TEKS SULUH


Minggu, 21 April 2013

MENGAPA SASTRAWAN BERTAMBAH BANYAK.

Daftar Sastrawan Indonesia berubah-ubah dengan mencantumkan nama sastrawan dengan selera penulisnya.
    Demikian penulis / sastrawan Indonesia dari berbagai penjuru Tanah Air atas kipranya di dunia tulis menulis mengharapkan menjadi sosok yang dikenal dan dikenang di seluruh pelosok Nurantara. Padahal apa sih yang didapat dari nama sastrawan atau penyair di indonesia? Profesi ini jika menjadi profesi andalan keluarga maka tak akan bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Jangankan dari profesi ini dapat meberi lebih  kebutuhan keluarga, untuk kebutuhan pribadinya pun tak sungguh memprihatinkan. 
    Karenanya  tak sedikit yang memiliki profesi ganda atau banyak. Meski sastrawan tak menuntut harus hidup kecukupan, namun dengan memiliki profesi lainnya sebagai penunjang hidupnya, maka aktifitas sastra yang digelutinya lebih produktif lagi mengingan produk sastra tidak seperti ayam atau beras yang cepat laku dijual.
   Demikian kenyataan mereka yang berhasil adalah mereka yang senantiasa dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebagai contoh yang ada penyair Taufiq Ismail, Corry Layun Rampan, Soni Farid Maulana, Beni R Budiman, Beni Setia, Agus R Sarjono, Tandi Scober, mereka tidak hanya sebagai sastrawan saja tetapi mengeluti profesi lain, sehingga banyak karya dan sangat produktif.
Sebetulnya tak ada batasan jumlah sastrawan, selama dunia sastra masih tetap ada, sastrawan akan mengisi dunianya. Mereka yang menginventarisir akan slalu memantau perkembangan sastra Indonesia. Orang-orang sastra baru semakin banyak jumlanya. Ini menandakan sastra Indonesia berkembang pesat. Semua lembaga, tokoh sastrawan dapat menginventarisir sastrawan Indonesia yang terus berkembang ini. Jadi sastrawan tidak mengunci jumlah namun membuka siapapun untuk menjadi sastrawan. Sungguhpun demikian produk sastra belum dapat dijadikan lahan profesi yang menjanjikan secara umum, hanya sewaktu-waktu mendapatkan profit dari produk sastra. Kendalanya sangat banyak seperti kegemaran membaca yang kurang, promosi, daya beli masyarakat pada buku, serta intertaiment yang minim pada kegiatan sastra. Dibalik itu semua menjadi sastrawan adalah kepuasan tersendiri, seperti sastra itu sendiri yang tak dapat dinilai dengan rupiah.
(rg bagus warsono/agus warsono/masagus)