TEKS SULUH


Minggu, 17 Juli 2016

Pandai Menjadi Puisi


Mari kita lihat penyair dengan imajenasi tinggi. Ia bisa menjadi apa saja seperti apa yang dilakukan chairil Anwar. Ia menjadikan dirinya sosok tokoh yang dicipta. Imajenasi yang tinggi membuatnya mampu dirinya masuk kedalam jiwa puisi itu. Sebuah puisi imajener.

Sebelumnya mari kita cermati Kepiawaian Chairil dalam Mencipta puisi. Demikian hebatnya Chairil menjadi Prajurit Jaga Malam, Chairil tak bicara rokok atau kopi penahan kantuk, tak bicara nyamuk , kelelawar ddan embun dini hari. Chairil pandai menjadi puisi, menjadi dirinya seorang prajurit jaga malam, menusuk pikiran si penjaga malam, dan bersembunyi di hati dalam dada prajurit jaga malam. Chairil memang jempolan. (rg bagus warsono 23-8-15)

berikut puisinya:

Prajurit Jaga Malam.
Chairi Anwar.

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

Apa yang dilakukan Chairil itu penyair kita mampu menjadi diri puisi itu. Berikut sebuah puisi karya penyair kita yang mampu menjadikan puisi imajener. Dia adalah tak lain Cok Sawitri yang menulis tentang Namaku Dirah.

Berikut Cok Sawitri:
. Namaku Dirah

ketika wanita menjadi janda
mulailah sudah prasangka
melucuti kemurnian rahim
rumah-rumah menanam pandan di pintu-pintu
anak-anak menutup lubang pusar
lelaki menggosok-gosok kumisnya
namaku dirah
aku cangkul tubuhku
hujan telah mengirim hati dan jantung ke tanah
sedang harapan ada di luar kenyataan hidup
pagi itu aku bertanya pada diri: raja mana itu!
Kematian suamiku menjadi aniaya
kesendirian ini menjadi kamar hukuman
tetapi apa kesalahan anakku
namaku dirah
aku hanya seorang janda
sia-sia bila kukirim pertanyaan: apa salahku?kekuasaan telah menasibkan kekhawatiran
tembok-tembok tingii
penjaga-penjaga yang tak lagi miliki mata
siang malam membisukan
Siapa saja yang hendak bicara
apa pun namanya yang dipagari
berlapis-lapis benteng
berbulan-bulan pesta upacara
disuburkan sumpah dan janji kesetiaan
terusik bisikku: namaku dirah
tanah yang telah berakar-buah
siapa diterjang seribu anak panah
tubuh ramping berbalut kain putih itu
luruh tersangga batang pohon kepah
matanya memancarkan hati yang bebas
ketika tubuhnya merosot ke bawah
rumput-rumput menegak menyediakan dirinya
menanti kedatangan tubuh ibunya
namaku dirah
dengan darah usus di leher aku menari sepuas hati
kepedihan ini
kemarin di tengah malam
aku sejenak merasa takut
kandung telurku diserang usikan dingin
menisik bayang ayahmu
andai dia masih
kecengengan senantiasa
menawarkan riwayat luka
aku cangkul tubuhku
kerna namaku dirah
ribuan prajurit terpuruk
membelalak menyambut kematian
seperti tak percaya
kekuasaan tidak melindungi nyawanya
selembar kain putih
leher berkalung usus
rambut gimbal bau amis darah
sampaikan:
semua benteng memiliki celah
begitupun keangkuhan
tak kecuali kekuasaan retak
oleh lirik mataku
kerna namaku dirah
hanya seorang janda
bukan tubuh di atas tahta
di mana senjata adalah kaumnya
1997