Komentar Ulasan Puisi
Rg Bagus Warsono
"Pertemuan dengan Widji Thukul"
Dalam keremangan malam
Bulan redup sesekali tertutup mendung
Dalam teras pecinan
dengan pintu-pintu tergembok
Hai penyair katanya padaku
Dia menutup muka dengan jaketnya kumal dingin
Kretek dan kopi dingin
Menatap aku pada si kerempeng itu
akankah kopi belum terbayar
Lalu aku berjabat tangan
merdeka katanya lirih
ya aku dialam merdeka sekarang
aku juga bebas membuat puisi
lalu dia menunjuk tukang kopi
dan kami minum di kedinginan
Sajakku mahal katanya lirih
ah aku sangat murah bahkan tak laku dijual
kau salah katanya
juga yang lain bodoh
kenapa?
banyak penyair setengah penyair
Hah?
Tapi kau tidak , sambil menepuk pundak
lalu ia menutup wajahnya dengan jaketnya lagi dan kopi malam sisa ampasnya.
Jogyakarta, 5 Januari 2019.
1. Mawar Merah : Di mana keberadaan Widji Thukul dan bagaimana kelanjutan kasusnya masih merupakan misteri yang belum terpecahkan. Terasa masih ada kekuatan besar yang menghalangi pengungkapan raibnya raga sang penyair. Meski jiwanya telah ditukar dengan sebuah kebebasan, dua puluh tahun lebih merupakan waktu yang panjang untuk menyia-nyiakan kesempatan, termasuk dalam mengungkap misteri sang raga. Bangkitlah wahai kawan-kawan penyair, jangan bodoh, tunjukkan jiwa kepenyairanmu. Jangan jadi penyair yang tanggung, bangkit dan gaungkan terus semangat juangmu untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, sebelum sang waktu benar-benar berlalu.
2.Muhammad Jayadi : Penyair sejati, tentunya yang tak bisa dikekang, menulis dengan nafas jati dirinya. Menuliskan hal yang terkandung dalam nuraninya, dan merdeka jiwanya dari segala perbudakan dan tekanan. Dan rela berkorban demi apa yang ia cita-citakan. Ia adalah gelombang yang besar, ia adalah api yang membakar, ia adalah nadi hidup yang berdegup.
3.Nurhayati : Dalam raga utuh rapuh, Tuhan tiupkan ruh, padanya dimampukan dua pilihanBak saudara kembar saling berkelakar bertengkarDarinya karya kan terciptaBebas merdeka, sah-sah sajaBukankah Tuhan sendiri yang telah menitipkan kepercayaanEntah nanti kan sampai pada rasa atau mandek menjadi segumpal sampah, semesta tetap merekamnya
4. Elly Azizah : Semua orang merasa penyair, cuma bunda yang menulis sesuai selera, senang mendayu menghibur diri lagi terpuruk, Alhamdulillah ada yg suka baca. Dulu bunda suka nulis sembarang tempat, kadang-kadang hanya di kepala saja, kalau sdh begitu bapak ambilkan buku dan tak pernah mau berkomentar buatlah sesuai dg hati nurani ibu, jangan dirobah menurut bapak itu kata bapak tidak asli ibu lagi.
5.Arya Arizona : ingat kopi...aku ingat sebuah malam di jogja bersama seorang seniman di sebuah angkringan di dekat jl janti jogja....sebuah malam yang dingin ngobrol,nyanyi bareng tanpa gitar....ah..sekarang engkau dimana....akupun dimana...jauh tak bersua
6.Sardan Sarjito : Saya setuju dengan pesan sublimnya. Memang uang dan harta tak bisa menginspirasi manusia. Syair bisa. Dan inspirasi dapat merubah dunia, termasuk harta.Duit tak bisa menghasilkan karya. Tapi karya mampu menghasilkan bukan saja harta, tapi juga peradaban.Revolusi adalah mencipta!..Dalam kamar sederhanaAku memetik gitarKupikir laguku merduDia duduk di hadapankuMeminjam gitar dan memainkannya dengan caranyaAku baru tahu jika punggung gitar bisa lebih mengusikku ketimbang getar dawaiDengan lidahnya yang kelu dia bernyanyi tentang tikar plastik dan tikar pandanYa Tuhan, ini zikir tentang penindasan.Syair laguku berontokan bagai sampah di hadapannya.Syair mahal itu setara dengan keamanan negara...
7Erndra Achaer:.Banyak penyair setengah penyair.Aah ... aku bahkan belum penyair. Tapi merasa merdeka menulis puisi, berangkat dari bisikan hati, yang entah apa juga sudah puisi. Meski racikanku tak senikmat kopi, berharap semoga tidaklah menyakiti.
8. Dyah Nkusumah : Apa hendak dikata? Keremangan malam, bulan enggan memberi penghiburan, benteng-benteng semakin tinggi, puisiku cuma pelega rasa, coretan tiada hadirkan berlian, ahhh halu kali, bayar kopi pun entahlah. Ceceran tinta yang terbeli dengan rupiah, adakah berharap bisa mendatangkan hepeng?Biarlah, sepanjang apa bila direntang berharga atau tidak, nyatanya banyak yang tetap berjalan dalam pilihan gila ini. Tengok, dari nama-nama besar, setengah jadi, hingga bayi-bayi penyair, hari-hari menghiasi layar biru? Lupa mandi, cukup ngopi, bangga jadi penyair setengah jadi, atau bahkan seperdelapan jadi.Daripada limbung turut zaman tiada juntrung, ahhh penyair setengah jadi, tak masalah, kucel kini, hampa arti jauh dari materi, siapa tahu, pilihan diri, kucel-kucel tapi dikangeni, karya yang setengah jadi, magel-magel bikin kemekel, kopi menyambangi, walau dalam mimpi.
9.Vika O : 'Aku juga bebas membuat puisi'Selain bebas membuat puisi, tapi dengan berpuisi juga aku dapat bebas. Mengekspresikan diri dengan jiwa-jiwa penuh kobaran api. Ah, entahlah, puisi benar-benar memabukkan.'Ah aku sangat murah bahkan tak laku dijual'Kalau aku akan terlebih dahulu menjual pada diriku sendiri, sebab aku lah orang yang akan terlebih dahulu mencicipi.'Kau salah katanyajuga yang lain bodoh'Betul, jangan selalu menghakimi diri sendiri, berpikir positif dan memiliki pandangan ke depan. Kita selalu memiliki sisi kelebihan dan kekurangan.Maafkan, Kak, kalau ada salah kata, saya bukan apa-apa.
10.Uyan Andud: Banyak penyair setengah penyair ' pengambaran seorang penyair tidak berani mengungkapkan kebenaran secara utuh sebagaimana masa Widji Thukul. Dampaknya tergambar dalam kopi yang terasa dingin kurang mantap '
11.Tarni Kasanprawiro : "Sajakku mahal" ya tentu karena sajakmu dibayar dengan nyawa sedangkan puisiku tak bernyawa tak ada apa-apanya.