Berbuat jujur itu sulit
Sebagai seorang penyair sekaligus kurator di HMGM, aku berbuat jujur atas karya-karya Denny JA. Ia memang seorang penyair. Aku tak membencinya bahkan memuji puisi-puisinya . Tetapi bukan genre puisi esai yang diributkan, Buktinya salah satu puisinya sangat bagus. Ia menulis puisi mementum seorang tokoh dan menulisnya pada hari itu juga . Maka aku tak segan menulisnya ia memang seorang penyair. Ini puisinya:
Kepada Buyung Nasution
Karya Denny JA
Bung, bukan kepergianmu benar yang membuat kami sedih, karena semangat juangmu tetap hidup bersama kami
Bukan kepergianmu benar yang membuat kami terpaku, karena gagasanmu dan gagasan kami sudah menyatu
Kami sedih karena negeri yang kau tinggalkan belum sepenuhnya tercerahkan
Kami sedih karena korupsi masih meraja lela, diskriminasi masih kentara, kemiskinan masih banyak di desa dan di kota
Sementara banyak lembaga negara masih tak amanah mengelola kuasa
Demikianlah para aktivis berpidato mengenang si Abang yang hero, sementara Nina duduk termangu, baginya di Abang bukan semua itu
Baginya, si Abang adalah guru yang membimbingnya selalu sejak ia masih lugu hingga kini ia tumbuh sebagai suhu
Dari si Abang ia belajar berani bersuara, dari si Abang ia belajar berpihak
Nina terus memandang wajah si Abang yang sudah kaku terdiam sambil dibisikkannya salam "Selamat jalan Bang Buyung, kami teruskan perjuanganmu yang belum selesai".
Sebagai seorang penyair sekaligus kurator di HMGM, aku berbuat jujur atas karya-karya Denny JA. Ia memang seorang penyair. Aku tak membencinya bahkan memuji puisi-puisinya . Tetapi bukan genre puisi esai yang diributkan, Buktinya salah satu puisinya sangat bagus. Ia menulis puisi mementum seorang tokoh dan menulisnya pada hari itu juga . Maka aku tak segan menulisnya ia memang seorang penyair. Ini puisinya:
Kepada Buyung Nasution
Karya Denny JA
Bung, bukan kepergianmu benar yang membuat kami sedih, karena semangat juangmu tetap hidup bersama kami
Bukan kepergianmu benar yang membuat kami terpaku, karena gagasanmu dan gagasan kami sudah menyatu
Kami sedih karena negeri yang kau tinggalkan belum sepenuhnya tercerahkan
Kami sedih karena korupsi masih meraja lela, diskriminasi masih kentara, kemiskinan masih banyak di desa dan di kota
Sementara banyak lembaga negara masih tak amanah mengelola kuasa
Demikianlah para aktivis berpidato mengenang si Abang yang hero, sementara Nina duduk termangu, baginya di Abang bukan semua itu
Baginya, si Abang adalah guru yang membimbingnya selalu sejak ia masih lugu hingga kini ia tumbuh sebagai suhu
Dari si Abang ia belajar berani bersuara, dari si Abang ia belajar berpihak
Nina terus memandang wajah si Abang yang sudah kaku terdiam sambil dibisikkannya salam "Selamat jalan Bang Buyung, kami teruskan perjuanganmu yang belum selesai".