Kota Bandung.
Hingga saat ini tetap menulis (penulis lepas) untuk media-media massa lokal dan nasional serta menerbitkan buku bersama TBM dan Majelis Adat Sunda (MAS) serta menjadi pelaksana  Program “Paseban” (Paguneman Pustaka Seni Budaya Bandung) yang diselenggarakan Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip) Kota Bandung 























11.Rg Bagus Warsono

Celana Pendek Leak

Celana pendek leak
memasuki gedung terhormat
lirik satpam guman tak sopan
dan wajah cewe cekikik-an
bukan karena kucir rambut kuda
itu celana pendek
memamerkan dengkul
dan sepatu kiker
agar bisa melompat cepat
berlari bebas
dari kejaran puisi-puisi penghujat
dari panggung-panggung pejabat
Celana pendek leak
tak pernah duduk
hanya dikursi kereta
Celana pendek leak
lama dikereta
Celana pendek leak
melekat berpuisi.
04-03-2019










Rg Bagus Warsono

Surat Buat Burung Merak

Burung merak
sudikah ajari aku berpuisi
kulihat kau semakin mengepak sayap
bukalah diklat aku akan duduk disana
mendengar celotehmu
dan tak sekadar kasak kusuk
menerima untuk mengeri tingkahmu
dengan omongan orang
kapan golonganku bersiul menikmati teriaknya
Indramayu, 17 Oktober 1990




















Rg Bagus Warsono

Penyair Jenaka,
Buat : Aloysius Slamet Widodo,

Slamet memang penyair langka
Widodo namanya,
panjang usia gembira
lucu dan jenaka
ditulis
amalmu memberi senyum tawa,
tatkala puisi orang mengkritik
mengadukan kepedihan sengsara duka
sehingga malas dibaca
Slamet menulis lucu,
lalu Indonesia tertawa
monas tertawa
laut tertawa
tiang beton jembatan tertawa
gunung tertawa
mahasiswa tertawa
dokter tertawa
dan keluarga tertawa...
rg bagus warsono, 4 Maret 2019










Rg Bagus Warsono, nama lainnya Agus Warsono lahir di Tegal 29 Agustus 1965. Ia dibesarkan dalam keluarga pendidik yang dekat dengan lingkungan buku dan membaca. Ayahnya bernama Rg Yoesoef Soegiono seorang guru di Tegal, Jawa Tengah. Rg Bagus warsono menikah dengan Rofiah Ross pada bulan Desember 1993. Dari pernikahan itu ia dikaruniai 2 orang anak. Ia mulai sekolah dasarnya di SDN Sindang II Indramayu dan tamat 1979, masuk SMP III Indramayu tamat tahun 1982, melanjutkan di SPGN Indramayu dan tamat 1985. Lalu ia melanjutkan kuliah di D2 UT UPBBJJ Bandung dan tamat tahun 1998, Kemudian kuliah di STAI di Salahuddin Jakarta dan tamat 2014 , pada tahun 2011 tamat S2 di STIA Jakarta. Setelah tamat SPG, Rg Bagus Warsono menjadi guru sekolah dasar, kemudian pada tahun 2004 menjadi kepala sekolah dasar, dan kemudian 2015 pengawas sekolah. Tahun 1992 menjadi koresponden di beberapa media pendidikan seperti Gentra Pramuka, Mingguan Pelajar dan rakyat Post. Pada 1999 mendirikan Himpunan Masyarakat Gemar Membaca di Indramayu. Menjadi anggota PWI Jawa Barat. Rg Bagus Warsomo juga menulis di berbagai surat kabar regional dan nasional seperti PR Edisi Cirebon, Pikiran rakyat, Suara karya dan berbagai majalah pendidikan regional maupun nasional,





12. Pensil Kajoe

Semalam Kubertemu Rendra

Si Burung Merak menyibakkan rambutnya
suaranya berat ketika menyapaku
laki - laki itu mengingatkan pada rindu
yang dulu pernah disandingkan dengan dua gelas kopi
hujan temaram saputkan bulan sabit
di celah daun kelapa dia mengintip
asik mendengarkan cerita kami berdua
laki-laki itu bernama Rendra
dia bercerita banyak tentang orang-orang yang ditemuinya
Anita, si Koyan, Atmo Karpo, Sumijah
orang-orang yang pernah menjadi puisinya
bahkan menyampaikan pesan dari ayahku
"Tetaplah menjadi dirimu, jika ingin dikenang ketika ketiadaanmu tiba."
laki-laki Burung Merak meraih tanganku
dan menyalaminya seraya berbisik
"Tulislah nama-nama dengan tanganmu, tanpa harus menjadi seperti mereka, termasuk namaku,"
kemudian dia mengepakkan ke dua sayapnya
dan menghilang di balik pintu cafe.
04032819






13.Heru Mugiarso

Arsitektur Hujan Bulan Juni

Percakapan dengan Afrizal Malna
 mempertemukan kami dengan hujan bulan Juni
Kami membangun banyak Sapardi dalam diksidiksi puisi
Lalu dengan tabah disimpannya rintik itu agar tidak ada jendela
Bagi tubuhtubuh kami yang terbuka

Sapardi dengan topi petnya terus membangun  dukaMu abadi
Sambil sesekali  bertanya : Tuan, Tuhan bukan?
Sebelum Afrizal keburu akhirnya membangunkan aku dari mimpi
Tentang para perempuan yang berpantalon dan berdasi
Sementara aku terpaksa menikahkan Sarwono dan Pingkan
Dalam arsitektur perkawinan yang dibangun dari katakata yang tak pernah

Diucapkan api kepada kayu yang menjadikannya abu.
2019








Heru Mugiarso

Aku Ingin

Aku ingin
         Menjadi  seperti Amir Hamzah
         Bernyanyi dalam sunyi  lariklarik puisi
         Dan di ujung kehidupannya
         Berkubang darah  korban revolusi
Aku ingin
         Menjadi seperti Chairil Anwar
         Mau hidup seribu tahun lagi
         Pacaran dengan banyak perempuan
         Namun pada akhir hidupnya
         Terkena tifus dan penyakit kelamin
Aku ingin
        Menjadi seperti  WS Rendra
         Berwajah ganteng  jadi  pujaan  banyak wanita
         Yang mengagumi sajaksajaknya
         Dan diakhir hidupnya
         Tetap istiqomah berkarya
Aku ingin menjadi seperti Hartoyo Andangjaya
        Lugu dan bersahaja
        Sangat mencintai dan dihormati murid-muridnya
           Menutup usianya
           Dalam  kehidupan sederhana
Aku ingin menjadi seperti Soebagio Sastrowardojo
           Penyair filsuf  dan pemikir keren
           Dan diujung tarikan nafasnya
           Mewariskan  Dian Sastro cucunya yang begitu jelita
            Dan selalu mempertanyakan Ada apa dengan Cinta?
Aku ingin menjadi anak cucu pujangga
            Walau tak bertalian darah  dengan mereka
                      Setidaknya dari mereka aku bisa mencontek
                              Kesetiaan berpuisi
            Walaupum pada kenyataannya
Di akhir hidup tidak selalu sukses

Karena bukankah Noorca Marendra  Massardi pernah bilang:
“Banyak orang sukses setelah jadi penyair
Tapi sedikit penyair sukses setelah jadi orang”.
2019
















Heru Mugiarso, lahir di Purwodadi Grobogan, 2 Juni 1961. Menulis puisi sejak masih duduk di bangku SMP.  Karya-karya berupa puisi, esai dan cerpen serta artikel di muat di berbagai media lokal dan nasional. Sekitar hampir tujuh puluhan  judul buku  memuat karya-karyanya.Penghargaan yang diperoleh adalah Komunitas Sastra Indonesia Award 2003 sebagai penyair terbaik tahun 2003 Namanya tercantum dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017.) Pegiat gerakan sekaligus inisiator Puisi  Menolak Korupsi ( 2013 - ). Membacakan karyanya di berbagai kota seperti : Tanjung Pinang, Jakarta, Bandung, Jogyakarta, ,Malang, Tegal, Banyuwangi, Kupang. Aktif sebagai nara sumber acara sastra pada program Bianglala sastra Semarang TV. Juga, Pembina Komunitas Lentera Sastra mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling Unnes.















14.Emby B. Metha
* Tuhan Ku Dimana

Aku tengah melihat
Langit membentang
Juga sedang menatap
Bumi terbentang
Ku hayati segenap kekuasaan

Gunung-gunung
Lautan
Bulan
Bintang
Dan matahari

Siapa cipta mereka  ?
Bukan aku
Bukan  jua kau
Lalu siapa

Tentu,
Mereka punya pencipta
Mereka milik sang kuasa
Seperti kita
Serupa manusia
Adalah tuhan

Namun,
Tuhan ku dimana  ?
Di rimba aku berkelana
Di samudera aku menjajah
Tapi tidak ku temui jejak tuhan

Oh Tuhan ku dimana  ?
Di pagi aku mencari
Di malam aku menanti
Namun tidak ku dapati rupa tuhan

Tuhan ku dimana

Jejak-jejak puisi
Jakarta, 2014


Emby B. Metha, lahir : Lamahala Flores Timur,  29 Oktober 1995.






















15.Sami’an Adib

Pewaris Celurit Emas

akhirnya kutemukan juga
setelah ribuan era ditempa
dalam sumber api utama
matahari semesta jiwa

berbekal setangkup doa
kupungut sepenuh cinta
celurit emas bersepuh purnama
mahadaya pengawal kelana

akan kusimpan di kedalaman palung paling rahasia
agar terhindar dari jamahan tangan penebar malapetaka
yang kerap menyalahgunakan pusaka demi kuasa semata

akhirnya kumiliki juga
celurit emas pusaka madura
tatahan empu yang bijaksana
:Zawawi Imron sang pujangga

dengan mahar sekuntum cinta
kupasrahkan segenap jiwa
demi menjaga warisan budaya
kearifan lokal yang kian langka

Jember, 2019


Sami’an Adib

Bermain Tebak-tebakan :gus mus
di halaman panjang
lebih tepatnya tanah lapang
kami duduk bertukar pandang
beradu kelakar dan tawa riang

entah dari mana engkau datang tiba-tiba
serupa bayangan menggalang sejumlah tanya
tentang hal yang tak terjabarkan oleh aplikasi apa pun
tentang mereka yang tak terdeteksi oleh intelijen mana pun
tentang peristiwa yang tak terungkap lewat rekayasa apa pun

Jangan tanya apa
Jangan tanya siapa
Jangan tanya mengapa
Tebak saja
demikian parau suaramu bergema

tapi bagaimana aku bisa menebak dengan jitu
ketika setiap hari silih berganti ragam isu
ujaran kebencian masuk tanpa ketuk pintu
menggiring keteguhan hati ke tubir ragu

bila kutebak tanpa olah penalaran
nanti dikira aku pemuda serampangan
yang tidak punya visi dan mimpi masa depan

baiklah, Gus! Kutebak saja
di balik fakta disharmoni bangsa
ada ribuan dusta di antara kita:
anak bangsa yang terpapar virus adu domba
dan menularkan delik pelik prahara

maaf, Gus! Aku hanya menerka
di antara sekian reka perkara
ada rentetan fiksi sepernovela
meja peradilan menjadi panggung pementasan drama
tragikomedi yang membuat penonton terkesima
larut dalam pusaran tangis dan tawa
umpatan dan pujian tertuju pada sang sutradara
yang ternyata iblis berwujud malaikat penjaga syurga
Gila!
Jember, 2019

















Sami’an Adib, lahir di Bangkalan tanggal 15 Agustus 1971. Lulus Strata I pada jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember (Unej).  Prestasi kepenulisan antara lain: pernah memenangkan Juara III lomba mengarang cerpen yang diadakan BEM Fakultas Sastra Unej, Juara I Lomba Cipta puisi Gus Dur yang diselenggarakan Pelataran Sastra Kaliwungu (2016), Puisi Pilihihan II Poetry Prairie Literature Journal#5 (2017). Puisi-puisinya terpublikasikan di beberapa media cetak dan on line. Antologi puisi bersama antara lain: Requiem Tiada Henti (Dema IAIN Purwokerto, 2017),  Negeri Awan (DNP 7, 2017),  Lumbung Puisi V: Rasa Sejati (2017), PMK 6 (2017), Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata (2017), Baju Baru untuk Puisi dan Hal-hal yang Belum Kita Mengerti (Bebuku Pubisher, 2017),  Menderas Sampai Siak (2017), Timur Jawa: Balada Tanah Takat (2017), Hikayat Secangkir Robusta (Krakatau Awards 2017), Perjalanan Sunyi (Jurnal Poetry Prairie 2017), Sedekah Puisi (Penebar Media Pustaka, 2018),  Negeri Bahari (DNP 8, 2018), Menjemput Rindu di Taman Maluku (Bengkel Sastra, 2018), Lumbung Puisi VI: Indonesia Lucu (Penebar Media Pustaka, 2018), Kepada Toean Dekker (Dikbud Lebak, 2018), Satrio Piningit (Penebar Media Pustaka, 2018), Sepanjang Siring Laut (Dikbud dan Pariwisata Kotabaru, 2018), Bulan-bulan dalam Sajak(Temalitera, 2019), Mbelekethek (Penebar Media Pustaka, 2019), Gus Punk (Pelataran Sastra Kaliwungu, 2019), Seribu Sisi Dini (Bengkel Sastra, 2019), Risalah Api (Ziarah Kesenian, 2019), dan lain-lain. Aktivitas sekarang sebagai tenaga pendidik di sebuah Madrasah di Jember.





























16. M. Sapto Yuwono

Kepada Zara Zetira ZR dan Putriku

Pada kedatangan seuntai cinta
Menyejuk
Merapal doa
Kini dan esok
Dambaan putih dan gambaran asa
Putriku merasuk pada harap


Pada padanan kenyataan
Terurai kesanggupan
Inspirasimu mengalir
Menuang kental nyata
Putriku
Dan empat belas tahun lalu
Bahkan sebelumnya
Kini
Kutuangkan pada goresan
Nyata dan hakiki

Kini
Putriku bernama Zella Midzi  Zeta
Adalah seuntai cintaku pada goresan namanu
Ada rasa banggaku padamu
Semoga ada dan bisa

Muara Bungo, 21 April 2019

M. Sapto Yuwono, lahir.  49 tahun yang lalu, tinggal.di Muara Bungo.Jambi.

17. Arie Png Adadua  (Syaiful B. Harun.)

Tapi Aku
aku ingin menjadikan diriku
sebagai kayu yang dijadikan abu oleh api
untuk cintanya yang sederhana

aku ingin menjadikan diriku
sebagai awan yang dijadikan tiada oleh hujan
untuk cintanya yang sederhana

tapi aku seperti berbaris puisi yang dihapus pada selembar kertas
yang tiada pernah dapat dibaca dalam sebait puisi
tapi aku seperti titik embun yang lebur dalam gerimis malam
yang hadirku kemarin dilupakan oleh bunga perdu
Palembang, 21/04/2019
*) terinspirasi puisi “Aku Ingin” (Sapardi Djoko Damono)












Arie Png Adadua adalah nama pena dari Syaiful B. Harun. Lahir di Palembang,16-06-1967 yang kini berdomisili di Palembang. Berprofesi sebagai salah seorang guru di Ma’had Al Islamiy Aqulu-el Muqoffa. Semasa kuliah telah tertarik pada puisi, terlebih sejak menjuarai “Lomba Cipta Puisi Provinsi Bengkulu”, dalam rangka memperingati Penyair Chairil Anwar pada tahun 1996. Buku yang pernah diterbitkan berupa kumpulan puisi tunggal Nyanyian Cerita Fajar (Palembang, 2004) dan buku teks Apresiasi dan Menulis Puisi (Palembang, 2018), serta beberapa buku antologi puisi, yaitu “Gerhana” Memperingati Peristiwa Gerhana Matahari Total di Sebagian Wilayah Indonesia - Rabu, 9 Maret 2016 (Jakarta, 2016), Celoteh di Bawah Bendera (2018), Nyanyian Sang Bayu (2018), Segenggam Kenangan Masa Lalu (2018), Marhaban ya Ramadhan (2018), Lumbung Puisi VI, Indonesia Lucu (2018), Antologi Puisi Perempuan “Rembulan Bermata Intan” (2018), Musafir Ilmu (2018), Kata Mutiara Pendidikan (2018), Sedekah Puisi (2018), Antologi Puisi Tulisan Tangan – Satria Piningit (2018), Puisi Mblekethek (2018), dan Antologi 6 Penyair Grup ASM “Dari Malam Sunyi Sampai Aku Sudah Tiada” (2019)






18.Agus Mursalin

Omongan Tanpa Naskah
(kau yang selalu bergejolak)

Selalu gerak gertakanmu
Oleng kanan kiri limbung melinglung
Sebaris bait mengeja kata
Irama tubuh ikut membaca
Arti menjelma naluri terbawa pesan
Wajah berekspresi tanpa beban
Alunan suara mengguruh
Nafas mengikut menyeluruh

Lalu lalang huruf di pikiran
Elan vitalmu pada kesejatian
Akhir tiap pembacaan
Kesimpulan yang  tak terbantahkan
Murtirejo, 25 Maret 2019















Agus Mursalin

Saxophon Sayap Kumbang

Sangkan paranmu menandakan batas
Darimana berasal kemana bertuju
Tak perlu menunggu tiupan  malaikat untuk bertemu wujud asli dalam sanubari
Karena  terompetmu mengaum membawa kesejatian rupa
Atas gelisah atas pencarian atas kesaksian
Sang Maha Adil
Menyanyi di tiap celah liang kubur kau singgah bersimbah
Air mata taubatmu menjadi bah
Menenggelamkan
Menggontor lepas
Menyuci hati
Lahir kembali
Merupa lukisan wajah wali
beratus kanvas

Cerca bibirmu menumpahkan peluru di negeri para Jancuker
Pengecut penjilat pengabdi pemuja penuhi beranda
Kau presideni mereka
Tanpa proklamasi seheroik tahun '45
Murtirejo, 27 Maret 2019





Agus Mursalin, lahir bukan di bulan Agustus, tahun 1971. Lulus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1998, Koordinator Pendamping Desa Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Bergiat sastra di LISONG (Lingkar Sastra Gombong). Tinggal di Murtirejo Kebumen.




























19. Sugeng Joko Utomo

Ode Buat Rendra

Puisi yang kau gubah
Lewat sorot mata gundah
Seperti elang mengicar rubah
Melesat tatap bak anak panah

Bibir tegas mengucap lafal
Garang keras melempar sebal
Memantul seperti bola futsal
Di sana-sini membentur portal

Gemulai jemari meliuk molek
Seperti jingkat genit merak bersolek
Membeber tentang kedunguan tetek bengek
Nasib dunia diperkosa manusia-manusia bebek

Lantang kalimatmu Willy
Merobek langit bumi pertiwi
Mengajarkan berjuta cara menghormati
Anugerah indah dari Ilahi

Namun banyak cibir menista
Dari mulut-mulut sinis pendusta
Yang terusik kenyamanan hidup semata
Oleh teriak galakmu wahai Rendra

Gigih kepalmu meninju dunia
Memporakporandakan istana durjana
Tak perduli berjuta racun kau terima
Coba menghalaumu tanpa rasa

Kau menjadi mercusuar
Benderang nyala berpijar
Terangi meja-meja altar
Sumber inspirasi budaya pintar

Tasikmalaya, 24 Maret 2019




























Sugeng Joko Utomo

Wijimu Thukul Subur

Kamu
Disuruh diam
Malah makin keras mengecam

Kamu
Dipaksa bungkam
Malah makin galak mengancam

Lalu yang terjadi
Sepi berhari-hari
Bahkan sampai kini

Lantang ceracau
Disinyalir pengacau
Membuat hati galau
Para pemilik otak kerbau

Sejak saat itu
Tak terendus jejakmu
Pada rerumput tiada
Pada ubin marmer tak ada
Di gedung megah tak tercatat
Di pasar terminal tak terlihat

Hanya di lembar koran
Berita penyair dihilangkan
Terpampang nyaris buram
Sekusam nasib rawan

Wiji Thukul
Semakin subur wijimu
Thukul di hatiku
Di hati para insan
Penyuara kebenaran
Tasikmalaya, 25 Maret 2019











Sugeng Joko Utomo.  Guru mapel Fisika dan Rekayasa Perangkat Lunak di SMK TI Riyadul Ulum Cibalong Tasikmalaya. Dan guru mapel Biologi di SMA BoardingSchool Bina Insan Mandiri Bantarkalong Tasikmalaya. Pencetus dan admin grup penulis sastra Kebumen di FB, "Prosa Kita Puisi Kita". Rajin menulis puisi bertema jatuh cinta dan patah hati dan geguritan Jawa Ngapak. Sedang menunggu sponsor untuk menerbitkan lebih dari 200 puisinya dalam 2 buku kumpulan puisi. Asal dari Gombong tinggal di Tasikmalaya. Sekarang juga tengah bergiat di Lingkar Sastra Gombong (LISONG)




20. M Dhaun El Firdaus

Setelah Pertemuan Itu
 (Teruntuk Gus Candra Malik)

Sebab tatapan pertama yang membuat candu
Aku merindu
Menjadikan sketsa wajahmu hiasan dinding waktu
Harapan dan doa pun diwarnai asmamu

Sebab tatapan pertama yang membuat candu
Cinta itu kini berlayar melanjutkan perpisahan
Memuat rasa kagum dan keingintahuan
Melabuhkan pertanyaan "Bagaimana kau bisa mengenali hatiku?"


Gus, sebab tatapan pertama yang membuat candu
Biarkan kukirim tanda panah asmara untukmu
Mengikuti arah yang pernah kautunjukkan
Menyentuhmu dengan ayat-ayat dari Tuhan

Gus, setelah pertemuan pertama itu yang tak terlupa
Gejolak hati semakin berarah menemukan damainya
Kian menggugurkan butiran bertasbih
Izinkan antaranya ada untukmu, Al Fatihah...

Sruweng, 31 Maret 2019


M Dhaun El Firdaus

Aku Bayi sebab Kau Ayah
(Teruntuk Achmad Masih)

Jatuh ke dunia aksara membuatku ingin mengeja semesta
Tanah-tanahnya yang digerogoti rindu menggelar lembar-lembar dahaga
Ingin kuteguk sampai puas liarnya kata-kata
Sedang aku terlalu bodoh menjejakkan tinta

Kupaksa mengayunkan pena
Berinteraksi dengan alam raya
Meski pemahamanku terbata-bata mengenali bahasanya
Kucoba merekam dengan diksi sederhana

Tak mudah mendulang jiwa puitis yang merengek kelaparan
Kucoba memasak rima, irama, mantra yang kubumbui cinta
Namun aku masih saja bingung menyajikannya
Lalu kumemanggilmu, "Ayah"

Kuanggap dirimu orang tua dan guru
Sapaan bijak, lembut, dan penuh kasih kauberi
Di lapang dadamu kautimang lembaran kertas yang gagu
Hingga abjad tersusun menjelma deretan arti

Aku ibarat bayi literasi
Lahir  dari penjuru abu-abu
Tak pandai memainkan jemari
Lalu kaubimbing merangkak dan melantangkan suaraku

Ayah...
Hanya jarak Kebumen-Jogja yang memisahkan
Sesungguhnya kita tak pernah jauh
Doa adalah saksi yang mempertemukan

Sruweng, 4 April 2019







M Dhaun El Firdaus,lahir di Kebumen, tanggal 13 Agustus, tanpa angka tahun. Sekarang tinggal di Sruweng, Kebumen. Ibu rumah tangga ini suka menulis semenjak tahun 1990-an dalam bentuk puisi, cerpen, fiksi, dan kata-kata motivasi. Sangat mecintai karya-karya para Sufi.
Mbak Dhaun, begitu dia biasa disapa, beberapa kali menjadi kontributor dalam event-event puisi. Buku yang pernah diterbitkannya adalah Kumpulan Puisi PELAYARAN HATI PENDAMBA SURGA. Saat ini beliau juga aktif di Lingkar Sastra Gombong (Lisong). Modal hidup : Positif thinking . Motto : komunikasikan hidup pada Yang Maha Pencipta.



21.Karan Figo.

Aku Pengagummu Ki Ronggo Warsito

Tak semua orang tahu
Tapi karyamu terlanjur tertanam di benaku
Tak semua orang mengenalmu
Tapi karya-karya sastramu telah menggetarkan semua jiwa-jiwa membatu

Memang aku tak langsung melihat sosoknya itu
Tapi karyamu lebih memikatku
Memang aku lahir bukan di masamu
Tapi aku cukup mengagumi karya-karyamu

Ki Ronggo Warsito bapak sastrawan Jawa Dwipa
Banyak karyanya yang seolah nyata
Seperti syair saktinya
Yang hingga kini terus di bicarakan dunia

Jaman iki jaman wis edan
Yen ora ngedan ora keduman
Jaman ini sudah jaman edan
Kalau tidak ikut ngedan tidak kebagian

Sikayu, 30 Maret 2019
Karan Figo







Karan Figo

Wiji Sing Tetep Thukul

Tek tawur winih wijiku
Tek siram winih wijiku
Tapi wijiku garing klinting
Tapi godong pangmu, kabeh garing

Oh udan..endi udan
Aku wis edan..awaku gupak kotoran
Awu, ladu, kabur kanginan
Tememplek nang kabeh panggonan

Oh...udan...endi udan
Kae suket witwitan pada tetangisan
Jedeeeeeeeerrrr...kemlabet, icir-icir ana kelep nggawa udan gedene sapendul-pendul
Akhire wiji sing garing klinting, ora sida mati tapi tetep dadi wiji sing thukul.

Terus thukul, terus thukul..!!
Dadia wit wit sing migunani
Terus thukul, terus thukul..!!
Ngremboko uga mayungi.

Sikayu:30 Maret 2019,22:40
Karan Figo cah Sikayu






Karan Figo. Pekerjaan wiraswasta, dagang. Hobi menulis puisi. Menulis di event tantangan 100 puisi dalam 100 hari yang diadakan oleh J-Publisher. Pernah menulis hanya 10 hari di event pertama; masuk 10 penulis teraktif/tercepat dalam 28 hari terakhir, dan rangking 3 dari 7581 anggota. Beberapa terbitan karyanya adalah: Segenggam Pasir di Tepi Samudra Biru, Buih Alam Sekitar Kita, Bulir-bulir Embun Pagi, Bait-bait Sangga Langit, oleh Penerbit J-Maestro. Aktif menulis di grup Editorial Ceentina,. Pernah mendapatkan beberapa sertifikat sebagai peserta/kontributor di event-event grup-grup  sastra, seperti : Syalira, Sastra Pujangga Indonesia (SPI), ATC, Goresan Pena, dll. Asli kelahiran Sikayu, Buayan, tinggal di Jakarta. Kini tengah bergiat di Lingkar Sastra Gombong (LISONG)
















22.Anom Triwiyanto
Rebel Anwar

 (Untuk keabadian Chairil Anwar)
Sampai kapan kau akan menghantui kami?
Dalam buku-buku sekolah bersemayam abadi
Sampai bila seribu tahun lagi?
Bercokol kekal dalam riwayat literasi
Kuat berakar dalam moda legenda

Sampai kapan kau beri sela pada tunas muda sama bara?
Sudah penghujung jaman keempat dan kau masih saja keramat
Sampai berapa terra pemula harus gumamkan mantra?
Atau tampuk itu akan jatuh pada mesin-mesin yang belajar bernurani

Ingin kulupa binatang jalang, Diponegoro dan Dien Tamaela yang dijaga datu-datu
Tetap saja kami kerdil dalam kungkungan narasi akademi yang dijaga sekian generasi sarjana

Apa yang kau pikirkan?
beep
Apa lagi yang kau pikirkan?
beep
Update lagi yang kau pikirkan
beep

Dan sepertinya kami tak kuasa
Membesarkan diri dalam totem masa
Kami ingin keluar saja dari lembaran dua matra
Hidup sebagai puisi sejadi-jadi
Mewujud kata tanpa guratan pena
Membakar oplah dalam kopi, hujan, dan senja
Melupa bila
Bersemena-mena dengan kesementaraan dawai nyala
Pensiun dini
Punah tanpa lunas mimpi
Kami
Gombong, Maret 2019























Anom Triwiyanto

Huizche Tak Terperi

Terkesiap gagap menanggap
Menyimak Mata Luka Sengkon Karta dengan jantung berderap

"aku seorang petani bojongsari
menghidupi mimpi
dari padi yang ditanam sendiri"

Adukan luka, amarah, dan erang tak berdaya
Begitu bernyawa mencelat fasih dari sang penggubah,
yang tak terlintas sedikit pun di jelajah baca sebelumnya

Perih merayap meraba pose nyaman penyaksian
Merinding dingin dihantui hidupnya pembacaan
Rapal kedalaman menahan jemari
untuk memutuskan henti tayang
padahal hanya sejarak sekali sentuh

Maka aku terbiar
Terhanyut
Pasrah mati dalam penghayatan
Ikut terpukul
Terantuk sakit
Tersungkur panik
Turut mengaduh ditendang sepatu lars lemah kemanusiaan
Memojok ngeri coba menghindar dari hunusan lembing tanpa hati
Meradang mengharap kosong ditengah nanar "anjing!" dan "babi!"
Jangan sadarkan aku terlalu segera, wahai Sang Maha!
Ini lupa yang selow saja, begitu memalukan dipelihara!
Menulis moral, memimpi peradaban, serasa kudapan sampah saja!

"tuhan tak datang di kehidupannya
malaikat pencatat kebaikan
kemana kau ngeloyornya?"

Mimik seribu wajah
Tajam mata cakar pandang
Menghardik tajam pada para pemanja jaman
Tak cukup merangkum salut,
aku lelaki
tertunduk mengkurcaci
menangis banci

Untuk tak menyurutkan hormat
pada daftar besar legenda pemantra lintas generasi
:Ini tuan pujangga padat gelora,
siapa gerangan?

 (untuk aksi "Mata Luka Sengkon Karta" dan Peri Sandi Huizche)
Gombong, Maret 2019




Anom Triwiyanto, lahir di Gombong, 8 November 1974. Sempat mengenyam pendidikan di FSRD ITB Bandung (dropped-out). Bekerja sebagai Freelancer di bidang desain graphic, clothing, videography. Mengerjakan apa saja kecuali lukis kanvas. Tempat tinggal sekarang : Buayan, Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Menulis dan membaca dianggapnya sebagai penyegar disela rutinitas utamanya yang cenderung lebih banyak berkaitan dengan ranah visual dan multimedia. Kini tengah bergiat di Lingkar Sastra Gombong (LISONG).






















23.Buanergis Muryono
Sulaiman As Salomo

Dia dikenal sebagai Raja, Nabi, Pujangga, Pengkhotbah, dengan seribu isteri.
Putra Nabi Daud ini menulis dan melukiskan apa pun yang dilaluinya. Mulai dari puing-puing hingga puting-puting gugusan Kurma.
Kehidupannya digambarkan penuh keindahan, kesempurnaan, kemuliaan, sebab arif bijaksana menjadi satu pohon doanya.
Bukan kekuasaan
Tidak kedudukan
Bahkan kekayaan...dia tidak inginkan
Tidak dia butuhkan
semua adalah sia-sia tanpa tulus syukur.
Sulaiman
Salomo
Sang Nabi
Maharaja
Memohon Kearifan dan Kebijaksanaan.
Maka segala-galanya dia dapatkan
Dianugerahkan
Sampai binatang-binatang pun menyapanya
Tumbuh-tumbuhan meneduhinya
Alam raya memeluknya.
Akhirnya
Dia diam
Diam dalam kamar
Hening
Sunyi
Sepi
Sendiri
Tidak bangun
Enggan bangkit
Duduk diam dengan pena di tangan
Terpejam
Penuh puas lembut senyuman
Atmannya menuju sempurna awal daya hidup
Melepas raganya diam sendirian....
Sulaiman
Salomo
Sang Raja
Sang Pujangga
Diam selamanya
Tapi buah penanya...sampai di ujung mata ini....
Juga datang padamu
Bila mau....
Tulisan Sulaiman
Goresan Salomo
kini disebut people...KITAB...
Kitab Kehidupan
sebab tulisannya memberi daya hidup
Pembangkit spirit
Bagi anak cucu Sulaiman di muka bumi
Atas seluruh manusia
Bagi bangsa-bangsa
Berbeda-beda, namun satu adanya
Satu
Menyatu
Anak Cucu Sulaiman
Salomo
Sang Raja
Sang Pujangga
Sang Nabi....

Buleleng Bali 2019 07:40

24. Lela Hayati

Manteramu Candu Cintaku

lima percik mawar
tujuh sayap merpati
terhunus asmara mengakar
menukik nyanyian di jantung hati

sesayat langit perih
terburai darah mengalir masih
dicabik puncak gunung
aku melanglang merambahi relung

sepi mengubur lilitan rindu
terjerat jiwa suguhan dupa rupa
malam menggelora bayangmu
bisik bisik atma menggoda

dayaku terampas bagai magnet
tugu menyan luka
mengasapi duka
menggerogoti setiap lekuk sendi oleh ulat-ulat keket

puih!
aku melirih
kau jadi kau
engkaulah dikau

kekasihku

Bandung, 20 April 2019

Lela Hayati di Surakarta, 03 Desember 1972 Tinggal di Jl Bojong Koneng 131 Cikutra - Bandung. Lela H adalah hanya perempuan biasa yang menyukai merangkai kata yang ada unsur seni sastranya. Sekarang aktif di beberapa grup sastra di dunia maya. Antologi belum punya, dan sekarang mencoba ikut di Antologi pertama di ACP Lumbung Puisi pak RgBagus Warsono.


























25.Barokah Nawawi


Kepada Toto Sudarto Bachtiar

Ijinkan aku memanggilmu guru
Karena lantaran dirimulah aku mengenal puisi
Dan mencintainya sampai kini.

Kubaca berulang kali Etsa dan Suara
Kurasakan berulang kali rasa sedih dan rindumu pada dunia tanpa tepi
Betapa akrab dirimu dengan mereka-mereka yang menjadi obyek puisimu
Tak ada garis pemisah meski hanya seujung rambut yang sangat tipis.

Namamu memang tak seheboh Chairil Anwar
Yang memisalkan dirinya sebagai binatang jalang
Tapi aku merasa lebih akrab dengan dirimu
Jiwa sunyi yang tersisih yang merindu kasih sayang
Yang panjang dan abadi.

Betapa mesra kau menyapa sahabatmu
"Gadis kecil berkaleng kecil "
Yang menurutmu dunianya lebih tinggi dari menara katedral
Tapi yang begitu kau hafal
Dan jiwanya begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukamu.

Toto Sudarto Bachtiar
Penyair sederhana dalam kehidupan yang sebenarnya
Kemanapun kau pergi kau lebih suka bersama orang banyak
Menyusuri lika liku kota dengan angkot yang berjubel
Dengan baju sederhana tanpa dasi dan sepatu yang mengkilat.

Kau adalah kehidupan yang sepi
Sesepi puisi-puisimu yang mengharu biru rasa hati
Dan aku terjerembab kedalam labirinmu
Sampai kini.


Semarang, 21 April 2019

















26.Sukma Putra Permana

Catatan untuk Chairil , di Batu Kilometer Terakhir Antara Krawang –Bekasi

Kuhentikan langkahku, pada batu kilometer terakhir antara Krawang-Bekasi. Teringat kisahmu getir, Ninik. Namun semangat masih berapi. Tentang jasad-jasad yang terbaring, sangat ingin diberi arti.
Kusandarkan ranselku, pada batu kilometer terakhir antara Krawang-Bekasi. Kilasan kata-katamu bersyair. Walau tak ada lagi cinta sejak turun senja di pelabuhan kecil. Hingga Pattirajawane di pantai mata berapi.
Kusingsingkan lengan baju, saat tiba di batu kilometer terakhir antara Krawang-Bekasi. Untuk kutuliskan pesan padamu, Ninik. Masih ada yang harus dituntaskan dalam medan kehidupan. Bahwa untuk mendapatkannya, kepercayaan itu harus selalu diperjuangkan.
Dengan demikian, kiranya kita sudah pantas untuk hidup seribu tahun lagi.

April 2019









Sukma Putra Permana

Dukamu Sapardi Bukan Duka Abadi

Dukamu bukan duka abadi, Eyang. Yang selalu kau tuliskan dalam rangkaian kata. Hingga menjelang tutup senja. Setelah sedari pagi lelah berjalan ke arah barat.
Dukamu bukan duka abadi, Eyang. Yang ingin kau sampaikan secara perlahan. Kepada rinai rintik hujan. Nan menjadikan awan tiada.
Dukamu bukan duka abadi, Eyang. Yang belum sempat kau ucapkan karena rindu selalu kau rahasiakan. Hingga lelap angin malam bertiup dan menggugurkan dedaunan.
Dukamu bukan duka abadi, Eyang. Walau dengan ungkapan cinta sederhana akan aku redakan. Agar tiada lagi lara yang engkau rasakan. Dan dapat kita nikmati bersama sisa-sisa perjalanan kehidupan.

April 2019


Sukma Putra Permana, lahir di Jakarta, 3 Februari 1971. Berproses kreatif di Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta. Beberapa buku antologi terbaru yang memuat karya-karyanya, antara lain: Negeri Bahari (2018), Satrio Piningit (2018), dan Mblekethek (2019). Alamat tempat tinggal: RingRoad Timur Mutihan No.362 RT.5, Wirokerten, Kotagede, D.I. Yogyakarta 55194.

27.Fian N

Di mana Kau Simpan Celanaku?
:Jokpin

Saya tidak tahu kenapa saya dilahirkan yang pertama.
Ibu tak pernah menceritakan hal itu kepada saya apalagi ayah,
hal itu tidak mungkin.
Maksudnya begini,
waktu kecil
saya tidak tahu apakah saya bercelana atau tidak,
yang pastinya saya sering telanjang,
kadang hanya dibalut kain
seperti Yesus saat disalibkan pada Jumat sore
di sebuah bukit tengkorak.
Saat itu, menurut Kitab Tua,
Yesus sudah berusia 32 tahun dan saya belum ada.
Saya pun bertanya,
di manakah kau sembunyikan celanaku?
Ini seperti sebuah pertanyaan yang gagal.
Jelas-jelas Jokpin hanya memainkan imaji
pembaca dalam kisah Yesus
dan celana yang sering menyembunyikan benda
yang ada di balik celana.
Begitu saja!
Maumere, 2019




Dalam Waktu: Kita Abadi
:Sapardi

Air yang mengalir jauh
sampai batas yang entah.
Daun yang gugur kita lihat lewat jendela.
Hujan yang diam-diam
merayap pada kaca jendela
depan kamar kita,
membisik isyarat tentang waktu dan kita.
Di halaman rumah kita lihat genangan air
yang mengalir menuju selokkan
lalu meluap pada tubuh jalanan.
Pun kita bertanya, dalam waktu,
abadikah kita?
Maumere, 2019


Fian N adalah nama jalanan dari Fian Nggoa.Sedang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero-Maumere. Bergiat di Komunitas KAHE-Maumere dan ASAL (Arung Sastra Ledalero). Kecil di Boawae dan besar di Maumere.Terlibat aktif dalam penulisan nasional bersama dan puisi-puisi tersebut dibukukan, antara lain Filososfi Padi (2017), Kita Dijajah Lagi (2017), Mencari Ikan Sampai Papua (2018), Indonesia Loecoe (2018), Sajak Untuk Pindul (2018), Seokarno, Cinta, dan Sastra (2018), Soekarno dan Wong Cilik (2018), Menjemput Rindu di Taman Maluku (2018), dll. Buku kumpulan puisi tunggalnya terbaru berjudul MUSAFIR, diterbitkan pada akhir tahun 2018.
28.Wanto Tirta

DI RUANG TAMU
bagi Suminto A. Sajuti

di ruang tamu yang teduh aku adalah bayang-bayang dinginnya
Kaliurang menghapus gerah di ruang tamumu aku minum jamu lega rasanya pintu-pintu terbuka tangan-tangan tengadah angin
Kaliurang kembali menyejukkan hati kau begitu semedulur :
Bapak
11012019




















Wanto Tirta

DALAM BUS
catatan untuk Emha Ainun Nadjib

aku seperti mengaduk mimpi pemandangan perjalanan indah menawan sementara wajahmu bersih mripatmu jeli memandang tiap kilometer yang terlewati kagum jadi bara lelah jadi api dari pojok sejarah kutemukan tanganmu menenteng kertas putih wajahmu girang mulutmu melantunkan doa keselamatan
 17032019





















Wanto Tirta

ELEGI PENDEK
bagi Chairil Anwar

berbilang tahun lewat batu nisanmu masih tegak memandang cakrawala menghitung bintang bintangmu sendiri sedu sedanmu masih mengalir ke laut seribu entah yang kau tuliskan telah mengundang berjuta antah yang tertumpah pada mulanya adalah pedang
membelah bumi baru setelah itu orang berebut jalan menapakinya masuk membentuk barisan aneka ragam di belakangmu
28042019



Wanto Tirta, Lahir dan besar di Desa Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Orang biasa saja, mengalir sampai jauh,...
Menulis puisi maupun geguritan.
Menerima penghargaan bidang sastra dari Pemkab Banyumas (2015). Penerima Nomine penghargaan Prasidatama Balai Bahasa Jawa Tengah, sebagai Tokoh Penggiat Bahasa dan Sastra Jawa (2017).
Bermain teater dan Kethoprak. Bergiat di Komunitas Orang Pinggiran Indonesia (KOPI), teater Gethek, Paguyuban Kethoprak Kusuma Laras



Dari Mantri Lumbung
Lumbung Puisi memasuki tahun ke tujuh 2019. Wadah kecil memuat kecil namun terus mengisi lumbung dari pemikir-pemikir budiman di Indonesia. Kami membawa untuk maju bersama dan bersama-sama melestarikan sastra Indonesia khusus puisi. Sengaja memberi dengan tema-tema menarik di setiap antologi bersama dalam setiap jilid Lumbung Puisi. Dalam tenggang waktu kami memberi pula tema-tema khusus dan favoriete yang menawan bagi penggemar puisi Indonesia. Tema tema favoriete dan khusus seperti Kita di Jajah Lagi, Puisi Tulisan Tangan Penyair, dan Tadarus Puisi II adalah antologi bersama mengiringi Lumbung Puisi VI 2018. Kini memasuki jilid VII Lumbung puisi mengetengahkan tema menggelelitik, cukup luas utuk mengembangkan imajenasi yakni bertema Anak Cucu Pujangga (ACP) adalah antologi bersama yang menggambarkan bahwa seorang penulis adalah kodrat Illahi yang bukan sembarang orang bisa membuatnya. Asahan dan kreatifitas tentu menjadi bagian dari ACP bahwa menulis tak semata asal menulis tetapi juga bagaimana karya tulis kita disukai pembaca dan sarat makna serta menjadi unsur seni yang agung
Anak Cucu Pujangga (ACP) adalah tema luas Lumbung Puisi ke-7 tahun 2019 yang dimulai 22 Desember 2018 sampai 21 April 2019. Tema ini sengaja diberikan untuk memeilihara sastra Indonesia bahwa sastra memiliki generasi berkelanjutan yang tak terputus oleh bentuk traged  apa pun di Indonesia. Sebagaimana telah di singgung dalam berbagai buku dan pendapat serta teori-teori genetika. Maka anak cucu pujangga tidak saja mewarisi terhadap keturunan langsung tetapi juga pada diluar keturunan terhadap murid langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu penyair yang mengirim puisi di Lumbung Puisi VII 2019 dapat mencantumkan nama orang tua atau kakek sastrawannya baik keterunan langsung maupun tidak langsung. Generasi dapat ditimbulkan melalui biologis maupun psikologi. Wajar bila orang menyebut 'anak biologis dan ' anak idiologis. Nama besar kakek atau orang tua langsung dapat ditulis di nama penyair agar nama orang tua kita ikut menjadi bagian karya kita. Disamping itu faedah lain yaitu mengangkat nama orang tua. Demikian seorang penyair menunjukan kebesaran budi dan kerendahan hati serta senantiasa mengingat jasa orang tuanya.
Tentu saja nama embel-embel itu hanya terdapat di antologi ini dan tidak melekat untuk menjadi nama selanjutnya dalam situasi yang lain.
Anak Cucu Pujangga memberikan ruang kreativitas bahwa sastra itu sebetulnya adalah 'garis lurus genetika dari'sononya. Semoga dengan Anak Cucu Pujangga ini dunia sastra semakin semarak dengan kreativitas-kreativitas baru yang pantas untuk dibaca semuanya .
( Rg Bagus Warsono, 26-12-2018)

Anak Cucu Pujangga


Sastrawan disorot dalam puisi :


Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 79 tahun) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. SDD dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum

Masa mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958). Pada masa ini, SDD sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tahun 1973, SDD pindah dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, tetapi kini telah pensiun. SDD pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995-1999 dan menjadi guru besar. Pada masa tersebut, SDD juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editormajalah Tenggara di Kuala Lumpur. Saat ini SDD aktif mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sambil tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada 1986, SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti "Aku Ingin" (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), "Hujan Bulan Juni", "Pada Suatu Hari Nanti", "Akulah si Telaga", dan "Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari". Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi oleh mantan-mantan mahasiswanya di FIB UI, yaitu Ags Arya Dipayana, Umar Muslim, Tatyana Soebianto, Reda Gaudiamo, dan Ari Malibu. Dari musikalisasi puisi yang dilakukan mantan-mantan mahasiswa ini, salah satu album yang terkenal adalah oleh Reda dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Selain mereka, Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.
Berikut ini adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi) serta beberapa esai.
Duka-Mu Abadi (1969)
Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
Mata Pisau (1974)
Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
Perahu Kertas (1983)
Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
Water Color Poems (1986; translated by J.H. McGlynn)
Suddenly The Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H. McGlynn)
Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
Hujan Bulan Juni (1994)
Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling)
Arloji (1998)
Ayat-ayat Api (2000)
Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
Mata Jendela (2002)
Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen)
Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia Periode Awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (2005; translated by J.H. McGlynn)
Kolam (2009; kumpulan puisi)
Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012; kumpulan puisi)
Namaku Sita (2012; kumpulan puisi)
The Birth of I La Galigo (2013; puitisasi epos "I La Galigo" terjemahan Muhammad Salim, kumpulan puisi dwibahasa bersama John McGlynn)
Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (edisi 1994 yang diperkaya dengan sajak-sajak sejak 1959, 2013; kumpulan puisi)
Trilogi Soekram (2015; novel)
Hujan Bulan Juni (2015; novel)
Melipat Jarak (2015, kumpulan puisi 1998-2015)
Suti (2015, novel)
Pingkan Melipat Jarak (2017;novel)
Selain menerjemahkan beberapa karya penyair luar seperti Kahlil Gibran, Jalaluddin Rumi, dan Mak Dizdar ke dalam bahasa Indonesia, Sapardi juga menulis ulang beberapa teks klasik, seperti Babad Tanah Jawi (2005) dan manuskrip I La Galigo.




















Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 9 Oktober 2007 pada umur 77 tahun)[1] adalah penyair Indonesia yang seangkatan dengan W.S. Rendra. Penyair angkatan 1950-1960-an ini dikenal masyarakat luas dengan puisinya, antara lain Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, dan Tentang Kemerdekaan.
Suara: kumpulan sajak 1950-1955, 1956, memenangkan Hadiah Sastra BMKN
Etsa (kumpulan sajak, 1958)
Datang dari masa depan: 37 penyair Indonesia (2000)
Toto Sudarto Cachtiar  juga mengerkan terjemahan antara lain : Pelacur (1954), terjemahan karya Jean Paul Sartre
Sulaiman yang Agung (1958), terjemahan karya Harold Lamb
Bunglon (1965), terjemahan karya Anton Chekhov
Bayangan Memudar (1975), terjemahan karya Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa
Pertempuran Penghabisan (1976), terjemahan karya Ernest Hemingway
Sanyasi (1979), terjemahan karya Rabindranath Tagore
















W.S. Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Sejak muda, dia menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada, dan dari perguruan tinggi itu pulalah dia menerima gelar Doktor Honoris Causa. Penyair yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak", ini, tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater itu, Rendra melahirkan banyak seniman antara lain Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater di Depok, Oktober 1985
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
SD s.d. SMA Katolik, SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Solo (tamat pada tahun 1955).
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan dramauntuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun '60-an dan tahun '70-an.
Kaki Palsu adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan Orang-orang di Tikungan Jalan adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya, Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan '60-an, atau Angkatan '70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi(1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok teaternya pun tak pelak sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya..Bengkel teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari. Di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, eboni, bambu, turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong, dan lain-lain.
Karya-karya Rendra yang berupa drama sebagai berikut :
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) - 1967
SEKDA (1977)
Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
Lysistrata (terjemahan)
Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
Lingkaran Kapur Putih
Panembahan Reso (1986)
Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
Shalawat Barzanji
Sobrat
Kumpulan Sajak/Puisi
Ballada Orang-orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Blues untuk Bonnie
Empat Kumpulan Sajak
Sajak-sajak Sepatu Tua
Mencari Bapak
Perjalanan Bu Aminah
Nyanyian Orang Urakan
Pamphleten van een Dichter
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Disebabkan Oleh Angin
Orang Orang Rangkasbitung
Rendra: Ballads and Blues Poem
State of Emergency
Do'a Untuk Anak-Cucu


Afrizal Malna (lahir di Jakarta, 7 Juni 1957; umur 61 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal secara luas melalui karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, novel, esai sastra yang dipublikasikan di berbagai media massa. Afrizal juga menulis teks pertunjukan teater yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan di Indonesia dan mancanegara. Kekhasan karya Afrizal Malna adalah lebih mengangkat tema dunia modern dan kehidupan urban, serta objek material dari lingkungan tersebut. Korespondensi antarobjek itulah yang menciptakan gaya puitiknya.
Afrizal Malna menyelesaikan pendidikan SMA pada tahun 1976, namun baru pada 1981 ia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebagai mahasiswa khusus, hingga pertengahan dikeluarkan pada tahun 1983. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia bekerja di perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut, dan asuransi jiwa. Sekarang lebih banyak berkiprah di bidang seni sebagai penulis esai sastra, kurator seni rupa, dan penyair. Puisi, cerita pendek, dan esai sastranya dimuat di berbagai media massa antara lain Horison, Kompas, Berita Buana, Republika, Kedaulatan Rakyat, Tempo, Jawa Pos, Surabaya Post, Pikiran Rakyat, Ulumul Qur'an, dan lain-lain.] Tema puisi Afrizal Malna yang menonjol adalah pelukisan dunia modern dan kehidupan urban, serta objek material dari lingkungan tersebut. Korespondensi antarobjek itulah yang menciptakan nuansa dan gaya puitiknya. Imaji-imaji dalam kehidupan sehari-hari, secara berdampingan ditampilkan secara gaduh, hiruk-pikuk, hampir-hampir chaotic, kacau balau, semrawut, tercermin dalam judul-judul puisinya, seperti: Antropologi Kaleng-Kaleng Coca Cola, Fanta Merah untuk Dewa-Dewa, Migrasi di Kamar Mandi, Pelajaran Bahasa Inggris Tentang Berat Badan. Afrizal tertarik pada menemukan hubungan antarobjek dalam puisi-puisinya, mencari—dalam kata-katanya sendiri—suatu “visualisasi tata bahasa atas benda-benda”. Intimasi hubungan rahasia antarobjek tersebut memberikan banyak informasi tentang puitika Afrizal.
Pada tahun 1981, sebuah naskah dramanya mengantarkan Afrizal menerima penghargaan dalam sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomreop. Karya dramanya berjudul Pertumbuhan di atas Meja Makan, terpilih dalam Antologi Drama Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Lontardan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Things Growing on the Table. Naskah drama tersebut merupakan salah satu contoh representatif untuk karya yang muncul pada era postmodernism Indonesia. Karya ini menentang penggunaan narasi keseragaman yang dibentuk oleh Orde Baru. Dalam karya dramanya ini, Afrizal yang juga bertindak sebagai editor, membangun suatu "perpecahan" dengan memecah belah atau membuat potongan-potongan dialog dari berbagai sumber berlainan, misalnya potongan pidato presiden Soekarno dan wakilnya, Mohamad Hatta, digabungkan dengan dialog Caligula karya Albert Camus dan Sandyakala Ning Majapahit karya Sanusi Pane. Dengan demikian, ia menolak hubungan kausalitas dan struktur naratif, ketika tokoh Suami dan Istri dalam drama ini mengucapkan kutipan potongan-potongan kalimat yang tidak berhubungan tersebut, sekaligus memaksa audiens untuk membangun sebuah cerita bagi diri mereka sendiri.
Afrizal juga menulis esai pengantar untuk sejumlah buku karya para sastrawan Indonesia, antara lain Eko Tunas, Juniarso Ridwan, Soni Farid Maulana, Dorothea Rosa Herliany, Made Wianta, dan lain-lain. Esai sastra karyanya yang pernah diterbitkan pada antologi bersama antara lain: Perdebatan Sastra Kontekstual (Ariel Heryanto ed., 1986). Sesuatu Indonesia: Esei-Esei dari Pembaca Tak Bersih adalah salah satu buku kumpulan esainya, diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya pada tahun 2000. Esainya dalam Senimania Republika, Harian Republika, 1994, memenangi Republika Award. Ia juga menjadi pemenang esai di Majalah Sastra Horison pada 1997. Sejak 1983 hingga 1993menulis teks pertunjukan Teater Sae. Afrizal pernah mengunjungi beberapa kota di luar negeri antara lain Swiss dan Hamburg, sebagai pembicara dalam diskusi teater dan sastra di beberapa universitas, dalam rangka pertunjukan Teater Sae (Mei-Juni 1993) yang mementaskan naskahnya.
Tahun 1995, bersama Beeri Berhrard Batschelet dan Joseph Praba, Afrizal mementaskan seni instalasi Hormat dan Sampah di Solo. Pada tahun 1996 berkolaborasi dengan berbagai seniman dari beragam disiplin mengadakan pertunjukan seni instalasi Kesibukan Mengamati Batu-Batu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sedangkan tahun 2003, mementaskan karyanya, Telur Matahari, berkolaborasi dengan Harries Pribadi Bah dan Jecko Kurniawan.
Buku
Abad Yang Berlari (1984)
Perdebatan Sastra kontekstual (1986)
Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990)
Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991)
Dinamika Budaya dan Politik (1991)
Arsitektur Hujan (1995)
Biography of Reading (1995)
Pistol Perdamaian (1996)
Kalung Dari Teman (1998)
Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000)
Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, kumpulan prosa (2003)
Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003)
Novel Yang Malas Menceritakan Manusia (2004)
Lubang dari Separuh Langit (2005)
Teman-temanku dari Atap Bahasa (Lapadl Pustaka Yogyakarta, 2008)
Pada Bantal Berasap (Omah sore, Jakarta-Yogyakarta, 2009)
Ruang di Bawah Telinga, Biografi Visual Made Wianta (O House Gallery, 2009)
Perjalanan Teater Kedua, Antologi Tubuh dan Kata (iCan – Indonesia Conteporary Art Network – Yogyakarta; Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta, 2010)
Second Hand Languager Store, Limited Edition (Rumah Hujan, Yogyakarta, 2012)
Jembatan Ilusi Antara Seni dan Kota (25 Tahun Gedung Kesenian Jakarta, 2012)
Terjemahan
Traum der Freiheit Indonesien 50 jahre nach der Unabhangigkeit (Hendra Pasuhuk & Edith Koesoemawiria, 1995)
Poets, Friends Around the World (Mitoh-Sha, Tokyo, 1997)
Menagerie 3 (John H. McGlynn, 1997)
Do Lado Dos Ollos Arredor da poesia, entrevistas con 79 Poetas do Mundo (Emiilio Arauxo, Edicions do cumio, 2001)
Frontiers of World Literature (Iwanami Shoten, Publishers, Tokyo, 1997)
Poets, Friends Around the World (MitohSha, Tokyo, 1997)
Do Lado Dos Ollos, Arredor de Poesia Entrevistas con 79 Poetas de Mundo (Emilio Arauxo, Edicions, Do Cunio, Travisia de Vigo, 2001)
Antologia de Poeticas (Maria Emilia Irmler & Danny Susanto, Gramedia, Jakarta, 2008)
Orientierugen, Zeitschrift Zur Kutur Asiens (Berthold Daumhouser & Wolfgan Kubin, Edition Global, Munchen, 2009)
Penghargaan
Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika, harian Republika (1994),
Esei majalah Sastra Horison (1997)
Dewan Kesenian Jakarta (1984)
Radio Nedherland Wereldomroep untuk naskah drama Surat (1981)
Dewan Kesenian Jakarta untuk buku puisi Abad Yang Berlari (1987)
Republika Award dari harian Repulika untuk esei (1994)
Pusat Pembinaan dan Pengembahan Bahasa Departemen Pendidikan dan Budaya untuk buku puisi Arsitektur Hujan (1996)
Penghargaan Adibudaya dari Departemen Pendidikan untuk puisi (2006)
Man of The Year dari majalah Tempo untuk buku puisi Teman-temanku Dari Atap Bahasa (2008)
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Budaya untuk buku puisi Teman-temanku Dari Atap Bahasa 2010
SEA Write Award dari Bangkok untuk buku puisi Teman-temanku Dari Atap Bahasa (2010)
Kusala Sastra Khatulistiwa kategori puisi melalu karyanya, Museum Penghancur Dokumen (2013)
















Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 65 tahun) adalah seorang tokoh intelektual berkebangsaan Indonesia yang mengusung napas Islami. Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya yang kemudian kalimatnya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "Ora dadi presiden ora patheken". Emha juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, dan pemikir yang menularkan gagasannya melalui buku-buku yang ditulisnya.
Emha merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Darussalam Gontor setelah melakukan ‘demo’ melawan pimpinan pondok karena sistem pondok yang kurang baik, pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian ia pindah ke Yogyakartadan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi. Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah salah satu putranya yang kini tergabung dalam grup band Letto.
Lima tahun ia hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970–1975, belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha. Masa-masa itu, proses kreatifnya dijalani juga bersama Ebiet G Ade (penyanyi), Eko Tunas (cerpenis/penyair), dan EH. Kartanegara (penulis).
Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Emha juga pernah terlibat dalam produksi film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi.
Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halim HD, jaringan kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama. Beberapa karyanya:
Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),
Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.
Dan yang terbaru adalah pementasan teater Tikungan Iblis yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti
Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc bersama Teater Perdikan dan Letto yang menggambarkan betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang bisa membenahinya (2012)
Puisi
“M” Frustasi (1976),
Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
Sajak-Sajak Cinta (1978),
Nyanyian Gelandangan (1982),
99 Untuk Tuhanku (1983),
Suluk Pesisiran (1989),
Lautan Jilbab (1989),
Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),lalalaw
Cahaya Maha Cahaya (1991),
Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
Abacadabra (1994),
Syair-syair Asmaul Husna (1994)

Bulan Maret 2011, Emha memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
























Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri atau lebih sering dipanggil dengan Gus Mus (lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944; umur 74 tahun) adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU. Ia adalah salah seorang pendeklarasi Partai Kebangkitan Bangsa dan sekaligus perancang logo PKB yang digunakan hingga kini.
Ia juga seorang penyair dan penulis kolom yang sangat dikenal di kalangan sastrawan. Disamping budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair. Karya-karya : 
Dasar-dasar Islam (terjemahan, Penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H).
Ensklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987).
Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979).
Kimiya-us Sa'aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya).
Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung).
Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994).
Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993).
Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994).
Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995).
Pahlawan dan Tikus (kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996).
Mahakiai Hasyim Asy'ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996).
Metode Tasawuf Al-Ghazali (tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996).
Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995).
Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997).
Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997).
Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997).
Presiden Joko Widodo atas nama negara memberikan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada dedikasi Gus Mus. Acara penyematan berlangsung di Istana Negara. Jakarta, 13 Agustus 2015.






































Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus 1963 – meninggal di tempat dan waktu yang tidak diketahui, hilang sejak diduga diculik, 27 Juli 1998 pada umur 34 tahun) adalah sastrawan dan aktivis hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Tukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang dia tidak diketahui rimbanya, dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer.
Thukul, begitu sapaan akrabnya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia lahir dari keluarga Katolik dengan keadaan ekonomi sederhana. Ayahnya adalah seorang penarik becak, sementara ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga.
Thukul Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Pada Oktober 1989, Thukul menikah dengan istrinya Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang saat itu berprofesi sebagai buruh.. Tak lama semenjak pernikahannya, Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah.
Thukul pernah bersekolah di SMP Negeri 8 Solo dan melanjutkan pendidikannya hingga kelas dua di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia jurusan tari. Thukul memutuskan untuk berhenti sekolah karena kesulitan keuangan. 
Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam antologi "Mencari Tanah Lapang" yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan pemerintah Orde Baru.
Dua kumpulan puisinya : Puisi Pelo dan Darman dan lain-lain
Puisi: Bunga dan Tembok
Puisi: Peringatan
Puisi: Kesaksian .
Kerusuhan pada Mei 1998 telah menyeret beberapa nama aktivis kedalam daftar pencarian aparat Kopassus Mawar]. Di antarapara aktivis itu adalah aktivis dari Partai Rakyat Demokratik, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, JAKKER, pengusaha, mahasiswa, dan pelajar yang menghilang terhitung sejak bulan April hingga Mei 1998. . Semenjak bulan Juli 1996, Thukul sudah berpindah-pindah keluar masuk daerah dari kota satu ke kota yang lain untuk bersembunyi dari kejaran aparat..  Dalam pelariannya itu Thukul tetap menulis puisi-puisi pro-demokrasi yang salah satu di antaranya berjudul Para Jendral Marah-Marah.. Pada tahun 2000, Sipon melaporkan hilangnya Thukul pada KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), namun Thukul belum ditemukan hingga kini.
Korban penculikan
Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk Thukul. Sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April tahun 1998. Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000.
















Sosiawan Leak (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 23 September 1967; umur 51 tahun) yang punya nama asli Sosiawan Budi Sulistyoadalah seorang aktor, penyair, penulis, dan pembicara asal Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Solo tahun 1994. Selain sebagai salah satu tokoh dalam gerakan Revitalisasi sastra pedalaman, Sosiawan Leak, bersama Heru Mugiarso merupakan inisiator Gerakan Puisi Menolak Korupsi yang digagas pada tahun 2013. Melalui beberapa karyanya, Leak menerima sejumlah penghargaan antara lain dari Yayasan Hari Puisi Indonesia
Aktif berkesenian sejak 1987 dalam bidang teater dan sastra meski belakangan juga melakukan kerja kreatif di bidang musik dan kolaborasi antarcabang kesenian. Menulis puisi dan naskah drama sejak 1987. Puisinya dipublikasikan di berbagai media massa, di samping diterbitkan oleh berbagai forum dan festival sastra bersama penyair lain.
Dalam aktivitasnya di dunia teater, ia bertindak sebagai sutradara dan penulis skenario. Pernah menulis naskah dan menyutradarai Teater Peron UNS (1990-1997), Teater Thoekoel UNS (1991-1994), Teater Citra Mandiri (SMU 2 Solo, 1990-1993) dan menjadi sutradara tamu di Teater Puntung (Kudus, 1994). Selain itu, ia juga pernah bergabung di Teater Gidag Gidig Solo (1987-1993), Teater TERA Solo (1990-1993), serta Teater Keliling Jakarta (1990-1993).
Tahun 1998, Mendirikan Kelompok Tonil KLOSED (Kloearga Sedjahtra) Solo, sebuah kelompok teater yang mencoba mendekatkan kesenian kepada masyarakat, sekaligus mendorong munculnya kesadaran HAM dan demokratisasi lewat kesenian. Kelompok tersebut telah melakukan 72 pementasan dari 15 naskah lakon, baik di tempat-tempat umum, seperti terminal, stasiun, lembaga pemasyarakatan, panti asuhan, lapangan, kampung, sekolahan & kampus, maupun disejumlah pusat kesenian dan festival serta televisi (TVRIStasiun Semarang).
Menjadi juri di berbagai festival teater dan juga kerap memberikan workshop secara periodik. Juga dikenal aktif berkolaborasi dengan seniman lain dan turut membidani lahirnya pertunjukan teater wayang seperti; Wayang Nggremeng, Wayang Suket dan Wayang Kampung Sebelah. Di samping pernah aktif di Kelompok Musik Golden Water, ia juga menjadi vokalis di OPM (Orkes Plasu Minimal) dan Orkes Sehat (1999).
Skenario Drama yang pernah ia buat antara lain, ‘Restu’ (1990), ‘Tahta’ (1991), ‘Suara’ (1992), ‘Tanda’ (1993), ‘Umbu’ (1993), ‘Ode’ (1994), ‘Galib’ (1994), ‘BOM’ (diadaptasi dari ‘Perang’, karya Puntung Pudjadi, 2001), ‘LAS’ (2002), ‘Pisau’ (diadaptasi dari cerpen anak-anak ‘Mengasah Pisau’ karya Triyanto Triwikromo), ‘Asu Gedhe Menang Kerahe’ (2005), ‘Overdosis’ (2006) dan ‘Verboden’ (2007).
Di dunia pertelevisian namanya juga sudah tak asing lagi, tercatat ia pernah menjadi asisten sutradara sinetron ‘Komedi Putar’ Produksi TVRI Jakarta sebanyak 13 episode. Pernah diundang untuk menyutradarai 5 episode ‘Wayang Dongeng’ (Semarang) di StasiunPRO TV Semarang. Menjadi penulis skenario sekaligus co-director Program TV Pojok Kampung (‘Suka-Suka’ dan ‘Gus Mus Menjawab’) yang ditayangkan secara rutin di Stasiun PRO TV Semarang.
Selain aktif di teater dan televisi, ia juga aktif berkecimpung di bidang sastra. Ia menulis puisi sejak 1987 dan dipublikasikan di berbagai media massa. Lebih dari 50 antologi puisi yang diterbitkan berbagai forum dan festival sastra juga memuat puisinya bersama penyair lain. Tiga antologi puisinya terbit secara khusus (bersama Gojek JS dan KRT Sujonopuro) oleh Yayasan Satya Mitra Solo, yakni ‘Umpatan’ (1995), ‘Cermin Buram’ (1996), ‘Dunia Bogambola’ (bersama Thomas Budi Santosa) oleh Indonesiatera Magelang (2007).
Aktivitas sastranya yang lain yakni : Deklamasi Keliling di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pulau Madura (1994), Deklamasi Keliling Sumatra (1995); Baca puisi keliling di sejumlah perguruan tinggi di Jawa Timur dan Madura bersama WS Rendra (alm) dan Brigitte Olenski (2002); Mementaskan Puisi-Musik ‘Orde Gemblung’ di Universitas Brawijaya Malang, TBS Solo, IKIP Semarang, Lembaga Indonesia-Prancis Yogyakarta, CCCL Surabaya, Gelanggang Remaja Bulungan dan Japan Foundation Jakarta (2002).
Kerap diundang dalam acara Festival Puisi Internasional Indonesia 2002 yang diselenggarakan di Makassar, Bandung dan Solo, dengan melibatkan penyair dari beberapa negara (April 2002), diundang pada Festival Puisi Internasional The Road di Bremen, Jerman, membaca puisi dan memberi workshop; Saat itu pula diundang membaca puisi dan menjadi narasumber di Universitas Hamburg dan Universitas Passau Jerman (Mei 2003). Baca Puisi dan Diskusi ‘Membaca Indonesia’ bersama Martin Janskowski (Berlin, Jerman), Dorothea Rosa Herliany (Magelang) di Madura, Surabaya, Solo, dan Kudus (Juli 2006). Mementaskan Puisi Perkusi Dunia Bogambola (bersama Temperente Percusion) di Festival Cak Durasim Surabaya, Universitas Negeri Surabaya, TBS Solo, Pendapa Kabupaten Demak, IKIP PGRI Semarang (Sejak Nopember 2007) dll. Diundang tampil membaca puisi dan menjadi narasumber di berbagai acara sastra seperti Konggres Sastra Indonesia di Kudus (2008), Temu Sastrawan Indonesia di Jambi (2008), Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjung Pinang (2008), Festival Sastra Kepulauan di Makassar (2009], Aceh International Literary Festival (2009), Ubud Wiriters and Readers Festival di Ubud, Bali (2010), Kedutaan Besar Indonesia di Berlin, Universitas Hamburg (Departemen Austronesistik), Deutsch Indonesische Gesellschaft Hamburg.  Melalui bukunya, Wathathitha, Sosiawan Leak menerima penghargaan sebagai Buku Puisi Terbaik Pilihan Panitia pada perhelatan Hari Puisi Indonesia 2016 di Taman Ismail Marzuki. Puisinya, Negeri Sempurna menjadi Puisi Terbaik pilihan Tim Kurator Tifa Nusantara 3 tahun 2016 di Marabahan, Kalimantasn Selatan. Pada tahun 2016, Leak menerjemahkan dan menerbitkan antologi puisi Sundel Bolong dalam Senthong bersama Rini Tri Puspohardini di bawah Penerbit Forum Sastra Surakarta dan Wathathitha (Penerbit Azza Grafika Yogyakarta, 2016). Empat naskah lakonnya diterjemahkan oleh Rini Tri Puspohardini serta terbit dengan judul Geng Toilet (Penerbit Forum Sastra Surakarta, 2012). Bukunya yang lain, Kepemimpinan Akar Rumput diterbitkan oleh Yogja Bangkit Publisher tahun 2015, dan Anai-anai Digelap Badai; ODHA Terpencil Melawan Stigma (cetakan pertama) diterbitkan oleh Rumah Matahari Kudus bersama Yayasan Sheep Indonesia Yogjakarta tahun 2015. Karya Sosiawan Leak adalah Antologi puisi adalah : Umpatan, bersama KRT Sujonopuro (Yayasan Satya Mitra Solo, 1995) Cermin, bersama Gojek JS dan KRT Sujonopuro (Yayasan Satya Mitra Solo, 1996), Dunia Bogambola, bersama Thomas Budi Santosa (Indonesiatera Yogyakarta, 2007), Matajaman, bersama Budhi Setyawan dan Jumari HS (Duniatera Magelang, 2011), Kidung dari Bandungan, bersama Rini Tri Purspohardini (Almatera Yogyakarta, 2011)

















Candra Malik (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 Maret 1978; umur 41 tahun) adalah pengasuh Pondok Pesantren Asy-Syahadah di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Namanya juga dikenal sebagai tokoh sufi, sastrawan, wartawan, penyanyi lagu reliji, pemeran film, penulis sejumlah kolom di berbagai media massa, dan pencipta lagu reliji yang kemudian disebut sebagai kidung sufi. Sejumlah karya sastra Candra Malik pernah dipublikasikan di berbagai media massa antara lain Kompas, Majalah Sastra Horison, Koran Tempo Minggu, Suara Merdeka, Suara Karya, dan Majalah Femina. Lagunya, Syahadat Cinta menjadi original sound track (OST) Cinta Tapi Beda, film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo (2013). Sejak 2015, Candra Malik menjabat sebagai Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (PP Lesbumi) PBNU untuk periode 2015-2020.
Sejak usia muda, Candra Malik sudah mengakrabi dunia spiritual utamanya ritual-ritual tasawuf. Dia belajar agama dari Abdullah Ali. Ia juga mengaji kepada Habib Ja'far bin Badar bin Thalib bin Umar bin Ja'far, guru dari kakeknya, di Surakarta, Jawa Tengah. Pada 1993, Candra lebih mendalami lagi ilmu tasawuf dengan belajar kepada Kiai Muhammad Muna'am Jember, Jawa Timur. Sambil bekerja sebagai wartawan di surat kabar Jawa Pos pada akhir 1999 di Yogyakarta, Candra menimba kearifan sufisme dengan belajar kepada Syekh Ahmad Sirullah Zainuddin, wakil talqin dari Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyah, sebelum akhirnya pada 2001 belajar langsung kepada mursyid tarekat tersebut, yaitu K.H. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin, pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, di Jawa Barat.
Sejak berhenti dari Jawa Pos dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Liputan Indo Pos, Jawa Pos di Jakarta, Candra Malik bekerja sebagai kontributor di sejumlah media cetak antara lain, Tabloid Nyata, Majalah ART Indonesia, Majalah Travel Lounge, The Jakarta Globe, dan mengasuh sebuah kolom tentang sufisme di Solo Pos, sebuah koran lokal di Jawa Tengah, bertajuk Matahati, di rubric Khazanah. Sembari terus menulis, Candra malik juga mengasuh Pondok Pesantren Asy-Syahadah, di Desa Segoro Gunung, di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Kedekatannya dengan kalangan agamawan-budayawan memudahkan langkah Candra untuk melibatkan Wakil Rais Syuriah PBNU K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam produksi album religi. Cak Nun menulis khusus sajak Mukaddimah Cinta untuk album Candra ini dan membacakannya dalam track pembuka, sedangkan Gus Mus membacakan sajak Pesona dalam track penutup. Dalam album ini, Candra juga memasukkan rekaman vokal K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam lagu Syahadat Cinta.
Dukungan lain datang dari Bondan Winarno, wartawan senior kini berkiprah dalam dunia kuliner. Berkat Bondan, Candra menembus sejumlah nama besar dalam belantika musikIndonesia, di antaranya, violist Idris Sardi dan composer Addie MS. Dalam album ini, Idris Sardi mengaransemen dan bermain biola dalam orkestrasi lagu Kidung Sufi, bersama Gus Mus. Addie mengaransemen lagu Shiratal Mustaqim dan memimpin Twilite Orchestra memainkan lagu tersebut, didukung oleh Tohpati. Nama-nama besar lainnya adalah Dewa Budjana yang mengaransemen dan bermain gitar dalam lagu Jiwa yang Tenang, Trie Utami ikut bernyanyi dalam dua lagu, Fatwa Rindu dan Fana Selamanya. Sedangkan Sujiwo Tejo berkolaborasi dengan rapper Marzuki Mohamad Kill The DJ (Jogjakarta Hip Hop Foundation) dan penyanyi reggae Heru
Karya antara lain : Shaggydog dalam lagu Samudera Debu.
Makrifat Cinta (Noura Books, Mizan, (2013)), Menyambut Kematian (Noura Books, Mizan, (2013)), Antologi FatwaRindu Cinta 1001 Rindu (Muara, Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), Komik Gus Sufi (Muara, Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), Ikhlaskanlah Allah (Muara, Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), Kolom Tetap (Koran Solopos dan Majalah Onlie MALE), Makrifat Cinta, Menyambut Kematian, Antologi FatwaRindu Cinta 1001 Rindu, Ikhlaskanlah Allah


Andrie Syahnila Putra Siregar .lahir di Binjai , Sumatera Utara pada 4 Januari 1971 dan meninggal di Bekasi 31 Oktober 2016.Ia anak kedua dari enam bersaudara .Nama populer nya Ane Matahari dikenal sebagai seniman , tokoh musikalisasi puisi,guru,pembina anak jalanan aktivis sosial dan pendiri Sastra Kalimalang Bekasi . Bersama Sanggar Matahari ,ia giat mempopulerkan musikalisasi ke seantero negeri . julukan lain adalah sastrawan bergitar. (Zaeni Boli)





Aloysius Slamet Widodo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 29 Februari 1952; umur 67 tahun) adalah pengusaha yang juga sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal di kancah kesusasteraan Indonesia melalui karya-karyanya berupa puisi mbeling yang dipublikan di sejumlah surat kabar Indonesia. Slamet Widodo merupakan salah satu penyair yang tergabung dalam Gerakan Puisi Menolak Korupsi. Etnomusikolog Rizaldi Siagian, pernah menyusun komposisi musik dari puisi-puisi bertema lingkungan karya Slamet Widodo. Kolaborasi mereka diwujudkan dalam bentuk visual grafis yang diberi tajuk Kehidupan: Dalam Ekspresi Teater Bunyi. Beberapa seniman yang terlibat dalam proyek tersebut antara lain Rahayu Supanggah, Peni Candrarini, Dharsono, Djenar Maesa Ayu, dan Masri Ama Piliang. Saat ini, Slamet Widodo aktif mengelola Komunitas Sastra Reboan yang diselenggarakan setiap bulan, di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta Selatan. Karya Slamet Widodo seperti : Potret Wajah Kita (Jakarta, 2004), Bernapas Dalam Resesi (Jakarta, 2005),
Kentut (Jakarta, 2006), Selingkuh (Precil Production, Jakarta, 2007),
Simpenan (2010), Namaku Indonesia (Pena Kencana, Jakarta 2012),













Berkatalah Sulaiman; "sesungguhnya ia istana licin yang diperbuat daripada kaca". Berkatalah Balqis; "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman dan kepada Allah, Tuhan semesta alam."
Peristiwa itu menyebabkan Ratu Balqis berasa sangat aib dan menyadari kelemahannya, sehingga dia memohon ampun atas kesilapannya selama ini dan akhirnya dia diperisterikan oleh Nabi Sulaiman.
Wafat[sunting | sunting sumber]
Kisah Sulaiman dan tentaranya yang terdiri daripada manusia, hewan dan jin dalam menjalankan dakwah Allah terhadap Ratu Balqis. Kematian dia berlainan dengan manusia biasa. Nabi Sulaiman wafat dalam keadaan duduk di kursi, dengan memegang tongkat sambil mengawasi dan memperhatikan jin yang bekerja.
Firman Allah:












Rg Bagus Warsono, nama lainnya Agus Warsono lahir di Tegal 29 Agustus 1965. Ia dibesarkan dalam keluarga pendidik yang dekat dengan lingkungan buku dan membaca. Ayahnya bernama Rg Yoesoef Soegiono seorang guru di Tegal, Jawa Tengah. Rg Bagus warsono menikah dengan Rofiah Ross pada bulan Desember 1993. Dari pernikahan itu ia dikaruniai 2 orang anak.
Ia mulai sekolah dasarnya di SDN Sindang II Indramayu dan tamat 1979, masuk SMP III Indramayu tamat tahun 1982, melanjutkan di SPGN Indramayu dan tamat 1985. Lalu ia melanjutkan kuliah di D2 UT UPBBJJ Bandung dan tamat tahun 1998, Kemudian kuliah di STAI di Salahuddin Jakarta dan tamat 2014 , pada tahun 2011 tamat S2 di STIA Jakarta.
Setelah tamat SPG, Rg Bagus Warsono menjadi guru sekolah dasar, kemudian pada tahun 2004 menjadi kepala sekolah dasar, dan kemudian 2015 pengawas sekolah. Tahun 1992 menjadi koresponden di beberapa media pendidikan seperti Gentra Pramuka, Mingguan Pelajar dan rakyat Post. Pada 1999 mendirikan Himpunan Masyarakat Gemar Membaca di Indramayu. Menjadi anggota PWI Jawa Barat. Rg Bagus Warsomo juga menulis di berbagai surat kabar regional dan nasional seperti PR Edisi Cirebon, Pikiran rakyat, Suara karya dan berbagai majalah pendidikan regional maupun nasional,
Karya :
a. Puisi
Bunyikan Aksara Hatimu, Sibuku Media , Jogyakarta 2013
Jakarta Tak Mau Pindah, Idie Publising, Jakarta 2013
Jangan Jadi sastrawan, Indie Publising, Jakarta 2013
Si Bung , Leutikaprio, Jogyakarta , 2014
Mas Karebet, Sibuku Media, Jogyakarta, 2014
Satu Keranjang Ikan, Sibuku Media, Jogyakarta, 2015
Surau Kampung Gelatik, Sibuku Media, Jogyakarta, 2016
Mencari Ikan sampai Papua, 8 Penyair, Penebar Pustaka, Jogyakarta, 2017
Kemeja Putih Lengan Panjang, Penebar Pustaka, Jogyakarta, 2018
b. Esai
Bincang-bincang Penyair , Penebar Pustaka, 2018
Geliat Penyair Indonesia, Penerbar Pustaka, 2018
c. Cerita Anak
Kopral Dali, Sibuku Media, Jogyakarta 2014
Meriam Beroda, Sibuku Media Jogyakarta 2015
Pertempuran Heroik di Ciwatu, Penebar Pustaka, Jogyakarta 2016
Kacung Ikut Gerilya, Penebar Pustaka, Jogyakarta, 2018










Chairil Anwar (lahir di Medan, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun), dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia berdarah Minangkabau. Dia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, dia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45sekaligus puisi modern Indonesia.
Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, di mana dia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Indragiri, Riau. Dia masih memiliki pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya, namun Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apapun; sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, dia tidak lagi bersekolah.[3] Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, dia telah bertekad menjadi seorang seniman.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) di mana dia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang berjudul Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada akhir tahun 1948.


Makam Chairil di TPU Karet Bivak
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949. Penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Chairil dirawat di CBZ (RSCM) dari 22-28 April 1949. Menurut catatan rumah sakit, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin lemah, sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya - yakni ususnya pecah. Tapi, menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena tinggi panas badannya, dan di saat dia insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku, Tuhanku...". Dia meninggal pada pukul setengah tiga sore 28 April 1949, dan dikuburkan keesokan harinya, diangkut dari kamar mayat RSCM ke Karet oleh banyak pemuda dan orang-orang Republikan termuka. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".

Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949,sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga dijiplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin). Karya tulis Chairil Anwar yang diterbitkan adalah Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
"Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
Derai-derai Cemara (1998). Chairil juga menerjemakan karya  seperti Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide dan Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck









Anak Cucu Pujangga (ACP)
Antologi Puisi Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia VII 2019
Penyair Indonesia

Penulis :
1.Raeditya Andung Susanto (Brebes)
2.Carmad.(Indramayu)
3.Anisah
4. Ure Maran
5. Zaeni Boli (Larantuka, Flores)
6. Sarwo Darmono (Lumajang)
7.Gilang Teguh Pambudi (Jakarta)
8. Bd'oel Santri Bangor
         9. Mohd Zainal Bin Abdul Karim
             (Pasangkayulawesi Barat)
10. Teguh Ari Prianto (Cimahi)
11.Rg Bagus Warsono (Indramayu)
12. Pensil Kajoe
13.Heru Mugiarso (Semarang)
14.Emby B. Metha (Lama Halla, Flores)
15.Sami’an Adib (Tegal)
16. M. Sapto Yuwono (Muara Bungo)
17. (Arie Png Adadua) Syaiful B. Harun.(Palembang)
18.Agus Mursalin (Kebumen)
19. Sugeng Joko Utomo.  (Gombong)
20.M Dhaun El Firdaus (Gombong)
21.Karan Figo (Jakarta).
22.Anom Triwiyanto (Gombong)
23.Buanergis Muryono (Depok)
24. Lela Hayati (Bandung)
25.Barokah Nawawi (Semarang)
26.Sukma Putra Permana (Kota Gede)
27. Fian N,Dalam Waktu (Maumere)
28. Wanto Tirta






------------