TEKS SULUH


Minggu, 27 Oktober 2013

KEKERASAN , CERPEN PUTU WIJAYA

KEKERASAN                                                          putu wijaya
Warga menyerbu rumah Afandi. Ada kabar burung pelukis itu adalah bandar pornographi. Ketika massa menemukan lima buah lukisan bugil, kontan diseret ke lapangan. Lalu sambil berteriak-teriak lukisan dibakar beramai-ramai.
Afandi mencoba untuk mempertahankan haknya. Tetapi ia langsung digebuk babak belur. Rumahnya nyaris dibakar. Untung saja istrinya kemudian menyembah dan meminta ampun pada pimpinan massa.
“Tetapi dalam waktu 3 kali 24 jam, kamu harus minggat dari sini. Kalau kamu nekat masih berkeliaran berarti menantang! Akan kami sikat habis, sebab kami tidak mau hidup berdampingan dengan manusia bejat yang otaknya dikendalikan oleh setan!”
Istri Agandi menangis tersedu-sedu. Itu dianggap sebagai persetujuan.
Afandi sendiri tak mengatakan apa-apa. . Tetapi air matanya tetes karena lukisan yang merupakan pantulan hati nuraninya hangus. Ia merasa dirinya ikut terbakar mati. Seluruh kegairahan hidupnya lenyap. Ketika istrinya membereskan barang-barang karena takut digempur lagi, Afandi tetap saja diam.
Pelukis itu kemudian pindah ke kota. Tetapi hidupnya sudah ditakdirkan tidak tenang. Setiap hari ia didatangi oleh para wartawan yang haus berita. Semuanya mengorek-orek apa sebenarnya yang sudah terjadi. Seakan-akan bukan mencari fakta tapi ingin mencari apa yang mereka harapkan terjadi.
Afandi yang sudah lemas jiwa-raganya, selalu menghindar. Dia bukan jenis pahlawan atau pemberontak. Ia cenderung lari dari kepungan mata kuli tinta itu. Publikasi berbahaya. Karena itu akan mengundang malapetaka. Ia ingin banting stir, berhenti menjadi seniman. Lebih baik hidup tertindas daripada mati konyol, karena anak-anaknya masih kecil.
Tetapi istri Afandi yang merasa disakiti secara tidak adil, sebaliknya. Ia menuturkan kekerasan yang dideritanya secara panjang lebar sampai ke ketiak-ketiak peristiwa dengan sangat rinci. Ia seperti bisa menghitung jumlah air matanya yang tumpah dan berapa memar yang diderita oleh suaminya karena tamparan, tendangan dan pukulan. Ia juga hapal semua kata-kata yang diucapkan oleh massa yang menggerebeknya.
“Lima buah lukisan yang yang harganya satu milyar sebuah dibakar seperti barang-barang maksiat. Kami diusir dan diancam akan dibunuh kalau masih tinggal di rumah yang kami beli dengan menjual semua harta warisan kami di kampung. Anak-anak putus sekolahnya dan sampai sekarang belum dapat sekolah lagi. Suami saya juga sudah berhenti melukis.”
“Kenapa?”
“Sebab dia tidak bisa melukis yang lain.”
“Tidak bisa atau tidak mau?”
“Tidak bisa dan tidak mau.”
“Kenapa?”
“Dia hanya mau dan hanya bisa melukis orang telanjang.”
“O jadi suami ibu betul-betul pelaku pornographi?”
Istri Afandi terkejut. Wartawan cepat-cepat menjelaskan.
“Pornographi adalah semua usaha untuk memperlihatkan gambar telanjang yang berarti kecabulan. Apa betul suami ibu bandar kecabulan?” tanya wartawan memancing.
Istri Afandi masih belum selesai terkejut.
“Gambar telanjang apa saja yang sudah dibakar itu?”
“Gambar anak-anak saya.”
“Hanya itu?”
“Gambar suami saya sendiri.”
“Yang tiga lagi?”
“Gambar saya.”
“Yang lain?”
“Gambar orang tua.”
“Siapa dia? Pemimpin kita?”
“Kata suami saya itu Bisma yang dalam pewayangan berkorban untuk bangsa dan negara.”
“Terus yang lain?”
“Yang kelima?”
“Saya tidak tahu.”
“Laki atau perempuan?”
“Seperti laki-laki seperti perempuan.”
“Banci?”
“Bukan.”
“Mirip siapa?”
“Tidak tahu. Kata suami saya sih, itu hati nurani.”
Wartawan terkejut.
“Tuhan?”
Istri Afandi bengong dan langsung menutup mukanya ketika ada kilat cahaya lampu pijar dari para wartawan bertubi menghajar wajahnya. Esoknya sebuah berita muncul mengegerkan.
“Tuhan dibakar!”
Rumah Afandi yang sudah berhenti melukis kembali diserbu. Para pembaca koran marah. Yang mendengar berita itu lewat mulut orang lain juga marah. Massa yang dulu menyerbu rumah Afandi juga mendidih darahnya.
“Gila dasar budak setan! Belum kapok juga dia. Habisi saja!”
Mereka lalu berangkat ke kota dengan tekad bulat untuk membuat Afandi benar-benar bertobat. Tetapi begitu samnpai di pemukiman Afandi yang baru, mereka hanya menemukan puing-puing. Rumah kontrakan itu sudah tersikat habis oleh api berikut seratus rumah lain di sekitarnya. Konon karena ada yang sembarangan membuang puntung rokok.
“Pemburuan terhadap pelukis telanjang melalap 100 rumah warga yang tidak berdosa!” kata seorang penyiar.
Para petugas keamanan berkeliaran di antara puing-puing dan kerumunan orang yang menonton sisa musibah itu. Ketika mereka menemukan sejumlah orang asing dari luar kota – di antaranya ada yang membawa senjata tajam, langsung diamankan. Kelompok orang itu tak sudi ditangkap. Mereka menolak dan melawan. Akhirnya terjadi bentrokan yang memakan korban jiwa.
“Ini pembelajaran demokrasi!” kata seorang pengamat.