TEKS SULUH


Rabu, 27 Juni 2018

Antologi Bersama tulisan Tangan Penyair,


Dalam tahun 2018 sastra Indonesia khusus puisi dalam seperti halnya tahun-tahun sebelumnya dengan seputar kreatifitas baca tulis dan kumpulan puisi dari berbagai komunitas. Perhelatannya hampir sama meskipun di sisi lain tampak kegairahan yang setiap tahun terus bertambah, yakni tentang meningkatnya pecinta sastra khusus puisi dan semakin banyaknya pelaku-pelaku sastra dari generasi baru serta munculnya penyair-penyair muda potensial.

Aktifitas baca tulis puisi tampaknya semakin meningkat meski kelihatan tampilannya seperti monoton dan klasik. Beberapa peningkatan gebrakan baru tampak dilihat seperti dengan mengemas puisi dan kesehatan, puisi dan gerakan makan ikan, puisi dan anti kekerasan terhadap anak dan keluarga, atau tentang puisi dan gerakan anti korupsi.
Kegiatan sastra khusus puisi lain dari berbagai komunitas dan aktifitas melalui media elektronik pun banyak dilakukan dengan aneka rupa walau tampak hanya mengulang. Keadaan ini pun tampak terjadi seperi hal biasa saja.

Dari isi inilah Lumbung Puisi terdorong keinginan untuk memunculkan sesuatu yang baru yang dapat menjadi sebuah sejarah dalam hal tul;is menulis bidang sastra khusus puisi. Akhirnya kerinduan itu muncul ditengah rasa tampilan-tampilan puisi dan karya buku serta aktifitas penyair yang pada masa ini tampak berjalan seadanya.

Bahwa penyair perlu untuk dikenal dan mengenalkan kepada masyarakat tetang segala sesuatunya bahkan kehidupannya merupakan kesan tersendiri. Hal ini menginat penyair juga merupakan figur publik yang sering bahkan sering diperhatikan oleh masyarakat. Keinginan untuk melihat lebih jauh tetantang penyair itu bukan hal baru tetapi sebagai tuntutan ilmiah terhadap pengetahuan sastra bagi kita dan masyarakat.

Salah datu bentuk keingintahuan masyarakat itu tidak hanya pusi dan buku antologinya tetapi juga tulisan tangannya, untuk memberi keyakinan bahwa [enyair adalah pelaku sejaran dan pelaku sastra itu sendiri. Diantara untuk diketahui itu adalah bagaimana bentuk tulisan tangan m,ereka.

Dari kebutuhan itu tulisan tangan penyair perlu dibukukan agar menjadi keyakinan masyarakat dan pembuktian bahwa seorang penyair memiliki proses pembuatan puisi sehingga menjadi antologi. Tulisan tangan penyair dijadikan keyakinan bahwa keberadaan penyair betul sebagai penyair yang tidak hanya menulis di hp atau di komputer tetapi juga dalam kesehariannya juga menulis dari tulisan tangannya.

Antologi tulisan tangan penyair juga merupakan sebuah tantangan dan juga ketrampilan lain yang dimiliki penyair yang tidak saja mamopu menunjukan puisi-puisi tetapi juga mampu mrenunjukannya dengan tulisan aseli tangnnya dalam menulis puisi.
(Bersambung)

Selasa, 26 Juni 2018

Segera, Antologi Bersama Nasional Tulisan Tangan Penyair Indonesia

Satu lagi karya sastra anak bangsa dalam dinamika kehiduopan Indonesia . Kali ini dalam tiulisan tangan-tangan penyair asli untuk menyoroti pemimpin Indonesia. Presiden, Gubernir, Walikota, Bupati, Camat, Sampai Kepala Desa , juga raja-raja nusantara, dan pemimpin masa depan dalam kemasan Satrio Paningit :



Kamis, 14 Juni 2018

Berbagi Keindahan Sajak , dalam Sedekah Puisi Ramadhan 1439 H

Berbagi Keindahan Sajak
Perjumpaan
Seperti menjemput tamu agung, Ramadhan 1439 H, sebuah perjumpaan yang telah setahun lamanya tak bertemu. Adalah persiapan-persiapan menyambutnya dengan kesiapan keimanan dan niat menjalankan perintahNya. Penyair-pennyair kita menulis itu dengan rasa kesucian dan sambutan hangat ramadhan. Kebesaran Islam dan semangat melaksanakan ajaran-ajaran Rasullullah. Penyair kita menuliskan itu dalam perjumpaan dengan Ramadan sebagai ujud kecintaannya kepada Allah sebagai umatnya Rasullullah Muhammad yang diutusnya itu dalam menyambut bulan suci yang penuh rahmat ini. Mereka Gilang Teguh Pambudi, Asep Nurjamin, Siti Khodijah Nasution, sedang Chan-chan Parase memberi catatan bahwa manusia tempat nya dosa. Berikut peuisinya :
Gilang Teguh Pambudi dalam puisinya “ 9 Puisi Pendek Di Atas Tisu”
//...1. MEMBUKA RAMADAN
hujan jam sembilan
menyentuh touchscreen
aku menulis keajaiban Ramadan/.../
7. RAMADAN YANG SELALU PUASA
sebab kamulah Ramadan yang selalu puasa
sampai hujan tak mengatakan, tidak!....//
Asep Nurjamin dalam puinya “ Ikrar Ramadhan”
//....tak ada kebaikan dibaktikan, setiap saat membayangkan penampilan saat hari raya,
agar tampil modis bergaya....//
Siti Khodijah Nasution dalam puisnya “ Raibnya Rakaat Sembahyang”
//Rakaat apa yang terlupakan
hingga kepulan sesaji doa mendahuluinya
'tuk mencecap kata surgawi....//
Chan Chan Parase dalam puisinya “ Deting dari Lubuk Luka” :
//...Aku tidak bisa menjalani puasa jiwa
Maupun taraweh rasa
Bahkan menahan haus dan lapar dada karenamu
Sebab Attahiyatulku sangat tidak wajar kepadamu saudaraku..
(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)

Di Tempat Lain dalam Sedekah Puisi Ramadhan 1439 H

Di Tempat lain
Di Tempat lain Ramadhan juga adalah bulan sosial, gambaran itu diungkapkan dalam puisi-puisi penyair-peyair kita sehingga membentuk untaian antologi yang sangat indah. Berikut Shah Ri Zan, Bunergis Maryono, Iwan Bonick, Sarwo Darmono, dan Cuk Ardi.
Shah Ri Zan dalam puisnya “ Kejam”
//....hanya akan memerangkap
ke suatu lembah yang paling hina
apa yang diciptakan
terbentuk dari dusta semata-mata
kemuliaan sepasang genggam tangan kekasih pasti akan berakhir
dengan penyesalan tidak bernoktah//
Bunergis Maryono dalam puisnya “ Tiap Subuh “
//....Melekat di benakku nama tiga toko yang selalu kami lintasi
Toko Kasih
Toko Iman
Toko Harapan
Penting di saat sekarang
Perlu zaman maya ini memiliki stock Harapan
Gudang Iman
Pabrik Kasih...//
Iwan Bonick dalam puisinya “ Pesepedah Tua”
//...Di jalan
Berbatu berkerikil bergelombang
Di jalan
Setapak tanah yang licin kala hujan
Di jalan
Beraspal namun berlubang
Di jalan
Menanjak nan melelahkan
Di jalan
Menurun terkadang menakutkan
Di jalan
Berhotmix yang rata mengasickan
Itu adalah sajadah panjangmu...//
Sarwo Darmono dalam geguritannya “ Aku Hamung Melu”
//...Merga aku hamung melu. Embuh aku ora weruh ,
Apa iki diarani Sedekah Aksara Kang iso gawe suka ,
Apa iki diarani nata Aksara mung isa diwaca
Aku ora Pirsa , Antuk Nugraha apa muspra ,
Sing baku aku melu Laku Prayoga lan Utama
Kabeh Mangga Kersa ,Pasrah Kersaning Gusti kang Paring Nyawa//
Cuk Ardi dalam puisinya “ Sahabat”
//...membaca tentang maha luasnya alam semesta
membaca tentang segala apa yang Tuhan cipta
membaca tentang ilmu Tuhan yang tak terhingga
marilah kita bersahabat dengan keagungan alqur'an
karena ia membuka kita pada kesadaran..//

(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)

Istimewanya Ramadhan di Sedekah Puisi Ramadhan 1439 H

Istimewanya Ramadhan
Tinta penyair adalah karya seni pikir penyair yang digoreskan dengan perantara aksara. Betapa dalam menahan lapar dan dahaga penyair kita membuahkan karya bermutu tinggi dalam tadarus puisi Sedekah puisi, yang betul-betul , dan sekali lagi penulis katakan sangat indah seperti berbagi keindahan. Berikut cuplikan-cuplikan puisi indah itu :
Suhendi RI dalam puinya “ Nirvana”
//...Dalam kefanaan ia mengasingkan diri
Menembus batas semu surgawi
Menuju jalan budhi...//
Harkoni Madura denga puisinya “ Cemara Udang Pantai Lombang”
//....sapuan pucuk daun-daunnya mengisyaratkan ihwal pendakian
mengupak semestaku menuju rute-rute rindu
hampar pasir dan ikan-ikan yang berenangan
masih menjinjing sakaw dzikir penghujan
hingga pada jingkrak tubuh-tubuh sampan
kujumpa rekah jalan sebasah kayuhan firman
menyambut denyut senja yang berarak
kusyahadatkan kedirian lewat basuhan sajak-sajak
selagi jazad tak uzur meredup...//
MayaAzeezah dalam puisinya “ Maafkanlah”
//.../Memperlihatkan Hisab?
Amal perbuatan selama ramadhan
Ya, aku tercantum paling hitam
Pada buku-buku malaikat/...//
Faisal ER dalam puisinya “ Sebuah Catatan Ramadhan”
//Di ujung sajadah
aku memeluk air matamu
Menari dalam kenangan
Sebagian yang lain
mengejar impian sampai ke langit
Mengubah dirinya menjadi bahasa tubuh,
seperti puisi diam dalam makna....//
Eri Syofratmin dalam puisinya Air mata jiwa
//...: Yang bersetubuh dalam jasad,
Bimbing Nurku. Siram, bersihkan
Bersama air suci dan zikir-zikir hening
Sampai air mata jiwaku mengalir,
Dari bilik-bilik lembah mata jiwaku.
Ya Nur Muhammad.....//
Faisal ER dalam puisinya Sebuah Catatan Ramadhan
//...Namun tangismu terdengar nyaring
Menunggu lailatul qodhar yang nyaris
Mulutmu yang gagap dan tanganmu yang lemah
Tak kuasa menggapai meskipun melambai
Doamu membakar sunyi yang sepi
Sujudmu kesenyapan yang sendiri//
Osratus dalam puinya “ Protes tentang Sepasang Sandal Jepit”
//...."mungkin, daripada hidup diselimuti kepurapuraan makanya mereka pulih bercerai. mungkin juga, ada sandal ketiga yang iseng. bisa jadi, aku dan dirimu penyebabnya. tapi bukankah menganggap pasti yang belum pasti, sama saja dengan bohongi diri sendiri? ...//
Muhammad Affip“ Dongeng Batu Puasa”
//...Ketika ada orang gundah mencari arah lalu
daun berisik dan gugur bersama angin, batu dingin
menanti hujan menunggu matahari menyapa kembali.
--seorang bocah menangis kepalanya berdarah
O dari manakah kerikil yang buta arah?//.
Najibul Mahbub dalam puisinya Lautan berikut cuplikannya
//Ketika Camar mencari peraduan
Diantara karang-karang terjal
Monyet memilih Senayan dalam genggaman
Sedangkan kancil menjadi penguasa di lautan....//

(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)

Mereka Melihat Malam Lailatulkadar di Sedekah Puisi Ramadhan 1439 H

Mereka Melihat Malam Lailatulkadar
Sungguhpun puisi, tak sembarang puisi, dan puisi pun dapat mengungkap rahasia alam, dan meraba Rahasia Allah dengan pengalaman batin dan pengalaman lahiriahnya dalam hidup ini. Penyair –penyair pun mendapatkan kesempatan melihat Malam Lailatulkadar dengan goresan tintanya itu.
Arie Png Adadua dalam puisi “ Pada Malam Lailatulkadar II” :
//...seorang muslim terpilih
ke luar surau usai i’tikab bersendiri
di malam hitungan ganjil
diam terpaku di satu langkah kecil//
...//tak ada angin semilir
pikiran dan hatinya dalam dzikir
malihat daun-daun merunduk
seakan-akan khusyuk rukuk
jagat raya dan alam sekitar
seperti diam berhenti berputar
pada malam lailatulkadar...//
Dzul Halim dalam puinya “ Aku ingin mengecup keningmu”.
//...Bait-bait diri melayang menerjang mega-mega,
Tergantung pada doa yang entah kemana singgah...//
Dzul Halim dalam puisi lainnya “ Rindu”.
//...Bahkan samar berjelaga.
Hanya gulita berselimut fatamorgana dalam diam
Yang terus membungkam...//
Parijem dalam puisi “Jika tlah” :
//azan memanggilku bukan berkumandang
shalat adalah jalanku bukan perkara
puasa itu rutinitas bukan lagi sunah atau wajib
zakat menjadi bagianku bukan satu perintah
Naas menjadi terutama tak utama,
Tlah,
Akhir nafasku//
Sami’an Adib dalam puisinya “ Di Malam ke-21 Ramadan “ :kenangan puasa di bawean”
//... “assalamualaikum, salam bahagia dan kesejahteraan
kami hantarkan bersama sejinjing remah persaudaraan”...//
Yanu Faoji dalam pusinya “ Pancaran Makrifat”
//....Yang melarungkan tuna waca Merangkul shidiq pada setiap hembusan nafas
Dan meniupkan jilat yang melalap Membasah kuyupkan seluruh tubuh ...
Alek Brawijaya dalam puisnya “ Mazhab Bulan”
//...Kucatat semuanya dalam satu malam
sampai tiba fajar akan kugabungkan
menjadi sebuah mazhab perjalanan menuju bulan...//

(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)

Pengamopunan Penyair , di Sedekah Puisi Ramadhan 1439 H

Pengampunan Penyair
Ramadhan adalah juga bulan pengampunan. Digambarkan dengan begitu indah dalam catatan-catatan ibadah yang sangat membuat hati kagum akan kesungguhan umatMu mengisi bulanMu yang suci . Beberapa penyair tersebut menorehnya dalam guratan-guratan puisi yang kadang memiliki kekuatan nafas ibadah dan kemuliaan Ramadhan. Berikut Raden Rita Maemunah dalam puisinya “ Bersujudlah”
//....Kau terbangun saat malam masih pekat
Mengeluh dan kembali nyenyak
Mengapa kau tak bangun bersujud mengucap rasa sukur
Menadahkan tangan sambil tersungkur...//.
Sedang Dwi Wahyu C.D. dalam puinya “ Doaku”
//Di ujung shaf kutundukkan pandangan
Kupasrahkan jiwa dan ragaku
Tuk merengkuh pengharapan ridho-Mu....//. Juga
Syahriannur Khaidir dalam puinya “ PadaMu”
//...PadaMu haruskah kukenali cemburu
Karena kucumbui Kau dengan rayuan semaunya
Dalam jalan pilihan para pendosa
Tak henti-hentinya menggedor pintu-pintu taubat//
Sedang penyair-penyair lainnya tak kalah dalam mengagungkan kebesaran ramadan dengan menggambarkan kekhusuan dalam menjalankan perintah itu, seperti Septiannoor dalam cuplikan puisinya
//Pulang mereka tergesa
Dengan nasi dan sejumlah uang untuk para putra-putri mereka
Pakaian lusuh berjuntai dengan wajah berseri gembira
Ingin segera pulang untuk berbuka
Bersama keluarga meski hanya sedekah hari ini yang mereka terima//, kemudian
Septiannoor melanjutkan dalam puisi lain , berikut cuplikannya:
//....Certia terus berlanjut
Senyum dan tawa akhirnya selesai pada suara bedug disurau desa...//
RB Pramono dalam puisinya “ Di Simpang Jalan Itu”
//kau memanggilku
wajahmu lelah namun berseri
jarak cahaya telah kau tempuh
aku ingin bersimpuh
wahai sang Kekasih Jiwa...//
di puisi lain RB Pramono menulis “ Demi Masa”
//...demi masa, aku tak ingin tumbang
sedang batin masih demikian kerontang
/demi masa, aku ingin bersujud tanpa hitungan
menjelang jemputan pulang//
Akhmad Asyari dalam puisi yang berjudul “ Hahaha”
//...Sadar bila sakit
Istighfar hingga kelangit
Tafakkur bila syukur
Sujudpun sampai mendengkur
Hahaha...
Kau ini, ada-ada saja!//.
(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)

Senin, 11 Juni 2018

Sedekah Puisi , Tadarus Puisi 2 , No. 21-30


21.

Alek Brawijaya

Poneglyph Dalam Sebuah Kicauan

Alek Brawijaya
terbanglah pandanganku!
seperti terlepas dari ikatan
dan kepakkan sayap perlahan menghempas angin
menaburkan debu yang selama ini
menjadi selimut dari tidurnya.
aku yang tersudut di samping jendela
merasakan sebuah aura yang memanggilku
ketika sorotan jatuh keluar melihat kerimbunan pepohonan melambai
untuk singgah pada awal sebelum nabi adam diturunkan ke bumi
kembali pada abad kekosongan
dan menjadi fitrah tak berdebu
adalah naluri dari setiap kicauan
yang bersarang di dalam dada
hanya saja butuh puingpuing prasesti
untuk merangkai menjadi kerangka yang harmonis
dan menapak-tilaskan rangkaian silsilah dalam sejarah
hingga menjadi sebuah cerita, muasalnya surga.
Teluk Kijing, Juni 2017







Alek Brawijaya

Mazhab Bulan

Kepada risalah malam
yang selalu bersenandung semililir angin bisu
berdakwahlah dengan gairah bintang!
berkelipan seperti jemari kunang-kunang dari kuku sang leluhur.
Telah ku temukan kerimbunan temaram dalam ruh
berirama selaras dengan waktu
saat awan hitam berlari dari kejauhan cahaya bulan.
Lalu dia mengintaiku setelah mataku terjatuh
menemui ketidaksadaran untuk bermimpi
membangun silsilah melalui pertikaian yang harmonis
dari sisi perputaran waktu dan pergantian jejak
atau deretan malam yang beralun dalam kesunyian
Kucatat semuanya dalam satu malam
sampai tiba fajar akan kugabungkan
menjadi sebuah mazhab perjalanan menuju bulan
bulan kesekian atau bulan kesepian.
Teluk Kijing, Juli 2016











22.

Bambang Widiatmoko

Idul Fitri di Bukit Barchan

Menjelang ombak kian pasang
Kita berjalan menyibak deretan pohon pandan
Memenuhi bukit-bukit Barchan
Di tepi pantai laut selatan
Sejauh mata memandang - debur gelombang.

Kita telah duduk melipat kaki
Terasa butiran pasir menjalar di kanan dan kiri
Mendengar dengan khidmat kotbah Idul Fitri
Lantas begitu saja kusadari
Di tepi pantai ini - kekosongan hati.

Seperti permukaan pasir yang dipermainkan angin
Membentuk  mozaik yang selalu berubah bentuk
Lalu aku kembali tertunduk saat angin datang mengetuk
Seolah ingin menunjukkan - di hadapanmu terbentang laut
Dan kamu hanyalah sebutir pasir yang selalu terantuk.
2018






23.

Suhendi RI

Nirvana

Demi mencapai kesejatian paling hakiki
Ia tanggalkan pakaian duniawi
Samsara, karma, reinkarnasi
Jiwa suci
Menyepi
Dalam kefanaan ia mengasingkan diri
Menembus batas semu surgawi
Menuju jalan budhi
Gelap sunyi
Abadi
Cikarang, 16 Januari 2018

















24.

Harkoni Madura

Cemara Udang Pantai Lombang

sepagi ini cemara udang mulai melarung keteduhan
menidurkan usikan terik yang mulai menisik
bulir-bulir embun semalaman singgah
tipis jejaknya masih menikahi landai tanah
di antara pekikan camar
dan senggak ombak yang menyetubuhi jangkar
sapuan pucuk daun-daunnya mengisyaratkan ihwal pendakian
mengupak semestaku menuju rute-rute rindu
hampar pasir dan ikan-ikan yang berenangan
masih menjinjing sakaw dzikir penghujan
hingga pada jingkrak tubuh-tubuh sampan
kujumpa rekah jalan sebasah kayuhan firman
menyambut denyut senja yang berarak
kusyahadatkan kedirian lewat basuhan sajak-sajak
selagi jazad tak uzur meredup
selagi degup belumlah surup
Banyuates, 25 Maret 2018










25.

MayaAzeezah

Maafkanlah

Langit biru sisa hari-hari pengampunan
Dicurah mega menggumpal
Sinar putih sebagai tanda misteri
Apakah gerangan?

Memperlihatkan Hisab?
Amal perbuatan selama ramadhan
Ya, aku tercantum paling hitam
Pada buku-buku malaikat

Mungkin lebih putih awan-awan berarak
Meski siang rela menahan lapar dan kering tekak
Malam tak tidur nyenyak
Noda tak begitu saja lesap

Astagfirullah,
Hamba sering silap menyemat kata maaf
Berpegang teguh kepadaMu Allah
Namun meninggalkan tali perikatan terhadap sesama

Sungguh!
Manusia dicipta
Penuh alpa
Penuh keluh
#MayaAzeezah040618

26
Riswo Mulyadi
Apakah Aku Puasa
apakah aku puasa
jika lidahku masih sibuk menyusun kata-kata untuk melukai dada orang lain

apakah aku puasa
bila tak mampu memangkas nafsu

apakah aku puasa
jika seharian menahan lapar seraya menumpuk menu untuk berbuka

jika pun aku puasa
apakah akan kembali ke fitri
jika lebaran kujadikan ajang riya

21 Mei 2018










26.

Faisal ER

Sebuah Catatan Ramadhan

Di ujung sajadah
aku memeluk air matamu
Menari dalam kenangan
Sebagian yang lain
mengejar impian sampai ke langit
Mengubah dirinya menjadi bahasa tubuh,
seperti puisi diam dalam makna.

Dalam perjalanan Ramadhan
Jiwaku menyelusup dalam tubuhmu
saling berkejaran mengejar bayangan
Meraih cinta Tuhan
Namun sunyi membakar sepiku
Raiblah doa-doa dalam munajahku

Namun tangismu terdengar nyaring
Menunggu lailatul qodhar yang nyaris
Mulutmu yang gagap dan tanganmu yang lemah
Tak kuasa menggapai meskipun melambai
Doamu membakar sunyi yang sepi
Sujudmu kesenyapan yang sendiri

Sumenep, 11 Juni 2018





27.

Air mata jiwa

Ramadhan,
: Perjalan menahan nafsu
Menahan segala yang kita mau
Menahan segalagala yang kita rindu
Yang menggebu-gebu dalam lubuk kalbu.
Wahai ruh,
: Yang bersetubuh dalam jasad,
Bimbing Nurku. Siram, bersihkan
Bersama air suci dan zikir-zikir hening
Sampai air mata jiwaku mengalir,
Dari bilik-bilik lembah mata jiwaku.
Ya Nur Muhammad
Ya Nurrullah,
: Bimbing Aku menuju
Kebenaran ajaranMu.
Subhanallah
Walhamdullillah
Walaillahaillallah
Allah huakbar
Kubasuh air mata jiwaku.
Kota LINTAS, 5 Juni 2018.











28.

Zaeni Boli

Malam Hampir Lebaran

hanya taburan bintang di langit
Daun daun bergosip angin berisik
Yang Mulia hampir pergi
Meninggalkan kita yang papah
Adalah kita beserta kita yang masih menempel
Adakah cinta
Masih menempel di hati kita
Saat Ramadhan berlalu
Tak ku lihat airmatamu
Zaeni Boli
Flores ,Larantuka




















29.

Agustav Triono

Ramadhan dan Syawal  


Ramadhan dan Syawal adalah sebuah penantian sekian purnama berlalu leliku hidup perjalanan
Seclurit bulan penanda kedatangan dinanti dengan gembira hati
Harihari bertabur religi
Pun berhias hargaharga melambung tinggi
Ramadhan dan Syawal adalah sebuah perjumpaan
Saat kepak sayap malaikat menjaring doadoa bumi
Dari bibirbibir kering dahaga
Melangitkan harap dan asa terkabullah agar tak cuma lapar saja
Dan ibadah bukan kerna ingin dipuji tetangga
Ramadhan dan Syawal adalah sebuah kerinduan
Bila bertemu ingin erat selalu bila hendak pergi tak mau lepas lagi
Dan bulanbulan akan terus berjalan menggilas penanggalan
Hikmah janganlah dibawa pergi
Agar rahmatnya menghias harihari
Mengabadi.
11-Juni-2018









30.

Barokah Nawawi
Pencari Zakat

Senandung pagi ini pedih mengiris hati
Ibu-ibu paruh baya berbaris mengetuk pintu hati
Di sepanjang rumah zakat kota santri.

Ketukan pintu pagi ini membuatku menangis
Ke manakah perginya kesadaran harga diri
Hingga demikian mudah menadahkan tangan kefakiran
Mengetuk tanpa malu pintu-pintu derma yang terbuka.

Ibu-ibu paruh baya yang masih kuat berlari
Terus berlari menyongsong derma yang mengalir
Dari rumah ke rumah sampai ke sudut kota yang terpinggir
Berselubung tatapan letih dan wajah yang menghiba.

Di ujung kota mereka berpelukan
Dengan wajah sumringah berbagi kebahagiaan
Besok aku bisa bayar uang sekolah anak-anakku
Besok aku bisa membeli kalung impianku
Besok aku bisa membeli sebidang sawah
Besok aku bisa membangun rumah.

Ibu-ibu paruh baya yang lembut hati
Sesungguhnya kau adalah wanita yang solehah
Sayang jiwa fakirmu telah menutupkan tirai-tirai sorga
Hingga cahya-Nya yang cemerlang menjadi redup
Menghilang di aura wajah cantikmu.

Semarang, Juni 2018

Sabtu, 09 Juni 2018

Sedekah Puisi , Tadarus Puisi 2 , No. 01-10



1.

RB Pramono
di simpang jalan itu

kau memanggilku
wajahmu lelah namun berseri
jarak cahaya telah kau tempuh
aku ingin bersimpuh
wahai sang Kekasih Jiwa
aku teduh pada sosokmu
saat keluh melusuh
tangan kokohmu membelaikan sutra
di wajahku
termangu
di simpang jalan itu
terseok rinduku
debu meliat di batinku
sekian waktu kujalani
mengikuti bayang jejakmu
langkahku tercecer
hatiku terserak
aku tersesat
suaramu menggema memanggilku
aku bergegas
penuh rindu
aihh, layakkah aku merindu
sedang sambat pujaku
tak menentu?





2.
Akhmad Asyari

Bukan Puisi Bukan

Gerbong yang berderet di rel itu
Muatannya adalah luka berdarah-darah
Yang berkibar di negeri tercinta

Kulihat satu gerbong adalah tangisan
Rakyat miskin berlabel kesejahteraan
Makan dari buah keringatnya yang resah
Satu persatu tercecer diantara bajak sawah
Tukang becak dan petik dawai trotoar disana

Mari kita lihat bersama,
Raskin hanya berisi beras busuk
Ayampun enggan makan, kecuali dimasak dengan tepung bubuk
Subsidi BBM hanya untuk kendaraan bermotor
Sedangkan aku lebih suka naik kerbau
Meski larinya tak sekencang Phanter atau Jaguar
(Phanter dan Jaguar, kan binatang juga!)

Kulihat satu gerbong adalah jeritan
Rakyat yang dikebiri perlahan-lahan
Kartu pintar, untuk orang yang bodoh
Sedangkan aku sudah bisa membaca, menulis
Bahkan mengarang puisi dan cerita mistis

Jalan raya dibuat licin dan cling
Menganga sedikit, pengendara banyak jatuh
(Makanya kalau jalan liat-liat !
Enakan jalan rusak, karena mesti ada papan peringatan)
“Awas hati-hati, jalan rusak/bergelombang”

Satu gerbong diatasnya rel
Setumpuk buku yang diberi nama kurikulum
Yang berubah-ubah sesuai dengan selera
Ada yang idealis, ada yang fundamentalis
Sama sebenarnya rasa dan baunya
Cuma beda masak dan penyajiannya
Akhirnya sekolah hanya Kolonialisme
Yang terstruktur dan tidak merdeka

Anak-anak sudah bingung
Tidak bisa membedakan antara tahu dan tempe
Karena bahannya sama dari kedele

Ssttt!!!...
Berhentilah menghina penguasa
Karena bisa dipidana
(KUHP warisan Belanda)
Lebih baik menghina diri sendiri
Bebas, tak akan dipenjara !











Akhmad Asyari

Hahaha
Kau ciptakan,
Bumi yang tertawa
Susah, senang dan bahagia
Berpeluh hingga lupa dahaga
Gedung bertingkat hingga dasi berkelebat
Tipu, lugu, mangu, apapun mauku

Kami akan nikmati
Bumi yang berkah tergadai benci
Berselimut salah
Tiba-tiba minta maaf,
Berbusa-busa dosa
Pura-pura duduk tak berdaya,
Hahaha...

Kau rupakan,
Anak kecil bertangisan,
Dengan peluk dan mainannya
Ibu menghampar sajadah,
Dengan sorga dibawah kakinya
Ayah bekerja keras,
Dengan keyakinan tercukupi hidupnya

Sadar bila sakit
Istighfar hingga kelangit
Tafakkur bila syukur
Sujudpun sampai mendengkur
Hahaha...
Kau ini, ada-ada saja!
Batuputih Kenek, 11 Februari 2018
Akhmad Asyari, Puisi dan Sajaknya pernah dimuat Majalah Muara, Santri, Horison, Kuntum, Mimbar Pembangunan Agama, Sumekar. Menjuarai Penulisan Cerita Rakyat Sumenep 2017 dan dibukukan dalam "MUTIARA YANG TERSERAK", Rumah Literasi Sumenep (2018), Nominator Temu Penyair Asia Tenggara dan dibukukan dalam Antologi Puisi "EPITAF KOTA HUJAN" FPL dan Dinas Perpustakaan Kota Padang Panjang (2018). Tinggal di Jl. Toghur Billah, MTs. Darul Ulum, Dusun Pondok Laok RT. 04 / RW. 2 Desa Batuputih Kenek, Kec. Batuputih Kab. Sumenep Madura Propinsi Jawa Timur 69453. HP/WA 08175249599.





















3.

Raden Rita Maemunah

Kasig di Bulan Ramadhan

Taman kasih mulai mekar
Saat Ramadhan datang,Allah Maha Besar
Takbir bersahutan menyambut Ramadhan
Kita akan mulai merenda bulan suci. Memperbanyak ibadah
Sadakah dan menebar kebaikan, mengharap Ridho Allah
Anak piatu bersukacita, kan banyak orang datang undang berbuka
Nuansa damai mulai mengalun merdu
Anak piatu akan makan enak,
Cahaya akan terangi jiwa yang pelit sedekah
Mulai suci ini berebutlah mencari pahala
Hati yang sering menimbun dosa
Malam ini dan 30 hari kedepan
Bukalah hati, kikis maksiat, dan timbunlah Iman

Padang, 29 Mei 2018










Raden Rita Maemunah

Bersujudlah

Malam tak pernah selesai bercerita tentang gelap
Sementara jangkrik bernyanyi dengan riang
Binatang malam itu begitu ria menyambut kegelapan
Sementara kita lena dalam mimpi yang jauh
Tak ada keluh saat binatang malam mengulum kelam
Kau terbangun saat malam masih pekat
Mengeluh dan kembali nyenyak
Mengapa kau tak bangun bersujud mengucap rasa sukur
Menadahkan tangan sambil tersungkur
Menghiba pada sang khalik
Padang, 31 Mei 2018

















Raden Rita Maimunah

Menyesal

Kisah sunyi yang lenggang, menyambut ramadhan dengan duka
Tanpa siapa, sayup ingat cerita yang telah usai
Tak lagi ada pekik riang, menyambut beduk
Tak ada suara kecil menatap pabukoan dengan semangat
Aku nahkoda yang telah di hantam ombak nafsu
Tak dapat memenjarakan cinta, yang ada dalam rongga dada
Tak lagi dapat membedakan embun pagi dan lembab malam
Aku tualang yang gagal mengejar cinta
Dan membuang mangkuk indah yag disebut keluarga
Ingin kembali, tak ada pintu terbuka
Hingga berbuka di bulan ramadhan dalam kesendirian
Suara cadel anak anak mengaji, terdengar pilu
Buah hati telah kutinggal pergi
Meski asa kini mulai bangkit, tak lagi dapat berbalik pulang
Tinggal sesal yang datang
Padang 29 Mei 2018







4.

Gilang Teguh Pambudi

9 Puisi Pendek Di Atas Tisu

1. MEMBUKA RAMADAN
hujan jam sembilan
menyentuh touchscreen
aku menulis keajaiban Ramadan
2. KEPADA SEORANG ANAK
teringat sebuah puisi
yang kuberikan kepada seorang anak
suatu kali
tentang hujan menyentuh daun
membaca ayat-ayat suci
3. PUISI DI ATAS TISU
puisi di atas tisu
tipis rahasianya
sebab tak guna penyair
menyembunyikan makna
4. KUTULIS PUISI
pada tisu
kutulis puisi
lembut
dan wangi
5. BASAH LANGIT RAMADAN SAMPAI KE RAMBUTMU
coba selalu bayangkan ada di Ramadan
hari ke tiga
hujan
bacaan-bacaan langitpun basah
sampai ke rambutmu
6. BAGAIMANA SAMPAI RAMADAN
bagaimana Ramadan sampai hari ke tujuh
kalau tubuhmu tak menemui hujan
di situ?
7. RAMADAN YANG SELALU PUASA
sebab kamulah Ramadan yang selalu puasa
sampai hujan tak mengatakan, tidak!
8. RAMADAN ITU
basah siangnya
basah malamnya
tak berkesudahan
9. RAMBU MALAIKAT
malaikat memasang rambu Ramadan
"hati-hati dalam perjalanan"
aspal yang basah hujan
selalu cinta dan persetubuhan
nanti keringnya, melulu penantian
Kemayoran, Ramadan 1439H - 2018



Gilang Teguh Pambudi putra Wong Alas, pimpinan perkebunan, Soetoyo Madyo Saputro dan Ustj. Hj. Dra. Siti Djalaliyah, aktivis Dewan Dakwah Pusat. Lahir di Curug Sewu Kendal, Jawa Tengah. Tetapi sejak kelas 4 SD sudah domisili di Sukabumi, Jawa Barat. Lalu seiring aktivitasnya sebagai jurnalis radio, penyiar, narasumber senibudaya di radio, dan manajer radio, dari Sukabumi lanjut domisili di Bandung, lalu ke Purwakarta, dan terakhir ke Jakarta. Aktif juga sebagai pembina Yayasan Seni, komunitas seni, penyelenggara berbagai even seni, pelatih gambar dan teater (juga Kelompok Drama Radio), serta menjadi juri seni. Belakangan ini banyak menulis di cannadrama.blogspot.com.
5.

Dzul Halim

Aku ingin mengecup keningmu.

Tadarus dan dahaga,
Ku lakukan agar bisa rasakanmu,
Ku rendahkan hati dan seluruh diri,
dalam sepertiga malam nan sunyi.
.
Bait-bait diri melayang menerjang mega-mega,
Tergantung pada doa yang entah kemana singgah.
.
Rabku, aku sadar, aku tahu,
Menyentuh ujung kakimupun aku tak mampu,
tapi,
bolehkah dengan linangan air mata ini aku berharap jauh?
Untuk bisa mengecup keningmu.
Kuningan,462018.













Dul Halim

Rindu.

Seperti menemu jalan tak berujung.
Sulit kudapati walau setitik cerlang.
Bahkan samar berjelaga.
Hanya gulita berselimut fatamorgana dalam diam
Yang terus membungkam
Ada tawa yang menawan, ada binar yang merantai,
Semua tak mau lerai,
Terus bergelumit penuhi seisi imaji yang berasian.
Berharap khayal bertemu tuan
Lalu bisukan sebuah ungkapan,
Aku rindu..
Kuningan,1062018.


















Dul Halim

Rindu.

Seperti menemu jalan tak berujung.
Sulit kudapati walau setitik cerlang.
Bahkan samar berjelaga.
Hanya gulita berselimut fatamorgana dalam diam
Yang terus membungkam
Ada tawa yang menawan, ada binar yang merantai,
Semua tak mau lerai,
Terus bergelumit penuhi seisi imaji yang berasian.
Berharap khayal bertemu tuan
Lalu bisukan sebuah ungkapan,
Aku rindu..
Kuningan,1062018.

Dulhalim, kelahiran Indramayu, 22 desember 1997, sekarang sedang menempuh pendidikan di program studi pendidikan bahasa dan sastra indonesia Universitas kuningan, sekarang saya tinggal di ds. Kadugede kab. kuningan.













6.
M Sapto Yuwono

Fitrah Hati

Sebait saja kulambaikan padamu
Saat renung tuai rasa, saat jiwa putus asa
Kutuangkan bentuk tulus
Fitrah hati
Menyerdehanakan keinginan
Dan hanya pada Ramadan itu khusyukan jiwa
Tetes air mata
Menyambut keinginan
Hanya ini yang bisa
Muara Bungo, 4 Juni 2018

M Sapto Yuwono, penyair ini Tinggal di Bungo Jambi
Bekerja sebagai petani.
















7.
Sami’an Adib

Di Malam ke-21 Ramadan
:kenangan puasa di bawean

irama gambus lembut mengalun
mengiringi liuk gemulai nyala lilin
di ambang remang malam selepas maghrib

seorang bocah berdiri di samping meja perjamuan
yang telah disiapkan ibunya dengan ragam rupa jajanan
menyambut tamu sebaya yang hendak bertukar keriangan

“assalamualaikum, salam bahagia dan kesejahteraan
kami hantarkan bersama sejinjing remah persaudaraan”

rekah senyum bocah itu seketika terbias tulus
seakan lega melepas diri dari dendam dan rakus
saling berbagi kasih dalam hangat sekejap rangkulan

demikian kenangan indah malam ke-21 Ramadan
ribuan bintang seakan berarak menuju taman impian
tempat favorit bebocah menabur kenangan juga keriangan
Jember, 2018




Sami’an Adib

Puasa Puisiku


Marhaban ya Ramadan
Kuapikan gairah dan harapan

Demikian puisi menyambut bulan suci
Sederhana, tapi tanpa basa-basi

Kubentangkan sepasang larik yang lempang
Agar semua orang melintasinya tanpa terpelanting

Demikian puisi membuka jalan di bulan keberkahan
Sederhana, tapi penuh kesahajaan

Tak ada kata-kata bernada kasar
Yang sering membuat orang gusar

Demikian puisi merawat bulan ampunan
Sederhana, tapi tetap menjaga kesantunan

Setiap nada terangkai menjadi satu
Perbedaan berkelindan dalam harmoni paling padu

Demikian puisi merajut cita di bulan persaudaraan
Sederhana, tapi tetap dalam keselarasan

Kuhembuskan aroma diksi yang kesturi
Sebagai rubaiat rindu bagi para bidadari

Demikian puisi menabur rindu di bulan kasih sayang
Sederhana, tapi dalam setiap kata ada asa terbentang

Marhaban ya Ramadan
Kulesakkan doa dan pertobatan

Demikian puisi merimbunkan kenangan
Sepanjang bulan demi indahnya kemenangan
Jember, 2018

Sami’an Adib, lahir di Bangkalan tanggal 15 Agustus 1971. Alumni Fakultas Sastra Unej. Antologi puisi bersama antara lain: Memo Anti Kekerasan terhadap Anak (Forum Sastra Surakarta, 2016), Ije Jela Tifa Nusantara 3 (2016), Malam-malam Seribu Bulan (2016),  Requiem Tiada Henti (Dema IAIN Purwokerto, 2017),  Negeri Awan (DNP 7, 2017), PMK 6 (2017), Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata (2017), Lumbung Puisi VI:Rasa Sejati (2017), Menderas Sampai Siak (2017), Timur Jawa: Balada Tanah Takat (2017), Hikayat Secangkir Robusta (Krakatau Awards 2017), Perjalanan Sunyi (Jurnal Poetry Prairie 2017), Negeri Bahari (DNP 8, 2018), Lumbung Puisi VII:Indonesia Lucu (2018), dan lain-lain. Aktivitas sekarang selain sebagai tenaga pendidik di sebuah Madrasah di Jember.








8.
Dwi Wahyu C.D.

Doaku

Di ujung shaf kutundukkan pandangan
Kupasrahkan jiwa dan ragaku
Tuk merengkuh pengharapan ridho-Mu
Ya Allah
Ya Rahman
Ya Rahim
Tak pernah luput hamba dari kilaf
Tak pernah luput hamba dari salah
dan tak pernah hamba memuja selain Engkau ya Allah.
Engkau penuh kasih
Engkau pun penyayang
Engkau pemberi ampunan.
Berkahilah,
karuniakanlah
limpahkanlah
rahmat-Mu ya Allah.
Tunjukkanlah jalan yang benar
Kuatkanlah hati hamba yang bimbang
Jauhkanlah dari kesesatan.
Betekan, 22 Mei 2018

Dwi Wahyu C.D., Lahir di Blora dan kerja di Banjarmasin. Sebagai penikmat sastra dalam hal ini puisi, saya berharap melalui sastra maka terbentuklah pola santun berbahasa baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Melalui sedekah puisi ini pula, saya mencoba meyakinkan diri bahwa sedekah tak lagi tentang uang.
9.
Syahriannur Khaidir

Ramadhan

Hanya sebulan saja
Tak ingin kuhabiskan rasa di sebiji kurma
Tergesa-gesa lalu beringaskan lupa
Saat senja menghapus luapan haus dahaga
Meninggikan kubah-kubah doa
Rindu ini telah dipenuhi segala
Cinta takkan purna
Dalam pembelaan jiwa raga
Ramadhan di pintu taubat
Kutunggu sua di bentang usia
Sampang,  20 Mei 2018


















Syahriannur Khaidir

PadaMu

PadaMu haruskah kukenali cemburu
Bahkan membutakan mata dalam sayu
Tak ingin kepetik sembilu ragu
Kiat melekatkanMu padaku
Seperti mereka yang hafal segala bentuk rafal
Kupas hadas hadits lalu meluapkan was-was
Seperti mereka yang jatuh bangun menyogokMu
Membuatkan simbolis kebesaran amal dan pahala
PadaMu haruskah kukenali cemburu
Karena kucumbui Kau dengan rayuan semaunya
Dalam jalan pilihan para pendosa
Tak henti-hentinya menggedor pintu-pintu taubat
Sampang, 25 Mei 2018
















SYAHRIANNUR KHAIDIR lahir di Sampit tanggal 26/09/1975 provinsi Kalimantan Tengah, pendidikan terakhir Universitas Islam Malang 1999. Baginya menulis puisi merupakan proses pembelajaran yang unik/rumit dan memerlukan banyak pemahaman tentang kata/diksi dalam upaya menyampaikan tema/pesan yang tersurat/tersirat untuk disampaikan kepada pembaca. Di samping menulis hobi yang melekat adalah bermain musik dan memancing,  aktivitas sehari-hari sebagai tenaga pengajar di SMKN 1 Sampang jalan Suhadak 11 A Sampang_Madura 69212 Jawa Timur.
Antologi bersama:
- Antologi Puisi Membaca Kartini oleh : Komunitas Joebawi 2016
- Antologi Arus Puisi Sungai oleh : Tuas Media, April 2016
- Antologi Puisi Peduli Hutan oleh : Tuas Media, Agustus 2016
- Antologi Puisi Rasa Sejati oleh : Lumbung Puisi Jilid V 2017 Penebar Media Pustaka
- Antologi Puisi Kita Dijajah Lagi oleh : Lumbung Puisi/HMGM/Penebar Media Pustaka 2017
- Antologi Puisi Tadarus Puisi oleh : Lumbung Puisi/ Penebar Media Pustaka 2017
- Antologi Puisi Indonesia Masih ada Bulan yang akan Menyinari oleh : D3M KAIL 2017
- Kumpulan Puisi Mencari Ikan Sampai Papua oleh : Penebar Media Pustaka 2018





10.
Septiannoor

Sejak matahari terbit hingga terbentang terik memapar kulit bumi
Masih setia para peminta didudukan lampu merah bertahan diri
Menengadah dengan lusuh serta turut meminta belas
Perlahan kaca mobil terbuka
Uang jatuh ketangan peminta
Rasa terimakasih terucap tangis tiada terkira
Ratusan ribu serta bahan makanan pokok ia terima
Juga pada para peminta yang lain

Sedekah di bulan ramadhan
Berbagi nikmat pada yang membutuhkan
Dan bersilaturahmi kepada mereka yang terlupakan
Yang meminta kasih di jalan-jalan tol menafkahi kehidupan

Sedekah di bulan ramadhan
Menambah erat tali persaudaraan
Antara sesama insan
Yang senantiasa selalu ingin tegur sapa dalam kebaikan
Saling memaaf-maafkan
Serta saling mengingatkan
Memberi bagi yang membutuhkan

Mobil itu berlalu
Meninggalkan mereka yang kini mengucap syukur
Pulang mereka tergesa
Dengan nasi dan sejumlah uang untuk para putra-putri mereka
Pakaian lusuh berjuntai dengan wajah berseri gembira
Ingin segera pulang untuk berbuka
Bersama keluarga meski hanya sedekah hari ini yang mereka terima
Kotabaru, 9 Ramadhan 1439 H / 25 Mei 2018 M


























10.
Septiannoor

Senyum dan Tawa

Menunggu bedug di surau desa
Sekumpulan anak riang gembira
Seakan lupa penat dan jerih setelah bermain bola
Pakaian koko dan kopiah dikepala
Juga sarung dikenakan mereka

Sang ustadz mulai bercerita
Sambil menunggu waktu berbuka katanya
Kami terkesima
Dengan serangkaian peristiwa dalam cerita
Tentang perjalanan mulia sang nabi Muhammad SAW tercinta
Yang dengan teguh mensyiarkan perintah dalam agama
Agar lurus jalan hidup para pendosa
Dan suci bersih diri mereka

Sang ustadz kembali bercerita
Kali ini dengan ayat-ayat suci ia bergema
Tentang malam suci dibulan ramadhan
Lailatul qadar namanya malam seribu bulan
Dimana setiap amal ibadah saat itu
Berlipat ganda balasan untuk mereka yang taat beribadah

Certia terus berlanjut
Senyum dan tawa akhirnya selesai pada suara bedug disurau desa
Waktu sudah berbuka
Dan tiba kini adzan magrib yang bergema
Setelah selesai takjil berbuka kami santap bersama
Dengan senyum dan tawa mewarnai hari kami di bulan ramadhan penuh berkah
Kotabaru, 9 Ramadhan 1439 H / 25 Mei 2018 M