Ali Syamsudin Arsi
Ruang Terbuka
Imajinasi
Terbuka,
ruang jelajah tema tak jauh dari gerak tubuh sendiri hingga mampu masuk sampai
ke celah-celah terjauh, celah-celah terdalam. Ini kepada puisi, terkadang kepada
ruang lain mungkin sulit melangkah karena pengurai ‘benang kusut setiap pikiran
dan perasaan’ entah sebagai logika nyata secara kasat mata atau mengaduk-aduk
angka demi angka bahkan hitungan demi hitungan dari bongkahan besar berpanjang
digit sampai pula kepada pecahan-pecahana selain satuan, puluhan, ratusan,
ribuan, jutaan, milyar bahkan triliunan – bukankah itu yang diotak-atik oleh
regim penguasa – dari laporan paling bawah ke bentuk laporan paling atas
sebagai bentuk bahwa sekian yang dikeluarkan dan sekian didapatkan.
Kepada
puisi, kepada diri sendiri, kepada kata, kepada makna, kepada ruang terbuka
bernama imaji.
Terbuka ruang jelajah
imajinasi.
Bila
saja “Perempuan Desa” itu memasuki ruang istana maka ia jelas akan menjadi
pusat penglihatan semua pasang mata, tak berkedip, sekejap juga tak mau
lepaskan pandang. Tak sampai di situ tentunya, gemulainya lembut telapak kaki
di gemericik air gunung berbatu-batu, maka desirlah kehadiran gerai lentik bulu
matanya, senyumnya adalah rona merah pipinya. Indonesia, kita sangat
memilikinya, karena Indonesia mengerti ranum embun di rimbun daun.
Terbuka ruang jelajah
imajinasi bernama Indonesia dalam rona merah dan pelupuk mata perempuan desa.
Sampai
detik ini sejauh mana Indonesia melupakan keluguan ucap dan gerak gemulainya.
Indonesia, teramat jauh melangkah hingga samar dari getar-getar yang ada di
dalam syaraf tubuhnya sendiri, kepada puisi kepada ruang terbuka imajinasi.
Melupakan lumbung remah-remah bulir padi adalah awal langkah kehilangan dan mengundang
datang segala bentuk tragedi. Indonesia hari ini juga untuk Indonesia
nanti. //Salam gumam asa, Banjarbaru, 5
April 2015.