Mengenang 9 tahun bencana gempa Nias, 28 Maret 2005, saya membuka puisi lama yang saya tulis pasca bencana. Ini adalah kisah sejati seorang bapak yang selamat walau tertanam berhari-hari di reruntuhan bangunan bersama putrinya dalam posisi terpisahkan kayu dan batu. Sang bapak selamat dapat ditolong setelah sekian hari, namun sang putri berpulang didalam reruntuhan. Bukan hendak mengusik ketenanganmu dipangkuan Bapa di sorga, putri kecil. Sekedar mengingat peristiwa alam atas izin Sang Khalik, pencipta alam semesta. Terima kasih bila kita senantiasa menghargai tanah, air, dan alam lingkungan kita, terlebih hidup dan kehidupan kita yang mahal nilainya.
KISAH PILU DIRERUNTUHAN _
Hatiku remuk di reruntuhan
Tanpa ada yang mampu menyentuh
Bersama tertanam di gemuruh
Terjepit kayu dan bebatuan
“Pegang tanganku”, rintih kudengar
“Papa, haus”, hatiku menangis
Hari ketiga nafasnya habis
Tanpa doa dan peluk menghantar
Selamat jalan buah hatiku
Ampuni tak mampu memelukmu
Ah, bila ini waktu berpulang
Haruskah kejam, perih dijelang?
Bagaimana kan jalani hidup?
Hatiku hilang, hariku redup
(Esther GNT, Puisi Sonetaria, Nias, Mei 2005)
KISAH PILU DIRERUNTUHAN _
Hatiku remuk di reruntuhan
Tanpa ada yang mampu menyentuh
Bersama tertanam di gemuruh
Terjepit kayu dan bebatuan
“Pegang tanganku”, rintih kudengar
“Papa, haus”, hatiku menangis
Hari ketiga nafasnya habis
Tanpa doa dan peluk menghantar
Selamat jalan buah hatiku
Ampuni tak mampu memelukmu
Ah, bila ini waktu berpulang
Haruskah kejam, perih dijelang?
Bagaimana kan jalani hidup?
Hatiku hilang, hariku redup
(Esther GNT, Puisi Sonetaria, Nias, Mei 2005)