Ulasan Tentang Menulis Satu Puisi Ditulis Bersama/Bareng-bareng:
Oleh : Wardjito Soeharso
Menulis Satu Puisi Ditulis Bersama, Ide yang menarik. Tetapi melihat hasilnya, aku pikir kurang efektif. Puisi itu harus padat. Diksinya tajam. Mengundang multi interpretasi. Dari awal hingga akhir kata-katanya mengalir membangun image yang kuat makna tematik yang disampaikan penyairnya.
Dari praktik yang sudah dilakukan ini, setiap penyair menulis satu baris. Setiap penyair mencoba menyambung atau meneruskan bangunan imaginasi ke arah mana makna tematik yang diharapkan oleh penyair sejak baris pertama. Tentu ini pekerjaan yang tidak mudah, untuk mengatakan mungkin malah terlalu sulit. Dari sisi makna ternyata bisa nyambung. Tetapi dari sisi kepadatan puisi, aku melihat tidak berhasil. Banyak diksi yang sejenis terus diulang-ulang. Akhirnya, kesan yang muncul sejak baris pertama sampai terakhir makna tematik itu tidak makin meruncing menajam, tetapi terus saja sejajar seperti rel kereta yang tidak pernah bertemu sampai ke ujung batasnya. Bahkan, terbukti, puisi hasil kolaborasi ini sama sekali tidak bersentuhan dengan judul. Bersentuhan saja tidak. Apalagi nyambung.
Mungkin, membaca satu baris dan meneruskannya ke baris berikutnya memang belum cukup memberikan gambaran pada penyair berikutnya ke arah mana puisi ini sebaiknya menuju dan berakhir. Akibatnya, tak ada bait di sana. Penyair berikutnya tidak tahu, satu ide atau gagasan seperti apa yang harus dimunculkan dalam bentuk satu bait dari puisi itu.
Jadi, menurutku, eksperimen pertama ini boleh disebut gagal. Hehehe...
Maka, boleh dicoba eksperimen berikutnya. Setiap penyair tidak menulis satu baris, tetapi menulis satu bait. Kayaknya dengan menulis satu bait, penyair berikutnya sudah punya gambaran cukup jelas makna tematik yang ditawarkan penyair sebelumnya.
berikut hasil uji coba pada 4 Agustus 2021:
Kisah Rafael Calon Bintara
//......../
23). Secepat kering tetesan air mata di Merah-putihmu.
24). Tak henti menangis dia meraup kain.
25). Dan Dwi-warna itu basah bercampur peluh.
26) peluh yang membersih tekad melarung semangat
27) semuanya kering di badan
28). Lalu di ciumnya sang merah putih dengan tetesan gerimis di gunung pipinya yang basah
29). Sang bunda menangis bahagia melihat sinar kehidupan di mata anaknya
30)ketika merah putih berkibar mengabarkan kemerdekaan ini
31) Langit pun gegap-gempita menyambut kibarannya
31) pada setiap perjalanan ada bianglala yang akan menjadikanmu pribadi yang tangguh
32) Ku lepas anak panah harapan, untuk negeri tercinta ini tetap terjaga.
Pendapat Mas Wardjito Soeharso ini harus dipertimbangkan beberapa permasalahan sbb:
1.Permasalahannya pesertanya bisa mencapai 100 penyair, yang menyatakan siap hampir 100 penyair, apakah tidak kepanjangan jika tiap penyair 1 bait atau baitnya dibatasi 2 baris?
2.Jika setiap penyair satu bait bisa saja tetapi harus ada bait-bait yang menjadi kepala bait untuk ditaruh di atas agar yang memberi masukan bait dalam komentar dapat lebih memahami kesatuan puisi.
3.Satu lagi permasalahan akan muncul yaitu pada penggalian ide dan tingkat berfikir penyair yg tidak sama yang kadang datang dari inspirasi. Tetapi bantuan Judul sebetulnya sudah dapat dipahami jika penyair itu telah profesional.
Silahkan yang lain berpendapat.