TEKS SULUH


Kamis, 21 Maret 2013

SASTRAWAN LEBIH BAIK BERKARYA DARI PADA MENCEMOH TEMAN

Dunia sastra Indonesia berkembang seiring kehidupan di Indonesia. Jumlah penduduk yang banyak menjadikan berkembang jumlah pencinta sastra Tanah Air. Tumbuh bagai jamur disetiap pelosok kota Indonesia para pecinta sastra. Baik yang terorganisir seperti membentuk sanggar/kelompok/grup/organisasi atau yang nginduk di Dewan Kesenian di setiap kota/kab atau pun yang perorangan semakin terlihat banyak dari berbagai karya sastra mereka.
    Keberadaan ini tentu saja menggembirakan bahwa Indonesia kaya akan pecinta sastra. Sebuah pembentukan karakter budaya bangsa yang patut didukung pemerintah. Sebab melalui kecintaan sastra akan tumbuh karakter bangsa yang halus dan luhur, karena sastra itu indah.
   Di balik itu , pertumbuhan pecinta sastra diiringi pertumbuhan sastrawan baik penyair, esais, cerpen maupun prosa lainnya mereka saling menunjukan kiprahnya sebagai sumbangsih dunia sastra Indonesia. Tak sedikit karya sastra bagus yang patut mendapat apresiasi positif . Kemudian bermunculan pula sastrawan-sastrawan daerah karena kiprahnya itu.
    Dunia sastrawan di Indonesia belum mengarah profesional secara nasional, bila pun ada hanya beberapa prosen saja. Setelah media cetak dikalahkan media elektronik dan internet, banyak sastrawan kehilangan sumber rezeki dari media cetak, yang bertahan hanya mereka yang menyediakan karya sastra untuk siaran tv atau media internet.   Akhirnya tumbuh persaingan yang tak sehat.
    Di bagian lain ada sastrawan yang memang karena kecintaannya terhadap sastra, meski sudah berkesan profesional, namun lebih mengarah pada pengokohan diri sebagai sastrawan. Ia membutuhkan pengakuan dari masyarakat bahwa dirinya adalah sastrawan kenamaan tanpa ia berbuat karya yang bagaimana bisa dinikmati atau disenangi masyarakat.
   Namun nyata dinamika perkembangan terus berubah, selera masyarakat berubah-ubah, sastrawan yang tak mengikuti arus bukan tidak mungkin ditinggal baik rezeki maupun kepopulairan. Kini tumbuh berkembang sastrawan daerah yang maju dan laris karya-karyanya. Di tv sering kita jumpai acara wawancara sastrawan muda seperti novelis dan cerpenis yang profesional dan berhasil. Sastrawan gaek justru hanya merenungi nasibnya , membaca karya-karyanya yang disesali, akhirnya ia hanya mencemoh kawan saniman lain. Wah. Keliru.
    Jadi pergolakan itu sebetulnya adalah bagaimana mencipta dengan hasil bagus dan laku dipasaran. Karya bagus belum tentu laku dipasaran, sebaliknya karya yang laku bagus dapat diartikan bagus bagi pembelinya.
   Sastrawan tak seharusnya mencemoh teman, sebaiknya kritik atau esai bagus membuat redaktur koran senang memuatnya. Kemudia mengaku sastrawan tanpa karya sungguh bukan sastrawan, sebab sastrawan tidak bisa dibeli seperti kursi pimpinan partai (politikus bisa dibeli) kecuali berkarya dan berkarya.