Puisi Yang Mana Yang Dibaca Keras Lantang dan Teriak (1)
Rg Bagus Warsono
Mari kita membaca puisi dengan baik agar pemirsa menyimak sampai akhir puisi. Meski membaca adalah apresiasi si pembaca dalam arti terserah imajenasi pembaca namun banyak kesalahan tafsir puisi yang pahami si pembaca , apalagi membaca puisi itu baru sekilas , langsung maju ke panggung.
Rendra adalah pembaca puisi yang belum ada tandingan, sedang Taufiq Ismail pembaca puisi karya sendiri yang berhasil memikat pemirsa. Tetapi Gus Mus (Mustofa Bisri) kita tak perlu melihat wajah Gus Mus Membaca, mendengarnya saja seakan membayang wajah Gus Mus.
Agaknya banyak pembaca puisi setelah berada di panggung mengambil inisiatif untuk mencuri perhatian penonton dengan mengeraskan suara ketika membaca puisi, keras yang ,mengagetkan sehingga penonton langsung tertuju panggung dan si pembaca. Namun setelah baris dan bait puisi itu dibaca jarang pemirsa yang mengikutinya hingga akhir puisi .
Pemirsa yang kaget kemudian menyimak itu kemudian tak menghiraukannya si pembaca puisi yang gagah di panggung itu. Pasalnya yang dibaca dan suara yang keluar dari mulut tak sesuai dengan pesan puisi yang dibaca. pemirsa yang menjadi tanda tanya ini semakin bingung ketika baris dalam bait yang dibaca yang merupakan satu kesatuan arti dalam bait puisi itu terpotong oleh kerasnya suara si pembaca puisi. Akhirnya si pembaca asyik membaca puisi di Panggung dan penonton asyik ngobrol dengan tetangga kursi.
Kekeliruan persepsi pesan puisi ditimbulkan dari kurangnya apresiasi pada puisi yang dibaca. Dan penulis juga maklum ketika dijumpainya puisi yang dibaca itu adalah puisi hasil karyanya sendiri. Jika demikian maka tidak semua penyair memahami isi puisi padahal puisi yang dibacanya itu puisi yang telah akrab dengan dirinya.
Jadi, puisi yang mana yang dibaca keras lantang atau berteriak harus memahami puisi itu sebelum dibaca. Nada baca puisi hendaklah sesuai dengan isi puisi. Sebagai contoh kita tampilkan sebuah puisi karya Taufiq Ismail, berikut puisinya :
“Malu Aku Jadi Orang Indonesia”. Berikut puisi tersebut ;
Di negeriku yang didirikan pejuang religius
Kini dikuasai pejabat rakus
Kejahatan bukan kelas maling sawit melainkan permainan lahan duit
Di Negeriku yang dulu agamis
Sekarang bercampur liberalis sedikit komunis
Ulama ulama diancam karena tak punya pistol
Yang mengancam tinggal dor
Hukum hukum keadilan tergadai kepentingan politis
Akidah akidah tergadai materialistis
Aku hidup di negara mayoritas beragama Islam
Tapi kami tersudut dan terancam
Telah habis sabarku
Telah habis sabar kami
Pada presiden yang tak solutif Pada dewan dan majelis yang tak bermufakat
Pada semua bullshit yang menggema saat pemilu
Pada nafsu yang didukung asing dan aseng
Rakyat kelas teri tak berdosa pun digoreng
Kusaksikan keindahan negara yang menegakkan “khilafah”
Diceritakan hidup mereka sejahtera
Lalu ditanyai dari mana asalku.
Kusembunyikan muka
Tak kujawab aku dari Indonesia
Negara yang kini tumbuh benih Islamophobia.
(bersambung)