Mereka Melihat Malam Lailatulkadar
Sungguhpun puisi, tak sembarang puisi, dan puisi pun dapat mengungkap rahasia alam, dan meraba Rahasia Allah dengan pengalaman batin dan pengalaman lahiriahnya dalam hidup ini. Penyair –penyair pun mendapatkan kesempatan melihat Malam Lailatulkadar dengan goresan tintanya itu.
Arie Png Adadua dalam puisi “ Pada Malam Lailatulkadar II” :
//...seorang muslim terpilih
ke luar surau usai i’tikab bersendiri
di malam hitungan ganjil
diam terpaku di satu langkah kecil//
...//tak ada angin semilir
pikiran dan hatinya dalam dzikir
malihat daun-daun merunduk
seakan-akan khusyuk rukuk
jagat raya dan alam sekitar
seperti diam berhenti berputar
pada malam lailatulkadar...//
Dzul Halim dalam puinya “ Aku ingin mengecup keningmu”.
//...Bait-bait diri melayang menerjang mega-mega,
Tergantung pada doa yang entah kemana singgah...//
Dzul Halim dalam puisi lainnya “ Rindu”.
//...Bahkan samar berjelaga.
Hanya gulita berselimut fatamorgana dalam diam
Yang terus membungkam...//
Parijem dalam puisi “Jika tlah” :
//azan memanggilku bukan berkumandang
shalat adalah jalanku bukan perkara
puasa itu rutinitas bukan lagi sunah atau wajib
zakat menjadi bagianku bukan satu perintah
Naas menjadi terutama tak utama,
Tlah,
Akhir nafasku//
Sami’an Adib dalam puisinya “ Di Malam ke-21 Ramadan “ :kenangan puasa di bawean”
//... “assalamualaikum, salam bahagia dan kesejahteraan
kami hantarkan bersama sejinjing remah persaudaraan”...//
Yanu Faoji dalam pusinya “ Pancaran Makrifat”
//....Yang melarungkan tuna waca Merangkul shidiq pada setiap hembusan nafas
Dan meniupkan jilat yang melalap Membasah kuyupkan seluruh tubuh ...
Alek Brawijaya dalam puisnya “ Mazhab Bulan”
//...Kucatat semuanya dalam satu malam
sampai tiba fajar akan kugabungkan
menjadi sebuah mazhab perjalanan menuju bulan...//
Sungguhpun puisi, tak sembarang puisi, dan puisi pun dapat mengungkap rahasia alam, dan meraba Rahasia Allah dengan pengalaman batin dan pengalaman lahiriahnya dalam hidup ini. Penyair –penyair pun mendapatkan kesempatan melihat Malam Lailatulkadar dengan goresan tintanya itu.
Arie Png Adadua dalam puisi “ Pada Malam Lailatulkadar II” :
//...seorang muslim terpilih
ke luar surau usai i’tikab bersendiri
di malam hitungan ganjil
diam terpaku di satu langkah kecil//
...//tak ada angin semilir
pikiran dan hatinya dalam dzikir
malihat daun-daun merunduk
seakan-akan khusyuk rukuk
jagat raya dan alam sekitar
seperti diam berhenti berputar
pada malam lailatulkadar...//
Dzul Halim dalam puinya “ Aku ingin mengecup keningmu”.
//...Bait-bait diri melayang menerjang mega-mega,
Tergantung pada doa yang entah kemana singgah...//
Dzul Halim dalam puisi lainnya “ Rindu”.
//...Bahkan samar berjelaga.
Hanya gulita berselimut fatamorgana dalam diam
Yang terus membungkam...//
Parijem dalam puisi “Jika tlah” :
//azan memanggilku bukan berkumandang
shalat adalah jalanku bukan perkara
puasa itu rutinitas bukan lagi sunah atau wajib
zakat menjadi bagianku bukan satu perintah
Naas menjadi terutama tak utama,
Tlah,
Akhir nafasku//
Sami’an Adib dalam puisinya “ Di Malam ke-21 Ramadan “ :kenangan puasa di bawean”
//... “assalamualaikum, salam bahagia dan kesejahteraan
kami hantarkan bersama sejinjing remah persaudaraan”...//
Yanu Faoji dalam pusinya “ Pancaran Makrifat”
//....Yang melarungkan tuna waca Merangkul shidiq pada setiap hembusan nafas
Dan meniupkan jilat yang melalap Membasah kuyupkan seluruh tubuh ...
Alek Brawijaya dalam puisnya “ Mazhab Bulan”
//...Kucatat semuanya dalam satu malam
sampai tiba fajar akan kugabungkan
menjadi sebuah mazhab perjalanan menuju bulan...//
(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)