TEKS SULUH


Minggu, 30 Desember 2018

Sindhunata,


Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J., atau lebih dikenal dengan nama pena Sindhunata (lahir di Kota Batu, Jawa Timur, Indonesia, 12 Mei 1952; umur 66 tahun) dan juga dikenal dengan panggilan populernya Rama Sindhu (atau dibaca "Romo Sindhu" dalam bahasa Jawa) adalah seorang imam Katolik,anggota Yesuit, redaktur majalah kebudayaan "BASIS". Sejak masa kecilnya hingga tamat SMA ia hidup di kampungnya di kaki Gunung Panderman. 

Anak Bajang Menggiring Angin

Anak Bajang Menggiring Angin

Anak Bajang Menggiring Angin adalah sebuah novel fantasi pewayangan berbahasa Indonesia karya Sindhunata (atau "Rama Sindhu") yang diterbitkan tahun 1983 oleh Gramedia Jakarta.Dengan beberapa perbaikan dan tambahan oleh Sindhunata, serial tersebut diterbitkan dalam bentuk buku ini.
Dengan gaya bahasa sastra Sindhunata yang khas, penuh diwarnai imajinasi simbolik, dan dengan penggalian makna-makna filosofis yang dalam, buku ini menyajikan versi Jawa kisah Ramayana, menjadi sebuah penciptaan kembali kisah tradisional Ramayana ke dalam bentuk sebuah kisah sastra. Cerita dalam buku ini menampilkan suatu kisah yang mengandung sesuatu kemustahilan dan asing bagi pengalaman biasa, sesuatu impian kosong bila dipandang dari kenyataan keseharian manusia. Dengan kekuatan tersendiri kisah ini menampilkan impian-impian itu menjadi suatu jalinan kisah insani, yang membuat impian-impian itu tampil sebagai cita-cita yang dirindukan manusia. Siapa dapat memastikan apakah sebuah kenyataan itu sesungguhnya impian dan sebuah impian itu justru sesungguhnya kenyataan? Dengan menggugah pembaca, buku ini merujuk pada harga yang mahal dan nilai yang tinggi yang dimiliki impian manusia.
Sekutip dari kisah buku: "Terimalah perhiasanku ini, Nak," kata Dewi Sukesi. Dan perempuan tua ini pun mengalungkan untaian kembang kenanga di dada Kumbakarna. Mendadak alam pun membalik ke masa lalu. Tanpa malu-malu. Jeritan kedukaan menjadi madah syukur sukacita. Bermain-main anak-anak bajang di tepi pantai, padahal kematian sedang berjalan mengintai-intai. Gelombang lautan hendak menelan anak-anak bajang, tapi dengan kapal kematian anak-anak bajang malah berenang-renang menyelami kehidupan. Hujan kembang kenanga di mana-mana, dan Dewi Sukesi pun tahu, penderitaan itu ternyata demikian indahnya. Di dunia macam ini, kebahagiaan seakan hanya keindahan yang menipu. Sukesi terbang ke masa lalunya, ke pelataran kembang kenanga. Ia tahu kegagalannya untuk memperoleh Sastra Jendra ternyata disebabkan oleh ketaksanggupannya untuk menderita. Ia rindu akan kebahagiaan yang belum dimilikinya, dan karena kerinduannya itu ia malah membuang miliknya sendiri yang paling berharga, penderitaannya sendiri. Dan pada Kumbakarnalah kini penderitaan itu menjadi raja." (Sumber Wikipedia) Buku ini merupakan penyempurnaan dari "Kakawin Ramayana" dari versi pewayangan Jawa. Versi ini ditulis oleh Sindhunata dan dimuat di harian KOMPAS setiap hari Minggu pada tahun 1981. Walaupun Sindhunata menulis buku ini dengan sumber dari kisah Ramayana yang populer di masyarakat budaya Jawa, kisah ini dapat dibilang baru karena yang digambarkan dalam buku ini adalah harapan-harapan dan kerinduan dari Sindhunata sendiri, yang diwarnai dan dilatarbelakangi kebudayaan Jawa di mana budaya wayang sangat berperan kuat dalam filsafat kehidupan sehari-hari. Sindhunata menggunakan tokoh-tokoh wayang "Ramayana" yang imajinatif tersebut untuk membantu menuangkan maksudnya tersebut.
Sindhunata menulis buku ini untuk menggugah dan membuat pembacanya berpikir tentang harga dan nilai sebuah cita-cita, di mana dia menampilkan sebuah kisah tentang impian yang seakan-akan tampil sebagai cita-cita dan sebaliknya. Bagi sebagian pengamat sastra, kisah buku ini adalah sebuah representasi perlawanan yang lemah dan tak berdaya menghadapi absurditas nasib dan kekuasaan.

(Rg Bagus Warsono)

Tere Liye


Tere Liye (lahir di Lahat, Indonesia, 21 Mei 1979; umur 39 tahun), dikenal sebagai penulis novel. Beberapa karyanya yang pernah diangkat ke layar kaca yaitu Hafalan Shalat Delisa dan Moga Bunda Disayang Allah. Meskipun dia bisa meraih keberhasilan dalam dunia literasi Indonesia, kegiatan menulis cerita sekedar menjadi hobi karena sehari-hari ia masih bekerja kantoran sebagai akuntan.Tere Liye meyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di SDN 2 Kikim Timur dan SMPN 2 Kikim, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan. Lalu melanjutkan sekolahnya ke SMAN 9 Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Setelah lulus, ia meneruskan studinya ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kegiatannya setelah selesai kuliah banyak diisi dengan menulis buku-buku fiksi.
 (Rg Bagus Warsono, 31 Desember 2018).

Hujan, Tere Liye

Hujan

Hujan adalah Kisah tentang melupakan. Tentang Hujan. Novel ini adalah naskah awal (asli) dari penulis; tanpa sentuhan editing, layout serta cover dari penerbit, dengan demikian, naskah ini berbeda dengan versi cetak, pun memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Buku ini mendapat apresiasi tinggi dari media social. Seorang  pengamat buku , Abdurrachman M memuji buku ini sebagai berikut dalam goodreads: Begitulah cinta, ketika kita mengasumsikan kemungkinan terburuk bahwa kita hanya terlalu berharap dan dia tidak mencintai kita ternyata dia sedang mempersiapkan hal istimewa untuk kita. Namun, ketika kita sedang berharap dan merasa dia sangat mencintai kita, ternyata dia biasa-biasa saja dan tidak ada sedikitpun kita di dalam hati nya. Hujan adalah novel menarik dengan plot di masa depan mengenai cinta seorang gadis sederhana .kepada seorang super jenius di zamannya. Lail, seorang gadis yang bagaimanapun dicobanya perjuangan cintanya tetap sabar dan akhirnya menerima apapun yang terjadi. 
Tere Liye pengarang buku ini memberi kejelasan tentang hujan sebagai Tentang persahabatan,
Tentang cinta,Tentang perpisahan
,Tentang melupakan, Tentang hujan.
Tentang kehilangan dan penerimaan akan kehilangan itu sendiri, tentang persahabatan dan ketulusan dalam ikatan tersebut, tentang perpisahan dan cara menemukan jalan keluar agar tidak melulu galau dalam mengisi penantian panjang. Tokoh Lail mengajarkan pada saya bahwa dengan menolong banyak oarng adalah salah satu cara terbaik untuk merelakan kehilangan. Dengan memberi, kita sadar bahwa kehilangn bukanlah kepahitan hidup yang harus terus diratapi. Tidak, bukan seperti itu. Lail mengajarkan saya banyak hal. Juga Maryam. Sosok sahabat yang humoris dan selalu sanggup mencairkan suasana, selalu berada di samping Lail baik susah maupun senang, gadis berambut kribo yang berpikir dewasa, salah satu orang yang menjadi alasan Lail bertahan dari lelahnya berlari dan terjatuh dengan jarak 50 kilometer dalam hujan badai.

"Barang siapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan." - (Hujan, Epilog, hlm. 318)
“Hidup ini memang tentang menunggu. Menunggu kita untuk menyadari, kapan kita akan berhenti menunggu (hal.228)”
“Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri, Kamu pernah merasakan rasa sukanya, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis, sulit disulam menjadi puisi oleh pujangga, tidak bisa dijelaskan oleh mesin paling canggih sekalipun. Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang memiliki. Jadi, kenapa kamu sakit hati setelahnya? Kecewa? Marah? Benci? Cemburu? Jangan-jangan karena kamu tidak pernah paham betapa indahnya jatuh cinta.” 
“Jangan pernah jatuh cinta saat hujan. Karena ketika besok lusa kamu patah hati, setiap kali hujan turun, kamu akan terkenang dengan kejadian menyakitkan itu.”


Senin, 24 Desember 2018

Ikuti Lumbung Puisi VII 2019

Anak Cucu Pujangga (ACP) adalah tema luas Lumbung Puisi ke-7 tahun 2019 yang dimulai 22 Desember 2018 sampai 21 April 2019. Tema ini sengaja diberikan untuk memeilihara sastra Indonesia bahwa sastra memiliki generasi berkelanjutan yang tak terputus oleh bentuk tragedi apa pun di Indonesia.
Sebagaimana telah di singgung dalam berbagai buku dan pendapat serta teori-teori genetika. Maka anak cucu pujangga tidak saja memarisi terhadap keturunan langsung tetapi juga pada diluar keturunan terhadap murid langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu penyair yang mengirim puisi di Lumbung Puisi VII 2019 dapat mencantumkan nama orang tua atau kakek sastrawannya baik keterunan langsung maupun tidak langsung.
Generasi dapat ditimbulkan melalui biologis maupun psikologi. Wajar bila orang menyebut 'anak biologis dan ' anak idiologis .
Nama besar kakek atau orang tua langsung dapat ditul;is di nama penyair agar nama orang tua kita ikut menjadi bagian karya kita. Disamping itu faedah lain yaitu mengangkat nama orang tua.
Demikian seorang penyair menunjukan kebesaran budi dan kerendahan hati serta senantiasa mengingat jasa orang tuanya.
Tentu saja nama embel-embel itu hanya terdapat di antologi ini dan tidak melekat untuk menjadi nama selanjutnya dalam situasi yang lain.
Anak Cucu Pujangga memberikan ruang kreativitas bahwa sastra itu sebetulnya adalah 'garis lurus geneteka dari'sononya. Semoga dengan Anak Cucu Pujangga ini duania sastra semakin semarak dengan kreativitas-kreativitas baru yang pantas untuk dibaca semuanya .
(Rg Bagus Warsono, 22-12-18)