“Memo Untuk
Presiden”
Oleh : Ali Syamsudin Arsi
“Puisi sebagai
anak kandung kebudayaan pada dasarnya dapat berperan sebagai pengingat dan
penggugah jiwa kehidupan berdasarkan fakta kebenaran serta nurani kejujuran.
Sebab, penyair sebagai individu yang berdaya di dalam jaman – baik sebagai
sasksi maupun agen perubahan – terbukti mampu melahirkan gagasan secara jernih
untuk menangkap suara rakyat, suara jaman, dan suara kebenaran. Dengan
mempresentasikan gagasan tersebut lewat penerbitan, mendistribusikan dan
menyosialisasikan secara luas, puisi bisa berfungsi sebagai penjaga moral bagi
semua yang terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Nukilan pengantar dalam buku “Memo untuk Presiden”
tersebut di atas memberi kesempatan luas kepada “puisi” untuk
bergerak-menyeruak-menukik-mengepung-menghujam jauh ke lunas-lunas terdalam dan
sangat jauh menjelajah-merambah-memeluk-membelai-menghentak-membongkar
nuansa-nuansa waktu maupun wilayah tanpa batas atau pun sesuatu yang berbatas,
sampai ke batas-batas laku dan gerak bernama sifat, karakter bahkan tabiat.
Sifat, karakter dan tabiat ternyata adalah sebuah produk kebudayaan dari
manusia individu selanjutnya berkumpul menjadi kumpulan individu – konvensi,
kemufakatan yang mengarah terhadap adat sebagai cikal-bakal terbentuknya
kebudayaan, tentu dengan kelengkapan seperangkat syarat lainnya , adalah daya,
adalah kekuatan, adalah energi ; demi keutuhan kesatuan dalam balutan
persaudaraan – hal mendasar ini perlu penguatan agar kondisi ‘cerai-berai’ yang
nyata-nyata sudah terpampang di depan mata dan keretakan demi keretakan karena
geografi, maka cara pandang dengan wawasan luas kuat berakar sangatlah perlu
dan prioritas utama.
Kepada satu nama tetapi sebenarnya kepada banyak
nama. Telunjuk mengarah kepada satu wajah – dengan seperangkat sifat, karakter
dan tabiatnya – padahal sebenarnya kepada banyak wajah, banyak sifat, banyak
karakter, banyak tabiat. Kita sebagai “indonesia” adalah kekuatan sekaligus
sesuatu yang sangat mudah rapuh bila tatanan mendasar selalu memberi peluang
jalan ke arah cerai-berai.
Puisi yang telah memiliki kekuatan mandat sebagai
perekat walau sampai ke tingkat paling getir dari segala yang dirasakan merupakan
lingkar-jerat kuat dari sudut batinnya.
Puisi bicara dari sudut semangat, semangat dalam
kata-kata, karena setiap kata memiliki makna.
Presiden telah mendapat mandat dari sejumlah
individu melalui suara pilihannya, sama halnya ketika puisi mendapat keluasan
merambah ke segala celah. Ini menguatkan isyarat bahwa presiden dan puisi
menjadi satu lembaga dengan landasan semangat kuat dan berdaya guna.
Di negeri indonesia ini presiden dengan kekuatan
puisi pada pikiran-pikiran yang tertuang dalam kebijakan demi kebijakan tentu
saja akan membuka wahana luas, menukik dan sangat merasa. Indonesia yang kaya
melimpah ruah adalah kenyataan karena itu berupa potensi, tetapi ketika tata
kelola yang tidak sebagaimana dirasakan oleh rakyatnya maka puisi selayaknya
tampil untuk membuka jalan dan menghantam ketidakwajaran yang dilakukan.
Sistem adalah bagian penting dari kemufakatan
tersebut di atas, dan seorang presiden punya kekuatan untuk meluruskan
penyimpangan demi penyimpangan yang cara kerjanya dilandasi pemahaman demi
pemahaman puitis, jalan-jalan keindahan dari nurani terdalam yang berlaku
secara damai; penyelesaian akar masalah tanpa harus mengalirkan darah demi
darah. Sebab, darah biasanya akan berbalas darah.
Presiden, tanpa jalan puitis yang lain, perangkat
lengkap di bawahnya, maka boleh jadi menjadi lalai dalam satu-kesatuan
sistemnya.
Benar bila, puisi seperangkat kata-kata. Benar pula
bila presiden, dalam ruang geraknya adalah seperangkat kata-kata. Sinergi di
jalan puisi adalah bicara dengan hati nurani. Berani tentu seorang presiden
membaca banyak puisi dengan seperangkat pemahaman di dalam ruang geraknya.
Semua karena semangatnya.
Presiden dan puisi adalah semangat kata-kata,
semangat kata-kata sebagai landasan kuat berdaya guna pada ruang gerak kerja,
kerja dan kerja.
Memo untuk Presiden melalui jalan puisi adalah sebuah
upaya secara batin bahwa daya ingat seorang individu manusia, tak terkecuali
kepada sosok seorang presiden dengan perangkat lengkap di bawahnya, diperlukan
adanya semacam ‘penghalau daya ingat’ bahwa kepentingan kita adalah kepentingan
sebuah makna besar bernama negara. Tak lain dan tak bukan Negara Indonesia.
Sejumlah karya dari sejumlah nama penulisnya telah
diupayakan dengan sungguh-sungguh dikumandangkan dan dikumpulkan dalam sebuah
buku kumpulan, maka di dalamnya pun beriak-bergelombang-bergejolak-mengalun-bahkan
menghentak-hentak. Memo adalah catatan pendek dan penting bahkan mengarah
kepada genting, segera dicermati ditindaklanjuti, segera, sesegeranya.
Hanya langkah tepat dan cerdas seorang presiden yang
mampu mengatasi karena Indonesia bukanlah sebuah Negara Kecil, Indonesia adalah
sebuah Negara Besar dengan tata kelola penyelesaian bersifat besar tetapi tidak
boleh lalai dalam hal-hal yang kecil, sekecil apa pun itu tetaplah dan
seterusnya dalam tanggungjawab negara. Gemericik air jernih dan sehat sudahkah
sampai ke ujung terjauh dalam celah tubuh manusia, manusia indonesia. Bening
udara bebas beban virus sudahkah dihirup secara benar oleh paru-paru manusia,
manusia indonesia. Jerit dan teriak pilu sudahkah mendapat sinyal yang
selayaknya oleh tangan-tangan manusia, manusia indonesia.
Peluncuran buku Memori untuk Presiden (selanjutnya
MuP) dilakukan pertama kali di kota Blitar, tepatnya di Istana Gebang (rumah
kediaman keluarga Bung Karno, Sabtu 1 November 2014.
Hal yang menarik bagi warga sastra di tanah banua,
tanah Kalimantan Selatan, tepatnya pada tanggal 9 – 10 Januari nanti di
Kotabaru dilaksanakan agenda peluncuran kedua buku MuP, tepatnya dikaitkan
dengan acara HUT ke-8 Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI) SMKN 1 Kotabaru.
Semoga lancar dan sukses agenda sesuai rencana. Amin.
Adapun beberapa nama penulis puisi dari (saat ini
berdomisili di) Kalimantan Selatan terdapat di dalam buku MuP tersebut adalah Sybram Mulsi (Rantau), Syarif Hidayatullah
(Banjarmasin), Sumasno Hadi (Banjarmasin),
Maria Roeslie (Banjarmasin), M. Amin Mustika Muda (Marabahan), Jhon F.S.
Pane (Kotabaru), Iberahim (Barabai), Helwatin Najwa (Kotabaru), Fahrurraji
Asmuni (Amuntai), Awan Hadi Wismoko (Banjarbaru), Arsyad Indradi (Banjarbaru),
Anna Mariyana (Marabahan), Andi Jamaluddin AR.AK. (Pagatan), Ali Syamsudin Arsi
(Banjarbaru), dan Abdurrahman El Husaini (Martapura). 15 penulis puisi dari
196 nama secara keseluruhan yang tersatuka oleh tema bahwa ada harapan besar
agar puisi-puisi tersebut mampu memberikan perhatian dan dorongan atas kerja
seorang presiden di negara tercinta ini. Pihak kurator sendiri, seorang bernama
Sosiawan Leak, sangat menjaga kemandirian selama proses penyertaan dan tahap
seleksi seluruh karya puisi yang masuk untuk tidak bercondong ke pihak tertentu
agar “ puisi yang terangkum di dalamnya
senantiasa merdeka dari pemikiran yang bersifat partisan, serta bebas dari
‘pesan sponsor’ pihak-pihak yang punya kepentingan menyimpang,” tulisnya pada
kelanjutan pengantar. Itu sangatlah dimaklumkan karena gesekan politik
sebelum menjadi orang pilihan, telah
bukan rahasia lagi bila banyak berteburan saling tendang saling rubuh saling
hujat bahkan saling bungkam. Lantas, apakah seorang presiden mampu meletakan
semua semangat kata-kata dalam buku yang tebalnya 476 itu tertuangkan di semua
ruang gerak kebijakan demi kebijakannya.
Nah, semangat dalam kata-kata itu, diterjemahkan
oleh seorang bernama Helwatin Najwa sebagai bagian penting untuk menyatakan
bahwa kerja, kerja dan kerja itu memerlukan semangat penggerak secara nyata.
Sekedar mengingatkan bahwa “Kerja belum selesai,
belum apa-apa,” (Chairil Anwar) atau ketika, “Perjuangan adalah pelaksanaan
kata-kata,” (WS Rendra).
Maka, masuklah wahai presiden terpilih, masuklah
melalui jalan pilihan, jalan itu bernama puisi. Karena, puisi dapat menyerap dan menyuarakan semua
suara, suara kebijaksanaan berlandaskan hati nurani kebenaran.
Tentu saja makna demi makna dalam buku itu, dalam
seluruh puisi itu, bukan hanya untuk
saat ini tetapi ia akan berlaku pula di rentang waktu jauh ke depan.
Salam gumam asa, Banjarbaru, 22 Desember 2014.
(sesaat dalam
renungan terdalam untuk mama di mana pun berada, di seluruh tanah indonesia)