Adalah ketika judul puisi, cerpen dan novel tak dikenal lagi oleh pecinta sastra. Mereka lebih mengenal nama-nama penyair, cerpenis, dan novelis ketimbang karyanya.
Bagaimana bisa mengenal judul puisi, cerpen, atau novel , membacanya saja tidak. Pokoknya kita mengenal Si Ä adalah penyair terkenal.
Inilah dampak yang dikhawatirkan (semoga tidak demikian), namun gejalanya telah terlihat seperti promosi kegiatan, spanduk event sastra, serta cover-cover kegiatan seperti dalam peluncuran, baca puisi, bahkan sampai bazar buku yang dipampangkan bukan kartanya tetapi jusstru mensosialisasikan tokoh tertentu bak calon gubernur.
Agaknya sekali lagi budaya baca perlu digiatkan sepanjang waktu.
Mengisi kegiatan sastra suka-suka, apa pun bentuknya yang penting happy. Apapun boleh diikuti, siap tenaga dan 'sangu di jalan. Pokoknya ada dimana-mana.
Terencana dan terprogram namun juga memerlukan biaya. Biaya bagi seseorang tak menjadi soal.Yang penting target populair dan dikenal dengan cepat tercapai.
Kini menuju popularitas seseorang memakin modern dan dengan langkah yang semakin terencana dan maju. Banyak dilakukan dengan cara konfensional namun juga banyak yang menggunakan strategi menyesuaikan perkembangan zaman dengan perkembangan media dan perilaku sastra kita
Anda bisa saja diundang di sebuah hotel tetapi hanya untuk datang dan melihat pameran buku-buku karya seseorang atau kelompok. Tentu tidak akan menemukan karya Sahabatmu atau Idolamu karena semua karya terfokus pada karya2 yang mengundang Anda itu.
Di tempat lain Anda bisa saja dilibatkan untuk berperan serta dalam moment tertentu entah apa pun namanya. Kemudian Anda hanya akan menjadi penonton dan dipelakukan seperti anak-anak yang tengah belajar menulis.
(Rg Bagus Warsono 7-11-17)