Oleh Naning Pranoto
BIBIR BIRU
Kulihat ratusan ribu bibir biru di layar kaca saat gelar konser World Cup 2010 Opening Ceremony di Orlando Stadium di Soweto Johannesburg Afsel 11 Juni lalu. Bibir-bibir biru itu mengingatkanku pada gadis bernama Robben. Aku memanggilnya: Bi-Bi. Nama lengkapnya, Robben Rolihlahla Mvezo Umtata.
“Namamu panjang sekali. Sulit kuingat!” komentarku spontan, ketika Bi-Bi, bola matanya yang hitam berkilau membelalak. “Padahal, itu nama bertuah.”
“Oya? Coba jelaskan,” pintaku serius. Aku ingin mengenalnya lebih jauh.
“Okey!” bibirnya yang biru menguak lebar, deretan gigi putih tampak berkilau – kontras dengan kulitnya yang sehitam arang.
“Sure. Agar kita akrab, jadi sahabat.”
Sahutku sepenuh hati. Aku memang ingin punya sahabat gadis dari Benua Hitam, tepatnya dari Afrika Selatan.
“O… great! Aku juga. Persahabatan itu itu kado istimewa dari Tuhan.” Ia memelukku erat. Tubuhnya beraroma lavender. Siang itu kami duduk di bawah pohon gums, dibalut musim semi. Bi-Bi mengurai namanya sambil sesekali mengunyah kentang bakar, makan siangnya.
“Kakekku yang menamaiku. Ayahku meninggal terserang malaria ketika aku dalam kandungan.
Ibuku gone saat melahirkanku. Kakek pengikut setia Inkosi tktktk ya Tuan Nelson Mandela. Maka, aku dinamai Robben Rolihlahla Mvezo Umtata.”
Uraiannya panjang, kuringkas demikianT: Robben – nama pulau yang pernah untuk memenjarakan Mandela 18 tahun. Rolihlahla, nama asli Mandela yang artinya ‘berani melawan karena benar’. Sedangkan Mvezo Umtata itu kampung halaman Mandela, yang juga kampung halaman kakek Bi-Bi.
“Kakek Mandela itu Enkhulu Inkosi, raja di Umtata. Keluarga kakekku menghamba mereka puluhan tahun. Aku lahir dan besar di Mvezo, high-school-ku di Jo-bo…” Bi-Bi menyebut Johannesburg ‘Jo-bo’. “Di Jo-bo, aku tinggal di asrama putri Anglican, untuk siswi miskin seperti aku.” Sambungnya lugas. “Miskin secara ekonomi, tapi jiwanya tidak, seperti jiwa Inkosi Mandela. Why? Kata Inkosi, penderitaan itu justru membuat penderitanya powerful and has thousands of wings!” tegas Bi-Bi, tangan kanannya mengepal dan diangkatnya tinggi-tinggi. Hebat!” seruku. Gadis berusia 19 tahun ini ternyata matang dan kukuh.
Sejak itu aku bersahabat dengannya. Kucatat di diary-ku, 4 September 1995. Taman kampusku yang bertengger di pantai Queensland menjadi saksi, dikukuhkan langit biru, tarian ombak putih dan ratusan kepak sayap camar putih. Bi-Bi tinggal sekamar denganku di Tower A, yang dihuni oleh mahasiswa dari berbagai negara.
* * *
B-L (baca: Bi-El), itulah nama beken Bi-Bi di kampus. Maksudnya, Blue-Lips, alias Bibir Biru. Aku memanggilnya B-B (baca: Bi-Bi), Bibir-Biru. Sebetulnya, banyak bibir biru di kampus kami, tapi, gadis yang berbibir biru indah, sexy dan menawan hanyalah Bi-Bi. Bibir Bi-Bi begitu tebal, segar, ranum dan terkesan legit karena selalu dihiasi senyuman manis. Keistimewaan lainnya bibir Bi-Bi mampu meluncurkan orasi-orasi pelestarian bumi, pidato-pidato pembakar semangat cinta negeri, menyanyikan lagu-lagu perdamaian dan membaca puisi menyuarakan democrazy dan humanity. Ini yang membuatnya dijuluki pula The Golden Bi-El.
Bi-Bi studi prodi Information Technology (IT) strata S-1. Aku ambil fak International Relations (IR) strata S-2. Saat aku berteman dengan Bi-Bi usiaku di ambang 40 tahun. Perbedaan usia yang relatif jauh sama sekali tidak menimbulkan gap di antara kami. Ini sudah kuperkirakan sejak awal aku mengenalnya di Loket International Student Service. Ia begitu tampak dewasa, cerdas dan mandiri. Pikirku, ia calon mahasiswa pasca sarjana. Aku pun berkenalan dengannya.
Aku terkejut ketika ia mengatakan baru saja lulus SMA. Tubuhnya yang bongsor, gurat-gurat wajahnya yang tegas dan sorot matanya yang tajam, membuatnya tampak seperti perempuan dewasa, berusia 30-an. “Banyak orang bilang, aku ini bermutu, alias bermuka tua.” kata Bi-Bi santai. “Kau tidak bermuka tua, tapi sangat dewasa!” tanggapku, sejujurnya. “Perhaps, situasi yang membuatku begini,” kedua tangannya membentang.
* * *
Suatu siang, ketika aku membersihkan kamar, menemukan album foto di kolong ranjang Bi-Bi. Album itu berisi foto aneka pose manis dan sexy. Gadis itu Bi-Bi. Tak satu pun ia berpose syur. Lembar-lembar awal album itu menyajikan foto Bi-Bi dinobatkan cover-girl majalah Teens. Lainnya, memperagakan kain tradisional sukunya dan jadi ikon sebuah obyek pariwisata.
“Hem,ternyata, sahabatku ini tidak hanya The Golden Bi-El, tapi juga The Golden Body,” godaku pada Bi-Bi ketika kami menjelang tidur.
“Haaahhh? Jangan ngigau. Siapa bilang?” teriak Bi-Bi, tersipu-sipu. “Album yang kutemukan di kolong ranjangmu mengatakan itu.” Sahutku santai.
“Haaaaa,badut!” tawa Bi-Bi meledak. Ia ambil album yang kusebutkan.
“Kau hebat. YBS!” komentarku jujur. “What do you mean Y-B-S?” desak Bi-Bi tegas, tapi bernada manis.
“Young, Beauty and Sexy.” Kueja tiga huruf Y-B-S. Timpal Bi-Bi cepat, “Bagiku, Y-B-S itu singkatan Yuk, Bad and Suffer!”
“Kau sama sekali tidak Yuk, menjijikkan, Bad, jelek dan Suffer, menderita. Kau tulen Young, Beauty and Sexy!” tegasku padanya.
Tiba-tiba ia murung. “Ketika terpilih cover-girl tiga tahun silam, aku berpendapat begitu. Bisa kujual YBS-ku.”
“Cepat kaya, jadi Top Model kelas dunia.” Selaku.
“Not at all. Jika aku punya uang, itu untuk studi dan mendirikan sekolah untuk anak-anak di desaku. Itu tanda hormatku pada kakekku, mahaguru hidupku dan Inkosi Mandela, bapak agung kebangsaanku. Tapi, kandas,” mata Bi-Bi membasah.
“Kenapa Bi-Bi?” tanyaku penuh empati. “Ternyata untuk punya uang banyak harus berani pose syur. Alasannya untuk seni fotografi. Puihh, itu eksploitasi dan pelecehan perempuan. Kata kakekku, menyerap ajaran Inkosi Mandela: jika perempuan mau dieksploitasi dan dilecehkan itu berarti jadi perempuan terjajah tanpa martabat. Aku ingin jadi perempuan merdeka, sampai akhir hayatku. Maka, kuciptakan citra berbeda bagi seorang model , tidak usah berpose syur. Aku malah jadi ejekan dan dicepat dari Himpunan Model Afrika Selatan, kata mereka aku ini sakit jiwa, jelek dan menjijikan. Benar, sekarang ini Zaman Edan seperti kata pujangga negerimu, Ronggo Warsito yang pernah kau ceritakan padaku. Di Zaman Edan ini, justru orang-orang yang eling dan waspodo dicap edan. Puihhh, aku bersumpah tak mau jadi model, tak mau jual tubuh demi uang. Makanya, singkatan YBS kuartikan Yuk-Bad-Suffer!” tegas Bi-Bi.
“Lalu, siapa yang membiayai sekolah dan biaya hidupmu?” tanyaku hati-hati.
“Uang tabunganku dan ada bantuan dari Sister Juliana Barker.” “Siapa Sister Juliana Barker itu?” aku penasaran.
“Dia biarawati dan pianis kondang. Sebagian honornya bermain piano untuk membiayai kuliahku tahun pertama. Selanjutnya, Sister Jul advised agar aku cari partime job. Sebagai student kita dapat izin kerja dua puluh jam seminggu kan? Apa kau juga?” tanya Bi-Bi padaku.
“Tidak. Aku memilih belajar keras agar dapat diskon uang kuliah lima puluh persen,” jelasku. “Upah cuci piring dan clean up kebun terlalu rendah.”
“Benar.” Ucap Bi-Bi, “Aku dapat kerjaan berupah tigapuluh lima dolar per jam. Sabtu dan Minggu aku bisa kerja full dua puluh jam. Upah itu okey sekali buat bayar kuliah tahun depan plus makan.” Mata Bi-Bi yang basah kembali berbinar.
“Itu upah selangit. Kau kerja apa, B-Bi?” aku penasaran.
“Yang jelas bukan jadi foto model yang pamer lekuk-liku tubuh itu. Aku bekerja mengandalkan kemampuanku panjat tebing.” Tutur Bi-Bi dengan mata berbinar.
“Kau jadi instruktur panjang tebing?” aku penasaran.
“Not at all.” Bi-Bi menggeleng. Kemudian ia mengucapkan ‘good nite’ padaku. Kumatikan lampu kamar. Waktu memasuki tengah malam.
* * *
Asramaku berjarak sekitar 70 kilometer dari pusat kota yang lazim disebut City. Jadi aku jarang ke City. Selain kuanggap jauh, itu berarti pengeluaran besar. Selain untuk transportasi, aku perlu makan-minum, menghabiskan sekitar 30 dolar. Maka, kujadualkan ke City cukup sebulan sekali, Sabtu atau Minggu.
Ingin sekali aku ke City bersama Bi-Bi yang kuanggap adikku. Jika aku ke City bersamanya, ia akan kutraktir nasi goreng di Restoran Lezat di sudut City. Bi-Bi tertarik sekali. Ia mengaku, belum pernah sekalipun makan nasi goreng tapi ia pernah dengar tentang itu dari Suzy, berdarah Belanda, temannya di SMA.
“Bi-Bi, yuk ke City, kutraktir nasi goreng. Minggu lalu kau menang lomba panjat tebing. Nah, nasi goreng itu hadiah special dariku. Okey?” bujukku.
Bi-Bi meminta maaf padaku, ia tidak bisa ke City bersamaku. Alasannya, ia harus bekerja. Ia memang bekerja Sabtu-Minggu, berangkat kerja naik kereta api pertama, pukul 05.00, pulangnya pukul 19.00. Ia selalu tampak letih dan langsung tidur sepulang kerja. Aku tak berani menganggunya.
* * *
Sabtu pagi cerah, aku ke City naik kereta api dari Stasiun White Dove. Pukul 10.30 aku sampai di City, langsung ke toko buku favoritku di Elizabeth Street. Kulewati beberapa gedung bertingkat yang menjadi landmark pusat bisnis di City. Salah satu gedung itu bertingkat 42 dan lobby-nya dihiasi air mancur unik. Setiap jam, air mancur itu beratraksi, menyerupai seekor naga bersisik warna-warni kemilau – diiringi musik hip-hop dan dibanjiri pengunjung. Aku ingin menyaksikannya.
Kubeli seporsi fish and chips regular dan sebotol kecil mineral water untuk kunikmati sambil nonton si Naga berhip-hop. Kubayangkan, alangkah asyiknya jika aku bersama Bi-Bi menyaksikan atraksi unik itu. Kupastikan Bi-Bi membandingkan si Naga berhip-hop dengan tontonan menarik di Mvezo kampungnya. Dia memang selalu begitu dan itu membuatku jadi tahu banyak tentang seni dan budaya Afsel. Aku juga sering bercerita berbagai seni-budaya yang ada di Indonesia. Bi-Bi sangat menikmatinya, ia catat yang dianggapnya penting. Katanya, itu akan bahan novel yang akan ditulisnya, novel bernafaskan kebudayaan global.
“Kecelakaan! Kecelakaan!” kudengar teriakan di depan gedung tempat bermukimnya Si Naga Hip-Hop. Teriakan itu disusul raungan sirene ambulans, lampunya menyilaukan mata.
“Siapa yang kecelakaan Miss?” tanyaku pada perempuan muda di dekatku.
“Gadis pembersih kaca. Ia jatuh dari lantai tiga puluh, tali lift kereta pembersih yang dinaikinya putus.” Sahutnya singkat. Ia berlari menuju kerumunan orang. Aku mengikutinya. Kerumunan orang itu melihat si Korban.
“Di saku jeans si Korban ada foto seorang kakek dan Mandela.” Kata polisi. Tubuhku gemetar mendengarnya. Aku menyeruak orang-orang yang mengerumuni si Korban. Jantungku seperti digodam begitu melihat bibir biru berkerut-kisut kesakitan. “Bi-Bi! She is my roomate, teman sekamarku!” aku histeris.
Kulihat sekilas, tubuh Bi-Bi yang bersimbah darah berkepala pecah dibawa lari ambulans. Sejak itu aku tak pernah lagi bisa bicara dengannya: Bi-Bi, Bibir Biru yang indah, menawan dan penuh pesona. Bibir Biru itu mahkota gadis perkasa, cerdas dan bermartabat karena dialiri spirit Inkosi Nelson Mandela, Bapak Anak Bangsa Bumi Afrika Selatan.***
BIBIR BIRU
Kulihat ratusan ribu bibir biru di layar kaca saat gelar konser World Cup 2010 Opening Ceremony di Orlando Stadium di Soweto Johannesburg Afsel 11 Juni lalu. Bibir-bibir biru itu mengingatkanku pada gadis bernama Robben. Aku memanggilnya: Bi-Bi. Nama lengkapnya, Robben Rolihlahla Mvezo Umtata.
“Namamu panjang sekali. Sulit kuingat!” komentarku spontan, ketika Bi-Bi, bola matanya yang hitam berkilau membelalak. “Padahal, itu nama bertuah.”
“Oya? Coba jelaskan,” pintaku serius. Aku ingin mengenalnya lebih jauh.
“Okey!” bibirnya yang biru menguak lebar, deretan gigi putih tampak berkilau – kontras dengan kulitnya yang sehitam arang.
“Sure. Agar kita akrab, jadi sahabat.”
Sahutku sepenuh hati. Aku memang ingin punya sahabat gadis dari Benua Hitam, tepatnya dari Afrika Selatan.
“O… great! Aku juga. Persahabatan itu itu kado istimewa dari Tuhan.” Ia memelukku erat. Tubuhnya beraroma lavender. Siang itu kami duduk di bawah pohon gums, dibalut musim semi. Bi-Bi mengurai namanya sambil sesekali mengunyah kentang bakar, makan siangnya.
“Kakekku yang menamaiku. Ayahku meninggal terserang malaria ketika aku dalam kandungan.
Ibuku gone saat melahirkanku. Kakek pengikut setia Inkosi tktktk ya Tuan Nelson Mandela. Maka, aku dinamai Robben Rolihlahla Mvezo Umtata.”
Uraiannya panjang, kuringkas demikianT: Robben – nama pulau yang pernah untuk memenjarakan Mandela 18 tahun. Rolihlahla, nama asli Mandela yang artinya ‘berani melawan karena benar’. Sedangkan Mvezo Umtata itu kampung halaman Mandela, yang juga kampung halaman kakek Bi-Bi.
“Kakek Mandela itu Enkhulu Inkosi, raja di Umtata. Keluarga kakekku menghamba mereka puluhan tahun. Aku lahir dan besar di Mvezo, high-school-ku di Jo-bo…” Bi-Bi menyebut Johannesburg ‘Jo-bo’. “Di Jo-bo, aku tinggal di asrama putri Anglican, untuk siswi miskin seperti aku.” Sambungnya lugas. “Miskin secara ekonomi, tapi jiwanya tidak, seperti jiwa Inkosi Mandela. Why? Kata Inkosi, penderitaan itu justru membuat penderitanya powerful and has thousands of wings!” tegas Bi-Bi, tangan kanannya mengepal dan diangkatnya tinggi-tinggi. Hebat!” seruku. Gadis berusia 19 tahun ini ternyata matang dan kukuh.
Sejak itu aku bersahabat dengannya. Kucatat di diary-ku, 4 September 1995. Taman kampusku yang bertengger di pantai Queensland menjadi saksi, dikukuhkan langit biru, tarian ombak putih dan ratusan kepak sayap camar putih. Bi-Bi tinggal sekamar denganku di Tower A, yang dihuni oleh mahasiswa dari berbagai negara.
* * *
B-L (baca: Bi-El), itulah nama beken Bi-Bi di kampus. Maksudnya, Blue-Lips, alias Bibir Biru. Aku memanggilnya B-B (baca: Bi-Bi), Bibir-Biru. Sebetulnya, banyak bibir biru di kampus kami, tapi, gadis yang berbibir biru indah, sexy dan menawan hanyalah Bi-Bi. Bibir Bi-Bi begitu tebal, segar, ranum dan terkesan legit karena selalu dihiasi senyuman manis. Keistimewaan lainnya bibir Bi-Bi mampu meluncurkan orasi-orasi pelestarian bumi, pidato-pidato pembakar semangat cinta negeri, menyanyikan lagu-lagu perdamaian dan membaca puisi menyuarakan democrazy dan humanity. Ini yang membuatnya dijuluki pula The Golden Bi-El.
Bi-Bi studi prodi Information Technology (IT) strata S-1. Aku ambil fak International Relations (IR) strata S-2. Saat aku berteman dengan Bi-Bi usiaku di ambang 40 tahun. Perbedaan usia yang relatif jauh sama sekali tidak menimbulkan gap di antara kami. Ini sudah kuperkirakan sejak awal aku mengenalnya di Loket International Student Service. Ia begitu tampak dewasa, cerdas dan mandiri. Pikirku, ia calon mahasiswa pasca sarjana. Aku pun berkenalan dengannya.
Aku terkejut ketika ia mengatakan baru saja lulus SMA. Tubuhnya yang bongsor, gurat-gurat wajahnya yang tegas dan sorot matanya yang tajam, membuatnya tampak seperti perempuan dewasa, berusia 30-an. “Banyak orang bilang, aku ini bermutu, alias bermuka tua.” kata Bi-Bi santai. “Kau tidak bermuka tua, tapi sangat dewasa!” tanggapku, sejujurnya. “Perhaps, situasi yang membuatku begini,” kedua tangannya membentang.
* * *
Suatu siang, ketika aku membersihkan kamar, menemukan album foto di kolong ranjang Bi-Bi. Album itu berisi foto aneka pose manis dan sexy. Gadis itu Bi-Bi. Tak satu pun ia berpose syur. Lembar-lembar awal album itu menyajikan foto Bi-Bi dinobatkan cover-girl majalah Teens. Lainnya, memperagakan kain tradisional sukunya dan jadi ikon sebuah obyek pariwisata.
“Hem,ternyata, sahabatku ini tidak hanya The Golden Bi-El, tapi juga The Golden Body,” godaku pada Bi-Bi ketika kami menjelang tidur.
“Haaahhh? Jangan ngigau. Siapa bilang?” teriak Bi-Bi, tersipu-sipu. “Album yang kutemukan di kolong ranjangmu mengatakan itu.” Sahutku santai.
“Haaaaa,badut!” tawa Bi-Bi meledak. Ia ambil album yang kusebutkan.
“Kau hebat. YBS!” komentarku jujur. “What do you mean Y-B-S?” desak Bi-Bi tegas, tapi bernada manis.
“Young, Beauty and Sexy.” Kueja tiga huruf Y-B-S. Timpal Bi-Bi cepat, “Bagiku, Y-B-S itu singkatan Yuk, Bad and Suffer!”
“Kau sama sekali tidak Yuk, menjijikkan, Bad, jelek dan Suffer, menderita. Kau tulen Young, Beauty and Sexy!” tegasku padanya.
Tiba-tiba ia murung. “Ketika terpilih cover-girl tiga tahun silam, aku berpendapat begitu. Bisa kujual YBS-ku.”
“Cepat kaya, jadi Top Model kelas dunia.” Selaku.
“Not at all. Jika aku punya uang, itu untuk studi dan mendirikan sekolah untuk anak-anak di desaku. Itu tanda hormatku pada kakekku, mahaguru hidupku dan Inkosi Mandela, bapak agung kebangsaanku. Tapi, kandas,” mata Bi-Bi membasah.
“Kenapa Bi-Bi?” tanyaku penuh empati. “Ternyata untuk punya uang banyak harus berani pose syur. Alasannya untuk seni fotografi. Puihh, itu eksploitasi dan pelecehan perempuan. Kata kakekku, menyerap ajaran Inkosi Mandela: jika perempuan mau dieksploitasi dan dilecehkan itu berarti jadi perempuan terjajah tanpa martabat. Aku ingin jadi perempuan merdeka, sampai akhir hayatku. Maka, kuciptakan citra berbeda bagi seorang model , tidak usah berpose syur. Aku malah jadi ejekan dan dicepat dari Himpunan Model Afrika Selatan, kata mereka aku ini sakit jiwa, jelek dan menjijikan. Benar, sekarang ini Zaman Edan seperti kata pujangga negerimu, Ronggo Warsito yang pernah kau ceritakan padaku. Di Zaman Edan ini, justru orang-orang yang eling dan waspodo dicap edan. Puihhh, aku bersumpah tak mau jadi model, tak mau jual tubuh demi uang. Makanya, singkatan YBS kuartikan Yuk-Bad-Suffer!” tegas Bi-Bi.
“Lalu, siapa yang membiayai sekolah dan biaya hidupmu?” tanyaku hati-hati.
“Uang tabunganku dan ada bantuan dari Sister Juliana Barker.” “Siapa Sister Juliana Barker itu?” aku penasaran.
“Dia biarawati dan pianis kondang. Sebagian honornya bermain piano untuk membiayai kuliahku tahun pertama. Selanjutnya, Sister Jul advised agar aku cari partime job. Sebagai student kita dapat izin kerja dua puluh jam seminggu kan? Apa kau juga?” tanya Bi-Bi padaku.
“Tidak. Aku memilih belajar keras agar dapat diskon uang kuliah lima puluh persen,” jelasku. “Upah cuci piring dan clean up kebun terlalu rendah.”
“Benar.” Ucap Bi-Bi, “Aku dapat kerjaan berupah tigapuluh lima dolar per jam. Sabtu dan Minggu aku bisa kerja full dua puluh jam. Upah itu okey sekali buat bayar kuliah tahun depan plus makan.” Mata Bi-Bi yang basah kembali berbinar.
“Itu upah selangit. Kau kerja apa, B-Bi?” aku penasaran.
“Yang jelas bukan jadi foto model yang pamer lekuk-liku tubuh itu. Aku bekerja mengandalkan kemampuanku panjat tebing.” Tutur Bi-Bi dengan mata berbinar.
“Kau jadi instruktur panjang tebing?” aku penasaran.
“Not at all.” Bi-Bi menggeleng. Kemudian ia mengucapkan ‘good nite’ padaku. Kumatikan lampu kamar. Waktu memasuki tengah malam.
* * *
Asramaku berjarak sekitar 70 kilometer dari pusat kota yang lazim disebut City. Jadi aku jarang ke City. Selain kuanggap jauh, itu berarti pengeluaran besar. Selain untuk transportasi, aku perlu makan-minum, menghabiskan sekitar 30 dolar. Maka, kujadualkan ke City cukup sebulan sekali, Sabtu atau Minggu.
Ingin sekali aku ke City bersama Bi-Bi yang kuanggap adikku. Jika aku ke City bersamanya, ia akan kutraktir nasi goreng di Restoran Lezat di sudut City. Bi-Bi tertarik sekali. Ia mengaku, belum pernah sekalipun makan nasi goreng tapi ia pernah dengar tentang itu dari Suzy, berdarah Belanda, temannya di SMA.
“Bi-Bi, yuk ke City, kutraktir nasi goreng. Minggu lalu kau menang lomba panjat tebing. Nah, nasi goreng itu hadiah special dariku. Okey?” bujukku.
Bi-Bi meminta maaf padaku, ia tidak bisa ke City bersamaku. Alasannya, ia harus bekerja. Ia memang bekerja Sabtu-Minggu, berangkat kerja naik kereta api pertama, pukul 05.00, pulangnya pukul 19.00. Ia selalu tampak letih dan langsung tidur sepulang kerja. Aku tak berani menganggunya.
* * *
Sabtu pagi cerah, aku ke City naik kereta api dari Stasiun White Dove. Pukul 10.30 aku sampai di City, langsung ke toko buku favoritku di Elizabeth Street. Kulewati beberapa gedung bertingkat yang menjadi landmark pusat bisnis di City. Salah satu gedung itu bertingkat 42 dan lobby-nya dihiasi air mancur unik. Setiap jam, air mancur itu beratraksi, menyerupai seekor naga bersisik warna-warni kemilau – diiringi musik hip-hop dan dibanjiri pengunjung. Aku ingin menyaksikannya.
Kubeli seporsi fish and chips regular dan sebotol kecil mineral water untuk kunikmati sambil nonton si Naga berhip-hop. Kubayangkan, alangkah asyiknya jika aku bersama Bi-Bi menyaksikan atraksi unik itu. Kupastikan Bi-Bi membandingkan si Naga berhip-hop dengan tontonan menarik di Mvezo kampungnya. Dia memang selalu begitu dan itu membuatku jadi tahu banyak tentang seni dan budaya Afsel. Aku juga sering bercerita berbagai seni-budaya yang ada di Indonesia. Bi-Bi sangat menikmatinya, ia catat yang dianggapnya penting. Katanya, itu akan bahan novel yang akan ditulisnya, novel bernafaskan kebudayaan global.
“Kecelakaan! Kecelakaan!” kudengar teriakan di depan gedung tempat bermukimnya Si Naga Hip-Hop. Teriakan itu disusul raungan sirene ambulans, lampunya menyilaukan mata.
“Siapa yang kecelakaan Miss?” tanyaku pada perempuan muda di dekatku.
“Gadis pembersih kaca. Ia jatuh dari lantai tiga puluh, tali lift kereta pembersih yang dinaikinya putus.” Sahutnya singkat. Ia berlari menuju kerumunan orang. Aku mengikutinya. Kerumunan orang itu melihat si Korban.
“Di saku jeans si Korban ada foto seorang kakek dan Mandela.” Kata polisi. Tubuhku gemetar mendengarnya. Aku menyeruak orang-orang yang mengerumuni si Korban. Jantungku seperti digodam begitu melihat bibir biru berkerut-kisut kesakitan. “Bi-Bi! She is my roomate, teman sekamarku!” aku histeris.
Kulihat sekilas, tubuh Bi-Bi yang bersimbah darah berkepala pecah dibawa lari ambulans. Sejak itu aku tak pernah lagi bisa bicara dengannya: Bi-Bi, Bibir Biru yang indah, menawan dan penuh pesona. Bibir Biru itu mahkota gadis perkasa, cerdas dan bermartabat karena dialiri spirit Inkosi Nelson Mandela, Bapak Anak Bangsa Bumi Afrika Selatan.***