adalah majalah sastra net bagi rakyat Indonesia yang memerlukan sastra sebagai bagian kehidupan indah di Indonesia. Untuk segala umur pecinta sastra di Tanah Air. Pendiri Agus Warsono (Rg Bagus Warsono/Masagus) didirikan 2 Januari 2011, Redaksi Alamanda Merah 6 Citra Dharma Ayu Margadadi, Redaktur sastra Agus Warsono, Koresponden Rusiano Oktoral Firmansyah (Jakarta), Abdurachman M(Yogyakarya).
TEKS SULUH
Senin, 31 Agustus 2015
Minggu, 30 Agustus 2015
Tifa Nusantara II Pertemuan Penyair Se Indonesia
Tampak beberapa penyair berpoto bersama usai pertemuan penyair Tifa Nusantara II di Cikupa di Den Arhanud Rudal III Tangerang Banten 27-29 Agustus 2015. Bambang Eka Prasetya, Yudi TH (Solo), Enes Suryadi (Tangerang Selatan) , Rg Bagus Warsono (Indramayu) , Agus Chaerudin (Tangerang), L Surajia (Jogyakarta) , Rini Intama (Tangerang), Arsyad Indardi (Banjarbaru) , Ardi Susanti (Tulungagung), Ibrahim Amandit (Banjarbaru) dll..
Sabtu, 29 Agustus 2015
Mengenal Salimi Ahmad Penyair dan Pelukis Indonesia
Penyair dan pelukis Salimi Ahmad saat menghadiri Temu Sastrawan Indonesia, Samping kanan berpeci bersama penyair Wowok Hesti Prabowo.
(Fotho Rg Bagus Warsono)
Salimi Ahmad meniti pendidikan mulai SD dan SMP diselesaikan di Jakarta. Dia pernah masuk sekolah seni rupa indonesia (SSRI) di Yogya pada tahun 1973. hanya kurang dari 1 tahun dia pindah kejakarta lagi untuk melanjutkan pendidikannya. ia menyelesaikan SMA pada tahun 1976.
Latar sebagai pelukis dan sekaligus penyair didapat dari ketika tinggal di Yogyakarta, Bergabung di persada studi klub (PSK) dibawah asuhan Umbu Landu Paranggi, teater asuhan Niki Kosasih. Kemudian di Jakarta, ia mendirikan Bengkel Sastra Ibukota. Bersama Mas Sulebar Sukarman, ia kerap mengikuti berbagai kegiatan pameran lukisan bersama.
"Pagar Kenabian" Buku Terlaris dalam Bazar Buku Tifa Nusantara II
(foto rg bagus w)
Bazar dan louching bersama setelah louching buku Tifa Nusantara II hari pertama kegiatan Temu Sastrawan Nusantara ke-2 di Cikopa Tangerang Bekasi 27-29 Agustus 2015 dilaksanakan untuk memberikan apresiasi pada karya peserta Tifa Nusantara II. Buku-buku karya penyair setelah dilouching kemudian dibazarkan bersama. Sekitar 50 judul buku dipajang untuk dan dipasarkan pada kegiatan itu. Turut melauching buku-buku tersebut adalah karya berbagai penyair nusantara.Tercatat beberapa buku sastra faforiet karya penyair terkenal. Buku Antologi "Pagar Kenabian" Sofyan RH Zaid merupakan buku yang banyak diminati peserta, Tidak hanya dibazarkan tetapi juga buku buku tersebut ada yang didapat dari hadiah dari penulisnya kepada peserta Tifa Nusantara.
Tifa Nusantara adalah kegiatan sastra bertaraf nasional yang diselenggrakan oleh Dewan Kesenian Kabupaten Tangerang bersama Dinas Kebudayaan dan Olahraga Kabupaten Tangerang yang dilaksanakan selama 3 hari dari 27 Agustus 2015 hingga 29 Agustus 2015. Kegiatan kali ini adalah kegiatan kedua dari kegiatan serupa yang pernah diselenggarakan tahun 2013 .
Rabu, 26 Agustus 2015
Sajak-sajak Si Bung Karya Rg Bagus Warsono dari Antologi Si Bung
Aku Menyaksikan
Potret perjuangan
Dari buku yang kau tulis
Dari foto yang kau kumpulkan
Dan
film yang kau putar
Hanya sekuku
ireng
penderitaan
Aku melihat ribuan kepala berlinang air mata
Aku melihat darah membeku di mayat beku
Aku menyaksikan derita kesakitan menyayat
Sengsara
Lapar
Ketakutan
Kesakitan
Aku menyaksikan.
Rg Bagus Warsono, 1996 dari Si Bung
Aku Tak Menitipkan Anak-Anakku
Kecil
Aku ajari membidik burung gelatik
Untuk makan sore
Dan kau bisa memanah ikan dalam air
Tak berlari bertemu sanca
Tarik ekornya selagi kekenyangan
Dan benturkan kepalanya di batu
Aku ajari kau merayu
Macan lapar
Dengan tombak runcing bambu
Lalu sejak kecil mengerti
Memisahkan gabah dan beras dari butir padi
Kau dapat membawa diri
Membangun jiwamu sendiri
Dengan tiada tangis
Kau putra sejati.
Rg. Bagus Warsono, 1996 dari Si Bung
Si Bung Menangis
Mari buka buku sejarahmu
dengan penggaris dan pena
menekan kata
duhai kesuma
haruskah belajar mengeja
sedang umurmu tlah dewasa
Tersenyum Si Bung
memandang
anak-anak bangsa
betanyalah ! mengapa
aku pilih kaca mata hitam
agar aku tak melihat
agar kau tak melihat
Di sana
Si Bung membuka kaca mata
air mata membatu dalam sapu tangan
Merah putih
kenapa tidurku tak dapat nyenyak
duhai kesuma
selimuti aku dengan merah putihmu
Indramayu, 21 Maret 2001 dari Si Bung
Sabtu, 22 Agustus 2015
Taufik Ismail pandai menjual puisi.
Taufik Ismail pandai menjual puisi. Mari kita perhatikan puisi karya Taufik ini yang berjudul Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini. Judul yang tampak gagah dengan penggunaan kata-kata yang tegas 'Adalah, 'Pemilik, 'Sah dan juga penggunaan kata 'Republik pada saat 1966 itu memang lagi ngetrend.
Judul ini seakan membuat kita pernah diberi pertayaan, setidaklnya : masihkah kita diaku sebagai pemilik republik ini, atau : apakah yang punya republik ini orang-orang tertentu saja? , (rg bagus warsono 23-8-2015) yuk kita simak puisinya :
Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini
Karya Taufik Ismail.
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
1966
Judul ini seakan membuat kita pernah diberi pertayaan, setidaklnya : masihkah kita diaku sebagai pemilik republik ini, atau : apakah yang punya republik ini orang-orang tertentu saja? , (rg bagus warsono 23-8-2015) yuk kita simak puisinya :
Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini
Karya Taufik Ismail.
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
1966
Kepiawaian Chairil dalam Mencipta
Demikian Chairil menjadi Prajurit Jaga Malam, Chairil tak bicara rokok atau kopi penahan kantuk, tak bicara nyamuk , kelelawar ddan embun dini hari. Chairil pandai menjadi puisi, menjadi dirinya seorang prajurit jaga malam, menusuk pikiran si penjaga malam, dan bersembunyi di hati dalam dada prajurit jaga malam. Chairil memang jempolan. (rg bagus warsono 23-8-15)
berikut puisinya:
PRAJURIT JAGA MALAM
karya Chairil Anwar
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
berikut puisinya:
PRAJURIT JAGA MALAM
karya Chairil Anwar
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
Jumat, 21 Agustus 2015
Minggu, 16 Agustus 2015
6 Penulis Perempuan Kalimantan Selatan Puisi Menolak Korupsi jilid 5, kurator Sosiawan Leak dan Koordinator Sulis Bambang.
Telah diumumkan dan saya mengucapkan.
Selamat kepada 6 Penulis Perempuan Kalimantan Selatan yang lolos seleksi penerbitan buku Puisi Menolak Korupsi jilid 5, kurator Sosiawan Leak dan Koordinator Sulis Bambang.
6 Penulis Perempuan Kalimantan Selatan tersebut adalah:
1. Trisia Chandra dari kota Banjarbaru
2. Nurmalian Sari dari kota Tanjung
3. Maria Roeslie dari kota Banjarmasin
4. Helwatin Najwa dari Kotabaru
5. Anna Mariyana dari kota Banjarbaru (?, tertulis)
6. Agustina Thamrin dari kota Banjarbaru
Semoga dampak positif dunia maya dalam penulisan puisi-puisi semakin semarak dan kepada yang menuhankan media cetak, apalagi yang menjadi persembahan kepada “pusat ibukota, jakarta”, ini menyatakan bahwa semua media di tempat mana pun, di kota mana pun, dalam format apa pun adalah layak diapresiasi, semisal ada yang ingin bicara kualitas karya maka silahkan kupas karya-karya mereka nanti di dalam buku Puisi Menolak Korupsi jilid 5 “Perempuan Menolak Korupsi” yang seluruh Penulisnya adalah Perempuan. Dan sandingkan saja dengan karya-karya yang terbit di koran-koran atau majalah-majalah sastra, apa yang mereka bicarakan lewat puisi-puisi mereka, dari sisi mana pun dengan latar bidang ilmu jenis kelamin apa pun juga. Semoga terus tetap semangat, semangat berkarya.
Kalau ada yang menyatakan bahwa di koran-koran cetak ada redaktur sebagai selektornya, kita pertanyakan dengan cara apa ia melakukan seleksi, apakah dengan selera pribadi masing-masing, ataukah ada alat khusus yang mampu menyatukan sikap bahwa puisi ini layak atau tidak layak diterbitkan, ternyata dari banyak redaktur di masing-masing koran secara umum menggunakan ‘seleranya masing-masing’ apakah ini masih patut dijadikan panutan kualitas sastra, kualitas puisi. Ini kenyataan dan memang begitulah adanya dunia sastra, jadi pada media apa pun, yang menentukan nasib sebuah karya adalah diri karya itu sendiri.
Salam gumam asa (Ali Arsy)
Selamat kepada 6 Penulis Perempuan Kalimantan Selatan yang lolos seleksi penerbitan buku Puisi Menolak Korupsi jilid 5, kurator Sosiawan Leak dan Koordinator Sulis Bambang.
6 Penulis Perempuan Kalimantan Selatan tersebut adalah:
1. Trisia Chandra dari kota Banjarbaru
2. Nurmalian Sari dari kota Tanjung
3. Maria Roeslie dari kota Banjarmasin
4. Helwatin Najwa dari Kotabaru
5. Anna Mariyana dari kota Banjarbaru (?, tertulis)
6. Agustina Thamrin dari kota Banjarbaru
Semoga dampak positif dunia maya dalam penulisan puisi-puisi semakin semarak dan kepada yang menuhankan media cetak, apalagi yang menjadi persembahan kepada “pusat ibukota, jakarta”, ini menyatakan bahwa semua media di tempat mana pun, di kota mana pun, dalam format apa pun adalah layak diapresiasi, semisal ada yang ingin bicara kualitas karya maka silahkan kupas karya-karya mereka nanti di dalam buku Puisi Menolak Korupsi jilid 5 “Perempuan Menolak Korupsi” yang seluruh Penulisnya adalah Perempuan. Dan sandingkan saja dengan karya-karya yang terbit di koran-koran atau majalah-majalah sastra, apa yang mereka bicarakan lewat puisi-puisi mereka, dari sisi mana pun dengan latar bidang ilmu jenis kelamin apa pun juga. Semoga terus tetap semangat, semangat berkarya.
Kalau ada yang menyatakan bahwa di koran-koran cetak ada redaktur sebagai selektornya, kita pertanyakan dengan cara apa ia melakukan seleksi, apakah dengan selera pribadi masing-masing, ataukah ada alat khusus yang mampu menyatukan sikap bahwa puisi ini layak atau tidak layak diterbitkan, ternyata dari banyak redaktur di masing-masing koran secara umum menggunakan ‘seleranya masing-masing’ apakah ini masih patut dijadikan panutan kualitas sastra, kualitas puisi. Ini kenyataan dan memang begitulah adanya dunia sastra, jadi pada media apa pun, yang menentukan nasib sebuah karya adalah diri karya itu sendiri.
Salam gumam asa (Ali Arsy)
Jumat, 14 Agustus 2015
Kau Tempel Wajahku
Kau Tempel Wajahku
di Dinding Meja Kerjamu
Mencengkeram komando
Menatap wajah
Favorit bagi
fans
Sengaja kau letakkan
Background
kewibawaan
Siapa datang di meja kerjamu
Decak kagum pada pribadimu
Lalu menepuk dada
Bangga sebagai Soekarnois
Dan meniru perilaku
Jas berkantong banyak
Mengantongi amplop-amplop tamumu
Yang datang percaya
Background
kejujuran
Tamumu akan silau
Oleh tanda jasa
Kau jual aku dengan
Foto kepresidenanku
Kau tempel wajahku di dinding meja kerjamu
Yang dipigura ukir Jepara
Rg Bagus Warsono dari Si Bung
di Dinding Meja Kerjamu
Mencengkeram komando
Menatap wajah
Favorit bagi
fans
Sengaja kau letakkan
Background
kewibawaan
Siapa datang di meja kerjamu
Decak kagum pada pribadimu
Lalu menepuk dada
Bangga sebagai Soekarnois
Dan meniru perilaku
Jas berkantong banyak
Mengantongi amplop-amplop tamumu
Yang datang percaya
Background
kejujuran
Tamumu akan silau
Oleh tanda jasa
Kau jual aku dengan
Foto kepresidenanku
Kau tempel wajahku di dinding meja kerjamu
Yang dipigura ukir Jepara
Rg Bagus Warsono dari Si Bung
Realitas Waktu dalam Buku Setengah Tiang dan Pesan-Pesan Puitiknya Oleh Sumasno Hadi
Realitas Waktu dalam Buku Setengah Tiang
dan Pesan-Pesan Puitiknya
Oleh Sumasno Hadi
Jika tak ada yang berlalu, tak ada waktu lampau
Jika tak ada yang datang, tak ada waktu nanti
Jika tak ada yang ada, tak ada waktu kini
Dulu presiden “mamarika” pernah bilang, jika politik bengkok maka puisi akan melu-ruskannya. Itu mendingan. Di kita, politik tak hanya bengkok tapi patah, remuk dan pecah. Bahkan tradisi politik kita telah menjadi adab menjijikkan, saling tikam dan memamah (puisi “Politik Kanibal”, hal. 77—78). Demikian politik di mata Ali Syamsudin Arsi (ASA), penyair yang “pengguman” ini. Tapi bagi saya tema politik juga lainnya di buku ini tak semenarik pada puisi kontemplatifnya. Utamanya tantang tema kesilaman. Dan tema sejarah ini pun menjadi ladang renungan filsafati yang ditawarkan buku puisi terbaru ASA ini. Mungkin be-gitu. Jadi di sini saya lebih mau melihat puisi-puisi ASA dalam Buku Setengah Tiang (Frame-publishing, 2015) yang saya anggap punya potensi tema sejarah, atau lebih tepatnya soal waktu.
Filsafat Waktu
Membicarakan waktu bisa sangat sederhana, sekaligus juga ruwet dan kompleks. Kalau disederhanakan, waktu kerap muncul di benak kita, misalnya dalam wujud konkret be-rupa jam, dengan segala satuan detik-menitnya. Pun juga penunjuk lainnya, alam, seperti siklus musim atau rentang edar matahari dan bulan. Tapi di tangan pikiran yang kompleks, pengertian waktu menjadi sulit, ruwet, berbusa-busa dirumuskan. Lalu tak berkesudahan saat diomongkan. Misalnya waktu yang difilsafatkan oleh Agustinus (354—430). Setidaknya itu terasa pada kutipan kalimatnya di awal tulisan ini. Di tangan Agustinus, waktu adalah en-titas yang eksis, tapi sekaligus tak nyata. Eksis karena waktu menjadi sumber penanda dari kebertubuhan materi beserta gerakan kosmos yang dapat diinderai. Dan kita pun mengerti bahwa tak akan ada konsep tentang gerakan jika tak ada waktu. Lalu eksistensi waktu itu di-perjelas Agustinus pada tiga realitasnya, ia menyebutnya “waktu yang berdimensi tiga”. Ya-itu waktu yang berdimensi lampau, kini dan nanti. Meski eksis namun waktu itu tak nyata, karena kenyataan waktu (yang bedimensi tiga) bisa (dan hanya bisa) dikonfirmasi ketika ia telah dijabat erat oleh pikiran. Artinya, waktu dalam konsep Agustinus ini adalah fenomena kesadaran subjek belaka. Lantaran kesadaran itu mengandaikan adanya kualitas yang rela-sional—kesadaran terhadap...—, maka kekinian sebagai landasan berdirinya kesadaran akan menuntut relasi kepada tiga dimensi waktu. Kalau diproposisikan, maka ketiga kesadaran akan realitas waktu itu jadi begini: (1) kekinian dari hal-hal lampau, (2) kekinian dari hal-hal kini, dan (3) kekinian dari hal-hal nanti. Dan ketiganya tak lain adalah ingatan (memory) ke-pada yang lampau, perhatian (attention) pada yang kini, dan pengharapan (expectation) ke-pada yang nanti.
Empat abad sepeninggal Agustinus, seorang pemikir muslim Arab, al-Kindi (801—873) meneruskan pembicaraan waktu yang ruwet itu dengan penegasan bahwa eksistensi waktu yang relasional dengan materi (kosmos). Katanya, waktu hanya eksis ketika ada ge-rakan, gerakan bisa eksis lantaran ada materi, dan sebaliknya. Artinya, waktu di tangan al-Kindi makin ditunjukkan nilai relatifnya. Ini kemudian dikembangkan Einstein di abad kita menjadi teori relativitas (waktu) yang makin ruwet pengertiannya. Lantas al-Kindi pun, juga Einstein, melihat antara ruang (materi) dan waktu (gerakan) itu tak hanya bernilai relatif ter-hadap satu sama lain, tapi juga terhadap subjek yang memantau, mengamati, dan menge-nyam waktu. Begitu, dan sebelum menjadi tambah ruwet, waktu yang saya jadikan teman puisi-puisi ASA ini digarisbawahi saja. Yaitu pada eksistensi tiga realitas waktu (kekinian dari hal-hal: lampau, kini, nanti) sebagai fenomena kesadaran subjek.
Puisi Ingatan, Puisi Perhatian, Puisi Pengharapan, dan Puisi Kontemplatif
Dari ketiga realitas waktu itu tadi, beberapa puisi ASA terasa mengarah pada yang pertama, yakni kekinian dari hal-hal lampau. Dalam pengertian ini, puisi-puisinya bisa dise-but puisi ingatan. Puisi yang menceburkan diri pada telaga kesilaman, mungkin malah sam-pai larut dalam romantika sejarahnya. Beberapa judul puisi yang termaksud ini tampak pada: “Pulang”, “Diskusi Para Datu”, “Kerajaan Nan Sarunai”, “Daun Jendela dari Akar Padi”. Semua puisi itu, menurut saya dijadikan wadah estetik ASA untuk menempatkan kekinian puitiknya. Namun kekinian yang menggelincirkan diri pada kenangan, pada kesilaman. Boleh kita rasakan, puisi ingatan ini ditandai oleh muatan makna diksi-diksinya yang berkonotasi kesilaman seperti diksi: “datu”, “jejak”, “kerajaan nan sarunai”, “catatan sejarah”, “nenek moyang”, “akar padi”, “kampung halaman”.
Pada puisi ingatan ini ada yang paling membekas di saya. Adalah puisi pendek ASA yang berjudul “Pulang”. Coba kita cermati isi puisi yang padat ini: bukan karena lambai itu yang membuat kita pulang satu/ demi satu (hal. 21). Fenomena “pulang” yang bisa dimak-nai secara materialistik (: ke rumah fisik), pun metafisik (: ke rumah spiritual), adalah suatu gerak kembali. Kepulangan atau kekembalian ini dihayati sang penyair ketika kekiniannya sadar akan suatu realitas yang menyusut, berkurang “satu demi satu”. Penyusutan yang di-hadapi penyair, tentu adalah produk kesadaran (: oleh karena aku sadarlah maka aku jadi tahu kalau satu demi satu berpulang. Kepulangan ini, baginya bukan tersebab oleh “lambai”. Lambai (: naik-turun, berayun-ayun yang lazim dimaknai pada gerakan tangan) adalah tanda dari kehangatan, kepercayaan, dan kerinduan. Lambaian tangan kita yang mengantar (ke-pergian) atau bertemu orang “dekat” misalnya, adalah bahasa tubuh atas kehangatan, ke-percayaan atau kerinduan itu. Jadi, kepulangan dimaknai oleh penyair bukan karena suatu ikatan atau relasi sebagaimana makna lambaian tangan. Mungkin, pulang bagi penyair ini adalah kenyataan ontologis yang niscaya.
Perihal puisi perhatian, sebagai refleksi kakinian penyair dari hal-hal kini, ini akan le-bih banyak nilai atualitasnya dan sangat terasa pada puisi-puisi sosial dalam buku ini. Maka tema-tema kritik sosial seperti pada kerusakan ekologi, kebusukan politik atau dinamika masyarakat kota menjadi bahan pokok atas puitika sang penyair. Ketika judul puisi ASA menggunakan ungkapan yang bernilai relasi antara yang kini dengan yang nanti, seperti pada diksi “belum” atau “sebelum”, ini bisa dialamatkan sebagai “puisi pengharapan” itu. Puisi yang bicara dari posisi kini, tapi melemparkan diri pada hal-hal nanti. Puisi yang me-nyatakan “kebeluman” realitas ini, menariknya, disajikan ASA dalam beberapa serial. Ada judul “Belum Hujan” dan “Belum Juga” yang dibingkai ASA dalam gaya gumamnya. Dan se-cara konseptual, makna kebeluman itu muncul lagi di 8 judul puisi lainnya, yang semuanya memakai diksi “sebelum” sebagai judul: “Sebelum Reruntuh Tebing” (hal. 53), “Sebelum Duri Menusuk Tebing” (hal. 54), Sebelum Angin Membadai” (hal. 55), Sebelum Ngarai Menuju Debu” (hal. 56), Sebelum Pupus Cerita di Lorong Goa” (hal. 57), “Sebelum Datang Berlinang” (hal. 59), Sebelum Sungai Meradang” (hal. 60), “Sebelum Debu Pelupuk Mata” (hal. 61). Puisi-puisi ini bernilai konseptual, setidaknya dari penyajian di dalam halaman buku yang tersusun berurutan. Dari hal. 53 sampai hal. 61. Nampaknya ini juga soal titi-mangsa puisi dari kedelapan puisi itu yang tertanda bulan Februari. Di situ akan terbaca juga suara-suara penyair yang bernada peringatan, sekaligus prediksi negatif (buruk). Puisi yang memeringatkan (perkiraan reflektif) bahwa realitas sosialnya mungkin mengarah pada ke-hancuran ekologis. Di situ ada peringatan akan runtuhnya gunung bertebing batu, bencana angin, sungai yang meradang, dan sakitnya mata yang berdebu.
Ada satu lagi “puisi kebeluman” yang berjudul “Sebelum dan Sesudah Kabut” (hal. 100). Ini menjadi puisi kebeluman ASA yang paling analitis. Maksudnya, sang penyair lebih detail saat memuisikan realitas “kabut” dengan menyertakan penjelas yang bernilai kausali-tas, penjelas yang juga bermakna rentangan waktu. Coba simak maksud kata “sebelum” dan “sesudah” pada puisinya (bait ketiga: sebelum kabut adalah hamparan luas tanah gambut/ setelah kabut adalah bau akar membakar asap meliuk-liuk). Apa yang dimaksud “kabut” di sini? Dan puisi ini sepertinya mengatakan, kabut adalah jeratan rasa rakus dan teknologi yang menghancurkan ekologi (bait keempat: sedang kabut itu sendiri/ tak akan lepas dari hiruk-pikuk dan saling berebut/ sangat merenggut/ ruang kata bertumpuk). Dari puisi ke-kinian ASA yang menyatakan aktualitas bencana “kabut” pada maraknya fenomena ter-bakarnya (atau dibakar?) hutan kita, ini makin memperjelas kalau puisi-puisi kekiniannya adalah puitika kritik sosial.
Meski puisi-puisi sosial sering dianggap mudah dipahami tinimbang puisi personal, namun di tangan ASA menjadi tak sesederhana itu. Gaya “gumam ASA”-nya ketika memuisi-kan tema sosial kerap menimbulkan tantangan (atau hambatan) kita untuk menerima pesan puitiknya secara mulus. Misalnya ketika saya membaca puisi gumam “Purnama Terkepung Mendung” (hal. 79) dan “Udara Laut Berkobar” (hal. 81) yang terlihat menjadi medianya dalam menyuarakan realitas-kekacauan sosialnya kepada penguasa (politik). Lantaran ben-tuk gumam yang enggan berpola, maka kita harus menemukan sendiri pola itu untuk meng-antarkan ke pesan dan makna puisi. Ini akan lain saat kita baca puisi “Politik Kanibal” (hal. 77—78) yang sudah menyediakan pola, setidaknya pada bentuknya yang berbait. Atau pada puisi “Rekening Gendut” (hal. 36) yang seluruh isi diksinya sama dengan judulnya. Ini akan langsung mudah kita tangkap maknanya, lebih-lebih kalau kita sering memantau Jakarta dan membayangkan seragam polisi. Lalu dari beberapa puisi perhatian ASA lainnya, yang cukup menarik adalah 5 serial puisi bertajuk “Dialog Budaya Kota”. Mungkin ini akan (sudah) diba-has pihak lain (Sainul Hermawan?). Demikian, secara tematik pesannya, puisi perhatian (puisi sosial) sebagai refleksi atau mungkin tepatnya kesaksian—karena sifat aktualitas dan kontekstualitas sosialnya—menjadi puisi ASA yang paling membuka diri kepada makna.
Mengenai puisi pengharapan atau puisi yang menghadirkan kekinian dari hal-hal nanti, sebenarnya ini mengandung kesatuan tiga kesadaran waktu sekaligus. Ketika kini kita sadar akan masa depan yang terasa begitu dekat, prediksi positif (baik) sebagai rasa peng-harapan kita ini mengandaikan kehadiran ingatan (lampau) serta perhatian (kini). Saya akan menyebut puisi-puisi yang punya muatan kesadaran tiga dimensi waktu ini sebagai puisi kontemplatif. Ketika memaknai “rindu” pada puisi “Setelah Engkau Rindu” (hal. 5), ini bisa menjadi contoh puisi kontemplatif ASA. Begitu karena pada puisi ini mampu mewakili ter-aduk-aduknya kesadaran akan ingatan, perhatian, dan pengharapan. Tiga kesadaran akan realitas waktu ini pun telah terpola dalam ketiga baitnya secara berurutan. Coba kita cerma-ti ketiga baitnya ini (bait pertama tentang ingatan-lampau, bait kedua tentang perhatian-kini, bait ketiga tentang pengharapan-nanti).
aku menjadi semakin suka pada wajahmu terpampang
di ruang tidur bahkan sampai ke dalam setiap mimpi
yang bercerita atas pertemuan dan sedihnya perpisahan
sedetik saja terkadang tak rela setelah engkau rindu segala
uncap rindu segala tatap rindu segala dekap rindu
jarak terbentang memang tapi rasa lekat pun masuk dala
bilik-bilik sekap terkungkung antara gapai angan dengan
nyatanya di udara lepas selepas terbang kepak burung
menepis debu, jarak bukan alasan
setelah engkau rindu aku terkulai tak mau lepas dari segala
rindu menawarkan hari-hari penuh sentuh jemari bahkan
di sini di bagian jantung berbunyi tak pernah mau berhenti
Selain itu, satu lagi puisi pendek di buku ini yang merangkum tiga kesadaran waktu, yaitu puisi “Membaca Sejarah dari Pintu Belakang”. Melalui satu diksi-ungkapnya saja, “bolong-bolong”, ternyata puisi ini bisa menawarkan medan reflektif atas tiga kesadaran waktu. Pertama, puisi ini memunculkan hal-hal lampau (romantika sejarah) yang bernilai ideal namun mungkin telah terkoyak. Kedua, puisi ini menunjukkan akan hal-hal kini (post-modern-kontemporer) yang anti-strukturalis sehingga melahirkan anomali tradisi (membaca sejarah dari belakang). Ketiga, puisi pendek ini secara imperatif mengajukan pesan sosial yang bernilai etis, yakni secara implisit menganjurkan generasi kemudian untuk melakukan tambal-sulam atau bahkan mengganti kain sejarah dari generasi pendahulunya yang koyak lagi bolong.
Menyaksikan Kesakitan, Menganjurkan Ketangguhan
Ketika menikmati buku puisi ASA yang multitematik, kemampuan pembacaan saya memang tertawan pada persoalan waktu. Pada sisi yang lain, ketika saya banyak mendapati diksi yang banyak muncul dalam puisinya, langsung tertanam benih pesan-pesan puitik dari penyairnya. Boleh kita resapi diksi yang bolak-balik hadir di puisinya itu: “luka”, “asap”, “gemuruh”, “debu”, “duri”, “tebing”, “batu”, “darah”, “sunyi”. Dibantu diksi-diksi macam itulah ASA menuliskan kesaksiannya atas suatu kesakitan. Juga sekaligus melemparkan spirit pada kita untuk selalu tangguh dalam kepungan luka yang menyakitkan. Demikian, ASA me-lalui buku puisi ini saya anggap telah berbagi semesta puitikanya dengan cara berdiri tegak di hadapan realitas sosialnya. Lalu saya pun mendengar ia bicara lantang begini.
Aku melihat dan sekaligus merasakan sakit. Sakit yang tersebab oleh perceraian ke-percayaan di antara kita sebagai manusia. Aku memang melihat sakit itu pada luka-luka yang ada di atas tanah kita, di kulit pohon hutan kita, di arus sungai-sungai kita. Pun luka yang menghujam di perut bumi kita, luka yang berserakan di atas hamparan pasir pantai kita. Ya, itulah luka kita yang harus segera kita apakan. Sudah aku katakan, dengan tulisan-ku yang tebing menjulang. Bahwa aku akan tatap bersaksi, berkata-kata, menulis puisi.
Banjarmasin, 12 Agustus 2015.
dan Pesan-Pesan Puitiknya
Oleh Sumasno Hadi
Jika tak ada yang berlalu, tak ada waktu lampau
Jika tak ada yang datang, tak ada waktu nanti
Jika tak ada yang ada, tak ada waktu kini
Dulu presiden “mamarika” pernah bilang, jika politik bengkok maka puisi akan melu-ruskannya. Itu mendingan. Di kita, politik tak hanya bengkok tapi patah, remuk dan pecah. Bahkan tradisi politik kita telah menjadi adab menjijikkan, saling tikam dan memamah (puisi “Politik Kanibal”, hal. 77—78). Demikian politik di mata Ali Syamsudin Arsi (ASA), penyair yang “pengguman” ini. Tapi bagi saya tema politik juga lainnya di buku ini tak semenarik pada puisi kontemplatifnya. Utamanya tantang tema kesilaman. Dan tema sejarah ini pun menjadi ladang renungan filsafati yang ditawarkan buku puisi terbaru ASA ini. Mungkin be-gitu. Jadi di sini saya lebih mau melihat puisi-puisi ASA dalam Buku Setengah Tiang (Frame-publishing, 2015) yang saya anggap punya potensi tema sejarah, atau lebih tepatnya soal waktu.
Filsafat Waktu
Membicarakan waktu bisa sangat sederhana, sekaligus juga ruwet dan kompleks. Kalau disederhanakan, waktu kerap muncul di benak kita, misalnya dalam wujud konkret be-rupa jam, dengan segala satuan detik-menitnya. Pun juga penunjuk lainnya, alam, seperti siklus musim atau rentang edar matahari dan bulan. Tapi di tangan pikiran yang kompleks, pengertian waktu menjadi sulit, ruwet, berbusa-busa dirumuskan. Lalu tak berkesudahan saat diomongkan. Misalnya waktu yang difilsafatkan oleh Agustinus (354—430). Setidaknya itu terasa pada kutipan kalimatnya di awal tulisan ini. Di tangan Agustinus, waktu adalah en-titas yang eksis, tapi sekaligus tak nyata. Eksis karena waktu menjadi sumber penanda dari kebertubuhan materi beserta gerakan kosmos yang dapat diinderai. Dan kita pun mengerti bahwa tak akan ada konsep tentang gerakan jika tak ada waktu. Lalu eksistensi waktu itu di-perjelas Agustinus pada tiga realitasnya, ia menyebutnya “waktu yang berdimensi tiga”. Ya-itu waktu yang berdimensi lampau, kini dan nanti. Meski eksis namun waktu itu tak nyata, karena kenyataan waktu (yang bedimensi tiga) bisa (dan hanya bisa) dikonfirmasi ketika ia telah dijabat erat oleh pikiran. Artinya, waktu dalam konsep Agustinus ini adalah fenomena kesadaran subjek belaka. Lantaran kesadaran itu mengandaikan adanya kualitas yang rela-sional—kesadaran terhadap...—, maka kekinian sebagai landasan berdirinya kesadaran akan menuntut relasi kepada tiga dimensi waktu. Kalau diproposisikan, maka ketiga kesadaran akan realitas waktu itu jadi begini: (1) kekinian dari hal-hal lampau, (2) kekinian dari hal-hal kini, dan (3) kekinian dari hal-hal nanti. Dan ketiganya tak lain adalah ingatan (memory) ke-pada yang lampau, perhatian (attention) pada yang kini, dan pengharapan (expectation) ke-pada yang nanti.
Empat abad sepeninggal Agustinus, seorang pemikir muslim Arab, al-Kindi (801—873) meneruskan pembicaraan waktu yang ruwet itu dengan penegasan bahwa eksistensi waktu yang relasional dengan materi (kosmos). Katanya, waktu hanya eksis ketika ada ge-rakan, gerakan bisa eksis lantaran ada materi, dan sebaliknya. Artinya, waktu di tangan al-Kindi makin ditunjukkan nilai relatifnya. Ini kemudian dikembangkan Einstein di abad kita menjadi teori relativitas (waktu) yang makin ruwet pengertiannya. Lantas al-Kindi pun, juga Einstein, melihat antara ruang (materi) dan waktu (gerakan) itu tak hanya bernilai relatif ter-hadap satu sama lain, tapi juga terhadap subjek yang memantau, mengamati, dan menge-nyam waktu. Begitu, dan sebelum menjadi tambah ruwet, waktu yang saya jadikan teman puisi-puisi ASA ini digarisbawahi saja. Yaitu pada eksistensi tiga realitas waktu (kekinian dari hal-hal: lampau, kini, nanti) sebagai fenomena kesadaran subjek.
Puisi Ingatan, Puisi Perhatian, Puisi Pengharapan, dan Puisi Kontemplatif
Dari ketiga realitas waktu itu tadi, beberapa puisi ASA terasa mengarah pada yang pertama, yakni kekinian dari hal-hal lampau. Dalam pengertian ini, puisi-puisinya bisa dise-but puisi ingatan. Puisi yang menceburkan diri pada telaga kesilaman, mungkin malah sam-pai larut dalam romantika sejarahnya. Beberapa judul puisi yang termaksud ini tampak pada: “Pulang”, “Diskusi Para Datu”, “Kerajaan Nan Sarunai”, “Daun Jendela dari Akar Padi”. Semua puisi itu, menurut saya dijadikan wadah estetik ASA untuk menempatkan kekinian puitiknya. Namun kekinian yang menggelincirkan diri pada kenangan, pada kesilaman. Boleh kita rasakan, puisi ingatan ini ditandai oleh muatan makna diksi-diksinya yang berkonotasi kesilaman seperti diksi: “datu”, “jejak”, “kerajaan nan sarunai”, “catatan sejarah”, “nenek moyang”, “akar padi”, “kampung halaman”.
Pada puisi ingatan ini ada yang paling membekas di saya. Adalah puisi pendek ASA yang berjudul “Pulang”. Coba kita cermati isi puisi yang padat ini: bukan karena lambai itu yang membuat kita pulang satu/ demi satu (hal. 21). Fenomena “pulang” yang bisa dimak-nai secara materialistik (: ke rumah fisik), pun metafisik (: ke rumah spiritual), adalah suatu gerak kembali. Kepulangan atau kekembalian ini dihayati sang penyair ketika kekiniannya sadar akan suatu realitas yang menyusut, berkurang “satu demi satu”. Penyusutan yang di-hadapi penyair, tentu adalah produk kesadaran (: oleh karena aku sadarlah maka aku jadi tahu kalau satu demi satu berpulang. Kepulangan ini, baginya bukan tersebab oleh “lambai”. Lambai (: naik-turun, berayun-ayun yang lazim dimaknai pada gerakan tangan) adalah tanda dari kehangatan, kepercayaan, dan kerinduan. Lambaian tangan kita yang mengantar (ke-pergian) atau bertemu orang “dekat” misalnya, adalah bahasa tubuh atas kehangatan, ke-percayaan atau kerinduan itu. Jadi, kepulangan dimaknai oleh penyair bukan karena suatu ikatan atau relasi sebagaimana makna lambaian tangan. Mungkin, pulang bagi penyair ini adalah kenyataan ontologis yang niscaya.
Perihal puisi perhatian, sebagai refleksi kakinian penyair dari hal-hal kini, ini akan le-bih banyak nilai atualitasnya dan sangat terasa pada puisi-puisi sosial dalam buku ini. Maka tema-tema kritik sosial seperti pada kerusakan ekologi, kebusukan politik atau dinamika masyarakat kota menjadi bahan pokok atas puitika sang penyair. Ketika judul puisi ASA menggunakan ungkapan yang bernilai relasi antara yang kini dengan yang nanti, seperti pada diksi “belum” atau “sebelum”, ini bisa dialamatkan sebagai “puisi pengharapan” itu. Puisi yang bicara dari posisi kini, tapi melemparkan diri pada hal-hal nanti. Puisi yang me-nyatakan “kebeluman” realitas ini, menariknya, disajikan ASA dalam beberapa serial. Ada judul “Belum Hujan” dan “Belum Juga” yang dibingkai ASA dalam gaya gumamnya. Dan se-cara konseptual, makna kebeluman itu muncul lagi di 8 judul puisi lainnya, yang semuanya memakai diksi “sebelum” sebagai judul: “Sebelum Reruntuh Tebing” (hal. 53), “Sebelum Duri Menusuk Tebing” (hal. 54), Sebelum Angin Membadai” (hal. 55), Sebelum Ngarai Menuju Debu” (hal. 56), Sebelum Pupus Cerita di Lorong Goa” (hal. 57), “Sebelum Datang Berlinang” (hal. 59), Sebelum Sungai Meradang” (hal. 60), “Sebelum Debu Pelupuk Mata” (hal. 61). Puisi-puisi ini bernilai konseptual, setidaknya dari penyajian di dalam halaman buku yang tersusun berurutan. Dari hal. 53 sampai hal. 61. Nampaknya ini juga soal titi-mangsa puisi dari kedelapan puisi itu yang tertanda bulan Februari. Di situ akan terbaca juga suara-suara penyair yang bernada peringatan, sekaligus prediksi negatif (buruk). Puisi yang memeringatkan (perkiraan reflektif) bahwa realitas sosialnya mungkin mengarah pada ke-hancuran ekologis. Di situ ada peringatan akan runtuhnya gunung bertebing batu, bencana angin, sungai yang meradang, dan sakitnya mata yang berdebu.
Ada satu lagi “puisi kebeluman” yang berjudul “Sebelum dan Sesudah Kabut” (hal. 100). Ini menjadi puisi kebeluman ASA yang paling analitis. Maksudnya, sang penyair lebih detail saat memuisikan realitas “kabut” dengan menyertakan penjelas yang bernilai kausali-tas, penjelas yang juga bermakna rentangan waktu. Coba simak maksud kata “sebelum” dan “sesudah” pada puisinya (bait ketiga: sebelum kabut adalah hamparan luas tanah gambut/ setelah kabut adalah bau akar membakar asap meliuk-liuk). Apa yang dimaksud “kabut” di sini? Dan puisi ini sepertinya mengatakan, kabut adalah jeratan rasa rakus dan teknologi yang menghancurkan ekologi (bait keempat: sedang kabut itu sendiri/ tak akan lepas dari hiruk-pikuk dan saling berebut/ sangat merenggut/ ruang kata bertumpuk). Dari puisi ke-kinian ASA yang menyatakan aktualitas bencana “kabut” pada maraknya fenomena ter-bakarnya (atau dibakar?) hutan kita, ini makin memperjelas kalau puisi-puisi kekiniannya adalah puitika kritik sosial.
Meski puisi-puisi sosial sering dianggap mudah dipahami tinimbang puisi personal, namun di tangan ASA menjadi tak sesederhana itu. Gaya “gumam ASA”-nya ketika memuisi-kan tema sosial kerap menimbulkan tantangan (atau hambatan) kita untuk menerima pesan puitiknya secara mulus. Misalnya ketika saya membaca puisi gumam “Purnama Terkepung Mendung” (hal. 79) dan “Udara Laut Berkobar” (hal. 81) yang terlihat menjadi medianya dalam menyuarakan realitas-kekacauan sosialnya kepada penguasa (politik). Lantaran ben-tuk gumam yang enggan berpola, maka kita harus menemukan sendiri pola itu untuk meng-antarkan ke pesan dan makna puisi. Ini akan lain saat kita baca puisi “Politik Kanibal” (hal. 77—78) yang sudah menyediakan pola, setidaknya pada bentuknya yang berbait. Atau pada puisi “Rekening Gendut” (hal. 36) yang seluruh isi diksinya sama dengan judulnya. Ini akan langsung mudah kita tangkap maknanya, lebih-lebih kalau kita sering memantau Jakarta dan membayangkan seragam polisi. Lalu dari beberapa puisi perhatian ASA lainnya, yang cukup menarik adalah 5 serial puisi bertajuk “Dialog Budaya Kota”. Mungkin ini akan (sudah) diba-has pihak lain (Sainul Hermawan?). Demikian, secara tematik pesannya, puisi perhatian (puisi sosial) sebagai refleksi atau mungkin tepatnya kesaksian—karena sifat aktualitas dan kontekstualitas sosialnya—menjadi puisi ASA yang paling membuka diri kepada makna.
Mengenai puisi pengharapan atau puisi yang menghadirkan kekinian dari hal-hal nanti, sebenarnya ini mengandung kesatuan tiga kesadaran waktu sekaligus. Ketika kini kita sadar akan masa depan yang terasa begitu dekat, prediksi positif (baik) sebagai rasa peng-harapan kita ini mengandaikan kehadiran ingatan (lampau) serta perhatian (kini). Saya akan menyebut puisi-puisi yang punya muatan kesadaran tiga dimensi waktu ini sebagai puisi kontemplatif. Ketika memaknai “rindu” pada puisi “Setelah Engkau Rindu” (hal. 5), ini bisa menjadi contoh puisi kontemplatif ASA. Begitu karena pada puisi ini mampu mewakili ter-aduk-aduknya kesadaran akan ingatan, perhatian, dan pengharapan. Tiga kesadaran akan realitas waktu ini pun telah terpola dalam ketiga baitnya secara berurutan. Coba kita cerma-ti ketiga baitnya ini (bait pertama tentang ingatan-lampau, bait kedua tentang perhatian-kini, bait ketiga tentang pengharapan-nanti).
aku menjadi semakin suka pada wajahmu terpampang
di ruang tidur bahkan sampai ke dalam setiap mimpi
yang bercerita atas pertemuan dan sedihnya perpisahan
sedetik saja terkadang tak rela setelah engkau rindu segala
uncap rindu segala tatap rindu segala dekap rindu
jarak terbentang memang tapi rasa lekat pun masuk dala
bilik-bilik sekap terkungkung antara gapai angan dengan
nyatanya di udara lepas selepas terbang kepak burung
menepis debu, jarak bukan alasan
setelah engkau rindu aku terkulai tak mau lepas dari segala
rindu menawarkan hari-hari penuh sentuh jemari bahkan
di sini di bagian jantung berbunyi tak pernah mau berhenti
Selain itu, satu lagi puisi pendek di buku ini yang merangkum tiga kesadaran waktu, yaitu puisi “Membaca Sejarah dari Pintu Belakang”. Melalui satu diksi-ungkapnya saja, “bolong-bolong”, ternyata puisi ini bisa menawarkan medan reflektif atas tiga kesadaran waktu. Pertama, puisi ini memunculkan hal-hal lampau (romantika sejarah) yang bernilai ideal namun mungkin telah terkoyak. Kedua, puisi ini menunjukkan akan hal-hal kini (post-modern-kontemporer) yang anti-strukturalis sehingga melahirkan anomali tradisi (membaca sejarah dari belakang). Ketiga, puisi pendek ini secara imperatif mengajukan pesan sosial yang bernilai etis, yakni secara implisit menganjurkan generasi kemudian untuk melakukan tambal-sulam atau bahkan mengganti kain sejarah dari generasi pendahulunya yang koyak lagi bolong.
Menyaksikan Kesakitan, Menganjurkan Ketangguhan
Ketika menikmati buku puisi ASA yang multitematik, kemampuan pembacaan saya memang tertawan pada persoalan waktu. Pada sisi yang lain, ketika saya banyak mendapati diksi yang banyak muncul dalam puisinya, langsung tertanam benih pesan-pesan puitik dari penyairnya. Boleh kita resapi diksi yang bolak-balik hadir di puisinya itu: “luka”, “asap”, “gemuruh”, “debu”, “duri”, “tebing”, “batu”, “darah”, “sunyi”. Dibantu diksi-diksi macam itulah ASA menuliskan kesaksiannya atas suatu kesakitan. Juga sekaligus melemparkan spirit pada kita untuk selalu tangguh dalam kepungan luka yang menyakitkan. Demikian, ASA me-lalui buku puisi ini saya anggap telah berbagi semesta puitikanya dengan cara berdiri tegak di hadapan realitas sosialnya. Lalu saya pun mendengar ia bicara lantang begini.
Aku melihat dan sekaligus merasakan sakit. Sakit yang tersebab oleh perceraian ke-percayaan di antara kita sebagai manusia. Aku memang melihat sakit itu pada luka-luka yang ada di atas tanah kita, di kulit pohon hutan kita, di arus sungai-sungai kita. Pun luka yang menghujam di perut bumi kita, luka yang berserakan di atas hamparan pasir pantai kita. Ya, itulah luka kita yang harus segera kita apakan. Sudah aku katakan, dengan tulisan-ku yang tebing menjulang. Bahwa aku akan tatap bersaksi, berkata-kata, menulis puisi.
Banjarmasin, 12 Agustus 2015.
Buku Setengah Tiang dan Penyair Setengah Sinting
Buku Setengah Tiang dan Penyair Setengah Sinting
Ketika disodori kumpulan puisi Buku Setengah Tiang, bukannya tertarik dengan puisinya, saya malah tertarik dengan penulisnya. Saya mau buat pengakuan, bahwa sebenarnya saya tak tahu apa-apa tentang puisi. Saya suka pusing membaca teori tentang puisi. Saya malah memikirkan hal lain, misalnya, kenapa lagi-lagi orang ini yang menerbitkan buku puisi? Kenapa yang lain tidak? Apakah tidak ada yang memberi tahu bahwa buku puisi itu tidak laku di pasaran. Penerbit mayor pada malas menerbitkan buku begituan. Kalau pun ada, cuma satu atau dua buku dalam setahun dan itu pun bagian dari proyek sosial. Lagi pula, orang mau beli buku puisi bukan karena puisinya, tapi lebih karena merasa tidak enak dengan penyairnya. Hehe. Nah, di tengah kondisi memprihatinkan itu, ternyata masih ada yang sangat produktif membiakkan puisi dan membukukannya pula. Apa itu tidak sinting? Tentu saja saya kepingin mencari penjelasan atas perilaku orang ini, dan salah satu pendekatan yang bisa gunakan adalah pendekatan dari Fritz Heider (1958) di lapangan psikologi sosial. Pendekatan ini dinamakan psikologi naif, semacam teori umum mengenai perilaku manusia yang dianut oleh setiap orang awam. Dan jika tidak keberatan, saya juga akan memberikan beberapa tes kepribadian populer kepada penyairnya. Dan tentu mempublikasikannya juga. Ini semacam upaya membuktikan hipotesis naif yang ada di kepala saya. Bahwa orang yang sangat produktif menghasilkan karya kreatif ternyata begini begini orangnya. Begitu.
Pendekatan psikologi naif diawali dengan adanya motif kuat dalam diri semua manusia, yaitu kebutuhan untuk membentuk pengertian yang padu tentang jagat raya dan kebutuhan untuk mengendalikan lingkungan. Dan salah satu pokok untuk memenuhi kedua motif tersebut adalah kemampuan untuk meramalkan bagaimana manusia akan berperilaku. Seandainya kita tidak mampu meramalkan orang lain akan berperilaku, maka kita akan memandang dunia secara acak, memberi kejutan dan tidak padu. Bagi Heider, setiap orang, tidak hanya psikolog, berusaha mencari penjelasan atas perilaku orang lain. Inilah yang kemudian disebutnya sebagai teori psikologi naif. Ini semacam bagaimana cara orang menggambarkan dalam angan-angannya apa yang mengakibatkan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari.
Kembali ke puisi. Saya beranggapan bahwa penulis dan puisi adalah satu hal yang padu. Saya tak terbiasa membaca puisi yang tidak “ditemani” oleh nama penulisnya. Kesatuan antara puisi dan penulis telah membentuk sebuah dunia yang penuh vitalitas. Cobalah untuk sekali-kali membaca puisi anonim. Pasti terasa hambarnya. Pun ketika menghadapi sebuah buku puisi, terasa ada yang kurang ketika tidak ditemukan biodata penyair di dalamnya. Saya suka mencermati biodata penyair di tiap buku puisi yang saya temukan. Bagian ini, secara bercanda, sering saya sebut sebagai selfie-nya penyair. Selfie dengan kata-kata. Penyair flamboyan sering menghabiskan waktu untuk memperhatikan hal ini. Inilah bagian, yang menurut saya, paling menarik. Penyair yang paling gaya, akan menghabiskan beberapa halaman untuk menggarap bagian ini.
Ketertarikan saya terhadap penulis tinimbang puisi, sebenarnya sesuatu yang sangat “Indonesia”. Kita, atau saya, sebenarnya cenderung untuk tidak memperhatikan “apa yang dikatakannya”, tapi “siapa yang mengatakannya?”. Atau dengan kata lain, sebenarnya kita tak terlalu peduli dengan “puisi”, tapi “siapa yang telah menuliskannya?” Jadi urutannya, “siapa”, baru kemudian “apa”. Bagi saya, mungkin inilah yang dimaksud dengan motif untuk membentuk pengertian yang padu tentang jagat raya. Kita sebenarnya ingin membentuk sebuah kepaduan antara siapa dan apa. Kita mungkin akan memandang berharga sebuah puisi berciri sufistik jika itu ditulis oleh mereka yang dikenal sebagai sufi, semisal Rumi, Hafiz, Attar, atau KHA. Mustofa Bisri untuk di Indonesia. Namun kepaduan itu akan tercerai-berai ketika sebuah puisi sufistik ditulis oleh seseorang yang “berantakan” gaya hidupnya. Jadi inilah pendapat saya: vitalitas sebuah puisi, dihidupkan oleh “siapa” yang menuliskannya!
Ya, “siapa”. Misal, kita akan terhanyut dengan kesan tertentu ketika berjumpa dengan sebuah puisi kritik sosial seandainya ditulis oleh Wiji Thukul atau Rendra. Protes-protesnya kelihatan bertenaga. Puisi memiliki ruh karena manunggal dengan kisah dramatis penulisnya. Pun seandainya puisi itu “terlihat” biasa-biasa saja. Dan ketika kita berjumpa dengan puisi yang kosong dari penulis atau katakanlah ditulis oleh penulis pemula, pasti akan terasa biasa saja dan mungkin akan terlewat. Ini dikecualikan untuk para guru, yang karena panggilan tugas, menyeleksi puisi para siswanya. Namun tetap saja, seorang pembaca puisi, kadang memiliki harapan-harapan tertentu dalam setiap pembacaannya. Saya hanya ingin menyebutnya sebagai keinginan untuk terkejut. Menemukan ide baru, inspirasi baru atau kesan baru, yang akan memandunya menemukan “aha” dalam kehidupan.
Kembali ke tindakan menulis puisi. Langkah pertama bagi seorang psikolog naif adalah menentukan apakah tindakan tersebut menurut anda disebabkan oleh keadaan intern atau kekuatan ekstern. Ini dinamakan dimensi kausalitas atau sebab akibat. Seseorang yang menulis puisi, apakah itu disebabkan adanya atribusi intern seperti keadaan hati (mood), ciri kepribadian, kesehatan, preferensi. Atau karena ada penyebab ekstern seperti tekanan orang lain, uang, situasi sosial dan seterusnya. Kemudian apa yang menjadi penyebab seseorang terus bertahan dalam menulis puisi. Maka dimensi kedua muncul, yaitu dimensi stabilitas-instabilitas. Artinya, bertahan tidaknya seseorang dalam menulis puisi tergantung dari stabilitas faktor-faktor intern atau ekstern tersebut.
Mari kita lihat. Kenapa ASA terus-menerus melahirkan karya? Apakah karena faktor intern atau ekstern atau kombinasi keduanya. Kita bisa mengabaikan adanya hadiah dan penghargaan sastra untuk kasus ini, tapi tentu tidak bisa mengabaikan profesinya sebagai seorang guru, wabil khusus, guru bahasa Indonesia. Kita akan menyangsikan atribusi ekstern jika ASA seorang guru matematika atau guru olahraga atau malah profesi bukan guru. Kekhususan profesi ini (guru bahasa Indonesia) akan membentuk publik sastra yang lebih nyata. Kestabilan membentuk publik sastra sebagai komunitas yang dibayangkan ini, sedikit banyak menopang ketahanan berkarya ketimbang hanya mengandalkan relasi pertemanan di media sosial. Keaktifan menjalin relasi di antara penyair juga mendapat porsi tersendiri. Ikut berdenyut dalam hiruk pikuk di Minggu Raya dan Balai Bahasa Kalimantan Selatan pastilah akan berpengaruh juga. Ini belum termasuk korespondensi dengan penyair-penyair di luar provinsi.
Untuk atribusi intern, saya tidak dapat tidak, harus mengarahkan pandangan kepada ciri kepribadian seseorang. Masalah kesehatan, mood, preferensi, adalah sesuatu yang tidak stabil, dan riskan untuk dinisbatkan. Kita tahu, ada penyair yang tetap aktif menulis walaupun sakit. Juga ada penyair, yang mood atau tidak mood, tetap memaksa diri untuk menulis. Saya anggap, ciri kepribadian itu sesuatu yang cenderung stabil untuk “memaksa” seseorang tetap menulis puisi.
Saya merencanakan menggunakan beberapa tes kepribadian. Di antaranya tes MBTI (Myers Briggs Type Indicator), disandingkan dengan Tes Enneagram yang dikembangkan oleh Oscar Ichazo (Psikolog kelahiran Bolivia) dan Claudio Naranjo (Psikiater kelahiran Chili), tes predominasi otak kiri-kanan yang saya ambil dari buku Ippho Santosa, kemudian ada tes gaya belajar untuk mengetahui gaya belajar mana yang lebih dominan: visual, auditorik, dan atau kinestetik.
Tes kepribadian berbeda dengan tes kesehatan jiwa. Tes kesehatan jiwa, tentu saja untuk mendeteksi ada tidaknya gangguan jiwa pada seseorang. Sedangkan tes kepribadian, lebih kepada upaya memetakan pola perilaku. Biasanya tes kepribadian dipakai di dunia kerja untuk penempatan, sehingga bisa ketahuan di profesi mana saja yang sesuai atau cocok dengan kepribadiannya.
Tes MBTI dikembangkan oleh Katharine Cook Briggs dan putrinya yang bernama Isabel Briggs Myers berdasarkan teori kepribadian dari Carl Gustav Jung. Tes ini memotret perbedaan pola perilaku seseorang saat melakukan pendekatan dalam bertindak. Dimulai dengan bagaimana ia memperoleh energi (introversion atau ekstroversion), bagaimana ia mengumpulkan informasi (sensing atau intuition), bagaimana ia mengolah informasi dan mengambil keputusan (thingking atau feeling) dan bagaimana ia mengatur hidup (judging atau perseption). Kombinasi dari empat hal tersebut menghasilkan 16 tipologi kepribadian,yaitu (1) The Teacher / The Giver; (2) The Champion / The Inspirer; (3) The Commander / The Executive; (4) The Visionary / The Innovator; (5) The Protector / The Nurturer; (6) The Composer / The Artist; (7) The Inspector / The Duty Fulfiller; (8) The Craftsman / The Mechanic; (9) The Provider / The Caregiver; (10) The Performer / The Entertainer; (11) The Supervisor / The Overseer; (12) The Dynamo / The Doer; (13) The Councelor / The Protector; (14) The Healer / The Idealist; (15) The Mastermind / The Scientist; (16) The Architect / The Thinker.
Hipotesis awal kita, penyair tentu akan masuk ke golongan The Composer/The Artist (seniman). Tipologi ini memang mencirikan seseorang yang memiliki apresiasi yang baik terhadap keindahan dan estetika, tidak suka dibatasi oleh aturan, individualistik, setia dan loyal kepada orang atau ide yang penting bagi mereka, tidak menyukai perselisihan dan konflik. Di tipe ini, seseorang menonjol di introversion-sensing-feeling-perseption atau ISFP. Introversion: ia mengeluarkan energi dalam situasi sosial dan memperoleh energi saat menyendiri. Sensing: cenderung konkrit daripada abstrak, perhatian terhadap detil daripada gambaran besar, realitas langsung daripada kemungkinan masa depan. Feeling: cenderung subjektif, mengutamakan perasaan, menghargai hubungan antar manusia, menghargai proses. Perseption: spontan, mengalir, menikmati hidup. Lalu bagaimana jika hasil tes berkata lain? Bagaimana menjelaskan jika penyair ini ternyata berada di kotak lain? Ya, memang tetap terbuka kemungkinan seorang penyair hidup di kotak lain, seperti di kotak (1) The Giver atau di kotak (2) The Inspirer atau di kotak (4) The Visionary atau di kotak (14) The idealist, dan beberapa yang lain. Saya pikir ini hanya masalah stereotif. Pandangan umum tentang kehidupan seniman. Tentang totalitas hidup dan originalitas.
Tes Enneagram dihadirkan sebagai pembanding. Jika MBTI menghasilkan 16 tipologi kepribadian, Enneagram hanya 9 (sembilan), dan di antaranya juga ada seniman/artist. Dalam enneagram, ini dicirikan sebagai orang yang memiliki perasaan yang peka, termotivasi untuk memahami perasaan diri sendiri serta dipahami orang lain, menemukan makna hidup, dan menghindari citra diri yang biasa-biasa saja.
Langsung melangkah ke tes predominasi otak kiri dan otak kanan. Sebagaimana yang diketahui bersama, pandangan umum seorang seniman, termasuk penyair, adalah orang yang lebih berorientasi ke otak kanan. Orang yang dominan otak kanan sering dikaitkan dengan sisi kreatif, afektif, intuitif, imajinatif, artistik, holistik, implisit, difus, impulsif, spontan, pemberontak, oposisi, acak, tak suka dibatasi waktu, konsentrasi rendah pada hal yang tidak disukai, cenderung sensitif dan emosional, gembira dan tanpa takut seperti anak-anak. Sedang orang yang cenderung kuat otak kirinya dikaitkan dengan kognitif, logis, analitik, realistik, eksplisit, fokus, segmental, runtut, sistematis, terorganisir, berpikir dewasa, membimbing dan mengarahkan, cenderung pendendam. Dalam hal ini, ada kemungkinan penyair lebih dominan otak kanan, namun tidak tertutup kemungkinan, seimbang antara otak kanan dan otak kiri. Dalam kenyataannya, memang otak kanan dan otak kiri tidak bekerja sendiri-sendiri. Mereka bekerja sama.
“Sesuatu tercipta dua kali,” kata orang. Pertama, dalam imajinasi, dan kedua, dalam kenyataan. Mencipta puisi, ketika ia berkelana sebagai rembesan imajinasi yang impulsif dan acak, barangkali itu kerjaan otak kanan. Namun saat menuliskannya, kita membutuhkan huruf, kata, bahasa, kelogisan, sistematika, maka otak kiri pun bermain. Menerbitkan buku puisi, butuh perencanaan, analisa, itu kerjaan otak kiri. Tapi bisa menjadi kanan, ketika tak ada hitung-hitungan dan dikerjakan penuh cinta. Persis perkataan Thomas Friedman, peraih penghargaan Pulitzer, bahwa untuk mengasah kemahiran khas otak kanan, cukup dengan mencintai apapun yang dilakukan.
Tes selanjutnya untuk mengetahui gaya belajar. Ini untuk memotret gaya seseorang dalam menyerap informasi. Ada orang yang bertipe visual, auditorik, atau kinestetik. Kadang ada satu bagian yang sangat menonjol, atau bisa terjadi ada 2 atau malah 3 bagian yang seimbang.
Tipe visual memiliki ciri antara lain: mengandalkan penglihatan dalam memahami materi, saat memahami informasi cenderung memvisualisasikan gambar atau imaje dalam pikirannya, mudah mengingat wajah. Kata yang kerap digunakan antara lain: lihat, bayangkan, gambar, perhatikan, jelaskan, kabur, tampaknya, fokuskan, pandangan, menyolok , selayang pandang, sekejap, dll.
Tipe auditorik antara lain memiliki ciri: seorang pendengar ulung, mudah menyerap informasi yang disampaikan secara lisan, senang berbicara, berdiskusi dan berkomunikasi dengan orang lain, cenderung perhatian terhadap pola dan irama, bisa masuk ke gelombang alpha dan theta dengan mendengarkan musik. Kata yang sering digunakan terkait dengan indera pendengaran, seperti: dengar, katakan, bicarakan, berbicara, bertanya, sayup-sayup, gemuruh, cerewet, dst.
Tipe kinestetik, antara lain memiliki ciri: kerjasama antara mata dan tangan sangat bagus, menyukai aktifitas fisik dan praktik langsung, bisa masuk ke gelombang alpha dengan aromatherapi, message, yoga. Kata yang sering digunakan kerap mengakses indera perasa, seperti: merasa, aman, damai, licin, keras, kasar, halus, erat, mempengaruhi, menangkap, bergerak, dst.
Dan entah kenapa, saya kemudian tergerak untuk menggolongkan karya-karya puisi berdasarkan modalitas penyairnya dalam menyerap informasi. Tipe visual, saya pikir, hadir dalam puisi-puisi penyair yang banyak menyerap teks dan literatur. Mereka-mereka yang kerap suntuk dengan banyak bacaan. Dalam kasus ini, muncul puisi Goenawan Mohamad, Subagio Sastrawardoyo, Sapardi Djoko Damono. Tipe auditorik, banyak muncul pada puisi-puisi yang ditulis oleh penyair yang suka kumpul-kumpul sesama penyair, demen dengan panggung baca puisi dan biasanya ia akan tampil secara ekspresif. Saya pikir, ASA termasuk ke dalam tipe ini. Tipe kinestetik, saya pikir muncul pada puisi penyair yang juga perhatian dengan olah tubuh dan terlibat dalam kehidupan praktis. Mereka yang intens dengan teater atau seorang aktivis di bidangnya masing-masing atau terlibat politik praktis, bisa digolongkan ke tipe ini. Rendra, Wiji Thukul, KHA Mustofa Bisri, saya pikir cenderung kinestetik.
Jika mengambil contoh satu puisi dalam Buku Setengah Tiang, misalkan “Sebelum Sungai Meradang” (h. 60). Maka yang visual hadir dalam kata: simak, baca. Yang auditorik muncul dalam kata: bicara, gemuruh, gelegar, ucap. Sedang yang kinestetik muncul dalam kata: meradang, lepaskan.
Namun sebenarnya, intensitas munculnya kata bernuansa visual, auditorik atau kinestetik tidak bisa dijadikan patokan. Saya merasa puisi-puisi yang ada di Buku Setengah Tiang, banyak mengeksploitasi irama kata. Dan sepertinya memang sengaja diciptakan dalam imajinasi pembacaan puisi. Dalam artinya, ia hadir untuk dilisankan di panggung baca puisi. Alias dapat dikategorikan ke dalam puisi panggung. Ia ditulis untuk diperdengarkan. Ia akan mudah diserap ketika diperdengarkan, bukan untuk tergeletak di dalam buku saja dan dibaca di kamar.
............................
Saat pun melangkah, tes urung dilaksanakan, dan hipotesis-hipotesis itu tetap menggantung di kepala saya. Selesai.
Gambut, 11/9/2015
Ketika disodori kumpulan puisi Buku Setengah Tiang, bukannya tertarik dengan puisinya, saya malah tertarik dengan penulisnya. Saya mau buat pengakuan, bahwa sebenarnya saya tak tahu apa-apa tentang puisi. Saya suka pusing membaca teori tentang puisi. Saya malah memikirkan hal lain, misalnya, kenapa lagi-lagi orang ini yang menerbitkan buku puisi? Kenapa yang lain tidak? Apakah tidak ada yang memberi tahu bahwa buku puisi itu tidak laku di pasaran. Penerbit mayor pada malas menerbitkan buku begituan. Kalau pun ada, cuma satu atau dua buku dalam setahun dan itu pun bagian dari proyek sosial. Lagi pula, orang mau beli buku puisi bukan karena puisinya, tapi lebih karena merasa tidak enak dengan penyairnya. Hehe. Nah, di tengah kondisi memprihatinkan itu, ternyata masih ada yang sangat produktif membiakkan puisi dan membukukannya pula. Apa itu tidak sinting? Tentu saja saya kepingin mencari penjelasan atas perilaku orang ini, dan salah satu pendekatan yang bisa gunakan adalah pendekatan dari Fritz Heider (1958) di lapangan psikologi sosial. Pendekatan ini dinamakan psikologi naif, semacam teori umum mengenai perilaku manusia yang dianut oleh setiap orang awam. Dan jika tidak keberatan, saya juga akan memberikan beberapa tes kepribadian populer kepada penyairnya. Dan tentu mempublikasikannya juga. Ini semacam upaya membuktikan hipotesis naif yang ada di kepala saya. Bahwa orang yang sangat produktif menghasilkan karya kreatif ternyata begini begini orangnya. Begitu.
Pendekatan psikologi naif diawali dengan adanya motif kuat dalam diri semua manusia, yaitu kebutuhan untuk membentuk pengertian yang padu tentang jagat raya dan kebutuhan untuk mengendalikan lingkungan. Dan salah satu pokok untuk memenuhi kedua motif tersebut adalah kemampuan untuk meramalkan bagaimana manusia akan berperilaku. Seandainya kita tidak mampu meramalkan orang lain akan berperilaku, maka kita akan memandang dunia secara acak, memberi kejutan dan tidak padu. Bagi Heider, setiap orang, tidak hanya psikolog, berusaha mencari penjelasan atas perilaku orang lain. Inilah yang kemudian disebutnya sebagai teori psikologi naif. Ini semacam bagaimana cara orang menggambarkan dalam angan-angannya apa yang mengakibatkan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari.
Kembali ke puisi. Saya beranggapan bahwa penulis dan puisi adalah satu hal yang padu. Saya tak terbiasa membaca puisi yang tidak “ditemani” oleh nama penulisnya. Kesatuan antara puisi dan penulis telah membentuk sebuah dunia yang penuh vitalitas. Cobalah untuk sekali-kali membaca puisi anonim. Pasti terasa hambarnya. Pun ketika menghadapi sebuah buku puisi, terasa ada yang kurang ketika tidak ditemukan biodata penyair di dalamnya. Saya suka mencermati biodata penyair di tiap buku puisi yang saya temukan. Bagian ini, secara bercanda, sering saya sebut sebagai selfie-nya penyair. Selfie dengan kata-kata. Penyair flamboyan sering menghabiskan waktu untuk memperhatikan hal ini. Inilah bagian, yang menurut saya, paling menarik. Penyair yang paling gaya, akan menghabiskan beberapa halaman untuk menggarap bagian ini.
Ketertarikan saya terhadap penulis tinimbang puisi, sebenarnya sesuatu yang sangat “Indonesia”. Kita, atau saya, sebenarnya cenderung untuk tidak memperhatikan “apa yang dikatakannya”, tapi “siapa yang mengatakannya?”. Atau dengan kata lain, sebenarnya kita tak terlalu peduli dengan “puisi”, tapi “siapa yang telah menuliskannya?” Jadi urutannya, “siapa”, baru kemudian “apa”. Bagi saya, mungkin inilah yang dimaksud dengan motif untuk membentuk pengertian yang padu tentang jagat raya. Kita sebenarnya ingin membentuk sebuah kepaduan antara siapa dan apa. Kita mungkin akan memandang berharga sebuah puisi berciri sufistik jika itu ditulis oleh mereka yang dikenal sebagai sufi, semisal Rumi, Hafiz, Attar, atau KHA. Mustofa Bisri untuk di Indonesia. Namun kepaduan itu akan tercerai-berai ketika sebuah puisi sufistik ditulis oleh seseorang yang “berantakan” gaya hidupnya. Jadi inilah pendapat saya: vitalitas sebuah puisi, dihidupkan oleh “siapa” yang menuliskannya!
Ya, “siapa”. Misal, kita akan terhanyut dengan kesan tertentu ketika berjumpa dengan sebuah puisi kritik sosial seandainya ditulis oleh Wiji Thukul atau Rendra. Protes-protesnya kelihatan bertenaga. Puisi memiliki ruh karena manunggal dengan kisah dramatis penulisnya. Pun seandainya puisi itu “terlihat” biasa-biasa saja. Dan ketika kita berjumpa dengan puisi yang kosong dari penulis atau katakanlah ditulis oleh penulis pemula, pasti akan terasa biasa saja dan mungkin akan terlewat. Ini dikecualikan untuk para guru, yang karena panggilan tugas, menyeleksi puisi para siswanya. Namun tetap saja, seorang pembaca puisi, kadang memiliki harapan-harapan tertentu dalam setiap pembacaannya. Saya hanya ingin menyebutnya sebagai keinginan untuk terkejut. Menemukan ide baru, inspirasi baru atau kesan baru, yang akan memandunya menemukan “aha” dalam kehidupan.
Kembali ke tindakan menulis puisi. Langkah pertama bagi seorang psikolog naif adalah menentukan apakah tindakan tersebut menurut anda disebabkan oleh keadaan intern atau kekuatan ekstern. Ini dinamakan dimensi kausalitas atau sebab akibat. Seseorang yang menulis puisi, apakah itu disebabkan adanya atribusi intern seperti keadaan hati (mood), ciri kepribadian, kesehatan, preferensi. Atau karena ada penyebab ekstern seperti tekanan orang lain, uang, situasi sosial dan seterusnya. Kemudian apa yang menjadi penyebab seseorang terus bertahan dalam menulis puisi. Maka dimensi kedua muncul, yaitu dimensi stabilitas-instabilitas. Artinya, bertahan tidaknya seseorang dalam menulis puisi tergantung dari stabilitas faktor-faktor intern atau ekstern tersebut.
Mari kita lihat. Kenapa ASA terus-menerus melahirkan karya? Apakah karena faktor intern atau ekstern atau kombinasi keduanya. Kita bisa mengabaikan adanya hadiah dan penghargaan sastra untuk kasus ini, tapi tentu tidak bisa mengabaikan profesinya sebagai seorang guru, wabil khusus, guru bahasa Indonesia. Kita akan menyangsikan atribusi ekstern jika ASA seorang guru matematika atau guru olahraga atau malah profesi bukan guru. Kekhususan profesi ini (guru bahasa Indonesia) akan membentuk publik sastra yang lebih nyata. Kestabilan membentuk publik sastra sebagai komunitas yang dibayangkan ini, sedikit banyak menopang ketahanan berkarya ketimbang hanya mengandalkan relasi pertemanan di media sosial. Keaktifan menjalin relasi di antara penyair juga mendapat porsi tersendiri. Ikut berdenyut dalam hiruk pikuk di Minggu Raya dan Balai Bahasa Kalimantan Selatan pastilah akan berpengaruh juga. Ini belum termasuk korespondensi dengan penyair-penyair di luar provinsi.
Untuk atribusi intern, saya tidak dapat tidak, harus mengarahkan pandangan kepada ciri kepribadian seseorang. Masalah kesehatan, mood, preferensi, adalah sesuatu yang tidak stabil, dan riskan untuk dinisbatkan. Kita tahu, ada penyair yang tetap aktif menulis walaupun sakit. Juga ada penyair, yang mood atau tidak mood, tetap memaksa diri untuk menulis. Saya anggap, ciri kepribadian itu sesuatu yang cenderung stabil untuk “memaksa” seseorang tetap menulis puisi.
Saya merencanakan menggunakan beberapa tes kepribadian. Di antaranya tes MBTI (Myers Briggs Type Indicator), disandingkan dengan Tes Enneagram yang dikembangkan oleh Oscar Ichazo (Psikolog kelahiran Bolivia) dan Claudio Naranjo (Psikiater kelahiran Chili), tes predominasi otak kiri-kanan yang saya ambil dari buku Ippho Santosa, kemudian ada tes gaya belajar untuk mengetahui gaya belajar mana yang lebih dominan: visual, auditorik, dan atau kinestetik.
Tes kepribadian berbeda dengan tes kesehatan jiwa. Tes kesehatan jiwa, tentu saja untuk mendeteksi ada tidaknya gangguan jiwa pada seseorang. Sedangkan tes kepribadian, lebih kepada upaya memetakan pola perilaku. Biasanya tes kepribadian dipakai di dunia kerja untuk penempatan, sehingga bisa ketahuan di profesi mana saja yang sesuai atau cocok dengan kepribadiannya.
Tes MBTI dikembangkan oleh Katharine Cook Briggs dan putrinya yang bernama Isabel Briggs Myers berdasarkan teori kepribadian dari Carl Gustav Jung. Tes ini memotret perbedaan pola perilaku seseorang saat melakukan pendekatan dalam bertindak. Dimulai dengan bagaimana ia memperoleh energi (introversion atau ekstroversion), bagaimana ia mengumpulkan informasi (sensing atau intuition), bagaimana ia mengolah informasi dan mengambil keputusan (thingking atau feeling) dan bagaimana ia mengatur hidup (judging atau perseption). Kombinasi dari empat hal tersebut menghasilkan 16 tipologi kepribadian,yaitu (1) The Teacher / The Giver; (2) The Champion / The Inspirer; (3) The Commander / The Executive; (4) The Visionary / The Innovator; (5) The Protector / The Nurturer; (6) The Composer / The Artist; (7) The Inspector / The Duty Fulfiller; (8) The Craftsman / The Mechanic; (9) The Provider / The Caregiver; (10) The Performer / The Entertainer; (11) The Supervisor / The Overseer; (12) The Dynamo / The Doer; (13) The Councelor / The Protector; (14) The Healer / The Idealist; (15) The Mastermind / The Scientist; (16) The Architect / The Thinker.
Hipotesis awal kita, penyair tentu akan masuk ke golongan The Composer/The Artist (seniman). Tipologi ini memang mencirikan seseorang yang memiliki apresiasi yang baik terhadap keindahan dan estetika, tidak suka dibatasi oleh aturan, individualistik, setia dan loyal kepada orang atau ide yang penting bagi mereka, tidak menyukai perselisihan dan konflik. Di tipe ini, seseorang menonjol di introversion-sensing-feeling-perseption atau ISFP. Introversion: ia mengeluarkan energi dalam situasi sosial dan memperoleh energi saat menyendiri. Sensing: cenderung konkrit daripada abstrak, perhatian terhadap detil daripada gambaran besar, realitas langsung daripada kemungkinan masa depan. Feeling: cenderung subjektif, mengutamakan perasaan, menghargai hubungan antar manusia, menghargai proses. Perseption: spontan, mengalir, menikmati hidup. Lalu bagaimana jika hasil tes berkata lain? Bagaimana menjelaskan jika penyair ini ternyata berada di kotak lain? Ya, memang tetap terbuka kemungkinan seorang penyair hidup di kotak lain, seperti di kotak (1) The Giver atau di kotak (2) The Inspirer atau di kotak (4) The Visionary atau di kotak (14) The idealist, dan beberapa yang lain. Saya pikir ini hanya masalah stereotif. Pandangan umum tentang kehidupan seniman. Tentang totalitas hidup dan originalitas.
Tes Enneagram dihadirkan sebagai pembanding. Jika MBTI menghasilkan 16 tipologi kepribadian, Enneagram hanya 9 (sembilan), dan di antaranya juga ada seniman/artist. Dalam enneagram, ini dicirikan sebagai orang yang memiliki perasaan yang peka, termotivasi untuk memahami perasaan diri sendiri serta dipahami orang lain, menemukan makna hidup, dan menghindari citra diri yang biasa-biasa saja.
Langsung melangkah ke tes predominasi otak kiri dan otak kanan. Sebagaimana yang diketahui bersama, pandangan umum seorang seniman, termasuk penyair, adalah orang yang lebih berorientasi ke otak kanan. Orang yang dominan otak kanan sering dikaitkan dengan sisi kreatif, afektif, intuitif, imajinatif, artistik, holistik, implisit, difus, impulsif, spontan, pemberontak, oposisi, acak, tak suka dibatasi waktu, konsentrasi rendah pada hal yang tidak disukai, cenderung sensitif dan emosional, gembira dan tanpa takut seperti anak-anak. Sedang orang yang cenderung kuat otak kirinya dikaitkan dengan kognitif, logis, analitik, realistik, eksplisit, fokus, segmental, runtut, sistematis, terorganisir, berpikir dewasa, membimbing dan mengarahkan, cenderung pendendam. Dalam hal ini, ada kemungkinan penyair lebih dominan otak kanan, namun tidak tertutup kemungkinan, seimbang antara otak kanan dan otak kiri. Dalam kenyataannya, memang otak kanan dan otak kiri tidak bekerja sendiri-sendiri. Mereka bekerja sama.
“Sesuatu tercipta dua kali,” kata orang. Pertama, dalam imajinasi, dan kedua, dalam kenyataan. Mencipta puisi, ketika ia berkelana sebagai rembesan imajinasi yang impulsif dan acak, barangkali itu kerjaan otak kanan. Namun saat menuliskannya, kita membutuhkan huruf, kata, bahasa, kelogisan, sistematika, maka otak kiri pun bermain. Menerbitkan buku puisi, butuh perencanaan, analisa, itu kerjaan otak kiri. Tapi bisa menjadi kanan, ketika tak ada hitung-hitungan dan dikerjakan penuh cinta. Persis perkataan Thomas Friedman, peraih penghargaan Pulitzer, bahwa untuk mengasah kemahiran khas otak kanan, cukup dengan mencintai apapun yang dilakukan.
Tes selanjutnya untuk mengetahui gaya belajar. Ini untuk memotret gaya seseorang dalam menyerap informasi. Ada orang yang bertipe visual, auditorik, atau kinestetik. Kadang ada satu bagian yang sangat menonjol, atau bisa terjadi ada 2 atau malah 3 bagian yang seimbang.
Tipe visual memiliki ciri antara lain: mengandalkan penglihatan dalam memahami materi, saat memahami informasi cenderung memvisualisasikan gambar atau imaje dalam pikirannya, mudah mengingat wajah. Kata yang kerap digunakan antara lain: lihat, bayangkan, gambar, perhatikan, jelaskan, kabur, tampaknya, fokuskan, pandangan, menyolok , selayang pandang, sekejap, dll.
Tipe auditorik antara lain memiliki ciri: seorang pendengar ulung, mudah menyerap informasi yang disampaikan secara lisan, senang berbicara, berdiskusi dan berkomunikasi dengan orang lain, cenderung perhatian terhadap pola dan irama, bisa masuk ke gelombang alpha dan theta dengan mendengarkan musik. Kata yang sering digunakan terkait dengan indera pendengaran, seperti: dengar, katakan, bicarakan, berbicara, bertanya, sayup-sayup, gemuruh, cerewet, dst.
Tipe kinestetik, antara lain memiliki ciri: kerjasama antara mata dan tangan sangat bagus, menyukai aktifitas fisik dan praktik langsung, bisa masuk ke gelombang alpha dengan aromatherapi, message, yoga. Kata yang sering digunakan kerap mengakses indera perasa, seperti: merasa, aman, damai, licin, keras, kasar, halus, erat, mempengaruhi, menangkap, bergerak, dst.
Dan entah kenapa, saya kemudian tergerak untuk menggolongkan karya-karya puisi berdasarkan modalitas penyairnya dalam menyerap informasi. Tipe visual, saya pikir, hadir dalam puisi-puisi penyair yang banyak menyerap teks dan literatur. Mereka-mereka yang kerap suntuk dengan banyak bacaan. Dalam kasus ini, muncul puisi Goenawan Mohamad, Subagio Sastrawardoyo, Sapardi Djoko Damono. Tipe auditorik, banyak muncul pada puisi-puisi yang ditulis oleh penyair yang suka kumpul-kumpul sesama penyair, demen dengan panggung baca puisi dan biasanya ia akan tampil secara ekspresif. Saya pikir, ASA termasuk ke dalam tipe ini. Tipe kinestetik, saya pikir muncul pada puisi penyair yang juga perhatian dengan olah tubuh dan terlibat dalam kehidupan praktis. Mereka yang intens dengan teater atau seorang aktivis di bidangnya masing-masing atau terlibat politik praktis, bisa digolongkan ke tipe ini. Rendra, Wiji Thukul, KHA Mustofa Bisri, saya pikir cenderung kinestetik.
Jika mengambil contoh satu puisi dalam Buku Setengah Tiang, misalkan “Sebelum Sungai Meradang” (h. 60). Maka yang visual hadir dalam kata: simak, baca. Yang auditorik muncul dalam kata: bicara, gemuruh, gelegar, ucap. Sedang yang kinestetik muncul dalam kata: meradang, lepaskan.
Namun sebenarnya, intensitas munculnya kata bernuansa visual, auditorik atau kinestetik tidak bisa dijadikan patokan. Saya merasa puisi-puisi yang ada di Buku Setengah Tiang, banyak mengeksploitasi irama kata. Dan sepertinya memang sengaja diciptakan dalam imajinasi pembacaan puisi. Dalam artinya, ia hadir untuk dilisankan di panggung baca puisi. Alias dapat dikategorikan ke dalam puisi panggung. Ia ditulis untuk diperdengarkan. Ia akan mudah diserap ketika diperdengarkan, bukan untuk tergeletak di dalam buku saja dan dibaca di kamar.
............................
Saat pun melangkah, tes urung dilaksanakan, dan hipotesis-hipotesis itu tetap menggantung di kepala saya. Selesai.
Gambut, 11/9/2015
Sabtu, 08 Agustus 2015
Selamat atas terbitnya Surau Kampung Gelatik
Telah lahir di Sastra Indonesia sebuah antologi puisi yang ditulis oleh Rg Bagus Warsono dengan 21 penyair lain dalam mengisi ibadah saum Ramadhan 1436 H yang baru lalu. Antologi yang berjudul Surau Kampung Gelatik ini akan turut mewarnai dunia sastra Indonesia yang syarat dengan berbagai antologi dari berbagai penjuru Tanah Air. Kekhasan antologi adalah karena syairnya yang mengangkat tema puasa di berbagai tempat di Indonesia dengan sudut pandang penyair Rg Bagus warsono dan 21 penyair lainnya. Buku yang diterbitkan oleh Sibukumedia Yogyakarta ini tidak untuk dijual belikan tetapi untuk dibaca siapa saja. Beberapa penyair pendukung antologi ini adalah:
Rg Bagus Warsono, dkk
Daftar
Penyair Pendukung Antologi
1. Budhi Setyawan, Bekasi.
2. Bagus Setyoko Purwo , Jakarta
3. Dian Rusdiana, Bekasi.
4. Bambang
Widiatmoko, Jakarta.
5. Heru Mugiarso, Semarang.
6. Ayid Suyitno PS, Bekasi.
7. Aloeth Pathi, Margoyoso-Pati.
8. Osratus, Sorong
Papua.
9. Andrian Eksa,Boyolali.
10.Syarif
hidayatullah,
Banjarmasin Timur.
11.Didi Kaha (Usman Didi Khamdani) , Tangerang Selatan.
12.Mahbub Junaedi, Brebes .
13.NURAINI , Solo.
14.Ali Syamsudin Arsi,Banjarbaru.
15.Hasan Bisri BFC , Bogor.
16.Riswo Mulyadi, Banyumas Jawa Tengah.
17.Eddie MNS Soemanto, kelahiran Padang
18.Aris Rahman Yusuf Mojokerto, Jawa Timur.
19.ARIF KHILA, Pati.
20.Nani Tandjung, Jakarta.
21.Kurnia Fajar, Wonogiri.
Kitab Puisi Jalan Sunyi Jalan Sunyi Karya Isbedy Stiawan ZS ,
Paus Sastra Lampung luncurkan Antologi Kitab Puisi 6 Agustus 2015 di Lampung
Langganan:
Postingan (Atom)