Puisi “T” di Ujung Pandemi
T itu juga angin Timur. Angin timur sejak doeloe adalah keberuntungan. Pada masa musim angin timur, wabah segala penyakit tersapu angin menuju samudra Hindia dan di sana akan tertelan ombak. Corona akan menjerit ketakutan manakala baru terbawa angin sampai laut Ujung Kulon. Dan akan masuk pusaran gelombang samudra Hindia yang ganas.
Corona tak mungkin bersemanyam di laut Kidul karena memang sudah diusir oleh penunggu Laut Kidul. Mereka juga tak mungkin tinggal di laut Jawa karena akan ditangkap nelayan. Corona takut kalau melihat jaring penangkap ikan.
Angin T (angin Timur) membuat cuaca malam hari dingin sejuk di daerah tropis. Bunga-bunga pepohonan pun mulai tumbuh menjadi pentil-pentil buah. Serangga penghantar serbuk sari menari setiap hari , sebuah kegembiraan alam.
Di ujung pandemi itu Corona akan membabi buta. Mengamuk sekan marah terusir. Ia akan meninggalkan bekas. Tak hanya nyawa-nyawa manusia tetapi juga sejarah yang mengenaskan.
Dan Penyair-penyair Indonesia mencatat peristiwa ini. Sebagai sebuat peristiwa sejarah alam Nusantara yang memiliki aneka dampak dari corona. Kesengsaraan rakyat, Kematian dan orang-orang yang mengambil kesempatan adanya corona.
Pada masa ini rakyat tak lagi mengindahkan adat. Orang Mati pun dikubur bagai bangkai binatang! Pada masa ini para ‘dukun (ahli kedokteran) menjadi dewa. Pada masa ini generasi muda menjadi T (tolol) karena tidak belajar , bahkan ketololan pun terlihat pada mereka yang tengah menempuh pendidikan tinggi.
Jika Pemerintah menghitung korban corona, jumlahnya akan slalu menunjukan perbedaan dengan keadaan sebenarnya. Karena hari ini ditulis jumlah korban hari ini juga ada orang menangis kehilangan orang tua, saudara dan sahabat. Saat ditulis jumlah kematian itu saat itu juga terjadi peristiwa kematian dimana-mana.
Data yang sebernya ada di tangan-tangan penyair Indonesia. Ia mencatat sejak wabah itu masuk ke negeri ini. Penyair di seluruh penjuru negeri mencatat peristiwa ini di daerahnya. Aneka peristiwa kesengsaaraan rakyat.
Namun hidup itu harus optimisme, sebab kakek kita mengajarkan bukan ‘hidup untuk makan tetapi ‘makan utuk hidup.
Dimasa pandemi tak ada nikmatnya minum kopi. Semua suasana adalah kecemasan. Bahkan makan enak pun selalu diiringi kabar duka. Sehingga lidah menjadi hampa rasa dan tetnggorokan menolak masukan, lalu lambung hanya berisi angin.
Obrolan di keluarga adalah kabar duka. Sedang manusia sehat terdapat dua golongan saat pandemi melanda. Yaitu golongan yang percaya adanya corona dan golongan yang tidak percaya adalanya corona.
Yang percaya corona hidup dengan waspada dan sebagian serba ketakutan. Sedang yang tidak percaya hidup seakan mumpung.
Beruntung kita hidup di negeri makmur, 2 tahun berjalan corona bersemayam, kita masih bertahan. Tak terdengar rakyat kelaparan justru yang semarak adalah demo dan demo aneka ragam. Sebuah T dalam masyarakat kita.
Begitu subuh tiba, betapa setiap hari terdengar pengumuman duka di setiap mushola. Seakan bersahut-sahutan antara mushola/masjid yang satu dengan mushola/masjid desa tetangga.
Akhirnya penyebab kematian corona dan bukan corona sama yaitu oleh corona. Karena memang di musim corona. Ibaratnya kecelakaan maut lalulintas saja boleh disebut corona.
Di sudut lain di rumah-rumah kecil terdengar doa. Rumah-rumah yang berdoa itu begitu banyak sehingga hapir seluruh Indonesia berdoa agar corona cepat pergi dari negeri ini. Allah maha mendengar, dan punya rencana. Maha pengasih dan punya kehendak. (03-07-21 Rg Bagus Warsono)