TEKS SULUH


Rabu, 30 Maret 2016

PUISI PATIDUSA, Genre baru puisi karya cipta Kangmas Agung Wig Patidusa‎

PUISI PATIDUSA
( Empat Tiga Dua Satu )
Puisi format yang berbasis kosakata.
Pada 9 -8 -2015 adalah awal terciptanya sebuah puisi genre baru yang bertajuk Puisi Patidusa di media jejaring sosial Facebook. Dan diproklamirkan pada tanggal 27-8-2015.
Puisi ini adalah ciptaan saya pribadi hasil evolusi dari sebuah format lainnya yaitu Puisi Lipatdus. Dan salah seorang teman sesama pemuisi, yaitu saudara Agus Supriyadi menamakan puisi ini adalah Patidusa dikarenakan memiliki format 4 kata, 3 kata, 2 kata, dan 1 kata.
Format patidusa memiliki keindahan bentuk yang terdiri dari sayap dan kerucut. Kekhasan puisi ini bisa dibaca terbalik dari baris bawah ke atas pada baitnya tanpa mengubah makna.
Bentuk standar patidusa;
A A A A
B B B
C C
D
E
F F
G G G
H H H H
Puisi Patidusa terdiri minimal 2 bait dan 4 jenis formasi. Ketika seorang penulis merasa kurang cocok pada penggunaan salah satu format, maka bisa mengubah karyanya itu ke bentuk formasi lain sampai menemukan kecocokan dengan cara membalik formasi baris pada baitnya. Berdasar ketentuan estetika RASA RIMA RUNUT dan IMAJI sebuah puisi.
Ketentuan Format Patidusa;
1. Puisi Patidusa bukanlah puisi pemenggalan kalimat. Baris baitnya saling melengkapi satu sama lain seakan memiliki makna mandiri yang menjelaskan atau dijelaskan oleh baris sesudah atau sebelumnya.
2. Hindarilah kata hubung pada kalimat akhir baris karena akan menimbulkan konotasi pemenggalan kalimat yang menggantung makna. Misal
Contoh salah;
Aku
Renta yang
Hina dina antara
Sepanjang jalan lintas berliku
Kalimat puisi di atas adalah seolah dipaksakan untuk berformat patidusa dan bisa dipanjangkan menjadi "Aku renta yang hina dina antara sepanjang jalan lintas berliku".
3. Patidusa tidak menggunakan tanda elipsis pada puisinya dan digantikan dengan tanda koma ( , ) saja. Alasan tidak digunakannya karena akan disalahartikan dalam bentuk sebuah puisi yang kurang memiliki keindahan pada kalimat puisinya. Sebagai contoh salah;
.... .... ..... ....
.... .... ....
.... ....
....
Kau
Indah sekali
Mewarna pelangi diam
Tiada kekata terucap asa
Keterangan; bait 1 adalah elipsis.
4. Pada pengulangan kata sempurna dan atau yang berawalan depan, dihitung 1 kata majemuk. Sebagai contoh;
Awan-awan
Angin-angin
Orang-orang
Berbaris-baris
Meratap-ratap
Boleh juga ditulis tanpa tanda hubung atau sesuai ketertiban dan keindahan tulisan saja. Semisal;
Awanawan
Anginangin
Orangorang
Berbarisbaris
Meratapratap
Berbeda dengan pengulangan kata yang berubah bentuk, dan atau berawalan pada akhir kata karena dihitung 2 kata. Semisal;
Hilir mudik
Hitam putih
Macam ragam
Antah berantah
Puisi Patidusa ada 4 formasi bentuk.
1. PATIDUSA ASLI / ORIGINAL
4-3-2-1, 1-2-3-4, 4-3-2-1 dst
Dalam contoh;
JELITAKU
Cantik berlekuk halus sempurna
Jengkal indah wajahmu
Biarkan kuraba
Diamlah!
Bahagia
Siratkan makna
Kebisuan penuhi rongga
Menatapmu, desirkan relung dada
Sekuat janji terikat padu
Berpeluk erat menyatu
Arungi bahteraku
Jelita
2. PATIDUSA BIAS
1-2-3-4, 4-3-2-1, 1-2-3-4 dst
Diamlah!
Biarkan kuraba
Jengkal indah wajahmu
Cantik berlekuk halus sempurna
Menatapmu, desirkan relung dada
Kebisuan penuhi rongga
Siratkan makna
Bahagia
Jelita
Arungi bahteraku
Berpeluk erat menyatu
Sekuat janji terikat padu
3. PATIDUSA CEMARA
1-2-3-4, 1-2-3-4, 1-2-3-4 dst
Diamlah!
Biarkan kuraba
Jengkal indah wajahmu
Cantik berlekuk halus sempurna
Bahagia
Siratkan makna
Kebisuan penuhi rongga
Menatapmu, desirkan relung dada
Jelita
Arungi bahteraku
Berpeluk erat menyatu
Sekuat janji terikat padu
4. PATIDUSA TANGGA
4-3-2-1, 4-3-2-1, 4-3-2-1 dst.
Cantik berlekuk halus sempurna
Jengkal indah wajahmu
Biarkan kuraba
Diamlah!
Menatapmu, desirkan relung dada
Kebisuan penuhi rongga
Siratkan makna
Bahagia
Sekuat janji terikat padu
Berpeluk erat menyatu
Arungi bahteraku
Jelita
------------
Semoga dengan adanya puisi genre baru ini menambah wawasan literasi sastra Nusantara dan dipelajari oleh khalayak ramai menjadi bagian sebuah warna sastra kontemporer dunia.
Agung Wig
Semarang 9 Maret 2016.