Dari tarawih hingga berbuka
Oleh: Nurochman Soedibyo, Ys
Surau Kampung Glatik cukup menggelitik bagi sebuah karya puisi yang mengetengahkan suasana saum Ramadhan yang dipotret oleh kaca-mata penyairnya. Rg Bagus warsono memang patut mendapat apresiasi juga karya puisi penyair pendukung di antologi ini.
Puisi-puisi pendeknya tampak padat namun enak dibaca suguhan bacaan yang ringan dan enak dibaca, tampaknya Rg bagus Warsono tidak ingin membuat perdebatan terlalu panjang, sederhana namun berkesan saat Ramadhan itu. Seperti dalam: “Mushola kecil di kampung gelatik”:
//Mushola kecil di kampung gelatik
kini penuh sesak
ramadhan membludak
toa kecil lantang adzan
dan beduk menggetar
sesak berhimpit dirumahMu...//
Bagaimana menggambarkan ramainya suasana ibadah disaat Ramadhan di sebuah kampung hanya sepotong bait yang pendek namun cukup luas diapresiasi. Kemudian menyoroti ramainya kuliner di bulan itu seperti dalam : “Asap empal gentong”
//di tengah tani pleret cirebon
sampai pagi
dan kulit telinga sapi
lontong habis berganti nasi
sibuknya tukang parkir
berjajar memenuhi rumah kuliner
apimu memanggil ibu malas...//
Sama halnya dengan puisi yang lain :”Buruh pengrajin di plered cirebon sahurmu lahap”
//...ramadhan yang penuh rezeki
gratis makan sahurmu
keringat malam dalam panasnya neon
bercampur tadharus malam
dan ketika mushola mengingatkan sahur
serta musik klasik berkeliling
majikan menyedikan makan buruhnya
piring berjajar
dengan sayur, sambal dan gesek ikan
makanmu lahap menyambut imsyak.//
Cuplikan puisi-puisi di atas rasanya cupup membuat menarik buku ini, sederhana namun juga menggelitik. Dalam
“Kunanti tajilmu” gambaran anak-anak surau di desa meyakinkan bahwa penyair ini cukup jeli menangkap situasi sosial:
//sejak bagda duhur
anak-anak memenuhi surau kecil
canda guyon mereka
sampai kopiah menutupi wajah
bunyi perut lapar
dan nafas mulut dari sarungnya
meringkuk bergelimpangan...//....
//...ketika ibu-ibu membawa nampan ke surau
bertambah yakin kebagian....//
Membuat pesona juga bagi mereka yang berada di kota besar, saat berbuka puasa di desa sungguh suatu kerinduan . Saat menangkap berbuka puasa bersama , sebuah pesona iri bagi yang tak merasakan nikmatnya suasana di perdesaan: “Berjajar sepanjang tikar”
//Membentang
dengan nasi dan sepotong ikan
sayur daun talas
sambal terasi dan timunsuri muda
menit menunggu saudara shalat magrib
berbuka puasa ala kampung gelatik
berjajar sepanjang tikar//
Bertambah lengkaplah sempurnalah antologi ini ketika tampil “Ingin Kedekap 1000 Bulan” karya Hasan Bisri BFC, “Terjepit di Surau” karya Bambang Widyatmoko, “Mencari Ramadlanku” karya Riswo Mulyadi serta karya karya dari penyair populair pendukung antologi ini.
Lalu penyair ini memberi harap “Tunggu aku di Lempuyangan”
‘’Dengan Gaya Baru Malam Selatan
merangsak menembus malam
diterjang bising roda besi beradu
menindih rel menunjukan jalanku...” Suatu untaian realis yang
diujung Ramadhan itu ada harap utuk merekat tali silaturahmi bersama keluarga , sebuah budaya oulang kampung yang tak dimiliki oleh bangsa lain.
Akhirnya sampailah kita melewati jalan berliku berkelok dan melihat “Kubah pesegi dengan memolo alumunium” dari tepi jalan sebuah surau antologi kecil :
//di atas bukit tampak dari jalan raya menuju kotamu
dua kubah anakan tampa memolo
dikerumuni rindangan pohon-pohon
Ingin segera samapai
bersama mengecat pintu
melabur kapur tembok putihmu
agar tampak dari jalan di atas bukit
masjid jami desa...//
Nurochman Soedibyo, Ys ( Seniman tingal di Tegal)
Oleh: Nurochman Soedibyo, Ys
Surau Kampung Glatik cukup menggelitik bagi sebuah karya puisi yang mengetengahkan suasana saum Ramadhan yang dipotret oleh kaca-mata penyairnya. Rg Bagus warsono memang patut mendapat apresiasi juga karya puisi penyair pendukung di antologi ini.
Puisi-puisi pendeknya tampak padat namun enak dibaca suguhan bacaan yang ringan dan enak dibaca, tampaknya Rg bagus Warsono tidak ingin membuat perdebatan terlalu panjang, sederhana namun berkesan saat Ramadhan itu. Seperti dalam: “Mushola kecil di kampung gelatik”:
//Mushola kecil di kampung gelatik
kini penuh sesak
ramadhan membludak
toa kecil lantang adzan
dan beduk menggetar
sesak berhimpit dirumahMu...//
Bagaimana menggambarkan ramainya suasana ibadah disaat Ramadhan di sebuah kampung hanya sepotong bait yang pendek namun cukup luas diapresiasi. Kemudian menyoroti ramainya kuliner di bulan itu seperti dalam : “Asap empal gentong”
//di tengah tani pleret cirebon
sampai pagi
dan kulit telinga sapi
lontong habis berganti nasi
sibuknya tukang parkir
berjajar memenuhi rumah kuliner
apimu memanggil ibu malas...//
Sama halnya dengan puisi yang lain :”Buruh pengrajin di plered cirebon sahurmu lahap”
//...ramadhan yang penuh rezeki
gratis makan sahurmu
keringat malam dalam panasnya neon
bercampur tadharus malam
dan ketika mushola mengingatkan sahur
serta musik klasik berkeliling
majikan menyedikan makan buruhnya
piring berjajar
dengan sayur, sambal dan gesek ikan
makanmu lahap menyambut imsyak.//
Cuplikan puisi-puisi di atas rasanya cupup membuat menarik buku ini, sederhana namun juga menggelitik. Dalam
“Kunanti tajilmu” gambaran anak-anak surau di desa meyakinkan bahwa penyair ini cukup jeli menangkap situasi sosial:
//sejak bagda duhur
anak-anak memenuhi surau kecil
canda guyon mereka
sampai kopiah menutupi wajah
bunyi perut lapar
dan nafas mulut dari sarungnya
meringkuk bergelimpangan...//....
//...ketika ibu-ibu membawa nampan ke surau
bertambah yakin kebagian....//
Membuat pesona juga bagi mereka yang berada di kota besar, saat berbuka puasa di desa sungguh suatu kerinduan . Saat menangkap berbuka puasa bersama , sebuah pesona iri bagi yang tak merasakan nikmatnya suasana di perdesaan: “Berjajar sepanjang tikar”
//Membentang
dengan nasi dan sepotong ikan
sayur daun talas
sambal terasi dan timunsuri muda
menit menunggu saudara shalat magrib
berbuka puasa ala kampung gelatik
berjajar sepanjang tikar//
Bertambah lengkaplah sempurnalah antologi ini ketika tampil “Ingin Kedekap 1000 Bulan” karya Hasan Bisri BFC, “Terjepit di Surau” karya Bambang Widyatmoko, “Mencari Ramadlanku” karya Riswo Mulyadi serta karya karya dari penyair populair pendukung antologi ini.
Lalu penyair ini memberi harap “Tunggu aku di Lempuyangan”
‘’Dengan Gaya Baru Malam Selatan
merangsak menembus malam
diterjang bising roda besi beradu
menindih rel menunjukan jalanku...” Suatu untaian realis yang
diujung Ramadhan itu ada harap utuk merekat tali silaturahmi bersama keluarga , sebuah budaya oulang kampung yang tak dimiliki oleh bangsa lain.
Akhirnya sampailah kita melewati jalan berliku berkelok dan melihat “Kubah pesegi dengan memolo alumunium” dari tepi jalan sebuah surau antologi kecil :
//di atas bukit tampak dari jalan raya menuju kotamu
dua kubah anakan tampa memolo
dikerumuni rindangan pohon-pohon
Ingin segera samapai
bersama mengecat pintu
melabur kapur tembok putihmu
agar tampak dari jalan di atas bukit
masjid jami desa...//
Nurochman Soedibyo, Ys ( Seniman tingal di Tegal)