TEKS SULUH


Sabtu, 16 Juli 2016

Bahasa Puisi.

Bahasa puisi tentu bahasa penyairnya gaya dan betuk pola dan ragamnya adalah selera sebebas apa itu puisi. Ini berarti puisi memberikan kebebasan seseorang untuk menulis. Pendek kata terserah mau dibentuk apa, demikian kata Puisi berujar. Dari itu akhirnya muncul kebebasan menulis puisi namun sadar meski tak ada pakem yang baku, penyair slalu menjaga agar karya puisi itu dapat dinikmati dan memberi rasa aprsiasi pada pembaca.

Bahasa penyair bahasa diri yang juga dibaca orang lain. Sejauhmana tepatnya apresiasi dengan maksud yang dikandung penyair sejauh si pengapresiasi itu mampu 'membaca. Mari kita lihat puisi karya Marlin Dinamikanto. Penyair yang memiliki gaya eksentrik dalam karyanya ini harus diakui sebagai karya besar dan menggerigisi yang mampu menggugah penikmat sastra yang membacanya.

Karya yang baik itu terkadang muncul tidak dalam bentuk buku, tetapi juga koran dan majalah dan kini di banyak situs situs di internet. Begitu banyak koran tabloid majalah terbit di daerah dan tentu saja puisi ada didalamnya. Karya-karya pengisi rubrik sastra dan budaya di media di seluruh Tanah Air itu ditemukan banyak karya bagus dengan mutu yang tinggi. Kandungan sastra yang terkadang tak kalah dengan karya penyair sebelumnya.

Berikut puisi penyair Marlin Dinamikanto yang berjudul Pok Ameame Ibu :


Marlin Dinamikanto

pok ameame, Ibu

pok ameame, ibu
hanya kata yang kupunya
menyiram pusaramu jauh di sana
di pekatnya angan yang dingin
selalu melihatku seperti debu
padahal anakmu ini adalah angin
selalu ingin menyayup di matamu
pok ameame, ibu
kini belalang kupukupu
terbang liar, tersipu mengingatmu
di bening matamu indah berbinar
membuatku yang berlari selalu ingin kembali
dari trotoar yang tenggelam oleh lalat liar
sebab hatiku hatimu saling bertali
engkaulah daunan rindang bagi ke-enam anakmu
memberi teduh dari sergapan debu jalanan
yang membatas beranda luar liar
kau telah membesarkan belalang kupu-kupu
sejak di gendongan merangkak dan berkeliaran
tapi tak pernah membiar kami telantar
tapi maafkan anakmu ini ibu
tak punya doa selain puisi
tak pula mahir membaca rambu
kehidupan yang telihat basi
maafkan aku ibu
bila selama ini melihatku
seperti debu, padahal aku angin
ingin menyayup di matamu yang dingin
Tetilam 34, 13 Desember 2013