TEKS SULUH


Kamis, 08 Februari 2018

Puisi panjang tapi penek puisi pendek tapi panjang.

Puisi panjang tapi penek puisi pendek tapi panjang. Adalah Fitalis Koten penyair muda berbakat yang kali ini mengimbox puisinya untuk dicermati. Ada sesuatu yang menggelitik untuk disimak bahwa mencipta puisi itu gampang-gampang susah. Adalah bagaimana memulai menuliskan baris pertama. Agaknya keberanian perlu dipuji bahwa untuk menulis mulailah dari kata apa saja. Vitalis Koten termasuk kedalam apa yang disebutkan itu. Ia tampa ragu memulainya sekehendah apa ungkapan hati, pikir, dan jari-jarinya. Jiwa ini agaknya telah mengantarkan pikir menjadi bait-bait puisi. Sebetulnya dalam puisi Syukur Terbatas karya Vitalis Koten ini cukup bernas. Dan dalam tolok ukur bobot puisi tentu padat. Namun sedikit perlu pembenahan untuk materi kata yang tak perlu diungkap seperti pada baris pertama "Aku tidak tahu caranya mentari membakar langit hingga kemerahan" sebuah baris yang cukup panjang. Bagaimana jika kata 'çaranya,'yang, dan hingga tak perlu ditulis dalam baris pertama? Sehingga barisnya lebih puitis. Namun menulis adalah hak penulisnya, tetapi kritik kadang perlu untuk mengukur perasaan agar semakin teruji. Juga pada baris-baris lain. Namun juga Vitalis Koten perlu mendapat apresiasi tinggi , idenya terasa cemerlang, memuji dan bersyukur pada Tuhan dalam goresan puisi yang hebat. Selamat. Berikut Puisinya: SYUKURKU TERBATAS. . Aku tidak tahu caranya menghargai mentari yang membakar langit hingga kemerahan Aku tidak tahu caranya mencium wangi hujan yang membasahi bumi Aku lupa bahwa bintang pun bernyawa, hutan pun bernapas, dan kita diciptakan untuk melakukan hal-hal yang lebih besar dari sekadar rutinitas harian Aku tidak paham dimana indahnya kalimat yang termaktub dalam larik-larik puisi Bukankah itu repetisi membosankan? Aku juga lupa caranya menjadi manusia Mengapa Engkau ciptakan aku hampir setara dengan-Mu? Siapakah aku sehingga Engkau perhatikan? Memang syukurku terbatas Namun, kemudian Engkau datang Dengan cara termanis, Engkau memintaku untuk merasakan dan mensyukuri segala hal yang cepat atau lambat akan berakhir Engkau juga mengingatkanku bahwa senja pernah menjadi bait puisi dan hujan mengantarkan kerinduan Tuhan. . . Mungkin syukurku akan kukuak dalam jalur hayatku Puncak Scalabrini, 15 Oktober 2017.