TEKS SULUH


Jumat, 14 Agustus 2015

Buku Setengah Tiang dan Penyair Setengah Sinting

Buku Setengah Tiang dan Penyair Setengah Sinting

Ketika disodori kumpulan puisi Buku Setengah Tiang, bukannya tertarik dengan puisinya, saya malah tertarik dengan penulisnya. Saya mau buat pengakuan, bahwa sebenarnya saya tak tahu apa-apa tentang puisi. Saya suka pusing membaca teori tentang puisi. Saya malah memikirkan hal lain, misalnya, kenapa lagi-lagi orang ini yang menerbitkan buku puisi? Kenapa yang lain tidak? Apakah tidak ada yang memberi tahu bahwa buku puisi itu tidak laku di pasaran. Penerbit mayor pada malas menerbitkan buku begituan. Kalau pun ada, cuma satu atau dua buku dalam setahun dan itu pun bagian dari proyek sosial. Lagi pula, orang mau beli buku puisi bukan karena puisinya, tapi lebih karena merasa tidak enak dengan penyairnya. Hehe. Nah, di tengah kondisi memprihatinkan itu, ternyata masih ada yang sangat produktif membiakkan puisi dan membukukannya pula. Apa itu tidak sinting? Tentu saja saya kepingin mencari penjelasan atas perilaku orang ini, dan salah satu pendekatan yang bisa gunakan adalah pendekatan dari Fritz Heider (1958) di lapangan psikologi sosial. Pendekatan ini dinamakan psikologi naif, semacam teori umum mengenai perilaku manusia yang dianut oleh setiap orang awam. Dan jika tidak keberatan, saya juga akan memberikan beberapa tes kepribadian populer kepada penyairnya. Dan tentu mempublikasikannya juga. Ini semacam upaya membuktikan hipotesis naif yang ada di kepala saya. Bahwa orang yang sangat produktif menghasilkan karya kreatif ternyata begini begini orangnya. Begitu.  
Pendekatan psikologi naif diawali dengan adanya motif kuat dalam diri semua manusia, yaitu kebutuhan untuk membentuk pengertian yang padu tentang jagat raya dan kebutuhan untuk mengendalikan lingkungan. Dan salah satu pokok untuk memenuhi kedua motif tersebut adalah kemampuan untuk meramalkan bagaimana manusia akan berperilaku. Seandainya kita tidak mampu meramalkan orang lain akan berperilaku, maka kita akan memandang dunia secara acak, memberi kejutan dan tidak padu. Bagi Heider, setiap orang, tidak hanya psikolog, berusaha mencari penjelasan atas perilaku orang lain. Inilah yang kemudian disebutnya sebagai teori psikologi naif. Ini semacam bagaimana cara orang menggambarkan dalam angan-angannya apa yang mengakibatkan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari.
Kembali ke puisi. Saya beranggapan bahwa penulis dan puisi adalah satu hal yang padu. Saya tak terbiasa membaca puisi yang tidak “ditemani” oleh nama penulisnya. Kesatuan antara puisi dan penulis telah membentuk sebuah dunia yang penuh vitalitas. Cobalah untuk sekali-kali membaca puisi anonim. Pasti terasa hambarnya. Pun ketika menghadapi sebuah buku puisi, terasa ada yang kurang ketika tidak ditemukan biodata penyair di dalamnya. Saya suka mencermati biodata penyair di tiap buku puisi yang saya temukan. Bagian ini, secara bercanda, sering saya sebut sebagai selfie-nya penyair. Selfie dengan kata-kata. Penyair flamboyan sering menghabiskan waktu untuk memperhatikan hal ini. Inilah bagian, yang menurut saya, paling menarik. Penyair yang paling gaya, akan menghabiskan beberapa halaman untuk menggarap bagian ini.
Ketertarikan saya terhadap penulis tinimbang puisi, sebenarnya sesuatu yang sangat “Indonesia”. Kita, atau saya, sebenarnya cenderung untuk tidak memperhatikan “apa yang dikatakannya”, tapi “siapa yang mengatakannya?”. Atau dengan kata lain, sebenarnya kita tak terlalu peduli dengan “puisi”, tapi “siapa yang telah menuliskannya?” Jadi urutannya, “siapa”, baru kemudian “apa”. Bagi saya, mungkin inilah yang dimaksud dengan motif untuk membentuk pengertian yang padu tentang jagat raya. Kita sebenarnya ingin membentuk sebuah kepaduan antara siapa dan apa. Kita mungkin akan memandang berharga sebuah puisi berciri sufistik jika itu ditulis oleh mereka yang dikenal sebagai sufi, semisal Rumi, Hafiz, Attar, atau KHA. Mustofa Bisri untuk di Indonesia. Namun kepaduan itu akan tercerai-berai ketika sebuah puisi sufistik ditulis oleh seseorang yang “berantakan” gaya hidupnya. Jadi inilah pendapat saya: vitalitas sebuah puisi, dihidupkan oleh “siapa” yang menuliskannya!
Ya, “siapa”. Misal, kita akan terhanyut dengan kesan tertentu ketika berjumpa dengan sebuah puisi kritik sosial seandainya ditulis oleh Wiji Thukul atau Rendra. Protes-protesnya kelihatan bertenaga. Puisi memiliki ruh karena manunggal dengan kisah dramatis penulisnya. Pun seandainya puisi itu “terlihat” biasa-biasa saja. Dan ketika kita berjumpa dengan puisi yang kosong dari penulis atau katakanlah ditulis oleh penulis pemula, pasti akan terasa biasa saja dan mungkin akan terlewat. Ini dikecualikan untuk para guru, yang karena panggilan tugas, menyeleksi puisi para siswanya. Namun tetap saja, seorang pembaca puisi, kadang memiliki harapan-harapan tertentu dalam setiap pembacaannya. Saya hanya ingin menyebutnya sebagai keinginan untuk terkejut. Menemukan ide baru, inspirasi baru atau kesan baru, yang akan memandunya menemukan “aha” dalam kehidupan.
Kembali ke tindakan menulis puisi. Langkah pertama bagi seorang psikolog naif adalah menentukan apakah tindakan tersebut menurut anda disebabkan oleh keadaan intern atau kekuatan ekstern. Ini dinamakan dimensi kausalitas atau sebab akibat. Seseorang yang menulis puisi, apakah itu disebabkan adanya atribusi intern seperti keadaan hati (mood), ciri kepribadian, kesehatan, preferensi. Atau karena ada penyebab ekstern seperti tekanan orang lain, uang, situasi sosial dan seterusnya. Kemudian apa yang menjadi penyebab seseorang terus bertahan dalam menulis puisi. Maka dimensi kedua muncul, yaitu dimensi stabilitas-instabilitas. Artinya, bertahan tidaknya seseorang dalam menulis puisi tergantung dari stabilitas faktor-faktor intern atau ekstern tersebut.
Mari kita lihat. Kenapa ASA terus-menerus melahirkan karya? Apakah karena faktor intern atau ekstern atau kombinasi keduanya. Kita bisa mengabaikan adanya hadiah dan penghargaan sastra untuk kasus ini, tapi tentu tidak bisa mengabaikan profesinya sebagai seorang guru, wabil khusus, guru bahasa Indonesia. Kita akan menyangsikan atribusi ekstern jika ASA seorang guru matematika atau guru olahraga atau malah profesi bukan guru. Kekhususan profesi ini (guru bahasa Indonesia) akan membentuk publik sastra yang lebih nyata. Kestabilan membentuk publik sastra sebagai komunitas yang dibayangkan ini, sedikit banyak menopang ketahanan berkarya ketimbang hanya mengandalkan relasi pertemanan di media sosial. Keaktifan menjalin relasi di antara penyair juga mendapat porsi tersendiri. Ikut berdenyut dalam hiruk pikuk di Minggu Raya dan Balai Bahasa Kalimantan Selatan pastilah akan berpengaruh juga. Ini belum termasuk korespondensi dengan penyair-penyair di luar provinsi.
Untuk atribusi intern, saya tidak dapat tidak, harus mengarahkan pandangan kepada ciri kepribadian seseorang. Masalah kesehatan, mood, preferensi, adalah sesuatu yang tidak stabil, dan riskan untuk dinisbatkan. Kita tahu, ada penyair yang tetap aktif menulis walaupun sakit. Juga ada penyair, yang mood atau tidak mood, tetap memaksa diri untuk menulis. Saya anggap, ciri kepribadian itu sesuatu yang cenderung stabil untuk “memaksa” seseorang tetap menulis puisi.
Saya merencanakan menggunakan beberapa tes kepribadian. Di antaranya tes MBTI (Myers Briggs Type Indicator), disandingkan dengan Tes Enneagram yang dikembangkan oleh Oscar Ichazo (Psikolog kelahiran Bolivia) dan Claudio Naranjo (Psikiater kelahiran Chili), tes predominasi otak kiri-kanan yang saya ambil dari buku Ippho Santosa, kemudian ada tes gaya belajar untuk mengetahui gaya belajar mana yang lebih dominan: visual, auditorik, dan atau kinestetik.
Tes kepribadian berbeda dengan tes kesehatan jiwa. Tes kesehatan jiwa, tentu saja untuk mendeteksi ada tidaknya gangguan jiwa pada seseorang. Sedangkan tes kepribadian, lebih kepada upaya memetakan pola perilaku. Biasanya tes kepribadian dipakai di dunia kerja untuk penempatan, sehingga bisa ketahuan di profesi mana saja yang sesuai atau cocok dengan kepribadiannya.
Tes MBTI dikembangkan oleh Katharine Cook Briggs dan putrinya yang bernama Isabel Briggs Myers berdasarkan teori kepribadian dari Carl Gustav Jung. Tes ini memotret perbedaan pola perilaku seseorang saat melakukan pendekatan dalam bertindak. Dimulai dengan bagaimana ia memperoleh energi (introversion atau ekstroversion), bagaimana ia mengumpulkan informasi (sensing atau intuition), bagaimana ia mengolah informasi dan mengambil keputusan (thingking atau feeling) dan bagaimana ia mengatur hidup (judging atau perseption). Kombinasi dari empat hal tersebut menghasilkan 16 tipologi kepribadian,yaitu (1) The Teacher / The Giver;  (2) The Champion / The Inspirer; (3) The Commander / The Executive; (4) The Visionary / The Innovator; (5) The Protector / The Nurturer; (6) The Composer / The Artist; (7) The Inspector / The Duty Fulfiller; (8) The Craftsman / The Mechanic; (9) The Provider / The Caregiver; (10) The Performer / The Entertainer; (11) The Supervisor / The Overseer; (12) The Dynamo / The Doer; (13) The Councelor / The Protector; (14) The Healer / The Idealist; (15) The Mastermind / The Scientist; (16) The Architect / The Thinker.
Hipotesis awal kita, penyair tentu akan masuk ke golongan The Composer/The Artist (seniman). Tipologi ini memang mencirikan seseorang yang memiliki apresiasi yang baik terhadap keindahan dan estetika, tidak suka dibatasi oleh aturan, individualistik, setia dan loyal kepada orang atau ide yang penting bagi mereka, tidak menyukai perselisihan dan konflik. Di tipe ini, seseorang menonjol di introversion-sensing-feeling-perseption atau ISFP. Introversion: ia mengeluarkan energi dalam situasi sosial dan memperoleh energi saat menyendiri. Sensing: cenderung konkrit daripada abstrak, perhatian terhadap detil daripada gambaran besar, realitas langsung daripada kemungkinan masa depan. Feeling: cenderung subjektif, mengutamakan perasaan, menghargai hubungan antar manusia, menghargai proses. Perseption: spontan, mengalir, menikmati hidup.  Lalu bagaimana jika hasil tes berkata lain? Bagaimana menjelaskan jika penyair ini ternyata berada di kotak lain? Ya, memang tetap terbuka kemungkinan seorang penyair hidup di kotak lain, seperti di kotak (1) The Giver atau di kotak (2) The Inspirer atau di kotak (4) The Visionary atau di kotak (14) The idealist, dan beberapa yang lain. Saya pikir ini hanya masalah stereotif. Pandangan umum tentang kehidupan seniman. Tentang totalitas hidup dan originalitas.
Tes Enneagram dihadirkan sebagai pembanding. Jika MBTI menghasilkan 16 tipologi kepribadian, Enneagram hanya 9 (sembilan), dan di antaranya juga ada seniman/artist. Dalam enneagram, ini dicirikan sebagai orang yang memiliki perasaan yang peka, termotivasi untuk memahami perasaan diri sendiri serta dipahami orang lain, menemukan makna hidup, dan menghindari citra diri yang biasa-biasa saja.
Langsung melangkah ke tes predominasi otak kiri dan otak kanan. Sebagaimana yang diketahui bersama, pandangan umum seorang seniman, termasuk penyair, adalah orang yang lebih berorientasi ke otak kanan. Orang yang dominan otak kanan sering dikaitkan dengan sisi kreatif, afektif, intuitif, imajinatif, artistik, holistik, implisit, difus, impulsif, spontan, pemberontak, oposisi, acak, tak suka dibatasi waktu, konsentrasi rendah pada hal yang tidak disukai, cenderung sensitif dan emosional, gembira dan tanpa takut seperti anak-anak. Sedang orang yang cenderung kuat otak kirinya dikaitkan dengan kognitif, logis, analitik, realistik, eksplisit, fokus, segmental, runtut, sistematis, terorganisir, berpikir dewasa, membimbing dan mengarahkan, cenderung pendendam. Dalam hal ini, ada kemungkinan penyair lebih dominan otak kanan, namun tidak tertutup kemungkinan, seimbang antara otak kanan dan otak kiri. Dalam kenyataannya, memang otak kanan dan otak kiri tidak bekerja sendiri-sendiri. Mereka bekerja sama.  
“Sesuatu tercipta dua kali,” kata orang. Pertama, dalam imajinasi, dan kedua,  dalam kenyataan. Mencipta puisi, ketika ia berkelana sebagai rembesan imajinasi yang impulsif dan acak, barangkali itu kerjaan otak kanan. Namun saat menuliskannya, kita membutuhkan huruf, kata, bahasa, kelogisan, sistematika, maka otak kiri pun bermain. Menerbitkan buku puisi, butuh perencanaan, analisa, itu kerjaan otak kiri. Tapi bisa menjadi kanan, ketika tak ada hitung-hitungan dan dikerjakan penuh cinta. Persis perkataan Thomas Friedman, peraih penghargaan Pulitzer, bahwa untuk mengasah kemahiran khas otak kanan, cukup dengan mencintai apapun yang dilakukan.
Tes selanjutnya untuk mengetahui gaya belajar. Ini untuk memotret gaya seseorang dalam menyerap informasi. Ada orang yang bertipe visual, auditorik, atau kinestetik. Kadang ada satu bagian yang sangat menonjol, atau bisa terjadi ada 2 atau malah 3 bagian yang seimbang.
Tipe visual memiliki ciri antara lain: mengandalkan penglihatan dalam memahami materi, saat memahami informasi cenderung memvisualisasikan gambar atau imaje dalam pikirannya, mudah mengingat wajah. Kata yang kerap digunakan antara lain: lihat, bayangkan, gambar, perhatikan, jelaskan, kabur, tampaknya, fokuskan, pandangan, menyolok , selayang pandang, sekejap, dll.
Tipe auditorik antara lain memiliki ciri: seorang pendengar ulung, mudah menyerap informasi yang disampaikan secara lisan, senang berbicara, berdiskusi dan berkomunikasi dengan orang lain, cenderung perhatian terhadap pola dan irama, bisa masuk ke gelombang alpha dan theta dengan mendengarkan musik. Kata yang sering digunakan terkait dengan indera pendengaran, seperti: dengar, katakan, bicarakan, berbicara, bertanya, sayup-sayup, gemuruh, cerewet, dst.
Tipe kinestetik, antara lain memiliki ciri: kerjasama antara mata dan tangan sangat bagus, menyukai aktifitas fisik dan praktik langsung, bisa masuk ke gelombang alpha dengan aromatherapi, message, yoga. Kata yang sering digunakan kerap mengakses indera perasa, seperti: merasa, aman, damai, licin, keras, kasar, halus, erat, mempengaruhi, menangkap, bergerak, dst.
Dan entah kenapa, saya kemudian tergerak untuk menggolongkan karya-karya puisi berdasarkan modalitas penyairnya dalam menyerap informasi. Tipe visual, saya pikir, hadir dalam puisi-puisi penyair yang banyak menyerap teks dan literatur. Mereka-mereka yang kerap suntuk dengan banyak bacaan. Dalam kasus ini, muncul puisi Goenawan Mohamad, Subagio Sastrawardoyo, Sapardi Djoko Damono. Tipe auditorik, banyak muncul pada puisi-puisi yang ditulis oleh penyair yang suka kumpul-kumpul sesama penyair, demen dengan panggung baca puisi dan biasanya ia akan tampil secara ekspresif. Saya pikir, ASA termasuk ke dalam tipe ini. Tipe kinestetik, saya pikir muncul pada puisi penyair yang juga perhatian dengan olah tubuh dan terlibat dalam kehidupan praktis. Mereka yang intens dengan teater atau seorang aktivis di bidangnya masing-masing atau terlibat politik praktis, bisa digolongkan ke tipe ini. Rendra, Wiji Thukul, KHA Mustofa Bisri, saya pikir cenderung kinestetik.
Jika mengambil contoh satu puisi dalam Buku Setengah Tiang, misalkan “Sebelum Sungai Meradang” (h. 60). Maka yang visual hadir dalam kata: simak, baca. Yang auditorik muncul dalam kata: bicara, gemuruh, gelegar, ucap. Sedang yang kinestetik muncul dalam kata: meradang, lepaskan.
Namun sebenarnya, intensitas munculnya kata bernuansa visual, auditorik atau kinestetik tidak bisa dijadikan patokan. Saya merasa puisi-puisi yang ada di Buku Setengah Tiang, banyak mengeksploitasi irama kata. Dan sepertinya memang sengaja diciptakan dalam imajinasi pembacaan puisi. Dalam artinya, ia hadir untuk dilisankan di panggung baca puisi. Alias dapat dikategorikan ke dalam puisi panggung. Ia ditulis untuk diperdengarkan. Ia akan mudah diserap ketika diperdengarkan, bukan untuk tergeletak di dalam buku saja dan dibaca di kamar.  
............................    


Saat pun melangkah, tes urung dilaksanakan, dan hipotesis-hipotesis itu tetap menggantung di kepala saya. Selesai.  

Gambut, 11/9/2015