Nasib Puisi Sampah
Mula gagasan antologi bersama puisi sampah menjadi tanda tanya sebagian insan penyair, namun logika-logika yang diketengahkan terhadap puisi-puisi sampah , maka diperoleh pemahaman dan bahkan didukung dan disambut meriah.
Agaknya para penyair kita saat ini, yang begitu banyak tersebar di Nusantara, adalah seniman yang tumbuh akibat perubahan zaman pasca angkatan '66 hingga reformasi dan corona. Mereka tak mempedulikan banyaknya puisi bahkan jutaan puisi dari ribuan peyair yang tumbuh dari tragedi zaman. Memahami hal ini penyair sudah tahu bahwa puisi pada akhirnya adalah cacatan sejarah baik lokal maupun dalam kepopulairan nasional. Kalau tidak terapresiasi maka sampahlah puisi itu.
Jangankan karya sastra yang tak sempat mendapat publikasi layak, sastra (puisi) yang memperoleh apresiasi tingi misalnya mendapat penghargaan atau pemenang lomba sastra pun sepi menuai apresiasi. Gejala ini dimaklumi karena perkembangan penyair yang luar biasa.
Perkembangan penyair tentunya didasari tragedi sebagaimana sejarah masa lalu dengan angkatannya, dimana angkatan sastra dikelompokan dalam kaitan tragedi bangsa.
Sampah adalah akibat ketidakpedulian yerhadap sastra yang tertunda. Ia terkubur dan tertindih atas produktifitas sang penyair yang gencar menyuarakan pesan hatinya.
Puisi-puisi sampah terus menumpuk setiap hari. Seakan setiap penyair memiliki sampahnya sendiri-sendiri. Buah pemikiran yang sia-sia. Mereka menghabiskan bergelas-gelas kopi dan mrnyisakan ribuan puntung rokok. Asap dimana-mana. Hati yang terbakar, otak yang diperas dari jiwa seni dari idealisme penyair yang digambar-gemborkan. Namun karya puisi itu melayang-layang.
Nasib penyair masa lalu hari ini atau masa mendatang tetap sama. Miskin meronta, Kaya tak puas, Sederhana namun apa yang dimakan? Puisi tinggal puisi bukan ayat suci bukan pasal undang-undang. Ia hanya gula untuk pemanis, garam untuk penyedap dan cabai untuk merasakan pedas. (Rg Bagus Warsono , bersambung) .
Puisi Sampah merupakan ungkapan kerendahan diri sang penyair bahkan hingga pada benda yang dianggap tidak berarti sama sekali.
Bahkan oleh sebagian orang Antologi sampah dianggap ungkapan menyindir sebagai balasan akan perlakuan menyepelekan peran penyair yang justru datang dari kalangan penyair itu sendiri. Angkapan ini penulis bantah karena tidak ada permasalahan yang mendasar atas karya tulis, sebab karya tulis itu slalu seperti bayi dan tidak bersalah. Jng membedakan penyair daerah media daerah, penerbit daerah, bahkan diselenggarakan di daerah, karena Tidak ada yang tidak mungkin, bisa saja penyair, komunitas, sanggar di daerah pindah di Jakarta asal ada yang membiayainya.sastra tak mengenal domisili. Justru di daerah terpencil kadang menjadi tempat yang nyaman bagi seorang penyair untuk menggali inspirasi dasyat!
Akhirnya semua memahami akan antologi sampah ini. Banyak pertanyaan tentang antologi sampah, Tetapi lambat laun menjadi trang benderang. Setelah terang benderang barulah semua dapat membaca. Itulah sebabnya Pak Harto dulu memprogramkan Listrik Masuk Desa, maksudnya adalah untuk melaksanakan amanat Undang-undang mencerdaskan bangsa diperlukan sarana membaca dan sarana yang mendasar sekali adalah Terang Benderang (Rg Bagus Warsono)
Penyair :
1.A. Zainuddin Kr, (Pekalongan)
2.Abidi Al-Ba'arifi Al-Farlaqi, (Bireuen.)
3.Muhammad Jayadi, (Balangan)
4.Zaeni Boli, (Flores)
5.I. Made Suantha, (Denpasar)
6.Supianoor, (Tanah Bumbu)
7.Sulistyo, (Jakarta)
8.Pensil Kajoe, (Banyumas)
9.Agus Tarjono /Lebe Penyair, (Brebes)
10.Heru Mugiarso, (Semarang)
11.Aditya Majong, (Depok)
12.Septian Fajar A. T, (Jember)
13.Surasono Rashar, (Lahat)
14.Raden Rita Maimunah, (Padang)
15.Wyaz Ibn Sinentang, (Ketapang)
16.Gilang Teguh Pambudi, (Jakarta)
17.Mimi Marvill, (Temanggung)
18.Sudarmono. (Bekasi)
19.Mita Katoyo, (Jakarta)
20.Rosmita, (Jambi)
21.Yustinus Harris, (Jombang)
22.Selamat Said Sanib, (Samarinda)
23.Hasani Hamzah, (Sumenep)
24.Sami’an Adib (Bangkalan)
25.Yanto Bule, (Merangin)
26.Elliyas Zulkifli, (Merangin)
27.Asro Al Murthawy, (Merangin)
28.Deno Charles, (Merangin)
29.Siti Nuriah, (Jember)
30.Barokah Nawawi, (Semarang)
31.Indri Yuswandari, (Kendal)
32.Yublina Fay, (Kupang)
33.Sutarso, (Sorong)
34.Erna Kasale, (Seram Bagian Barat)
35.Sukma Putra Permana, (Bantul)
36.Sugeng Joko Utomo, (Tasikmalaya)
37.Winar Ramelan, (Denpasar)
38.Azka Shadam, (Pati)
39.Sih Utami, (Sidoarjo)
40.Alifah NH, (Mojokerto)
41.Rg Bagus Warsono, (Indramayu)
42.Muhammad Tauhed Supratman, (Pamekasan)
43.Surahman, (Kuningan)
44.Arnita, (Bandung)
45.Silivester Kiik, (Atambua)
46.Anisah Effendi, (Indramayu)
47.Muhammad Lefand, (Jember)
48.Asep Nur Syamsi, (Bandung)
49.Dwi Lio Saputra , (Belitang)
50.Yoe Irawan, (Sukabumi)
51.A Machyoedin Hamamsoeri, (Tangerang)
52.Emby Bharezhy Boleng Metha
53.Ignatius Sumirat, (Semarang)
54.Khoirul Mujib, (Mojokerto)
55.Dwi Wahyu Candra Dewi,(Blora)
56.Alhendra Dy, ((Bangko)
57.Gampang Prawoto, (Bojonegoro)
58.Naning Scheid, (Nrussel)
59.Denting Kemuning, (Surabaya)
60.ARP. Dean, (Jember)
61.Jack Lamurian, (Pati)
62.Uyan Andud, (Kediri)
63.Andi Jamaluddin, AR. AK , (Tanah Bumbu)
64.Randry Lanthang, (Semarang)
65.Hendra Sukma,(Garut)
66.Arya Setra,(Jakarta)
67.Mani Selesue, (Maluku Tengah)
68.Buana KS , (Bungo)
69.Rahayu Budiman, (Bandung)
70.Agus Sighro Budiono, (Bojonegoro)
71.Djemi Tomuka, (Manado)
72.Dicka Fitrian Dwi Putra, (Sleman)
73.Anisah, (Magelang)
74.Sukardi Wahyudi, (Kukar-Kaltim)
75.Suneni, (Indramayu)
76.Wadie Maharief (Jogyakarta)
77.Roro Sundari, (Semarang)
78.Yoman Making, (Lewoleba)
79.Evita Erasari (Semarang)
80.Nok Ir, (Sumenep)
81.Riswo Mulyadi, (Banyumas)
82.Adiska (Metro, Lampung)
83.Ely laraswati, (Purbalingga)
84.Uut Indria Riftyana, (Mojokerto)
85.Adhiet’s Ritonga, (Tanjungbalai)
86.Siti Subaida, (Sumenep)
87.Saiful Azri,
88.Ayu Wandira,(Tanjungbalai)
89.Rahulia Khairil Hamdar Sinaga,(Tanjungbalai)
90.Wiwin Herna Ningsih,
91.Maya Ofifa,
92.Brigita Neny Anggraeni, (Blora)
93.Ryan Aria Arizona, (Pekalongan)
94.Ahmad Zainuddin Ujung,(Dairi,Sumut)
95.Zuma Al’Azizy, (Pekalongan)
96.Putri Bungsu, (Solo)
97.Ence Sumirat, (Cianjur)
98.Annisa Maharani, (Lembang)
99.Ayu Asharai, (Medan)
100.Haryadi Simanjuntak, (Tanjungbalai)
101.Annis Muchtarom, (Mojokerto)
102.Amaludin, (Bogor)
103.Che Aldo Kelana (Atambua)
104.Wardjito Soeharso (Semarang)
105.Agus Salam (Tanjungbalai)
106.Dyah Setyawati, (Slawi)
107. Irtawanti,
108.Iwan Bonic, (Bekasi)
109.Rasif Arisa, (Jambi)
110.Petrus Nandi, (Jakarta)
111. Roymon Lemosol, (Ambon)