adalah majalah sastra net bagi rakyat Indonesia yang memerlukan sastra sebagai bagian kehidupan indah di Indonesia. Untuk segala umur pecinta sastra di Tanah Air. Pendiri Agus Warsono (Rg Bagus Warsono/Masagus) didirikan 2 Januari 2011, Redaksi Alamanda Merah 6 Citra Dharma Ayu Margadadi, Redaktur sastra Agus Warsono, Koresponden Rusiano Oktoral Firmansyah (Jakarta), Abdurachman M(Yogyakarya).
TEKS SULUH
Sabtu, 30 Juni 2018
Jumat, 29 Juni 2018
Rabu, 27 Juni 2018
Antologi Bersama tulisan Tangan Penyair,
Dalam tahun 2018 sastra Indonesia khusus puisi dalam seperti halnya tahun-tahun sebelumnya dengan seputar kreatifitas baca tulis dan kumpulan puisi dari berbagai komunitas. Perhelatannya hampir sama meskipun di sisi lain tampak kegairahan yang setiap tahun terus bertambah, yakni tentang meningkatnya pecinta sastra khusus puisi dan semakin banyaknya pelaku-pelaku sastra dari generasi baru serta munculnya penyair-penyair muda potensial.
Aktifitas baca tulis puisi tampaknya semakin meningkat meski kelihatan tampilannya seperti monoton dan klasik. Beberapa peningkatan gebrakan baru tampak dilihat seperti dengan mengemas puisi dan kesehatan, puisi dan gerakan makan ikan, puisi dan anti kekerasan terhadap anak dan keluarga, atau tentang puisi dan gerakan anti korupsi.
Kegiatan sastra khusus puisi lain dari berbagai komunitas dan aktifitas melalui media elektronik pun banyak dilakukan dengan aneka rupa walau tampak hanya mengulang. Keadaan ini pun tampak terjadi seperi hal biasa saja.
Dari isi inilah Lumbung Puisi terdorong keinginan untuk memunculkan sesuatu yang baru yang dapat menjadi sebuah sejarah dalam hal tul;is menulis bidang sastra khusus puisi. Akhirnya kerinduan itu muncul ditengah rasa tampilan-tampilan puisi dan karya buku serta aktifitas penyair yang pada masa ini tampak berjalan seadanya.
Bahwa penyair perlu untuk dikenal dan mengenalkan kepada masyarakat tetang segala sesuatunya bahkan kehidupannya merupakan kesan tersendiri. Hal ini menginat penyair juga merupakan figur publik yang sering bahkan sering diperhatikan oleh masyarakat. Keinginan untuk melihat lebih jauh tetantang penyair itu bukan hal baru tetapi sebagai tuntutan ilmiah terhadap pengetahuan sastra bagi kita dan masyarakat.
Salah datu bentuk keingintahuan masyarakat itu tidak hanya pusi dan buku antologinya tetapi juga tulisan tangannya, untuk memberi keyakinan bahwa [enyair adalah pelaku sejaran dan pelaku sastra itu sendiri. Diantara untuk diketahui itu adalah bagaimana bentuk tulisan tangan m,ereka.
Dari kebutuhan itu tulisan tangan penyair perlu dibukukan agar menjadi keyakinan masyarakat dan pembuktian bahwa seorang penyair memiliki proses pembuatan puisi sehingga menjadi antologi. Tulisan tangan penyair dijadikan keyakinan bahwa keberadaan penyair betul sebagai penyair yang tidak hanya menulis di hp atau di komputer tetapi juga dalam kesehariannya juga menulis dari tulisan tangannya.
Antologi tulisan tangan penyair juga merupakan sebuah tantangan dan juga ketrampilan lain yang dimiliki penyair yang tidak saja mamopu menunjukan puisi-puisi tetapi juga mampu mrenunjukannya dengan tulisan aseli tangnnya dalam menulis puisi.
(Bersambung)
Selasa, 26 Juni 2018
Segera, Antologi Bersama Nasional Tulisan Tangan Penyair Indonesia
Satu lagi karya sastra anak bangsa dalam dinamika kehiduopan Indonesia . Kali ini dalam tiulisan tangan-tangan penyair asli untuk menyoroti pemimpin Indonesia. Presiden, Gubernir, Walikota, Bupati, Camat, Sampai Kepala Desa , juga raja-raja nusantara, dan pemimpin masa depan dalam kemasan Satrio Paningit :
Jumat, 22 Juni 2018
Kamis, 14 Juni 2018
Berbagi Keindahan Sajak , dalam Sedekah Puisi Ramadhan 1439 H
Berbagi Keindahan Sajak
Perjumpaan
Seperti menjemput tamu agung, Ramadhan 1439 H, sebuah perjumpaan yang telah setahun lamanya tak bertemu. Adalah persiapan-persiapan menyambutnya dengan kesiapan keimanan dan niat menjalankan perintahNya. Penyair-pennyair kita menulis itu dengan rasa kesucian dan sambutan hangat ramadhan. Kebesaran Islam dan semangat melaksanakan ajaran-ajaran Rasullullah. Penyair kita menuliskan itu dalam perjumpaan dengan Ramadan sebagai ujud kecintaannya kepada Allah sebagai umatnya Rasullullah Muhammad yang diutusnya itu dalam menyambut bulan suci yang penuh rahmat ini. Mereka Gilang Teguh Pambudi, Asep Nurjamin, Siti Khodijah Nasution, sedang Chan-chan Parase memberi catatan bahwa manusia tempat nya dosa. Berikut peuisinya :
Gilang Teguh Pambudi dalam puisinya “ 9 Puisi Pendek Di Atas Tisu”
//...1. MEMBUKA RAMADAN
hujan jam sembilan
menyentuh touchscreen
aku menulis keajaiban Ramadan/.../
7. RAMADAN YANG SELALU PUASA
sebab kamulah Ramadan yang selalu puasa
sampai hujan tak mengatakan, tidak!....//
Asep Nurjamin dalam puinya “ Ikrar Ramadhan”
//....tak ada kebaikan dibaktikan, setiap saat membayangkan penampilan saat hari raya,
agar tampil modis bergaya....//
Siti Khodijah Nasution dalam puisnya “ Raibnya Rakaat Sembahyang”
//Rakaat apa yang terlupakan
hingga kepulan sesaji doa mendahuluinya
'tuk mencecap kata surgawi....//
Chan Chan Parase dalam puisinya “ Deting dari Lubuk Luka” :
//...Aku tidak bisa menjalani puasa jiwa
Maupun taraweh rasa
Bahkan menahan haus dan lapar dada karenamu
Sebab Attahiyatulku sangat tidak wajar kepadamu saudaraku..
(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)
Perjumpaan
Seperti menjemput tamu agung, Ramadhan 1439 H, sebuah perjumpaan yang telah setahun lamanya tak bertemu. Adalah persiapan-persiapan menyambutnya dengan kesiapan keimanan dan niat menjalankan perintahNya. Penyair-pennyair kita menulis itu dengan rasa kesucian dan sambutan hangat ramadhan. Kebesaran Islam dan semangat melaksanakan ajaran-ajaran Rasullullah. Penyair kita menuliskan itu dalam perjumpaan dengan Ramadan sebagai ujud kecintaannya kepada Allah sebagai umatnya Rasullullah Muhammad yang diutusnya itu dalam menyambut bulan suci yang penuh rahmat ini. Mereka Gilang Teguh Pambudi, Asep Nurjamin, Siti Khodijah Nasution, sedang Chan-chan Parase memberi catatan bahwa manusia tempat nya dosa. Berikut peuisinya :
Gilang Teguh Pambudi dalam puisinya “ 9 Puisi Pendek Di Atas Tisu”
//...1. MEMBUKA RAMADAN
hujan jam sembilan
menyentuh touchscreen
aku menulis keajaiban Ramadan/.../
7. RAMADAN YANG SELALU PUASA
sebab kamulah Ramadan yang selalu puasa
sampai hujan tak mengatakan, tidak!....//
Asep Nurjamin dalam puinya “ Ikrar Ramadhan”
//....tak ada kebaikan dibaktikan, setiap saat membayangkan penampilan saat hari raya,
agar tampil modis bergaya....//
Siti Khodijah Nasution dalam puisnya “ Raibnya Rakaat Sembahyang”
//Rakaat apa yang terlupakan
hingga kepulan sesaji doa mendahuluinya
'tuk mencecap kata surgawi....//
Chan Chan Parase dalam puisinya “ Deting dari Lubuk Luka” :
//...Aku tidak bisa menjalani puasa jiwa
Maupun taraweh rasa
Bahkan menahan haus dan lapar dada karenamu
Sebab Attahiyatulku sangat tidak wajar kepadamu saudaraku..
(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)
Di Tempat Lain dalam Sedekah Puisi Ramadhan 1439 H
Di Tempat lain
Di Tempat lain Ramadhan juga adalah bulan sosial, gambaran itu diungkapkan dalam puisi-puisi penyair-peyair kita sehingga membentuk untaian antologi yang sangat indah. Berikut Shah Ri Zan, Bunergis Maryono, Iwan Bonick, Sarwo Darmono, dan Cuk Ardi.
Shah Ri Zan dalam puisnya “ Kejam”
//....hanya akan memerangkap
ke suatu lembah yang paling hina
apa yang diciptakan
terbentuk dari dusta semata-mata
kemuliaan sepasang genggam tangan kekasih pasti akan berakhir
dengan penyesalan tidak bernoktah//
Bunergis Maryono dalam puisnya “ Tiap Subuh “
//....Melekat di benakku nama tiga toko yang selalu kami lintasi
Toko Kasih
Toko Iman
Toko Harapan
Penting di saat sekarang
Perlu zaman maya ini memiliki stock Harapan
Gudang Iman
Pabrik Kasih...//
Iwan Bonick dalam puisinya “ Pesepedah Tua”
//...Di jalan
Berbatu berkerikil bergelombang
Di jalan
Setapak tanah yang licin kala hujan
Di jalan
Beraspal namun berlubang
Di jalan
Menanjak nan melelahkan
Di jalan
Menurun terkadang menakutkan
Di jalan
Berhotmix yang rata mengasickan
Itu adalah sajadah panjangmu...//
Sarwo Darmono dalam geguritannya “ Aku Hamung Melu”
//...Merga aku hamung melu. Embuh aku ora weruh ,
Apa iki diarani Sedekah Aksara Kang iso gawe suka ,
Apa iki diarani nata Aksara mung isa diwaca
Aku ora Pirsa , Antuk Nugraha apa muspra ,
Sing baku aku melu Laku Prayoga lan Utama
Kabeh Mangga Kersa ,Pasrah Kersaning Gusti kang Paring Nyawa//
Cuk Ardi dalam puisinya “ Sahabat”
//...membaca tentang maha luasnya alam semesta
membaca tentang segala apa yang Tuhan cipta
membaca tentang ilmu Tuhan yang tak terhingga
marilah kita bersahabat dengan keagungan alqur'an
karena ia membuka kita pada kesadaran..//
Di Tempat lain Ramadhan juga adalah bulan sosial, gambaran itu diungkapkan dalam puisi-puisi penyair-peyair kita sehingga membentuk untaian antologi yang sangat indah. Berikut Shah Ri Zan, Bunergis Maryono, Iwan Bonick, Sarwo Darmono, dan Cuk Ardi.
Shah Ri Zan dalam puisnya “ Kejam”
//....hanya akan memerangkap
ke suatu lembah yang paling hina
apa yang diciptakan
terbentuk dari dusta semata-mata
kemuliaan sepasang genggam tangan kekasih pasti akan berakhir
dengan penyesalan tidak bernoktah//
Bunergis Maryono dalam puisnya “ Tiap Subuh “
//....Melekat di benakku nama tiga toko yang selalu kami lintasi
Toko Kasih
Toko Iman
Toko Harapan
Penting di saat sekarang
Perlu zaman maya ini memiliki stock Harapan
Gudang Iman
Pabrik Kasih...//
Iwan Bonick dalam puisinya “ Pesepedah Tua”
//...Di jalan
Berbatu berkerikil bergelombang
Di jalan
Setapak tanah yang licin kala hujan
Di jalan
Beraspal namun berlubang
Di jalan
Menanjak nan melelahkan
Di jalan
Menurun terkadang menakutkan
Di jalan
Berhotmix yang rata mengasickan
Itu adalah sajadah panjangmu...//
Sarwo Darmono dalam geguritannya “ Aku Hamung Melu”
//...Merga aku hamung melu. Embuh aku ora weruh ,
Apa iki diarani Sedekah Aksara Kang iso gawe suka ,
Apa iki diarani nata Aksara mung isa diwaca
Aku ora Pirsa , Antuk Nugraha apa muspra ,
Sing baku aku melu Laku Prayoga lan Utama
Kabeh Mangga Kersa ,Pasrah Kersaning Gusti kang Paring Nyawa//
Cuk Ardi dalam puisinya “ Sahabat”
//...membaca tentang maha luasnya alam semesta
membaca tentang segala apa yang Tuhan cipta
membaca tentang ilmu Tuhan yang tak terhingga
marilah kita bersahabat dengan keagungan alqur'an
karena ia membuka kita pada kesadaran..//
(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)
Istimewanya Ramadhan di Sedekah Puisi Ramadhan 1439 H
Istimewanya Ramadhan
Tinta penyair adalah karya seni pikir penyair yang digoreskan dengan perantara aksara. Betapa dalam menahan lapar dan dahaga penyair kita membuahkan karya bermutu tinggi dalam tadarus puisi Sedekah puisi, yang betul-betul , dan sekali lagi penulis katakan sangat indah seperti berbagi keindahan. Berikut cuplikan-cuplikan puisi indah itu :
Suhendi RI dalam puinya “ Nirvana”
//...Dalam kefanaan ia mengasingkan diri
Menembus batas semu surgawi
Menuju jalan budhi...//
Harkoni Madura denga puisinya “ Cemara Udang Pantai Lombang”
//....sapuan pucuk daun-daunnya mengisyaratkan ihwal pendakian
mengupak semestaku menuju rute-rute rindu
hampar pasir dan ikan-ikan yang berenangan
masih menjinjing sakaw dzikir penghujan
hingga pada jingkrak tubuh-tubuh sampan
kujumpa rekah jalan sebasah kayuhan firman
menyambut denyut senja yang berarak
kusyahadatkan kedirian lewat basuhan sajak-sajak
selagi jazad tak uzur meredup...//
MayaAzeezah dalam puisinya “ Maafkanlah”
//.../Memperlihatkan Hisab?
Amal perbuatan selama ramadhan
Ya, aku tercantum paling hitam
Pada buku-buku malaikat/...//
Faisal ER dalam puisinya “ Sebuah Catatan Ramadhan”
//Di ujung sajadah
aku memeluk air matamu
Menari dalam kenangan
Sebagian yang lain
mengejar impian sampai ke langit
Mengubah dirinya menjadi bahasa tubuh,
seperti puisi diam dalam makna....//
Eri Syofratmin dalam puisinya Air mata jiwa
//...: Yang bersetubuh dalam jasad,
Bimbing Nurku. Siram, bersihkan
Bersama air suci dan zikir-zikir hening
Sampai air mata jiwaku mengalir,
Dari bilik-bilik lembah mata jiwaku.
Ya Nur Muhammad.....//
Faisal ER dalam puisinya Sebuah Catatan Ramadhan
//...Namun tangismu terdengar nyaring
Menunggu lailatul qodhar yang nyaris
Mulutmu yang gagap dan tanganmu yang lemah
Tak kuasa menggapai meskipun melambai
Doamu membakar sunyi yang sepi
Sujudmu kesenyapan yang sendiri//
Osratus dalam puinya “ Protes tentang Sepasang Sandal Jepit”
//...."mungkin, daripada hidup diselimuti kepurapuraan makanya mereka pulih bercerai. mungkin juga, ada sandal ketiga yang iseng. bisa jadi, aku dan dirimu penyebabnya. tapi bukankah menganggap pasti yang belum pasti, sama saja dengan bohongi diri sendiri? ...//
Muhammad Affip“ Dongeng Batu Puasa”
//...Ketika ada orang gundah mencari arah lalu
daun berisik dan gugur bersama angin, batu dingin
menanti hujan menunggu matahari menyapa kembali.
--seorang bocah menangis kepalanya berdarah
O dari manakah kerikil yang buta arah?//.
Najibul Mahbub dalam puisinya Lautan berikut cuplikannya
//Ketika Camar mencari peraduan
Diantara karang-karang terjal
Monyet memilih Senayan dalam genggaman
Sedangkan kancil menjadi penguasa di lautan....//
Tinta penyair adalah karya seni pikir penyair yang digoreskan dengan perantara aksara. Betapa dalam menahan lapar dan dahaga penyair kita membuahkan karya bermutu tinggi dalam tadarus puisi Sedekah puisi, yang betul-betul , dan sekali lagi penulis katakan sangat indah seperti berbagi keindahan. Berikut cuplikan-cuplikan puisi indah itu :
Suhendi RI dalam puinya “ Nirvana”
//...Dalam kefanaan ia mengasingkan diri
Menembus batas semu surgawi
Menuju jalan budhi...//
Harkoni Madura denga puisinya “ Cemara Udang Pantai Lombang”
//....sapuan pucuk daun-daunnya mengisyaratkan ihwal pendakian
mengupak semestaku menuju rute-rute rindu
hampar pasir dan ikan-ikan yang berenangan
masih menjinjing sakaw dzikir penghujan
hingga pada jingkrak tubuh-tubuh sampan
kujumpa rekah jalan sebasah kayuhan firman
menyambut denyut senja yang berarak
kusyahadatkan kedirian lewat basuhan sajak-sajak
selagi jazad tak uzur meredup...//
MayaAzeezah dalam puisinya “ Maafkanlah”
//.../Memperlihatkan Hisab?
Amal perbuatan selama ramadhan
Ya, aku tercantum paling hitam
Pada buku-buku malaikat/...//
Faisal ER dalam puisinya “ Sebuah Catatan Ramadhan”
//Di ujung sajadah
aku memeluk air matamu
Menari dalam kenangan
Sebagian yang lain
mengejar impian sampai ke langit
Mengubah dirinya menjadi bahasa tubuh,
seperti puisi diam dalam makna....//
Eri Syofratmin dalam puisinya Air mata jiwa
//...: Yang bersetubuh dalam jasad,
Bimbing Nurku. Siram, bersihkan
Bersama air suci dan zikir-zikir hening
Sampai air mata jiwaku mengalir,
Dari bilik-bilik lembah mata jiwaku.
Ya Nur Muhammad.....//
Faisal ER dalam puisinya Sebuah Catatan Ramadhan
//...Namun tangismu terdengar nyaring
Menunggu lailatul qodhar yang nyaris
Mulutmu yang gagap dan tanganmu yang lemah
Tak kuasa menggapai meskipun melambai
Doamu membakar sunyi yang sepi
Sujudmu kesenyapan yang sendiri//
Osratus dalam puinya “ Protes tentang Sepasang Sandal Jepit”
//...."mungkin, daripada hidup diselimuti kepurapuraan makanya mereka pulih bercerai. mungkin juga, ada sandal ketiga yang iseng. bisa jadi, aku dan dirimu penyebabnya. tapi bukankah menganggap pasti yang belum pasti, sama saja dengan bohongi diri sendiri? ...//
Muhammad Affip“ Dongeng Batu Puasa”
//...Ketika ada orang gundah mencari arah lalu
daun berisik dan gugur bersama angin, batu dingin
menanti hujan menunggu matahari menyapa kembali.
--seorang bocah menangis kepalanya berdarah
O dari manakah kerikil yang buta arah?//.
Najibul Mahbub dalam puisinya Lautan berikut cuplikannya
//Ketika Camar mencari peraduan
Diantara karang-karang terjal
Monyet memilih Senayan dalam genggaman
Sedangkan kancil menjadi penguasa di lautan....//
(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)
Mereka Melihat Malam Lailatulkadar di Sedekah Puisi Ramadhan 1439 H
Mereka Melihat Malam Lailatulkadar
Sungguhpun puisi, tak sembarang puisi, dan puisi pun dapat mengungkap rahasia alam, dan meraba Rahasia Allah dengan pengalaman batin dan pengalaman lahiriahnya dalam hidup ini. Penyair –penyair pun mendapatkan kesempatan melihat Malam Lailatulkadar dengan goresan tintanya itu.
Arie Png Adadua dalam puisi “ Pada Malam Lailatulkadar II” :
//...seorang muslim terpilih
ke luar surau usai i’tikab bersendiri
di malam hitungan ganjil
diam terpaku di satu langkah kecil//
...//tak ada angin semilir
pikiran dan hatinya dalam dzikir
malihat daun-daun merunduk
seakan-akan khusyuk rukuk
jagat raya dan alam sekitar
seperti diam berhenti berputar
pada malam lailatulkadar...//
Dzul Halim dalam puinya “ Aku ingin mengecup keningmu”.
//...Bait-bait diri melayang menerjang mega-mega,
Tergantung pada doa yang entah kemana singgah...//
Dzul Halim dalam puisi lainnya “ Rindu”.
//...Bahkan samar berjelaga.
Hanya gulita berselimut fatamorgana dalam diam
Yang terus membungkam...//
Parijem dalam puisi “Jika tlah” :
//azan memanggilku bukan berkumandang
shalat adalah jalanku bukan perkara
puasa itu rutinitas bukan lagi sunah atau wajib
zakat menjadi bagianku bukan satu perintah
Naas menjadi terutama tak utama,
Tlah,
Akhir nafasku//
Sami’an Adib dalam puisinya “ Di Malam ke-21 Ramadan “ :kenangan puasa di bawean”
//... “assalamualaikum, salam bahagia dan kesejahteraan
kami hantarkan bersama sejinjing remah persaudaraan”...//
Yanu Faoji dalam pusinya “ Pancaran Makrifat”
//....Yang melarungkan tuna waca Merangkul shidiq pada setiap hembusan nafas
Dan meniupkan jilat yang melalap Membasah kuyupkan seluruh tubuh ...
Alek Brawijaya dalam puisnya “ Mazhab Bulan”
//...Kucatat semuanya dalam satu malam
sampai tiba fajar akan kugabungkan
menjadi sebuah mazhab perjalanan menuju bulan...//
Sungguhpun puisi, tak sembarang puisi, dan puisi pun dapat mengungkap rahasia alam, dan meraba Rahasia Allah dengan pengalaman batin dan pengalaman lahiriahnya dalam hidup ini. Penyair –penyair pun mendapatkan kesempatan melihat Malam Lailatulkadar dengan goresan tintanya itu.
Arie Png Adadua dalam puisi “ Pada Malam Lailatulkadar II” :
//...seorang muslim terpilih
ke luar surau usai i’tikab bersendiri
di malam hitungan ganjil
diam terpaku di satu langkah kecil//
...//tak ada angin semilir
pikiran dan hatinya dalam dzikir
malihat daun-daun merunduk
seakan-akan khusyuk rukuk
jagat raya dan alam sekitar
seperti diam berhenti berputar
pada malam lailatulkadar...//
Dzul Halim dalam puinya “ Aku ingin mengecup keningmu”.
//...Bait-bait diri melayang menerjang mega-mega,
Tergantung pada doa yang entah kemana singgah...//
Dzul Halim dalam puisi lainnya “ Rindu”.
//...Bahkan samar berjelaga.
Hanya gulita berselimut fatamorgana dalam diam
Yang terus membungkam...//
Parijem dalam puisi “Jika tlah” :
//azan memanggilku bukan berkumandang
shalat adalah jalanku bukan perkara
puasa itu rutinitas bukan lagi sunah atau wajib
zakat menjadi bagianku bukan satu perintah
Naas menjadi terutama tak utama,
Tlah,
Akhir nafasku//
Sami’an Adib dalam puisinya “ Di Malam ke-21 Ramadan “ :kenangan puasa di bawean”
//... “assalamualaikum, salam bahagia dan kesejahteraan
kami hantarkan bersama sejinjing remah persaudaraan”...//
Yanu Faoji dalam pusinya “ Pancaran Makrifat”
//....Yang melarungkan tuna waca Merangkul shidiq pada setiap hembusan nafas
Dan meniupkan jilat yang melalap Membasah kuyupkan seluruh tubuh ...
Alek Brawijaya dalam puisnya “ Mazhab Bulan”
//...Kucatat semuanya dalam satu malam
sampai tiba fajar akan kugabungkan
menjadi sebuah mazhab perjalanan menuju bulan...//
(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)
Pengamopunan Penyair , di Sedekah Puisi Ramadhan 1439 H
Pengampunan Penyair
Ramadhan adalah juga bulan pengampunan. Digambarkan dengan begitu indah dalam catatan-catatan ibadah yang sangat membuat hati kagum akan kesungguhan umatMu mengisi bulanMu yang suci . Beberapa penyair tersebut menorehnya dalam guratan-guratan puisi yang kadang memiliki kekuatan nafas ibadah dan kemuliaan Ramadhan. Berikut Raden Rita Maemunah dalam puisinya “ Bersujudlah”
//....Kau terbangun saat malam masih pekat
Mengeluh dan kembali nyenyak
Mengapa kau tak bangun bersujud mengucap rasa sukur
Menadahkan tangan sambil tersungkur...//.
Sedang Dwi Wahyu C.D. dalam puinya “ Doaku”
//Di ujung shaf kutundukkan pandangan
Kupasrahkan jiwa dan ragaku
Tuk merengkuh pengharapan ridho-Mu....//. Juga
Syahriannur Khaidir dalam puinya “ PadaMu”
//...PadaMu haruskah kukenali cemburu
Karena kucumbui Kau dengan rayuan semaunya
Dalam jalan pilihan para pendosa
Tak henti-hentinya menggedor pintu-pintu taubat//
Sedang penyair-penyair lainnya tak kalah dalam mengagungkan kebesaran ramadan dengan menggambarkan kekhusuan dalam menjalankan perintah itu, seperti Septiannoor dalam cuplikan puisinya
//Pulang mereka tergesa
Dengan nasi dan sejumlah uang untuk para putra-putri mereka
Pakaian lusuh berjuntai dengan wajah berseri gembira
Ingin segera pulang untuk berbuka
Bersama keluarga meski hanya sedekah hari ini yang mereka terima//, kemudian
Septiannoor melanjutkan dalam puisi lain , berikut cuplikannya:
//....Certia terus berlanjut
Senyum dan tawa akhirnya selesai pada suara bedug disurau desa...//
RB Pramono dalam puisinya “ Di Simpang Jalan Itu”
//kau memanggilku
wajahmu lelah namun berseri
jarak cahaya telah kau tempuh
aku ingin bersimpuh
wahai sang Kekasih Jiwa...//
di puisi lain RB Pramono menulis “ Demi Masa”
//...demi masa, aku tak ingin tumbang
sedang batin masih demikian kerontang
/demi masa, aku ingin bersujud tanpa hitungan
menjelang jemputan pulang//
Akhmad Asyari dalam puisi yang berjudul “ Hahaha”
//...Sadar bila sakit
Istighfar hingga kelangit
Tafakkur bila syukur
Sujudpun sampai mendengkur
Hahaha...
Kau ini, ada-ada saja!//.
(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)
Ramadhan adalah juga bulan pengampunan. Digambarkan dengan begitu indah dalam catatan-catatan ibadah yang sangat membuat hati kagum akan kesungguhan umatMu mengisi bulanMu yang suci . Beberapa penyair tersebut menorehnya dalam guratan-guratan puisi yang kadang memiliki kekuatan nafas ibadah dan kemuliaan Ramadhan. Berikut Raden Rita Maemunah dalam puisinya “ Bersujudlah”
//....Kau terbangun saat malam masih pekat
Mengeluh dan kembali nyenyak
Mengapa kau tak bangun bersujud mengucap rasa sukur
Menadahkan tangan sambil tersungkur...//.
Sedang Dwi Wahyu C.D. dalam puinya “ Doaku”
//Di ujung shaf kutundukkan pandangan
Kupasrahkan jiwa dan ragaku
Tuk merengkuh pengharapan ridho-Mu....//. Juga
Syahriannur Khaidir dalam puinya “ PadaMu”
//...PadaMu haruskah kukenali cemburu
Karena kucumbui Kau dengan rayuan semaunya
Dalam jalan pilihan para pendosa
Tak henti-hentinya menggedor pintu-pintu taubat//
Sedang penyair-penyair lainnya tak kalah dalam mengagungkan kebesaran ramadan dengan menggambarkan kekhusuan dalam menjalankan perintah itu, seperti Septiannoor dalam cuplikan puisinya
//Pulang mereka tergesa
Dengan nasi dan sejumlah uang untuk para putra-putri mereka
Pakaian lusuh berjuntai dengan wajah berseri gembira
Ingin segera pulang untuk berbuka
Bersama keluarga meski hanya sedekah hari ini yang mereka terima//, kemudian
Septiannoor melanjutkan dalam puisi lain , berikut cuplikannya:
//....Certia terus berlanjut
Senyum dan tawa akhirnya selesai pada suara bedug disurau desa...//
RB Pramono dalam puisinya “ Di Simpang Jalan Itu”
//kau memanggilku
wajahmu lelah namun berseri
jarak cahaya telah kau tempuh
aku ingin bersimpuh
wahai sang Kekasih Jiwa...//
di puisi lain RB Pramono menulis “ Demi Masa”
//...demi masa, aku tak ingin tumbang
sedang batin masih demikian kerontang
/demi masa, aku ingin bersujud tanpa hitungan
menjelang jemputan pulang//
Akhmad Asyari dalam puisi yang berjudul “ Hahaha”
//...Sadar bila sakit
Istighfar hingga kelangit
Tafakkur bila syukur
Sujudpun sampai mendengkur
Hahaha...
Kau ini, ada-ada saja!//.
(Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM)
Senin, 11 Juni 2018
Sedekah Puisi , Tadarus Puisi 2 , No. 21-30
21.
Alek Brawijaya
Poneglyph
Dalam Sebuah Kicauan
Alek Brawijaya
terbanglah
pandanganku!
seperti terlepas dari ikatan
dan kepakkan sayap perlahan menghempas angin
menaburkan debu yang selama ini
menjadi selimut dari tidurnya.
seperti terlepas dari ikatan
dan kepakkan sayap perlahan menghempas angin
menaburkan debu yang selama ini
menjadi selimut dari tidurnya.
aku yang
tersudut di samping jendela
merasakan sebuah aura yang memanggilku
ketika sorotan jatuh keluar melihat kerimbunan pepohonan melambai
untuk singgah pada awal sebelum nabi adam diturunkan ke bumi
merasakan sebuah aura yang memanggilku
ketika sorotan jatuh keluar melihat kerimbunan pepohonan melambai
untuk singgah pada awal sebelum nabi adam diturunkan ke bumi
kembali
pada abad kekosongan
dan menjadi fitrah tak berdebu
adalah naluri dari setiap kicauan
yang bersarang di dalam dada
dan menjadi fitrah tak berdebu
adalah naluri dari setiap kicauan
yang bersarang di dalam dada
hanya saja
butuh puingpuing prasesti
untuk merangkai menjadi kerangka yang harmonis
dan menapak-tilaskan rangkaian silsilah dalam sejarah
hingga menjadi sebuah cerita, muasalnya surga.
untuk merangkai menjadi kerangka yang harmonis
dan menapak-tilaskan rangkaian silsilah dalam sejarah
hingga menjadi sebuah cerita, muasalnya surga.
Teluk Kijing, Juni 2017
Alek Brawijaya
Mazhab
Bulan
Kepada risalah malam
yang selalu bersenandung semililir angin bisu
berdakwahlah dengan gairah bintang!
berkelipan seperti jemari kunang-kunang dari kuku sang leluhur.
Telah ku
temukan kerimbunan temaram dalam ruh
berirama selaras dengan waktu
saat awan hitam berlari dari kejauhan cahaya bulan.
berirama selaras dengan waktu
saat awan hitam berlari dari kejauhan cahaya bulan.
Lalu dia
mengintaiku setelah mataku terjatuh
menemui ketidaksadaran untuk bermimpi
membangun silsilah melalui pertikaian yang harmonis
dari sisi perputaran waktu dan pergantian jejak
atau deretan malam yang beralun dalam kesunyian
menemui ketidaksadaran untuk bermimpi
membangun silsilah melalui pertikaian yang harmonis
dari sisi perputaran waktu dan pergantian jejak
atau deretan malam yang beralun dalam kesunyian
Kucatat
semuanya dalam satu malam
sampai tiba fajar akan kugabungkan
menjadi sebuah mazhab perjalanan menuju bulan
bulan kesekian atau bulan kesepian.
sampai tiba fajar akan kugabungkan
menjadi sebuah mazhab perjalanan menuju bulan
bulan kesekian atau bulan kesepian.
Teluk Kijing, Juli 2016
22.
Bambang
Widiatmoko
Idul Fitri di Bukit Barchan
Menjelang ombak
kian pasang
Kita
berjalan menyibak deretan pohon pandan
Memenuhi
bukit-bukit Barchan
Di tepi
pantai laut selatan
Sejauh
mata memandang - debur gelombang.
Kita telah
duduk melipat kaki
Terasa
butiran pasir menjalar di kanan dan kiri
Mendengar
dengan khidmat kotbah Idul Fitri
Lantas
begitu saja kusadari
Di tepi
pantai ini - kekosongan hati.
Seperti
permukaan pasir yang dipermainkan angin
Membentuk
mozaik yang selalu berubah bentuk
Lalu aku
kembali tertunduk saat angin datang mengetuk
Seolah
ingin menunjukkan - di hadapanmu terbentang laut
Dan kamu
hanyalah sebutir pasir yang selalu terantuk.
2018
23.
Suhendi RI
Nirvana
Demi
mencapai kesejatian paling hakiki
Ia tanggalkan pakaian duniawi
Samsara, karma, reinkarnasi
Jiwa suci
Menyepi
Ia tanggalkan pakaian duniawi
Samsara, karma, reinkarnasi
Jiwa suci
Menyepi
Dalam
kefanaan ia mengasingkan diri
Menembus batas semu surgawi
Menuju jalan budhi
Gelap sunyi
Abadi
Menembus batas semu surgawi
Menuju jalan budhi
Gelap sunyi
Abadi
Cikarang, 16 Januari
2018
24.
Harkoni Madura
Cemara
Udang Pantai Lombang
sepagi ini
cemara udang mulai melarung keteduhan
menidurkan usikan terik yang mulai menisik
bulir-bulir embun semalaman singgah
tipis jejaknya masih menikahi landai tanah
menidurkan usikan terik yang mulai menisik
bulir-bulir embun semalaman singgah
tipis jejaknya masih menikahi landai tanah
di antara
pekikan camar
dan senggak ombak yang menyetubuhi jangkar
sapuan pucuk daun-daunnya mengisyaratkan ihwal pendakian
mengupak semestaku menuju rute-rute rindu
dan senggak ombak yang menyetubuhi jangkar
sapuan pucuk daun-daunnya mengisyaratkan ihwal pendakian
mengupak semestaku menuju rute-rute rindu
hampar
pasir dan ikan-ikan yang berenangan
masih menjinjing sakaw dzikir penghujan
hingga pada jingkrak tubuh-tubuh sampan
kujumpa rekah jalan sebasah kayuhan firman
masih menjinjing sakaw dzikir penghujan
hingga pada jingkrak tubuh-tubuh sampan
kujumpa rekah jalan sebasah kayuhan firman
menyambut
denyut senja yang berarak
kusyahadatkan kedirian lewat basuhan sajak-sajak
selagi jazad tak uzur meredup
selagi degup belumlah surup
kusyahadatkan kedirian lewat basuhan sajak-sajak
selagi jazad tak uzur meredup
selagi degup belumlah surup
Banyuates, 25 Maret 2018
25.
MayaAzeezah
Maafkanlah
Langit
biru sisa hari-hari pengampunan
Dicurah
mega menggumpal
Sinar
putih sebagai tanda misteri
Apakah
gerangan?
Memperlihatkan
Hisab?
Amal
perbuatan selama ramadhan
Ya, aku
tercantum paling hitam
Pada
buku-buku malaikat
Mungkin
lebih putih awan-awan berarak
Meski
siang rela menahan lapar dan kering tekak
Malam tak
tidur nyenyak
Noda tak
begitu saja lesap
Astagfirullah,
Hamba sering
silap menyemat kata maaf
Berpegang
teguh kepadaMu Allah
Namun
meninggalkan tali perikatan terhadap sesama
Sungguh!
Manusia
dicipta
Penuh alpa
Penuh
keluh
#MayaAzeezah040618
Riswo Mulyadi
Apakah Aku Puasa
apakah aku
puasajika lidahku masih sibuk menyusun kata-kata untuk melukai dada orang lain
apakah aku puasa
bila tak mampu memangkas nafsu
apakah aku puasa
jika seharian menahan lapar seraya menumpuk menu untuk berbuka
jika pun aku puasa
apakah akan kembali ke fitri
jika lebaran kujadikan ajang riya
21 Mei 2018
26.
Faisal ER
Sebuah
Catatan Ramadhan
Di ujung
sajadah
aku
memeluk air matamu
Menari
dalam kenangan
Sebagian
yang lain
mengejar
impian sampai ke langit
Mengubah
dirinya menjadi bahasa tubuh,
seperti
puisi diam dalam makna.
Dalam
perjalanan Ramadhan
Jiwaku
menyelusup dalam tubuhmu
saling
berkejaran mengejar bayangan
Meraih
cinta Tuhan
Namun
sunyi membakar sepiku
Raiblah
doa-doa dalam munajahku
Namun
tangismu terdengar nyaring
Menunggu
lailatul qodhar yang nyaris
Mulutmu
yang gagap dan tanganmu yang lemah
Tak kuasa
menggapai meskipun melambai
Doamu
membakar sunyi yang sepi
Sujudmu
kesenyapan yang sendiri
Sumenep, 11 Juni 2018
27.
Air mata jiwa
Ramadhan,
: Perjalan menahan nafsu
Menahan segala yang kita mau
Menahan segalagala yang kita rindu
Yang menggebu-gebu dalam lubuk kalbu.
: Perjalan menahan nafsu
Menahan segala yang kita mau
Menahan segalagala yang kita rindu
Yang menggebu-gebu dalam lubuk kalbu.
Wahai
ruh,
: Yang bersetubuh dalam jasad,
Bimbing Nurku. Siram, bersihkan
Bersama air suci dan zikir-zikir hening
Sampai air mata jiwaku mengalir,
Dari bilik-bilik lembah mata jiwaku.
: Yang bersetubuh dalam jasad,
Bimbing Nurku. Siram, bersihkan
Bersama air suci dan zikir-zikir hening
Sampai air mata jiwaku mengalir,
Dari bilik-bilik lembah mata jiwaku.
Ya
Nur Muhammad
Ya Nurrullah,
: Bimbing Aku menuju
Kebenaran ajaranMu.
Ya Nurrullah,
: Bimbing Aku menuju
Kebenaran ajaranMu.
Subhanallah
Walhamdullillah
Walaillahaillallah
Allah huakbar
Walhamdullillah
Walaillahaillallah
Allah huakbar
Kubasuh
air mata jiwaku.
Kota
LINTAS, 5 Juni 2018.
28.
Zaeni Boli
Malam Hampir Lebaran
hanya
taburan bintang di langit
Daun daun bergosip angin berisik
Daun daun bergosip angin berisik
Yang
Mulia hampir pergi
Meninggalkan kita yang papah
Adalah kita beserta kita yang masih menempel
Meninggalkan kita yang papah
Adalah kita beserta kita yang masih menempel
Adakah
cinta
Masih menempel di hati kita
Saat Ramadhan berlalu
Tak ku lihat airmatamu
Masih menempel di hati kita
Saat Ramadhan berlalu
Tak ku lihat airmatamu
Zaeni
Boli
Flores ,Larantuka
Flores ,Larantuka
29.
Agustav Triono
Ramadhan dan Syawal
Ramadhan
dan Syawal adalah sebuah penantian sekian purnama berlalu leliku hidup
perjalanan
Seclurit bulan penanda kedatangan dinanti dengan gembira hati
Harihari bertabur religi
Pun berhias hargaharga melambung tinggi
Seclurit bulan penanda kedatangan dinanti dengan gembira hati
Harihari bertabur religi
Pun berhias hargaharga melambung tinggi
Ramadhan
dan Syawal adalah sebuah perjumpaan
Saat kepak sayap malaikat menjaring doadoa bumi
Dari bibirbibir kering dahaga
Melangitkan harap dan asa terkabullah agar tak cuma lapar saja
Dan ibadah bukan kerna ingin dipuji tetangga
Saat kepak sayap malaikat menjaring doadoa bumi
Dari bibirbibir kering dahaga
Melangitkan harap dan asa terkabullah agar tak cuma lapar saja
Dan ibadah bukan kerna ingin dipuji tetangga
Ramadhan
dan Syawal adalah sebuah kerinduan
Bila bertemu ingin erat selalu bila hendak pergi tak mau lepas lagi
Dan bulanbulan akan terus berjalan menggilas penanggalan
Hikmah janganlah dibawa pergi
Agar rahmatnya menghias harihari
Mengabadi.
Bila bertemu ingin erat selalu bila hendak pergi tak mau lepas lagi
Dan bulanbulan akan terus berjalan menggilas penanggalan
Hikmah janganlah dibawa pergi
Agar rahmatnya menghias harihari
Mengabadi.
11-Juni-2018
30.
Barokah Nawawi
Pencari Zakat
Senandung
pagi ini pedih mengiris hati
Ibu-ibu
paruh baya berbaris mengetuk pintu hati
Di
sepanjang rumah zakat kota santri.
Ketukan
pintu pagi ini membuatku menangis
Ke
manakah perginya kesadaran harga diri
Hingga
demikian mudah menadahkan tangan kefakiran
Mengetuk
tanpa malu pintu-pintu derma yang terbuka.
Ibu-ibu
paruh baya yang masih kuat berlari
Terus
berlari menyongsong derma yang mengalir
Dari
rumah ke rumah sampai ke sudut kota yang terpinggir
Berselubung
tatapan letih dan wajah yang menghiba.
Di
ujung kota mereka berpelukan
Dengan
wajah sumringah berbagi kebahagiaan
Besok
aku bisa bayar uang sekolah anak-anakku
Besok
aku bisa membeli kalung impianku
Besok
aku bisa membeli sebidang sawah
Besok
aku bisa membangun rumah.
Ibu-ibu
paruh baya yang lembut hati
Sesungguhnya
kau adalah wanita yang solehah
Sayang
jiwa fakirmu telah menutupkan tirai-tirai sorga
Hingga
cahya-Nya yang cemerlang menjadi redup
Menghilang
di aura wajah cantikmu.
Semarang,
Juni 2018
Sabtu, 09 Juni 2018
Sedekah Puisi , Tadarus Puisi 2 , No. 01-10
1.
RB Pramono
di
simpang jalan itu
kau memanggilku
wajahmu lelah namun berseri
jarak cahaya telah kau tempuh
aku ingin bersimpuh
wahai sang
Kekasih Jiwa
aku teduh pada sosokmu
saat keluh melusuh
tangan kokohmu membelaikan sutra
di wajahku
termangu
aku teduh pada sosokmu
saat keluh melusuh
tangan kokohmu membelaikan sutra
di wajahku
termangu
di simpang
jalan itu
terseok rinduku
debu meliat di batinku
sekian waktu kujalani
mengikuti bayang jejakmu
langkahku tercecer
hatiku terserak
aku tersesat
terseok rinduku
debu meliat di batinku
sekian waktu kujalani
mengikuti bayang jejakmu
langkahku tercecer
hatiku terserak
aku tersesat
suaramu
menggema memanggilku
aku bergegas
penuh rindu
aku bergegas
penuh rindu
aihh,
layakkah aku merindu
sedang sambat pujaku
tak menentu?
sedang sambat pujaku
tak menentu?
2.
Akhmad Asyari
Bukan
Puisi Bukan
Gerbong
yang berderet di rel itu
Muatannya
adalah luka berdarah-darah
Yang
berkibar di negeri tercinta
Kulihat
satu gerbong adalah tangisan
Rakyat
miskin berlabel kesejahteraan
Makan dari
buah keringatnya yang resah
Satu
persatu tercecer diantara bajak sawah
Tukang
becak dan petik dawai trotoar disana
Mari kita
lihat bersama,
Raskin
hanya berisi beras busuk
Ayampun
enggan makan, kecuali dimasak dengan tepung bubuk
Subsidi
BBM hanya untuk kendaraan bermotor
Sedangkan
aku lebih suka naik kerbau
Meski
larinya tak sekencang Phanter atau Jaguar
(Phanter
dan Jaguar, kan binatang juga!)
Kulihat
satu gerbong adalah jeritan
Rakyat
yang dikebiri perlahan-lahan
Kartu
pintar, untuk orang yang bodoh
Sedangkan
aku sudah bisa membaca, menulis
Bahkan
mengarang puisi dan cerita mistis
Jalan raya
dibuat licin dan cling
Menganga
sedikit, pengendara banyak jatuh
(Makanya
kalau jalan liat-liat !
Enakan
jalan rusak, karena mesti ada papan peringatan)
“Awas
hati-hati, jalan rusak/bergelombang”
Satu
gerbong diatasnya rel
Setumpuk
buku yang diberi nama kurikulum
Yang
berubah-ubah sesuai dengan selera
Ada yang
idealis, ada yang fundamentalis
Sama
sebenarnya rasa dan baunya
Cuma beda
masak dan penyajiannya
Akhirnya
sekolah hanya Kolonialisme
Yang
terstruktur dan tidak merdeka
Anak-anak
sudah bingung
Tidak bisa
membedakan antara tahu dan tempe
Karena
bahannya sama dari kedele
Ssttt!!!...
Berhentilah
menghina penguasa
Karena
bisa dipidana
(KUHP
warisan Belanda)
Lebih baik
menghina diri sendiri
Bebas, tak
akan dipenjara !
Akhmad Asyari
Hahaha
Kau
ciptakan,
Bumi yang
tertawa
Susah, senang
dan bahagia
Berpeluh
hingga lupa dahaga
Gedung
bertingkat hingga dasi berkelebat
Tipu,
lugu, mangu, apapun mauku
Kami akan
nikmati
Bumi yang
berkah tergadai benci
Berselimut
salah
Tiba-tiba
minta maaf,
Berbusa-busa
dosa
Pura-pura
duduk tak berdaya,
Hahaha...
Kau
rupakan,
Anak kecil
bertangisan,
Dengan
peluk dan mainannya
Ibu
menghampar sajadah,
Dengan
sorga dibawah kakinya
Ayah
bekerja keras,
Dengan
keyakinan tercukupi hidupnya
Sadar bila
sakit
Istighfar
hingga kelangit
Tafakkur
bila syukur
Sujudpun
sampai mendengkur
Hahaha...
Kau ini,
ada-ada saja!
Batuputih Kenek, 11
Februari 2018
Akhmad Asyari, Puisi
dan Sajaknya pernah dimuat Majalah Muara, Santri, Horison, Kuntum, Mimbar
Pembangunan Agama, Sumekar. Menjuarai Penulisan Cerita Rakyat Sumenep 2017 dan
dibukukan dalam "MUTIARA YANG TERSERAK", Rumah Literasi Sumenep
(2018), Nominator Temu Penyair Asia Tenggara dan dibukukan dalam Antologi Puisi
"EPITAF KOTA HUJAN" FPL dan Dinas Perpustakaan Kota Padang Panjang
(2018). Tinggal di Jl. Toghur Billah, MTs. Darul Ulum, Dusun Pondok Laok RT. 04
/ RW. 2 Desa Batuputih Kenek, Kec. Batuputih Kab. Sumenep Madura Propinsi Jawa
Timur 69453. HP/WA 08175249599.
3.
Raden Rita Maemunah
Kasig di Bulan Ramadhan
Taman
kasih mulai mekar
Saat Ramadhan datang,Allah Maha Besar
Takbir bersahutan menyambut Ramadhan
Kita akan mulai merenda bulan suci. Memperbanyak ibadah
Sadakah dan menebar kebaikan, mengharap Ridho Allah
Anak piatu bersukacita, kan banyak orang datang undang berbuka
Nuansa damai mulai mengalun merdu
Anak piatu akan makan enak,
Cahaya akan terangi jiwa yang pelit sedekah
Mulai suci ini berebutlah mencari pahala
Hati yang sering menimbun dosa
Malam ini dan 30 hari kedepan
Bukalah hati, kikis maksiat, dan timbunlah Iman
Saat Ramadhan datang,Allah Maha Besar
Takbir bersahutan menyambut Ramadhan
Kita akan mulai merenda bulan suci. Memperbanyak ibadah
Sadakah dan menebar kebaikan, mengharap Ridho Allah
Anak piatu bersukacita, kan banyak orang datang undang berbuka
Nuansa damai mulai mengalun merdu
Anak piatu akan makan enak,
Cahaya akan terangi jiwa yang pelit sedekah
Mulai suci ini berebutlah mencari pahala
Hati yang sering menimbun dosa
Malam ini dan 30 hari kedepan
Bukalah hati, kikis maksiat, dan timbunlah Iman
Padang, 29 Mei 2018
Raden Rita Maemunah
Bersujudlah
Malam tak
pernah selesai bercerita tentang gelap
Sementara jangkrik bernyanyi dengan riang
Binatang malam itu begitu ria menyambut kegelapan
Sementara kita lena dalam mimpi yang jauh
Tak ada keluh saat binatang malam mengulum kelam
Kau terbangun saat malam masih pekat
Mengeluh dan kembali nyenyak
Mengapa kau tak bangun bersujud mengucap rasa sukur
Menadahkan tangan sambil tersungkur
Menghiba pada sang khalik
Padang, 31 Mei 2018
Sementara jangkrik bernyanyi dengan riang
Binatang malam itu begitu ria menyambut kegelapan
Sementara kita lena dalam mimpi yang jauh
Tak ada keluh saat binatang malam mengulum kelam
Kau terbangun saat malam masih pekat
Mengeluh dan kembali nyenyak
Mengapa kau tak bangun bersujud mengucap rasa sukur
Menadahkan tangan sambil tersungkur
Menghiba pada sang khalik
Padang, 31 Mei 2018
Raden Rita Maimunah
Menyesal
Kisah
sunyi yang lenggang, menyambut ramadhan dengan duka
Tanpa siapa, sayup ingat cerita yang telah usai
Tak lagi ada pekik riang, menyambut beduk
Tak ada suara kecil menatap pabukoan dengan semangat
Aku nahkoda yang telah di hantam ombak nafsu
Tak dapat memenjarakan cinta, yang ada dalam rongga dada
Tak lagi dapat membedakan embun pagi dan lembab malam
Aku tualang yang gagal mengejar cinta
Dan membuang mangkuk indah yag disebut keluarga
Ingin kembali, tak ada pintu terbuka
Hingga berbuka di bulan ramadhan dalam kesendirian
Suara cadel anak anak mengaji, terdengar pilu
Buah hati telah kutinggal pergi
Meski asa kini mulai bangkit, tak lagi dapat berbalik pulang
Tinggal sesal yang datang
Tanpa siapa, sayup ingat cerita yang telah usai
Tak lagi ada pekik riang, menyambut beduk
Tak ada suara kecil menatap pabukoan dengan semangat
Aku nahkoda yang telah di hantam ombak nafsu
Tak dapat memenjarakan cinta, yang ada dalam rongga dada
Tak lagi dapat membedakan embun pagi dan lembab malam
Aku tualang yang gagal mengejar cinta
Dan membuang mangkuk indah yag disebut keluarga
Ingin kembali, tak ada pintu terbuka
Hingga berbuka di bulan ramadhan dalam kesendirian
Suara cadel anak anak mengaji, terdengar pilu
Buah hati telah kutinggal pergi
Meski asa kini mulai bangkit, tak lagi dapat berbalik pulang
Tinggal sesal yang datang
Padang 29 Mei 2018
4.
Gilang Teguh Pambudi
9 Puisi Pendek Di Atas Tisu
1. MEMBUKA RAMADAN
hujan jam sembilan
menyentuh touchscreen
aku menulis keajaiban Ramadan
menyentuh touchscreen
aku menulis keajaiban Ramadan
2. KEPADA SEORANG ANAK
teringat sebuah puisi
yang kuberikan kepada seorang anak
suatu kali
tentang hujan menyentuh daun
membaca ayat-ayat suci
yang kuberikan kepada seorang anak
suatu kali
tentang hujan menyentuh daun
membaca ayat-ayat suci
3. PUISI DI ATAS TISU
puisi di atas tisu
tipis rahasianya
sebab tak guna penyair
menyembunyikan makna
tipis rahasianya
sebab tak guna penyair
menyembunyikan makna
4. KUTULIS PUISI
pada tisu
kutulis puisi
lembut
dan wangi
kutulis puisi
lembut
dan wangi
5. BASAH LANGIT RAMADAN SAMPAI KE RAMBUTMU
coba selalu bayangkan ada di Ramadan
hari ke tiga
hujan
bacaan-bacaan langitpun basah
sampai ke rambutmu
hari ke tiga
hujan
bacaan-bacaan langitpun basah
sampai ke rambutmu
6. BAGAIMANA SAMPAI RAMADAN
bagaimana Ramadan sampai hari ke tujuh
kalau tubuhmu tak menemui hujan
di situ?
kalau tubuhmu tak menemui hujan
di situ?
7. RAMADAN YANG SELALU PUASA
sebab kamulah Ramadan yang selalu puasa
sampai hujan tak mengatakan, tidak!
sampai hujan tak mengatakan, tidak!
8. RAMADAN ITU
basah siangnya
basah malamnya
tak berkesudahan
basah malamnya
tak berkesudahan
9. RAMBU MALAIKAT
malaikat memasang rambu Ramadan
"hati-hati dalam perjalanan"
aspal yang basah hujan
selalu cinta dan persetubuhan
nanti keringnya, melulu penantian
"hati-hati dalam perjalanan"
aspal yang basah hujan
selalu cinta dan persetubuhan
nanti keringnya, melulu penantian
Kemayoran, Ramadan 1439H - 2018
Gilang Teguh Pambudi putra Wong Alas, pimpinan perkebunan, Soetoyo Madyo
Saputro dan Ustj. Hj. Dra. Siti Djalaliyah, aktivis Dewan Dakwah Pusat. Lahir
di Curug Sewu Kendal, Jawa Tengah. Tetapi sejak kelas 4 SD sudah domisili di
Sukabumi, Jawa Barat. Lalu seiring aktivitasnya sebagai jurnalis radio,
penyiar, narasumber senibudaya di radio, dan manajer radio, dari Sukabumi
lanjut domisili di Bandung, lalu ke Purwakarta, dan terakhir ke Jakarta. Aktif
juga sebagai pembina Yayasan Seni, komunitas seni, penyelenggara berbagai even seni,
pelatih gambar dan teater (juga Kelompok Drama Radio), serta menjadi juri seni.
Belakangan ini banyak menulis di cannadrama.blogspot.com.
5.
Dzul Halim
Aku
ingin mengecup keningmu.
Tadarus
dan dahaga,
Ku lakukan agar bisa rasakanmu,
Ku rendahkan hati dan seluruh diri,
dalam sepertiga malam nan sunyi.
.
Bait-bait diri melayang menerjang mega-mega,
Tergantung pada doa yang entah kemana singgah.
.
Rabku, aku sadar, aku tahu,
Menyentuh ujung kakimupun aku tak mampu,
tapi,
bolehkah dengan linangan air mata ini aku berharap jauh?
Ku lakukan agar bisa rasakanmu,
Ku rendahkan hati dan seluruh diri,
dalam sepertiga malam nan sunyi.
.
Bait-bait diri melayang menerjang mega-mega,
Tergantung pada doa yang entah kemana singgah.
.
Rabku, aku sadar, aku tahu,
Menyentuh ujung kakimupun aku tak mampu,
tapi,
bolehkah dengan linangan air mata ini aku berharap jauh?
Untuk bisa
mengecup keningmu.
Kuningan,462018.
Dul Halim
Rindu.
Seperti
menemu jalan tak berujung.
Sulit kudapati walau setitik cerlang.
Bahkan samar berjelaga.
Sulit kudapati walau setitik cerlang.
Bahkan samar berjelaga.
Hanya
gulita berselimut fatamorgana dalam diam
Yang terus membungkam
Yang terus membungkam
Ada tawa
yang menawan, ada binar yang merantai,
Semua tak mau lerai,
Terus bergelumit penuhi seisi imaji yang berasian.
Semua tak mau lerai,
Terus bergelumit penuhi seisi imaji yang berasian.
Berharap
khayal bertemu tuan
Lalu bisukan sebuah ungkapan,
Aku rindu..
Lalu bisukan sebuah ungkapan,
Aku rindu..
Kuningan,1062018.
Dul Halim
Rindu.
Seperti
menemu jalan tak berujung.
Sulit kudapati walau setitik cerlang.
Bahkan samar berjelaga.
Sulit kudapati walau setitik cerlang.
Bahkan samar berjelaga.
Hanya
gulita berselimut fatamorgana dalam diam
Yang terus membungkam
Yang terus membungkam
Ada tawa
yang menawan, ada binar yang merantai,
Semua tak mau lerai,
Terus bergelumit penuhi seisi imaji yang berasian.
Semua tak mau lerai,
Terus bergelumit penuhi seisi imaji yang berasian.
Berharap
khayal bertemu tuan
Lalu bisukan sebuah ungkapan,
Aku rindu..
Lalu bisukan sebuah ungkapan,
Aku rindu..
Kuningan,1062018.
Dulhalim,
kelahiran Indramayu, 22 desember 1997, sekarang sedang menempuh pendidikan di
program studi pendidikan bahasa dan sastra indonesia Universitas kuningan,
sekarang saya tinggal di ds. Kadugede kab. kuningan.
6.
M Sapto Yuwono
Fitrah Hati
Sebait saja kulambaikan padamu
Saat renung tuai rasa, saat jiwa putus asa
Kutuangkan bentuk tulus
Fitrah hati
Menyerdehanakan keinginan
Dan hanya pada Ramadan itu khusyukan jiwa
Tetes air mata
Menyambut keinginan
Hanya ini yang bisa
Muara Bungo, 4 Juni 2018
M Sapto Yuwono, penyair ini Tinggal di Bungo Jambi
Bekerja sebagai
petani.
7.
Sami’an Adib
Di
Malam ke-21 Ramadan
:kenangan puasa di bawean
irama
gambus lembut mengalun
mengiringi
liuk gemulai nyala lilin
di ambang
remang malam selepas maghrib
seorang
bocah berdiri di samping meja perjamuan
yang telah
disiapkan ibunya dengan ragam rupa jajanan
menyambut
tamu sebaya yang hendak bertukar keriangan
“assalamualaikum, salam bahagia dan kesejahteraan
kami hantarkan bersama sejinjing remah persaudaraan”
rekah
senyum bocah itu seketika terbias tulus
seakan
lega melepas diri dari dendam dan rakus
saling
berbagi kasih dalam hangat sekejap rangkulan
demikian
kenangan indah malam ke-21 Ramadan
ribuan
bintang seakan berarak menuju taman impian
tempat
favorit bebocah menabur kenangan juga keriangan
Jember, 2018
Sami’an Adib
Puasa
Puisiku
Marhaban
ya Ramadan
Kuapikan
gairah dan harapan
Demikian
puisi menyambut bulan suci
Sederhana,
tapi tanpa basa-basi
Kubentangkan
sepasang larik yang lempang
Agar semua
orang melintasinya tanpa terpelanting
Demikian
puisi membuka jalan di bulan keberkahan
Sederhana,
tapi penuh kesahajaan
Tak ada
kata-kata bernada kasar
Yang
sering membuat orang gusar
Demikian
puisi merawat bulan ampunan
Sederhana,
tapi tetap menjaga kesantunan
Setiap
nada terangkai menjadi satu
Perbedaan
berkelindan dalam harmoni paling padu
Demikian
puisi merajut cita di bulan persaudaraan
Sederhana,
tapi tetap dalam keselarasan
Kuhembuskan
aroma diksi yang kesturi
Sebagai
rubaiat rindu bagi para bidadari
Demikian
puisi menabur rindu di bulan kasih sayang
Sederhana,
tapi dalam setiap kata ada asa terbentang
Marhaban
ya Ramadan
Kulesakkan
doa dan pertobatan
Demikian
puisi merimbunkan kenangan
Sepanjang
bulan demi indahnya kemenangan
Jember,
2018
Sami’an
Adib, lahir di Bangkalan tanggal 15
Agustus 1971. Alumni Fakultas Sastra Unej. Antologi puisi bersama antara lain: Memo Anti Kekerasan terhadap Anak
(Forum Sastra Surakarta, 2016), Ije
Jela Tifa Nusantara 3 (2016), Malam-malam
Seribu Bulan (2016), Requiem
Tiada Henti (Dema IAIN Purwokerto, 2017), Negeri Awan (DNP 7, 2017), PMK 6 (2017), Lebih
Baik Putih Tulang daripada Putih Mata (2017), Lumbung Puisi VI:Rasa Sejati (2017), Menderas Sampai Siak (2017), Timur Jawa: Balada Tanah Takat (2017), Hikayat Secangkir Robusta (Krakatau Awards 2017), Perjalanan Sunyi (Jurnal Poetry
Prairie 2017), Negeri Bahari (DNP
8, 2018), Lumbung Puisi VII:Indonesia
Lucu (2018), dan lain-lain. Aktivitas sekarang selain sebagai tenaga
pendidik di sebuah Madrasah di Jember.
8.
Dwi Wahyu C.D.
Doaku
Di ujung shaf kutundukkan pandangan
Kupasrahkan jiwa dan ragaku
Tuk merengkuh pengharapan ridho-Mu
Ya Allah
Ya Rahman
Ya Rahim
Tak pernah luput hamba dari kilaf
Tak pernah luput hamba dari salah
dan tak pernah hamba memuja selain Engkau ya Allah.
Engkau penuh kasih
Engkau pun penyayang
Engkau pemberi ampunan.
Berkahilah,
karuniakanlah
limpahkanlah
rahmat-Mu ya Allah.
Tunjukkanlah jalan yang benar
Kuatkanlah hati hamba yang bimbang
Jauhkanlah dari kesesatan.
Betekan, 22 Mei 2018
Dwi Wahyu C.D., Lahir di Blora dan kerja di Banjarmasin. Sebagai penikmat sastra dalam hal
ini puisi, saya berharap melalui sastra maka terbentuklah pola santun berbahasa
baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Melalui sedekah puisi ini pula, saya
mencoba meyakinkan diri bahwa sedekah tak lagi tentang uang.
9.
Syahriannur Khaidir
Ramadhan
Hanya
sebulan saja
Tak ingin kuhabiskan rasa di sebiji kurma
Tergesa-gesa lalu beringaskan lupa
Saat senja menghapus luapan haus dahaga
Meninggikan kubah-kubah doa
Tak ingin kuhabiskan rasa di sebiji kurma
Tergesa-gesa lalu beringaskan lupa
Saat senja menghapus luapan haus dahaga
Meninggikan kubah-kubah doa
Rindu ini
telah dipenuhi segala
Cinta takkan purna
Dalam pembelaan jiwa raga
Ramadhan di pintu taubat
Kutunggu sua di bentang usia
Cinta takkan purna
Dalam pembelaan jiwa raga
Ramadhan di pintu taubat
Kutunggu sua di bentang usia
Sampang, 20 Mei
2018
Syahriannur Khaidir
PadaMu
PadaMu
haruskah kukenali cemburu
Bahkan membutakan mata dalam sayu
Tak ingin kepetik sembilu ragu
Kiat melekatkanMu padaku
Seperti mereka yang hafal segala bentuk rafal
Kupas hadas hadits lalu meluapkan was-was
Seperti mereka yang jatuh bangun menyogokMu
Membuatkan simbolis kebesaran amal dan pahala
Bahkan membutakan mata dalam sayu
Tak ingin kepetik sembilu ragu
Kiat melekatkanMu padaku
Seperti mereka yang hafal segala bentuk rafal
Kupas hadas hadits lalu meluapkan was-was
Seperti mereka yang jatuh bangun menyogokMu
Membuatkan simbolis kebesaran amal dan pahala
PadaMu
haruskah kukenali cemburu
Karena kucumbui Kau dengan rayuan semaunya
Dalam jalan pilihan para pendosa
Tak henti-hentinya menggedor pintu-pintu taubat
Karena kucumbui Kau dengan rayuan semaunya
Dalam jalan pilihan para pendosa
Tak henti-hentinya menggedor pintu-pintu taubat
Sampang, 25 Mei 2018
SYAHRIANNUR KHAIDIR lahir di Sampit
tanggal 26/09/1975 provinsi Kalimantan Tengah, pendidikan terakhir Universitas
Islam Malang 1999. Baginya menulis puisi merupakan proses pembelajaran yang
unik/rumit dan memerlukan banyak pemahaman tentang kata/diksi dalam upaya
menyampaikan tema/pesan yang tersurat/tersirat untuk disampaikan kepada
pembaca. Di samping menulis hobi yang melekat adalah bermain musik dan
memancing, aktivitas sehari-hari sebagai tenaga pengajar di SMKN 1 Sampang
jalan Suhadak 11 A Sampang_Madura 69212
Jawa Timur.
Antologi bersama:
- Antologi Puisi Membaca Kartini oleh : Komunitas Joebawi 2016
- Antologi Arus Puisi Sungai oleh : Tuas Media, April 2016
- Antologi Puisi Peduli Hutan oleh : Tuas Media, Agustus 2016
- Antologi Puisi Rasa Sejati oleh : Lumbung Puisi Jilid V 2017 Penebar Media Pustaka
- Antologi Puisi Kita Dijajah Lagi oleh : Lumbung Puisi/HMGM/Penebar Media Pustaka 2017
- Antologi Puisi Tadarus Puisi oleh : Lumbung Puisi/ Penebar Media Pustaka 2017
- Antologi Puisi Indonesia Masih ada Bulan yang akan Menyinari oleh : D3M KAIL 2017
- Kumpulan Puisi Mencari Ikan Sampai Papua oleh : Penebar Media Pustaka 2018
- Antologi Puisi Membaca Kartini oleh : Komunitas Joebawi 2016
- Antologi Arus Puisi Sungai oleh : Tuas Media, April 2016
- Antologi Puisi Peduli Hutan oleh : Tuas Media, Agustus 2016
- Antologi Puisi Rasa Sejati oleh : Lumbung Puisi Jilid V 2017 Penebar Media Pustaka
- Antologi Puisi Kita Dijajah Lagi oleh : Lumbung Puisi/HMGM/Penebar Media Pustaka 2017
- Antologi Puisi Tadarus Puisi oleh : Lumbung Puisi/ Penebar Media Pustaka 2017
- Antologi Puisi Indonesia Masih ada Bulan yang akan Menyinari oleh : D3M KAIL 2017
- Kumpulan Puisi Mencari Ikan Sampai Papua oleh : Penebar Media Pustaka 2018
10.
Septiannoor
Sejak
matahari terbit hingga terbentang terik memapar kulit bumi
Menengadah
dengan lusuh serta turut meminta belas
Perlahan
kaca mobil terbuka
Uang jatuh
ketangan peminta
Rasa
terimakasih terucap tangis tiada terkira
Ratusan
ribu serta bahan makanan pokok ia terima
Juga pada
para peminta yang lain
Sedekah di
bulan ramadhan
Berbagi
nikmat pada yang membutuhkan
Dan
bersilaturahmi kepada mereka yang terlupakan
Yang
meminta kasih di jalan-jalan tol menafkahi kehidupan
Sedekah di
bulan ramadhan
Menambah
erat tali persaudaraan
Antara
sesama insan
Yang
senantiasa selalu ingin tegur sapa dalam kebaikan
Saling
memaaf-maafkan
Serta
saling mengingatkan
Memberi
bagi yang membutuhkan
Mobil itu
berlalu
Meninggalkan
mereka yang kini mengucap syukur
Pulang
mereka tergesa
Dengan
nasi dan sejumlah uang untuk para putra-putri mereka
Pakaian lusuh
berjuntai dengan wajah berseri gembira
Ingin
segera pulang untuk berbuka
Bersama
keluarga meski hanya sedekah hari ini yang mereka terima
Kotabaru, 9 Ramadhan
1439 H / 25 Mei 2018 M
10.
Septiannoor
Senyum
dan Tawa
Menunggu
bedug di surau desa
Sekumpulan
anak riang gembira
Seakan
lupa penat dan jerih setelah bermain bola
Pakaian
koko dan kopiah dikepala
Juga
sarung dikenakan mereka
Sang
ustadz mulai bercerita
Sambil
menunggu waktu berbuka katanya
Kami
terkesima
Dengan
serangkaian peristiwa dalam cerita
Tentang
perjalanan mulia sang nabi Muhammad SAW tercinta
Yang
dengan teguh mensyiarkan perintah dalam agama
Agar lurus
jalan hidup para pendosa
Dan suci
bersih diri mereka
Sang
ustadz kembali bercerita
Kali ini
dengan ayat-ayat suci ia bergema
Tentang
malam suci dibulan ramadhan
Lailatul
qadar namanya malam seribu bulan
Dimana
setiap amal ibadah saat itu
Berlipat
ganda balasan untuk mereka yang taat beribadah
Certia
terus berlanjut
Senyum dan
tawa akhirnya selesai pada suara bedug disurau desa
Waktu
sudah berbuka
Dan tiba
kini adzan magrib yang bergema
Setelah
selesai takjil berbuka kami santap bersama
Dengan
senyum dan tawa mewarnai hari kami di bulan ramadhan penuh berkah
Kotabaru, 9 Ramadhan
1439 H / 25 Mei 2018 M
Langganan:
Postingan (Atom)