adalah majalah sastra net bagi rakyat Indonesia yang memerlukan sastra sebagai bagian kehidupan indah di Indonesia. Untuk segala umur pecinta sastra di Tanah Air. Pendiri Agus Warsono (Rg Bagus Warsono/Masagus) didirikan 2 Januari 2011, Redaksi Alamanda Merah 6 Citra Dharma Ayu Margadadi, Redaktur sastra Agus Warsono, Koresponden Rusiano Oktoral Firmansyah (Jakarta), Abdurachman M(Yogyakarya).
TEKS SULUH
Kamis, 08 Februari 2018
Puisi panjang tapi penek puisi pendek tapi panjang.
Puisi panjang tapi penek puisi pendek tapi panjang.
Adalah Fitalis Koten penyair muda berbakat yang kali ini mengimbox puisinya untuk dicermati.
Ada sesuatu yang menggelitik untuk disimak bahwa mencipta puisi itu gampang-gampang susah. Adalah bagaimana memulai menuliskan baris pertama. Agaknya keberanian perlu dipuji bahwa untuk menulis mulailah dari kata apa saja. Vitalis Koten termasuk kedalam apa yang disebutkan itu. Ia tampa ragu memulainya sekehendah apa ungkapan hati, pikir, dan jari-jarinya.
Jiwa ini agaknya telah mengantarkan pikir menjadi bait-bait puisi. Sebetulnya dalam puisi Syukur Terbatas karya Vitalis Koten ini cukup bernas. Dan dalam tolok ukur bobot puisi tentu padat. Namun sedikit perlu pembenahan untuk materi kata yang tak perlu diungkap seperti pada baris pertama "Aku tidak tahu caranya mentari membakar langit hingga kemerahan" sebuah baris yang cukup panjang. Bagaimana jika kata 'çaranya,'yang, dan hingga tak perlu ditulis dalam baris pertama? Sehingga barisnya lebih puitis. Namun menulis adalah hak penulisnya, tetapi kritik kadang perlu untuk mengukur perasaan agar semakin teruji. Juga pada baris-baris lain. Namun juga Vitalis Koten perlu mendapat apresiasi tinggi , idenya terasa cemerlang, memuji dan bersyukur pada Tuhan dalam goresan puisi yang hebat. Selamat.
Berikut Puisinya:
SYUKURKU TERBATAS.
.
Aku tidak tahu caranya menghargai mentari yang membakar langit hingga kemerahan
Aku tidak tahu caranya mencium wangi hujan yang membasahi bumi
Aku lupa bahwa bintang pun bernyawa, hutan pun bernapas, dan kita diciptakan untuk melakukan hal-hal yang lebih besar dari sekadar rutinitas harian
Aku tidak paham dimana indahnya kalimat yang termaktub dalam larik-larik puisi
Bukankah itu repetisi membosankan?
Aku juga lupa caranya menjadi manusia
Mengapa Engkau ciptakan aku hampir setara dengan-Mu?
Siapakah aku sehingga Engkau perhatikan?
Memang syukurku terbatas
Namun, kemudian Engkau datang
Dengan cara termanis, Engkau memintaku untuk merasakan dan mensyukuri segala hal yang cepat atau lambat akan berakhir
Engkau juga mengingatkanku bahwa senja pernah menjadi bait puisi dan hujan mengantarkan kerinduan
Tuhan. . .
Mungkin syukurku akan kukuak dalam jalur hayatku
Puncak Scalabrini, 15 Oktober 2017.