TEKS SULUH


Jumat, 14 Agustus 2015

Realitas Waktu dalam Buku Setengah Tiang dan Pesan-Pesan Puitiknya Oleh Sumasno Hadi

Realitas Waktu dalam Buku Setengah Tiang
dan Pesan-Pesan Puitiknya
Oleh Sumasno Hadi

Jika tak ada yang berlalu, tak ada waktu lampau
Jika tak ada yang datang, tak ada waktu nanti
Jika tak ada yang ada, tak ada waktu kini
Dulu presiden “mamarika”  pernah bilang, jika politik bengkok maka puisi akan melu-ruskannya. Itu mendingan. Di kita, politik tak hanya bengkok tapi patah, remuk dan pecah. Bahkan tradisi politik kita telah menjadi adab menjijikkan, saling tikam dan memamah (puisi “Politik Kanibal”, hal. 77—78). Demikian politik di mata Ali Syamsudin Arsi (ASA), penyair yang “pengguman” ini. Tapi bagi saya tema politik juga lainnya di buku ini tak semenarik pada puisi kontemplatifnya. Utamanya tantang tema kesilaman. Dan tema sejarah ini pun menjadi ladang renungan filsafati yang ditawarkan buku puisi terbaru ASA ini. Mungkin be-gitu. Jadi di sini saya lebih mau melihat puisi-puisi ASA dalam Buku Setengah Tiang (Frame-publishing, 2015) yang saya anggap punya potensi tema sejarah, atau lebih tepatnya soal waktu.
Filsafat Waktu
Membicarakan waktu bisa sangat sederhana, sekaligus juga ruwet dan kompleks. Kalau disederhanakan, waktu kerap muncul di benak kita, misalnya dalam wujud konkret be-rupa jam, dengan segala satuan detik-menitnya. Pun juga penunjuk lainnya, alam, seperti siklus musim atau rentang edar matahari dan bulan. Tapi di tangan pikiran yang kompleks, pengertian waktu menjadi sulit, ruwet, berbusa-busa dirumuskan. Lalu tak berkesudahan saat diomongkan. Misalnya waktu yang difilsafatkan oleh Agustinus (354—430).  Setidaknya itu terasa pada kutipan kalimatnya di awal tulisan ini. Di tangan Agustinus, waktu adalah en-titas yang eksis, tapi sekaligus tak nyata.  Eksis karena waktu menjadi sumber penanda dari kebertubuhan materi beserta gerakan kosmos yang dapat diinderai. Dan kita pun mengerti bahwa tak akan ada konsep tentang gerakan jika tak ada waktu. Lalu eksistensi waktu itu di-perjelas Agustinus pada tiga realitasnya, ia menyebutnya “waktu yang berdimensi tiga”. Ya-itu waktu yang berdimensi lampau, kini dan nanti. Meski eksis namun waktu itu tak nyata, karena kenyataan waktu (yang bedimensi tiga) bisa (dan hanya bisa) dikonfirmasi ketika ia telah dijabat erat oleh pikiran. Artinya, waktu dalam konsep Agustinus ini adalah fenomena kesadaran subjek belaka. Lantaran kesadaran itu mengandaikan adanya kualitas yang rela-sional—kesadaran terhadap...—, maka kekinian sebagai landasan berdirinya kesadaran akan menuntut relasi kepada tiga dimensi waktu. Kalau diproposisikan, maka ketiga kesadaran akan realitas waktu itu jadi begini: (1) kekinian dari hal-hal lampau, (2) kekinian dari hal-hal kini, dan (3) kekinian dari hal-hal nanti. Dan ketiganya tak lain adalah ingatan (memory) ke-pada yang lampau, perhatian (attention) pada yang kini, dan pengharapan (expectation) ke-pada yang nanti.
Empat abad sepeninggal Agustinus, seorang pemikir muslim Arab, al-Kindi (801—873) meneruskan pembicaraan waktu yang ruwet itu dengan penegasan bahwa eksistensi waktu yang relasional dengan materi (kosmos). Katanya, waktu hanya eksis ketika ada ge-rakan, gerakan bisa eksis lantaran ada materi, dan sebaliknya. Artinya, waktu di tangan al-Kindi makin ditunjukkan nilai relatifnya. Ini kemudian dikembangkan Einstein di abad kita menjadi teori relativitas (waktu) yang makin ruwet pengertiannya. Lantas al-Kindi pun, juga Einstein, melihat antara ruang (materi) dan waktu (gerakan) itu tak hanya bernilai relatif ter-hadap satu sama lain, tapi juga terhadap subjek yang memantau, mengamati, dan menge-nyam waktu. Begitu, dan sebelum menjadi tambah ruwet, waktu yang saya jadikan teman puisi-puisi ASA ini digarisbawahi saja. Yaitu pada eksistensi tiga realitas waktu (kekinian dari hal-hal: lampau, kini, nanti) sebagai fenomena kesadaran subjek.
Puisi Ingatan, Puisi Perhatian, Puisi Pengharapan, dan Puisi Kontemplatif
Dari ketiga realitas waktu itu tadi, beberapa puisi ASA terasa mengarah pada yang pertama, yakni kekinian dari hal-hal lampau. Dalam pengertian ini, puisi-puisinya bisa dise-but puisi ingatan. Puisi yang menceburkan diri pada telaga kesilaman, mungkin malah sam-pai larut dalam romantika sejarahnya. Beberapa judul puisi yang termaksud ini tampak pada: “Pulang”, “Diskusi Para Datu”, “Kerajaan Nan Sarunai”, “Daun Jendela dari Akar Padi”. Semua puisi itu, menurut saya dijadikan wadah estetik ASA untuk menempatkan kekinian puitiknya. Namun kekinian yang menggelincirkan diri pada kenangan, pada kesilaman. Boleh kita rasakan, puisi ingatan ini ditandai oleh muatan makna diksi-diksinya yang berkonotasi kesilaman seperti diksi: “datu”, “jejak”, “kerajaan nan sarunai”, “catatan sejarah”, “nenek moyang”, “akar padi”, “kampung halaman”.
Pada puisi ingatan ini ada yang paling membekas di saya. Adalah puisi pendek ASA yang berjudul “Pulang”. Coba kita cermati isi puisi yang padat ini: bukan karena lambai itu yang membuat kita pulang satu/ demi satu (hal. 21). Fenomena “pulang” yang bisa dimak-nai secara materialistik (: ke rumah fisik), pun metafisik (: ke rumah spiritual), adalah suatu gerak kembali. Kepulangan atau kekembalian ini dihayati sang penyair ketika kekiniannya sadar akan suatu realitas yang menyusut, berkurang “satu demi satu”. Penyusutan yang di-hadapi penyair, tentu adalah produk kesadaran (: oleh karena aku sadarlah maka aku jadi tahu kalau satu demi satu berpulang. Kepulangan ini, baginya bukan tersebab oleh “lambai”. Lambai (: naik-turun, berayun-ayun yang lazim dimaknai pada gerakan tangan) adalah tanda dari kehangatan, kepercayaan, dan kerinduan. Lambaian tangan kita yang mengantar (ke-pergian) atau bertemu orang “dekat” misalnya, adalah bahasa tubuh atas kehangatan, ke-percayaan atau kerinduan itu. Jadi, kepulangan dimaknai oleh penyair bukan karena suatu ikatan atau relasi sebagaimana makna lambaian tangan. Mungkin, pulang bagi penyair ini adalah kenyataan ontologis yang niscaya.
Perihal puisi perhatian, sebagai refleksi kakinian penyair dari hal-hal kini, ini akan le-bih banyak nilai atualitasnya dan sangat terasa pada puisi-puisi sosial dalam buku ini. Maka tema-tema kritik sosial seperti pada kerusakan ekologi, kebusukan politik atau dinamika masyarakat kota menjadi bahan pokok atas puitika sang penyair. Ketika judul puisi ASA menggunakan ungkapan yang bernilai relasi antara yang kini dengan yang nanti, seperti pada diksi “belum” atau “sebelum”, ini bisa dialamatkan sebagai “puisi pengharapan” itu. Puisi yang bicara dari posisi kini, tapi melemparkan diri pada hal-hal nanti. Puisi yang me-nyatakan “kebeluman” realitas ini, menariknya, disajikan ASA dalam beberapa serial. Ada judul “Belum Hujan” dan “Belum Juga” yang dibingkai ASA dalam gaya gumamnya. Dan se-cara konseptual, makna kebeluman itu muncul lagi di 8 judul puisi lainnya, yang semuanya memakai diksi “sebelum” sebagai judul: “Sebelum Reruntuh Tebing” (hal. 53), “Sebelum Duri Menusuk Tebing” (hal. 54), Sebelum Angin Membadai” (hal. 55), Sebelum Ngarai Menuju Debu” (hal. 56), Sebelum Pupus Cerita di Lorong Goa” (hal. 57), “Sebelum Datang Berlinang” (hal. 59), Sebelum Sungai Meradang” (hal. 60), “Sebelum Debu Pelupuk Mata” (hal. 61). Puisi-puisi ini bernilai konseptual, setidaknya dari penyajian di dalam halaman buku yang tersusun berurutan. Dari hal. 53 sampai hal. 61. Nampaknya ini juga soal titi-mangsa puisi dari kedelapan puisi itu yang tertanda bulan Februari. Di situ akan terbaca juga suara-suara penyair yang bernada peringatan, sekaligus prediksi negatif (buruk). Puisi yang memeringatkan (perkiraan reflektif) bahwa realitas sosialnya mungkin mengarah pada ke-hancuran ekologis. Di situ ada peringatan akan runtuhnya gunung bertebing batu, bencana angin, sungai yang meradang, dan sakitnya mata yang berdebu.
Ada satu lagi “puisi kebeluman” yang berjudul “Sebelum dan Sesudah Kabut” (hal. 100). Ini menjadi puisi kebeluman ASA yang paling analitis. Maksudnya, sang penyair lebih detail saat memuisikan realitas “kabut” dengan menyertakan penjelas yang bernilai kausali-tas, penjelas yang juga bermakna rentangan waktu. Coba simak maksud kata “sebelum” dan “sesudah” pada puisinya (bait ketiga: sebelum kabut adalah hamparan luas tanah gambut/ setelah kabut adalah bau akar membakar asap meliuk-liuk). Apa yang dimaksud “kabut” di sini? Dan puisi ini sepertinya mengatakan, kabut adalah jeratan rasa rakus dan teknologi yang menghancurkan ekologi (bait keempat: sedang kabut itu sendiri/ tak akan lepas dari hiruk-pikuk dan saling berebut/ sangat merenggut/ ruang kata bertumpuk). Dari puisi ke-kinian ASA yang menyatakan aktualitas bencana “kabut” pada maraknya fenomena ter-bakarnya (atau dibakar?) hutan kita, ini makin memperjelas kalau puisi-puisi kekiniannya adalah puitika kritik sosial.
Meski puisi-puisi sosial sering dianggap mudah dipahami tinimbang puisi personal, namun di tangan ASA menjadi tak sesederhana itu. Gaya “gumam ASA”-nya ketika memuisi-kan tema sosial kerap menimbulkan tantangan (atau hambatan) kita untuk menerima pesan puitiknya secara mulus. Misalnya ketika saya membaca puisi gumam “Purnama Terkepung Mendung” (hal. 79) dan “Udara Laut Berkobar” (hal. 81) yang terlihat menjadi medianya dalam menyuarakan realitas-kekacauan sosialnya kepada penguasa (politik). Lantaran ben-tuk gumam yang enggan berpola, maka kita harus menemukan sendiri pola itu untuk meng-antarkan ke pesan dan makna puisi. Ini akan lain saat kita baca puisi “Politik Kanibal” (hal. 77—78) yang sudah menyediakan pola, setidaknya pada bentuknya yang berbait. Atau pada puisi “Rekening Gendut” (hal. 36) yang seluruh isi diksinya sama dengan judulnya. Ini akan langsung mudah kita tangkap maknanya, lebih-lebih kalau kita sering memantau Jakarta dan membayangkan seragam polisi. Lalu dari beberapa puisi perhatian ASA lainnya, yang cukup menarik adalah 5 serial puisi bertajuk “Dialog Budaya Kota”. Mungkin ini akan (sudah) diba-has pihak lain (Sainul Hermawan?). Demikian, secara tematik pesannya, puisi perhatian (puisi sosial) sebagai refleksi atau mungkin tepatnya kesaksian—karena sifat aktualitas dan kontekstualitas sosialnya—menjadi puisi ASA yang paling membuka diri kepada makna.
Mengenai puisi pengharapan atau puisi yang menghadirkan kekinian dari hal-hal nanti, sebenarnya ini mengandung kesatuan tiga kesadaran waktu sekaligus. Ketika kini kita sadar akan masa depan yang terasa begitu dekat, prediksi positif (baik) sebagai rasa peng-harapan kita ini mengandaikan kehadiran ingatan (lampau) serta perhatian (kini). Saya akan menyebut puisi-puisi yang punya muatan kesadaran tiga dimensi waktu ini sebagai puisi kontemplatif. Ketika memaknai “rindu” pada puisi “Setelah Engkau Rindu” (hal. 5), ini bisa menjadi contoh puisi kontemplatif ASA. Begitu karena pada puisi ini mampu mewakili ter-aduk-aduknya kesadaran akan ingatan, perhatian, dan pengharapan. Tiga kesadaran akan realitas waktu ini pun telah terpola dalam ketiga baitnya secara berurutan. Coba kita cerma-ti ketiga baitnya ini (bait pertama tentang ingatan-lampau, bait kedua tentang perhatian-kini, bait ketiga tentang pengharapan-nanti).
aku menjadi semakin suka pada wajahmu terpampang
di ruang tidur bahkan sampai ke dalam setiap mimpi
yang bercerita atas pertemuan dan sedihnya perpisahan
sedetik saja terkadang tak rela setelah engkau rindu segala
uncap rindu segala tatap rindu segala dekap rindu
jarak terbentang memang tapi rasa lekat pun masuk dala
bilik-bilik sekap terkungkung antara gapai angan dengan
nyatanya di udara lepas selepas terbang kepak burung
menepis debu, jarak bukan alasan
setelah engkau rindu aku terkulai tak mau lepas dari segala
rindu menawarkan hari-hari penuh sentuh jemari bahkan
di sini di bagian jantung berbunyi tak pernah mau berhenti
Selain itu, satu lagi puisi pendek di buku ini yang merangkum tiga kesadaran waktu, yaitu puisi “Membaca Sejarah dari Pintu Belakang”. Melalui satu diksi-ungkapnya saja, “bolong-bolong”, ternyata puisi ini bisa menawarkan medan reflektif atas tiga kesadaran waktu. Pertama, puisi ini memunculkan hal-hal lampau (romantika sejarah) yang bernilai ideal namun mungkin telah terkoyak. Kedua, puisi ini menunjukkan akan hal-hal kini (post-modern-kontemporer) yang anti-strukturalis sehingga melahirkan anomali tradisi (membaca sejarah dari belakang). Ketiga, puisi pendek ini secara imperatif mengajukan pesan sosial yang bernilai etis, yakni secara implisit menganjurkan generasi kemudian untuk melakukan tambal-sulam atau bahkan mengganti kain sejarah dari generasi pendahulunya yang koyak lagi bolong.
Menyaksikan Kesakitan, Menganjurkan Ketangguhan
Ketika menikmati buku puisi ASA yang multitematik, kemampuan pembacaan saya memang tertawan pada persoalan waktu. Pada sisi yang lain, ketika saya banyak mendapati diksi yang banyak muncul dalam puisinya, langsung tertanam benih pesan-pesan puitik dari penyairnya. Boleh kita resapi diksi yang bolak-balik hadir di puisinya itu: “luka”, “asap”, “gemuruh”, “debu”, “duri”, “tebing”, “batu”, “darah”, “sunyi”. Dibantu diksi-diksi macam itulah ASA menuliskan kesaksiannya atas suatu kesakitan. Juga sekaligus melemparkan spirit pada kita untuk selalu tangguh dalam kepungan luka yang menyakitkan. Demikian, ASA me-lalui buku puisi ini saya anggap telah berbagi semesta puitikanya dengan cara berdiri tegak di hadapan realitas sosialnya. Lalu saya pun mendengar ia bicara lantang begini.
Aku melihat dan sekaligus merasakan sakit. Sakit yang tersebab oleh perceraian ke-percayaan di antara kita sebagai manusia. Aku memang melihat sakit itu pada luka-luka yang ada di atas tanah kita, di kulit pohon hutan kita, di arus sungai-sungai kita. Pun luka yang menghujam di perut bumi kita, luka yang berserakan di atas hamparan pasir pantai kita. Ya, itulah luka kita yang harus segera kita apakan. Sudah aku katakan, dengan tulisan-ku yang tebing menjulang. Bahwa aku akan tatap bersaksi, berkata-kata, menulis puisi.
Banjarmasin, 12 Agustus 2015.