KURUNG KARUNG
di ruang berdinding putih
ada dokter rupa malaikat
ada perawat senyum monalisa
ada pasien hilir mudik di atas kereta
ada aroma obat dan penyakit naik turun lift
takhenti tiada siang juga malam
aku di kerumunan itu, menjaga Ibu agar tetap terjaga
aku mengunyah waktu berlalu tanpa berkedip agar para malaikat jujur berkata
aku menyapa monalisa saat membasuh luka agar nanah sunyi mengeluh dendam
aku berlari setiap lorong memanggul pinta agar cahaya tetap benderang di jalan pulang
mesti ada karung seluas semesta untuk menampung cerita dan keluh kesah takpuas-puas
mesti harap membuncah, kurung setiap ingin berandai-andai
di ruang icu,
aku tatap layar kaca monitor
penuh angka-angka dalam simbol yang menakutkan
malaikat pun bermuka durhaka, monalisa nyaris cemberut kecut, setiap waktu hanya diam menatap keraguan
kupikir ada yang keliru menulis diagnosa sehingga analisis medis tak punya nyali merujuk obat berganti-ganti resep bagai hewan uji coba 'persis kucing dalam karung' yang berahi
aku malaikat dan monalisa yang gagu:menunggu ajal
balikpapan.rsud.icu. 16/6/16
Rai Sri Artini
Jalan Pasarsari
Jalan telah bermandikan darah ketika mobil mobil dan motor melewatinya
Darah meresap ke pori duka
lesap bersama angin menabuh peluh dan jejak tentang ceceran nasi atau
tong-tong sampah yang masih menimbun harapan
Kucing yang malang,
Kau pun menyatu dengan pernak pernik tong sampah yang setiap hari kau korek
Tak ada yang peduli, semua hanya mendengar nyanyian perut
Pedagang sate mengasapi angan, pedagang sayur melagukan harga
pedagang sembako bagai penyair di sore hari
Sampah berpugak bagai tubuh puisi
Tak ada yang peduli, selain kepada asap kebutuhan yang kian lirih membumbung
Anjing-anjing liar mengadu nasib melolong asing diusir satpam
Sapi-sapi diam dalam kemalangan
tak ada rerumput yang dapat disantap hanya kerumunan manusia
Dalam hati ia berpikir, Di mana sebetulnya aku boleh tinggal ? sebab lapangan rumput pun habis untuk ruko dan pameran.
Ia mulai berpikir untuk mengganti rumput dengan nasi atau apa pun
Ikutlah ia mengadu nasib berebutan dengan anjing dan kucing liar
mereka sama-sama diteriaki dan diusir oleh satpam yang berjaga di tiap pertokoan dan pasar
Sungguh malang nasib mereka,
sama malang dengan tubuh bumi yang dihiasi sampah-sampah
aromanya tercium sampai ke langit
Malam hari laser-laser beraksi di langit pameran
komedi putar, panggung dangdut semalaman tak tidur
seakan lari dari himpitan deduri masalah
Tak ada yang peduli. Sama seperti nasib kucing yang terlindas di jalanan tawar
Iya. Begitulah alinea-alinea hidup berbaris rapi
Bebauan dan reranting kebutuhan melata di ujung hari
Tak ada yang peduli mentari di atas sana
atau memang tak ada waktu
Jalan mengisahkan peringai deru dan asap motor yang semrawut
berkelindan di lorong waktu
Tuka, Juni 2016
di ruang berdinding putih
ada dokter rupa malaikat
ada perawat senyum monalisa
ada pasien hilir mudik di atas kereta
ada aroma obat dan penyakit naik turun lift
takhenti tiada siang juga malam
aku di kerumunan itu, menjaga Ibu agar tetap terjaga
aku mengunyah waktu berlalu tanpa berkedip agar para malaikat jujur berkata
aku menyapa monalisa saat membasuh luka agar nanah sunyi mengeluh dendam
aku berlari setiap lorong memanggul pinta agar cahaya tetap benderang di jalan pulang
mesti ada karung seluas semesta untuk menampung cerita dan keluh kesah takpuas-puas
mesti harap membuncah, kurung setiap ingin berandai-andai
di ruang icu,
aku tatap layar kaca monitor
penuh angka-angka dalam simbol yang menakutkan
malaikat pun bermuka durhaka, monalisa nyaris cemberut kecut, setiap waktu hanya diam menatap keraguan
kupikir ada yang keliru menulis diagnosa sehingga analisis medis tak punya nyali merujuk obat berganti-ganti resep bagai hewan uji coba 'persis kucing dalam karung' yang berahi
aku malaikat dan monalisa yang gagu:menunggu ajal
balikpapan.rsud.icu. 16/6/16
Rai Sri Artini
Jalan Pasarsari
Jalan telah bermandikan darah ketika mobil mobil dan motor melewatinya
Darah meresap ke pori duka
lesap bersama angin menabuh peluh dan jejak tentang ceceran nasi atau
tong-tong sampah yang masih menimbun harapan
Kucing yang malang,
Kau pun menyatu dengan pernak pernik tong sampah yang setiap hari kau korek
Tak ada yang peduli, semua hanya mendengar nyanyian perut
Pedagang sate mengasapi angan, pedagang sayur melagukan harga
pedagang sembako bagai penyair di sore hari
Sampah berpugak bagai tubuh puisi
Tak ada yang peduli, selain kepada asap kebutuhan yang kian lirih membumbung
Anjing-anjing liar mengadu nasib melolong asing diusir satpam
Sapi-sapi diam dalam kemalangan
tak ada rerumput yang dapat disantap hanya kerumunan manusia
Dalam hati ia berpikir, Di mana sebetulnya aku boleh tinggal ? sebab lapangan rumput pun habis untuk ruko dan pameran.
Ia mulai berpikir untuk mengganti rumput dengan nasi atau apa pun
Ikutlah ia mengadu nasib berebutan dengan anjing dan kucing liar
mereka sama-sama diteriaki dan diusir oleh satpam yang berjaga di tiap pertokoan dan pasar
Sungguh malang nasib mereka,
sama malang dengan tubuh bumi yang dihiasi sampah-sampah
aromanya tercium sampai ke langit
Malam hari laser-laser beraksi di langit pameran
komedi putar, panggung dangdut semalaman tak tidur
seakan lari dari himpitan deduri masalah
Tak ada yang peduli. Sama seperti nasib kucing yang terlindas di jalanan tawar
Iya. Begitulah alinea-alinea hidup berbaris rapi
Bebauan dan reranting kebutuhan melata di ujung hari
Tak ada yang peduli mentari di atas sana
atau memang tak ada waktu
Jalan mengisahkan peringai deru dan asap motor yang semrawut
berkelindan di lorong waktu
Tuka, Juni 2016