TEKS SULUH


Kamis, 18 November 2021

Popularitas Penokohan Sastrawan Melekat dengan Produknya

 Pengarang cerpen novel akan lebih mudah membuat puisi, sedangkan penyair yang mengarang novel menemukan hambatan pengembangan cerita. Beberapa novelis Cerpenis ditemukan juga ia mengarang puisi, sedang sedikit penyair mengarang novel. Rendra selain berkarya puisi ia mengarang banyak naskah drama, tetapi lebih populair sebagai penyair. Bagi penulis seangkatanku membuat cerpen adalah target honorarium, teman lain juga membuat cerpen seperti Herry Lamong, Naim Emel Prahana, Gunoto Saparie, Arifin Brandan, Isbedy ZS Stiawan, Wawan Hamzah Arfan, Wadie Maharief, Arief Joko Wicaksono, Nanang R Supriyatin, Endang Supriadi, Budhi Setyawan, Micky Hidayat, Jamal T. Suryanata, Bambang Widi Yogyakarta, Kurniawan Junaedhie dll. Mereka di masyarakat atau kalangan pembaca lebih dikenal sebagai penyair. Penyair lain justru lebih kokoh disebut sebagai Cerpenis yaitu Yanusa Nugroho,  Beni Setia, dll. Agaknya rutinitas seorang Cerpenis atau penyair akan menokohkan diri melekat dengan produknya.


Sebagai seorang guru aku banyak ngobrol dengan guru bahasa  di tingkat sekolah lanjutan pertama dan atas. Obrolan bahkan di beberapa guru di kota kecil yang saya kunjungi. Aku bertanya pada mereka, "Penyair siapa sajakah yang bapak ibu guru kenal setelah Angkatan '66?". Kebanyakan mereka menggeleng kepala, tahunya mereka Yang hafal adalah angkatan '66 seperti Taufiq Ismail, WS Rendra, Abdul Hadi WM, sedangkan sedikit sekali mereka bisa menyebut nama-nama sastrawan setelah angkatan' 66 atau pasca '66. Beberapa nama yang sering disebut tetap Nama-nama yang terkenal sekarang seperti Gunoto Saparie, Isbedy ZS Stiawan, Tajuddin Noor Ganie, Kusprihyanto Nanma.


Popularitas sastrawan di kalangan pendidikan juga didapat dari media massa yg mempopulairkan nama sastrawan masa kini terutama segi keunikan yang melekat dengan pribadi sastrawan itu. Beberapa tokoh sering disebut seperti Sitok Srengenge, Sosiawan Leak, Wiji Tukul, Saut Situmorang, dan menyusul Wayan Jengki Sunarta dan Tan Lioe Ie.


Kurangnya perbendaharaan nama sastrawan-sastrawan di kalangan pendidikan adalah semakin hilangnya pengajaran sastra di sekolah-sekolah. Kenyataan ini disebabkan karena guru yang diangkat jarang yang menyukai sastra. Sebagian lain dikarenakan kurikulum yang diterapkan di sekolah sedikit disisipi muatan sastra.

(rg bagus warsono)