MENGUNYAH NASIB ITU, HIDUP
di punggung gunung,
cinta itu telah mengering
cinta yang dulu mengalir
dengan gemerincing rayu
pada gelayut rindang
di punggung gunung,
cinta itu telah mengering
cinta yang dulu mengalir
dengan gemerincing rayu
pada gelayut rindang
dada-dada bidang dan lengan kekar
yang riang menumbuhkan goda
dengan pinak senyum selalu hijau
tinggal karat yang menumpul di mata pacul
liuk asap berwarna uang
memagari setiap jengkalnya
dengan palang besar bertuliskan:
"dilarang masuk yang tidak punya perut"
diantara keriput semangat
"tanah airku tidak kulupakan"
adalah separuh merah tersisa
bersebelahan dengan separuh putih tak lagi putih
lalu, ke arah ombak
mereka mencoba menamakan tuhan semampunya
satu-satunya tempat menampung angin
dari sengau matahari
yang gelegak di ikal rambut
sambil menunggu burung-burung mengabari fajar
sayup di buritan
"tanahku yang kucintai, engkau kuhargai"
adalah tentang mengunyah nasib itu, hidup
(DJT. mdo, september 2016)
yang riang menumbuhkan goda
dengan pinak senyum selalu hijau
tinggal karat yang menumpul di mata pacul
liuk asap berwarna uang
memagari setiap jengkalnya
dengan palang besar bertuliskan:
"dilarang masuk yang tidak punya perut"
diantara keriput semangat
"tanah airku tidak kulupakan"
adalah separuh merah tersisa
bersebelahan dengan separuh putih tak lagi putih
lalu, ke arah ombak
mereka mencoba menamakan tuhan semampunya
satu-satunya tempat menampung angin
dari sengau matahari
yang gelegak di ikal rambut
sambil menunggu burung-burung mengabari fajar
sayup di buritan
"tanahku yang kucintai, engkau kuhargai"
adalah tentang mengunyah nasib itu, hidup
(DJT. mdo, september 2016)