1.
RB Pramono
di
simpang jalan itu
kau memanggilku
wajahmu lelah namun berseri
jarak cahaya telah kau tempuh
aku ingin bersimpuh
wahai sang
Kekasih Jiwa
aku teduh pada sosokmu
saat keluh melusuh
tangan kokohmu membelaikan sutra
di wajahku
termangu
aku teduh pada sosokmu
saat keluh melusuh
tangan kokohmu membelaikan sutra
di wajahku
termangu
di simpang
jalan itu
terseok rinduku
debu meliat di batinku
sekian waktu kujalani
mengikuti bayang jejakmu
langkahku tercecer
hatiku terserak
aku tersesat
terseok rinduku
debu meliat di batinku
sekian waktu kujalani
mengikuti bayang jejakmu
langkahku tercecer
hatiku terserak
aku tersesat
suaramu
menggema memanggilku
aku bergegas
penuh rindu
aku bergegas
penuh rindu
aihh,
layakkah aku merindu
sedang sambat pujaku
tak menentu?
sedang sambat pujaku
tak menentu?
2.
Akhmad Asyari
Bukan
Puisi Bukan
Gerbong
yang berderet di rel itu
Muatannya
adalah luka berdarah-darah
Yang
berkibar di negeri tercinta
Kulihat
satu gerbong adalah tangisan
Rakyat
miskin berlabel kesejahteraan
Makan dari
buah keringatnya yang resah
Satu
persatu tercecer diantara bajak sawah
Tukang
becak dan petik dawai trotoar disana
Mari kita
lihat bersama,
Raskin
hanya berisi beras busuk
Ayampun
enggan makan, kecuali dimasak dengan tepung bubuk
Subsidi
BBM hanya untuk kendaraan bermotor
Sedangkan
aku lebih suka naik kerbau
Meski
larinya tak sekencang Phanter atau Jaguar
(Phanter
dan Jaguar, kan binatang juga!)
Kulihat
satu gerbong adalah jeritan
Rakyat
yang dikebiri perlahan-lahan
Kartu
pintar, untuk orang yang bodoh
Sedangkan
aku sudah bisa membaca, menulis
Bahkan
mengarang puisi dan cerita mistis
Jalan raya
dibuat licin dan cling
Menganga
sedikit, pengendara banyak jatuh
(Makanya
kalau jalan liat-liat !
Enakan
jalan rusak, karena mesti ada papan peringatan)
“Awas
hati-hati, jalan rusak/bergelombang”
Satu
gerbong diatasnya rel
Setumpuk
buku yang diberi nama kurikulum
Yang
berubah-ubah sesuai dengan selera
Ada yang
idealis, ada yang fundamentalis
Sama
sebenarnya rasa dan baunya
Cuma beda
masak dan penyajiannya
Akhirnya
sekolah hanya Kolonialisme
Yang
terstruktur dan tidak merdeka
Anak-anak
sudah bingung
Tidak bisa
membedakan antara tahu dan tempe
Karena
bahannya sama dari kedele
Ssttt!!!...
Berhentilah
menghina penguasa
Karena
bisa dipidana
(KUHP
warisan Belanda)
Lebih baik
menghina diri sendiri
Bebas, tak
akan dipenjara !
Akhmad Asyari
Hahaha
Kau
ciptakan,
Bumi yang
tertawa
Susah, senang
dan bahagia
Berpeluh
hingga lupa dahaga
Gedung
bertingkat hingga dasi berkelebat
Tipu,
lugu, mangu, apapun mauku
Kami akan
nikmati
Bumi yang
berkah tergadai benci
Berselimut
salah
Tiba-tiba
minta maaf,
Berbusa-busa
dosa
Pura-pura
duduk tak berdaya,
Hahaha...
Kau
rupakan,
Anak kecil
bertangisan,
Dengan
peluk dan mainannya
Ibu
menghampar sajadah,
Dengan
sorga dibawah kakinya
Ayah
bekerja keras,
Dengan
keyakinan tercukupi hidupnya
Sadar bila
sakit
Istighfar
hingga kelangit
Tafakkur
bila syukur
Sujudpun
sampai mendengkur
Hahaha...
Kau ini,
ada-ada saja!
Batuputih Kenek, 11
Februari 2018
Akhmad Asyari, Puisi
dan Sajaknya pernah dimuat Majalah Muara, Santri, Horison, Kuntum, Mimbar
Pembangunan Agama, Sumekar. Menjuarai Penulisan Cerita Rakyat Sumenep 2017 dan
dibukukan dalam "MUTIARA YANG TERSERAK", Rumah Literasi Sumenep
(2018), Nominator Temu Penyair Asia Tenggara dan dibukukan dalam Antologi Puisi
"EPITAF KOTA HUJAN" FPL dan Dinas Perpustakaan Kota Padang Panjang
(2018). Tinggal di Jl. Toghur Billah, MTs. Darul Ulum, Dusun Pondok Laok RT. 04
/ RW. 2 Desa Batuputih Kenek, Kec. Batuputih Kab. Sumenep Madura Propinsi Jawa
Timur 69453. HP/WA 08175249599.
3.
Raden Rita Maemunah
Kasig di Bulan Ramadhan
Taman
kasih mulai mekar
Saat Ramadhan datang,Allah Maha Besar
Takbir bersahutan menyambut Ramadhan
Kita akan mulai merenda bulan suci. Memperbanyak ibadah
Sadakah dan menebar kebaikan, mengharap Ridho Allah
Anak piatu bersukacita, kan banyak orang datang undang berbuka
Nuansa damai mulai mengalun merdu
Anak piatu akan makan enak,
Cahaya akan terangi jiwa yang pelit sedekah
Mulai suci ini berebutlah mencari pahala
Hati yang sering menimbun dosa
Malam ini dan 30 hari kedepan
Bukalah hati, kikis maksiat, dan timbunlah Iman
Saat Ramadhan datang,Allah Maha Besar
Takbir bersahutan menyambut Ramadhan
Kita akan mulai merenda bulan suci. Memperbanyak ibadah
Sadakah dan menebar kebaikan, mengharap Ridho Allah
Anak piatu bersukacita, kan banyak orang datang undang berbuka
Nuansa damai mulai mengalun merdu
Anak piatu akan makan enak,
Cahaya akan terangi jiwa yang pelit sedekah
Mulai suci ini berebutlah mencari pahala
Hati yang sering menimbun dosa
Malam ini dan 30 hari kedepan
Bukalah hati, kikis maksiat, dan timbunlah Iman
Padang, 29 Mei 2018
Raden Rita Maemunah
Bersujudlah
Malam tak
pernah selesai bercerita tentang gelap
Sementara jangkrik bernyanyi dengan riang
Binatang malam itu begitu ria menyambut kegelapan
Sementara kita lena dalam mimpi yang jauh
Tak ada keluh saat binatang malam mengulum kelam
Kau terbangun saat malam masih pekat
Mengeluh dan kembali nyenyak
Mengapa kau tak bangun bersujud mengucap rasa sukur
Menadahkan tangan sambil tersungkur
Menghiba pada sang khalik
Padang, 31 Mei 2018
Sementara jangkrik bernyanyi dengan riang
Binatang malam itu begitu ria menyambut kegelapan
Sementara kita lena dalam mimpi yang jauh
Tak ada keluh saat binatang malam mengulum kelam
Kau terbangun saat malam masih pekat
Mengeluh dan kembali nyenyak
Mengapa kau tak bangun bersujud mengucap rasa sukur
Menadahkan tangan sambil tersungkur
Menghiba pada sang khalik
Padang, 31 Mei 2018
Raden Rita Maimunah
Menyesal
Kisah
sunyi yang lenggang, menyambut ramadhan dengan duka
Tanpa siapa, sayup ingat cerita yang telah usai
Tak lagi ada pekik riang, menyambut beduk
Tak ada suara kecil menatap pabukoan dengan semangat
Aku nahkoda yang telah di hantam ombak nafsu
Tak dapat memenjarakan cinta, yang ada dalam rongga dada
Tak lagi dapat membedakan embun pagi dan lembab malam
Aku tualang yang gagal mengejar cinta
Dan membuang mangkuk indah yag disebut keluarga
Ingin kembali, tak ada pintu terbuka
Hingga berbuka di bulan ramadhan dalam kesendirian
Suara cadel anak anak mengaji, terdengar pilu
Buah hati telah kutinggal pergi
Meski asa kini mulai bangkit, tak lagi dapat berbalik pulang
Tinggal sesal yang datang
Tanpa siapa, sayup ingat cerita yang telah usai
Tak lagi ada pekik riang, menyambut beduk
Tak ada suara kecil menatap pabukoan dengan semangat
Aku nahkoda yang telah di hantam ombak nafsu
Tak dapat memenjarakan cinta, yang ada dalam rongga dada
Tak lagi dapat membedakan embun pagi dan lembab malam
Aku tualang yang gagal mengejar cinta
Dan membuang mangkuk indah yag disebut keluarga
Ingin kembali, tak ada pintu terbuka
Hingga berbuka di bulan ramadhan dalam kesendirian
Suara cadel anak anak mengaji, terdengar pilu
Buah hati telah kutinggal pergi
Meski asa kini mulai bangkit, tak lagi dapat berbalik pulang
Tinggal sesal yang datang
Padang 29 Mei 2018
4.
Gilang Teguh Pambudi
9 Puisi Pendek Di Atas Tisu
1. MEMBUKA RAMADAN
hujan jam sembilan
menyentuh touchscreen
aku menulis keajaiban Ramadan
menyentuh touchscreen
aku menulis keajaiban Ramadan
2. KEPADA SEORANG ANAK
teringat sebuah puisi
yang kuberikan kepada seorang anak
suatu kali
tentang hujan menyentuh daun
membaca ayat-ayat suci
yang kuberikan kepada seorang anak
suatu kali
tentang hujan menyentuh daun
membaca ayat-ayat suci
3. PUISI DI ATAS TISU
puisi di atas tisu
tipis rahasianya
sebab tak guna penyair
menyembunyikan makna
tipis rahasianya
sebab tak guna penyair
menyembunyikan makna
4. KUTULIS PUISI
pada tisu
kutulis puisi
lembut
dan wangi
kutulis puisi
lembut
dan wangi
5. BASAH LANGIT RAMADAN SAMPAI KE RAMBUTMU
coba selalu bayangkan ada di Ramadan
hari ke tiga
hujan
bacaan-bacaan langitpun basah
sampai ke rambutmu
hari ke tiga
hujan
bacaan-bacaan langitpun basah
sampai ke rambutmu
6. BAGAIMANA SAMPAI RAMADAN
bagaimana Ramadan sampai hari ke tujuh
kalau tubuhmu tak menemui hujan
di situ?
kalau tubuhmu tak menemui hujan
di situ?
7. RAMADAN YANG SELALU PUASA
sebab kamulah Ramadan yang selalu puasa
sampai hujan tak mengatakan, tidak!
sampai hujan tak mengatakan, tidak!
8. RAMADAN ITU
basah siangnya
basah malamnya
tak berkesudahan
basah malamnya
tak berkesudahan
9. RAMBU MALAIKAT
malaikat memasang rambu Ramadan
"hati-hati dalam perjalanan"
aspal yang basah hujan
selalu cinta dan persetubuhan
nanti keringnya, melulu penantian
"hati-hati dalam perjalanan"
aspal yang basah hujan
selalu cinta dan persetubuhan
nanti keringnya, melulu penantian
Kemayoran, Ramadan 1439H - 2018
Gilang Teguh Pambudi putra Wong Alas, pimpinan perkebunan, Soetoyo Madyo
Saputro dan Ustj. Hj. Dra. Siti Djalaliyah, aktivis Dewan Dakwah Pusat. Lahir
di Curug Sewu Kendal, Jawa Tengah. Tetapi sejak kelas 4 SD sudah domisili di
Sukabumi, Jawa Barat. Lalu seiring aktivitasnya sebagai jurnalis radio,
penyiar, narasumber senibudaya di radio, dan manajer radio, dari Sukabumi
lanjut domisili di Bandung, lalu ke Purwakarta, dan terakhir ke Jakarta. Aktif
juga sebagai pembina Yayasan Seni, komunitas seni, penyelenggara berbagai even seni,
pelatih gambar dan teater (juga Kelompok Drama Radio), serta menjadi juri seni.
Belakangan ini banyak menulis di cannadrama.blogspot.com.
5.
Dzul Halim
Aku
ingin mengecup keningmu.
Tadarus
dan dahaga,
Ku lakukan agar bisa rasakanmu,
Ku rendahkan hati dan seluruh diri,
dalam sepertiga malam nan sunyi.
.
Bait-bait diri melayang menerjang mega-mega,
Tergantung pada doa yang entah kemana singgah.
.
Rabku, aku sadar, aku tahu,
Menyentuh ujung kakimupun aku tak mampu,
tapi,
bolehkah dengan linangan air mata ini aku berharap jauh?
Ku lakukan agar bisa rasakanmu,
Ku rendahkan hati dan seluruh diri,
dalam sepertiga malam nan sunyi.
.
Bait-bait diri melayang menerjang mega-mega,
Tergantung pada doa yang entah kemana singgah.
.
Rabku, aku sadar, aku tahu,
Menyentuh ujung kakimupun aku tak mampu,
tapi,
bolehkah dengan linangan air mata ini aku berharap jauh?
Untuk bisa
mengecup keningmu.
Kuningan,462018.
Dul Halim
Rindu.
Seperti
menemu jalan tak berujung.
Sulit kudapati walau setitik cerlang.
Bahkan samar berjelaga.
Sulit kudapati walau setitik cerlang.
Bahkan samar berjelaga.
Hanya
gulita berselimut fatamorgana dalam diam
Yang terus membungkam
Yang terus membungkam
Ada tawa
yang menawan, ada binar yang merantai,
Semua tak mau lerai,
Terus bergelumit penuhi seisi imaji yang berasian.
Semua tak mau lerai,
Terus bergelumit penuhi seisi imaji yang berasian.
Berharap
khayal bertemu tuan
Lalu bisukan sebuah ungkapan,
Aku rindu..
Lalu bisukan sebuah ungkapan,
Aku rindu..
Kuningan,1062018.
Dul Halim
Rindu.
Seperti
menemu jalan tak berujung.
Sulit kudapati walau setitik cerlang.
Bahkan samar berjelaga.
Sulit kudapati walau setitik cerlang.
Bahkan samar berjelaga.
Hanya
gulita berselimut fatamorgana dalam diam
Yang terus membungkam
Yang terus membungkam
Ada tawa
yang menawan, ada binar yang merantai,
Semua tak mau lerai,
Terus bergelumit penuhi seisi imaji yang berasian.
Semua tak mau lerai,
Terus bergelumit penuhi seisi imaji yang berasian.
Berharap
khayal bertemu tuan
Lalu bisukan sebuah ungkapan,
Aku rindu..
Lalu bisukan sebuah ungkapan,
Aku rindu..
Kuningan,1062018.
Dulhalim,
kelahiran Indramayu, 22 desember 1997, sekarang sedang menempuh pendidikan di
program studi pendidikan bahasa dan sastra indonesia Universitas kuningan,
sekarang saya tinggal di ds. Kadugede kab. kuningan.
6.
M Sapto Yuwono
Fitrah Hati
Sebait saja kulambaikan padamu
Saat renung tuai rasa, saat jiwa putus asa
Kutuangkan bentuk tulus
Fitrah hati
Menyerdehanakan keinginan
Dan hanya pada Ramadan itu khusyukan jiwa
Tetes air mata
Menyambut keinginan
Hanya ini yang bisa
Muara Bungo, 4 Juni 2018
M Sapto Yuwono, penyair ini Tinggal di Bungo Jambi
Bekerja sebagai
petani.
7.
Sami’an Adib
Di
Malam ke-21 Ramadan
:kenangan puasa di bawean
irama
gambus lembut mengalun
mengiringi
liuk gemulai nyala lilin
di ambang
remang malam selepas maghrib
seorang
bocah berdiri di samping meja perjamuan
yang telah
disiapkan ibunya dengan ragam rupa jajanan
menyambut
tamu sebaya yang hendak bertukar keriangan
“assalamualaikum, salam bahagia dan kesejahteraan
kami hantarkan bersama sejinjing remah persaudaraan”
rekah
senyum bocah itu seketika terbias tulus
seakan
lega melepas diri dari dendam dan rakus
saling
berbagi kasih dalam hangat sekejap rangkulan
demikian
kenangan indah malam ke-21 Ramadan
ribuan
bintang seakan berarak menuju taman impian
tempat
favorit bebocah menabur kenangan juga keriangan
Jember, 2018
Sami’an Adib
Puasa
Puisiku
Marhaban
ya Ramadan
Kuapikan
gairah dan harapan
Demikian
puisi menyambut bulan suci
Sederhana,
tapi tanpa basa-basi
Kubentangkan
sepasang larik yang lempang
Agar semua
orang melintasinya tanpa terpelanting
Demikian
puisi membuka jalan di bulan keberkahan
Sederhana,
tapi penuh kesahajaan
Tak ada
kata-kata bernada kasar
Yang
sering membuat orang gusar
Demikian
puisi merawat bulan ampunan
Sederhana,
tapi tetap menjaga kesantunan
Setiap
nada terangkai menjadi satu
Perbedaan
berkelindan dalam harmoni paling padu
Demikian
puisi merajut cita di bulan persaudaraan
Sederhana,
tapi tetap dalam keselarasan
Kuhembuskan
aroma diksi yang kesturi
Sebagai
rubaiat rindu bagi para bidadari
Demikian
puisi menabur rindu di bulan kasih sayang
Sederhana,
tapi dalam setiap kata ada asa terbentang
Marhaban
ya Ramadan
Kulesakkan
doa dan pertobatan
Demikian
puisi merimbunkan kenangan
Sepanjang
bulan demi indahnya kemenangan
Jember,
2018
Sami’an
Adib, lahir di Bangkalan tanggal 15
Agustus 1971. Alumni Fakultas Sastra Unej. Antologi puisi bersama antara lain: Memo Anti Kekerasan terhadap Anak
(Forum Sastra Surakarta, 2016), Ije
Jela Tifa Nusantara 3 (2016), Malam-malam
Seribu Bulan (2016), Requiem
Tiada Henti (Dema IAIN Purwokerto, 2017), Negeri Awan (DNP 7, 2017), PMK 6 (2017), Lebih
Baik Putih Tulang daripada Putih Mata (2017), Lumbung Puisi VI:Rasa Sejati (2017), Menderas Sampai Siak (2017), Timur Jawa: Balada Tanah Takat (2017), Hikayat Secangkir Robusta (Krakatau Awards 2017), Perjalanan Sunyi (Jurnal Poetry
Prairie 2017), Negeri Bahari (DNP
8, 2018), Lumbung Puisi VII:Indonesia
Lucu (2018), dan lain-lain. Aktivitas sekarang selain sebagai tenaga
pendidik di sebuah Madrasah di Jember.
8.
Dwi Wahyu C.D.
Doaku
Di ujung shaf kutundukkan pandangan
Kupasrahkan jiwa dan ragaku
Tuk merengkuh pengharapan ridho-Mu
Ya Allah
Ya Rahman
Ya Rahim
Tak pernah luput hamba dari kilaf
Tak pernah luput hamba dari salah
dan tak pernah hamba memuja selain Engkau ya Allah.
Engkau penuh kasih
Engkau pun penyayang
Engkau pemberi ampunan.
Berkahilah,
karuniakanlah
limpahkanlah
rahmat-Mu ya Allah.
Tunjukkanlah jalan yang benar
Kuatkanlah hati hamba yang bimbang
Jauhkanlah dari kesesatan.
Betekan, 22 Mei 2018
Dwi Wahyu C.D., Lahir di Blora dan kerja di Banjarmasin. Sebagai penikmat sastra dalam hal
ini puisi, saya berharap melalui sastra maka terbentuklah pola santun berbahasa
baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Melalui sedekah puisi ini pula, saya
mencoba meyakinkan diri bahwa sedekah tak lagi tentang uang.
9.
Syahriannur Khaidir
Ramadhan
Hanya
sebulan saja
Tak ingin kuhabiskan rasa di sebiji kurma
Tergesa-gesa lalu beringaskan lupa
Saat senja menghapus luapan haus dahaga
Meninggikan kubah-kubah doa
Tak ingin kuhabiskan rasa di sebiji kurma
Tergesa-gesa lalu beringaskan lupa
Saat senja menghapus luapan haus dahaga
Meninggikan kubah-kubah doa
Rindu ini
telah dipenuhi segala
Cinta takkan purna
Dalam pembelaan jiwa raga
Ramadhan di pintu taubat
Kutunggu sua di bentang usia
Cinta takkan purna
Dalam pembelaan jiwa raga
Ramadhan di pintu taubat
Kutunggu sua di bentang usia
Sampang, 20 Mei
2018
Syahriannur Khaidir
PadaMu
PadaMu
haruskah kukenali cemburu
Bahkan membutakan mata dalam sayu
Tak ingin kepetik sembilu ragu
Kiat melekatkanMu padaku
Seperti mereka yang hafal segala bentuk rafal
Kupas hadas hadits lalu meluapkan was-was
Seperti mereka yang jatuh bangun menyogokMu
Membuatkan simbolis kebesaran amal dan pahala
Bahkan membutakan mata dalam sayu
Tak ingin kepetik sembilu ragu
Kiat melekatkanMu padaku
Seperti mereka yang hafal segala bentuk rafal
Kupas hadas hadits lalu meluapkan was-was
Seperti mereka yang jatuh bangun menyogokMu
Membuatkan simbolis kebesaran amal dan pahala
PadaMu
haruskah kukenali cemburu
Karena kucumbui Kau dengan rayuan semaunya
Dalam jalan pilihan para pendosa
Tak henti-hentinya menggedor pintu-pintu taubat
Karena kucumbui Kau dengan rayuan semaunya
Dalam jalan pilihan para pendosa
Tak henti-hentinya menggedor pintu-pintu taubat
Sampang, 25 Mei 2018
SYAHRIANNUR KHAIDIR lahir di Sampit
tanggal 26/09/1975 provinsi Kalimantan Tengah, pendidikan terakhir Universitas
Islam Malang 1999. Baginya menulis puisi merupakan proses pembelajaran yang
unik/rumit dan memerlukan banyak pemahaman tentang kata/diksi dalam upaya
menyampaikan tema/pesan yang tersurat/tersirat untuk disampaikan kepada
pembaca. Di samping menulis hobi yang melekat adalah bermain musik dan
memancing, aktivitas sehari-hari sebagai tenaga pengajar di SMKN 1 Sampang
jalan Suhadak 11 A Sampang_Madura 69212
Jawa Timur.
Antologi bersama:
- Antologi Puisi Membaca Kartini oleh : Komunitas Joebawi 2016
- Antologi Arus Puisi Sungai oleh : Tuas Media, April 2016
- Antologi Puisi Peduli Hutan oleh : Tuas Media, Agustus 2016
- Antologi Puisi Rasa Sejati oleh : Lumbung Puisi Jilid V 2017 Penebar Media Pustaka
- Antologi Puisi Kita Dijajah Lagi oleh : Lumbung Puisi/HMGM/Penebar Media Pustaka 2017
- Antologi Puisi Tadarus Puisi oleh : Lumbung Puisi/ Penebar Media Pustaka 2017
- Antologi Puisi Indonesia Masih ada Bulan yang akan Menyinari oleh : D3M KAIL 2017
- Kumpulan Puisi Mencari Ikan Sampai Papua oleh : Penebar Media Pustaka 2018
- Antologi Puisi Membaca Kartini oleh : Komunitas Joebawi 2016
- Antologi Arus Puisi Sungai oleh : Tuas Media, April 2016
- Antologi Puisi Peduli Hutan oleh : Tuas Media, Agustus 2016
- Antologi Puisi Rasa Sejati oleh : Lumbung Puisi Jilid V 2017 Penebar Media Pustaka
- Antologi Puisi Kita Dijajah Lagi oleh : Lumbung Puisi/HMGM/Penebar Media Pustaka 2017
- Antologi Puisi Tadarus Puisi oleh : Lumbung Puisi/ Penebar Media Pustaka 2017
- Antologi Puisi Indonesia Masih ada Bulan yang akan Menyinari oleh : D3M KAIL 2017
- Kumpulan Puisi Mencari Ikan Sampai Papua oleh : Penebar Media Pustaka 2018
10.
Septiannoor
Sejak
matahari terbit hingga terbentang terik memapar kulit bumi
Menengadah
dengan lusuh serta turut meminta belas
Perlahan
kaca mobil terbuka
Uang jatuh
ketangan peminta
Rasa
terimakasih terucap tangis tiada terkira
Ratusan
ribu serta bahan makanan pokok ia terima
Juga pada
para peminta yang lain
Sedekah di
bulan ramadhan
Berbagi
nikmat pada yang membutuhkan
Dan
bersilaturahmi kepada mereka yang terlupakan
Yang
meminta kasih di jalan-jalan tol menafkahi kehidupan
Sedekah di
bulan ramadhan
Menambah
erat tali persaudaraan
Antara
sesama insan
Yang
senantiasa selalu ingin tegur sapa dalam kebaikan
Saling
memaaf-maafkan
Serta
saling mengingatkan
Memberi
bagi yang membutuhkan
Mobil itu
berlalu
Meninggalkan
mereka yang kini mengucap syukur
Pulang
mereka tergesa
Dengan
nasi dan sejumlah uang untuk para putra-putri mereka
Pakaian lusuh
berjuntai dengan wajah berseri gembira
Ingin
segera pulang untuk berbuka
Bersama
keluarga meski hanya sedekah hari ini yang mereka terima
Kotabaru, 9 Ramadhan
1439 H / 25 Mei 2018 M
10.
Septiannoor
Senyum
dan Tawa
Menunggu
bedug di surau desa
Sekumpulan
anak riang gembira
Seakan
lupa penat dan jerih setelah bermain bola
Pakaian
koko dan kopiah dikepala
Juga
sarung dikenakan mereka
Sang
ustadz mulai bercerita
Sambil
menunggu waktu berbuka katanya
Kami
terkesima
Dengan
serangkaian peristiwa dalam cerita
Tentang
perjalanan mulia sang nabi Muhammad SAW tercinta
Yang
dengan teguh mensyiarkan perintah dalam agama
Agar lurus
jalan hidup para pendosa
Dan suci
bersih diri mereka
Sang
ustadz kembali bercerita
Kali ini
dengan ayat-ayat suci ia bergema
Tentang
malam suci dibulan ramadhan
Lailatul
qadar namanya malam seribu bulan
Dimana
setiap amal ibadah saat itu
Berlipat
ganda balasan untuk mereka yang taat beribadah
Certia
terus berlanjut
Senyum dan
tawa akhirnya selesai pada suara bedug disurau desa
Waktu
sudah berbuka
Dan tiba
kini adzan magrib yang bergema
Setelah
selesai takjil berbuka kami santap bersama
Dengan
senyum dan tawa mewarnai hari kami di bulan ramadhan penuh berkah
Kotabaru, 9 Ramadhan
1439 H / 25 Mei 2018 M