TEKS SULUH


Kamis, 07 Mei 2015

LUMBUNG & PACEKLIK PUISI


LUMBUNG & PACEKLIK PUISI
Sosiawan Leak
Setelah gagal pada serangan pertama (tahun 1628), Sultan Agung
kembali nekad hendak menaklukkan rejim kolonial dengan
cara menyerang jantung pemerintahan VOC di Batavia setahun
berikutnya. Jika pada serangan pertama raja termashur Mataram
(berkuasa tahun
1613
hingga
1645
) itu mengerahkan 10.000
prajurit, maka pada serangan ke dua –belajar dari kekalahannya
yang lampau— ia juga melancarkan strategi pertempuran berbeda,
di samping mengirimkan pasukan dalam jumlah yang lebih banyak
(14.000 tentara).
Ia memerintahkan bala tentaranya untuk membendung dan
mengobok-obok
Kali Ciliwung
hingga menyebabkan timbulnya
wabah
kolera
di Batavia. Belakangan bahkan
Gubernur Jenderal
VOC
,
J.P. Coen
pun meninggal lantaran menjadi korban keganasan
wabah penyakit tersebut. Selain membendung kali, raja bergelar
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusumu yang sebelumnya sempat
menaklukkan Surabaya dan Banten itu juga melengkapi dukungan
logistik bagi pasukannya dengan mendirikan lumbung-lumbung
padi di jalur pergerakan yang mereka lewati (sekitar Karawang dan
Cirebon).
Sayang, strateginya menyoal lumbung tersebut telah terlebih
dahulu bocor ke spionase musuh. Hingga dengan gampang VOC
berhasil membakar lumbung-lumbung penopang kehidupan
prajurit Mataran yang tengah nglurug sejauh 550-an kilometer dari
baraknya itu.
Dalam situasi normal, lumbung biasa digunakan oleh masyarakat
pedesaan jaman dulu guna menyimpan padi hasil panenan. Padi
itulah yang sebagian besar dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari, serta sebagian kecil lainnya –yang dianggap
berkualitas—dipergunakan sebagai bibit saat masa tanam
berikutnya. Sejumlah komunitas masyarakat di Jawa bahkan ada
yang mengaitkan keberadaan lumbung dengan mitos mengenai
danyang kesuburan semacam Dewi Sri misalnya. Itulah kenapa
bangunan lumbung pada jaman dulu cenderung dirancang secara
khusus –biasanya menyerupai rumah panggung-- di samping untuk
menjaga padi yang tersimpan di dalamnya tetap dalam kondisi
prima juga menghindarkan mereka dari amuk tikus dan gangguan
hewan penjarah padi lainnya.
Secara filosofis penamaan (3 kali) penerbitan buku puisi LPSI
(Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia) barangkali hendak merujuk
maknanya ke ranah tersebut. Puisi-puisi yang tersimpan di
dalamnya diharapkan berisi perenungan-perenungan yang dapat
segera dicerna dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping sebagian lainnya mungkin merupakan puisi dengan
serangkaian gagasan yang musti ditebar sebagai benih bagi
tumbuhnya bulir-bulir perenungan sastrawi berikutnya. Berbeda
dengan padi di lumbung, sebagaimana laiknya puisi, karya-karya
di buku ini selain mengandung struktur batin tentu juga memiliki
bentuk fisik tersendiri. Tubuh-tubuh puisi yang terangkum di dalam
buku ini tentu juga diproporsikan bakal menyifati keberadaan para
padi manakala mereka ditampung di lumbung. Maka barangkali
kita akan menemukan keanekaragaman wujud dan rupa puitika
yang bisa dicerna oleh sense puitik secara langsung dan sesaat,
atau butuh persemaian lebih lanjut guna membenihkannya.
Persoalan mengenai penggunaan diksi ‘lumbung’ sebagai judul
penerbitan buku ini akan kian menarik --sebab bakal mengungkap
posisinya dalam konstelasi peta sastra-- manakala kita bandingkan

dengan judul-judul penerbitan buku sejenis lainnya. Tengoklah
penerbitan kumpulan karya sastra bersama semacam Senthong,
Tugu, Tongggak, dan Gerbong misalnya.
Dalam Senthong (kumpulan karya sastra berbagai genre dalam
bahasa Jawa dan Indonesia yang diterbitkan berkala oleh Taman
Budaya Jawa Tengah di Surakarta) Wijang Jati Riyanto --inisiator
sekaligus editor-- seolah hendak mengabarkan bahwa karya para
sastrawan yang terangkum di dalamnya merupakan produk kreatif
yang penuh dengan gagasan dan kontemplasi. Hal itu mengingat
dalam khasanah kebudayaan Jawa senthong adalah bagian ruangan
di dalam rumah yang mempunyai fungsi wigati bagi kehidupan
sehari-hari. Dalam arsitektur rumah Jawa dikenal adanya 3
senthong, yakni kiwa (kiri), tengen (kanan), dan tengah. Senthong
kiwa biasa berfungsi untuk menyimpan hasil panen, gerabah, dan
peralatan rumah tangga yang (hanya) digunakan pada saat-saat
tertentu. Senthong tengen dipakai untuk istrirahat (hanya) oleh
pasangan suami isteri pemilik rumah. Sedang Senthong tengah
khusus digunakan tuan rumah untuk bermeditasi, melakukan
hubungan spiritual dengan leluhur dan gusti alah.
Analog dengan proses pemaknaan atas judul-judul penerbitan
tersebut Tugu: Antologi Puisi 32 Penyair Yogya (Dewan Kesenian
Yogyakarta, 1986) dan Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern
(Gramedia, 1987) yang digawangi Linus Suryadi Agustinus pun
seolah mencoba merumuskan fungsi dan eksistensi penerbitan
itu dalam peta kesusastraan kita. Secara harfiah ‘tugu’ adalah
sebuah
tiang
besar dan tinggi berbahan batu, bata, dan lain-lain
yang biasanya dibuat untuk menjadi penanda, baik mengenai suatu
tempat maupun yang terkait dengan peristiwa penting di masa lalu.
Sedang pengertian ‘tonggak’ biasanya merujuk pada material kayu,
batu, dan lain-lain yang dipasang tegak. Tonggak bisa juga bermakna
sebagai tiang penyangga jembatan, rumah serta bangunan lain,
atau berarti pokok atau asal. Maka sangat mungkin karya para
sastrawan di dalam kedua terbitan itu masing-masing dikonotasikan
bakal mampu menjadi penanda dan penyangga kesusastraan kita.
Demikian pula ‘gerbong’ yang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) berarti
wagon
kereta
api
(untuk
orang
atau
barang).
Pengertian gerbong yang merujuk pada kemampuannya dimuati
banyak orang berikut barang bawaannya sekaligus ke suatu tujuan
yang sama itu, mendasari terbitnya Gerbong: Antologi Cerpen dan
Puisi Indonesia Modern (Editor M. Haryadi Hadipranoto, Penerbit
Yayasan Cempaka Kencana, tahun 1998).
Akan halnya soal diksi ‘lumbung’ dalam khasanah penerbitan karya
sastra di Indonesia, 4 tahun lalu Agus R. Sardjono sempat membeber
159 nama sastrawan --sebagai judul dalam setiap sajaknya serta
disusun secara alfabetis— yang diterbitkan dalam buku kumpulan
sajak berjudul Lumbung Perjumpaan. Namun berbeda dengan LPSI,
kumpulan sajak Agus yang diterbitkan Komodo Book, Depok itu
fokus mempresentasikan kupasan dan tanggapannya secara pribadi
menyoal gagasan para tokoh sastra di berbagai belahan dunia,
termasuk Indonesia. Sementara LPSI sejak terbit perdana hingga
jilid ke tiga ini menampung karya puisi dari puluhan bahkan ratusan
penulis terkini, menyoal tema-tema tertentu yang disodorkan oleh
Rg Bagus Warsono, motor penerbitan ini.
Jika merujuk kepada fungsi dan posisi lumbung padi sebagai
penjaga ketahanan pangan masyarakat di masa lalu –utamanya
saat menghadapi musim paceklik yang disebabkan oleh gagal
panen lantaran serangan hama, kekeringan berkepanjangan atau
bencana alam— maka boleh jadi di tataran kehidupan sastra kita
LPSI diharapkan pula bakal mampu menciptakan ketahanan puisi
di tengah-tengah masyarakat. Sehingga dengan demikian tak akan
bakal terjadi paceklik puisi di masa nanti. (Sosiawan Leak, penyair tinggal di Solo)