Cerita Pendek Naning Pranoto
Kujabat tangannya yang mulus, berkuku artistik bercat merah jambu. Ohhh, lembut sekali telapak tangan itu. Tubuhnya yang mungil-molek beraroma paduan sari mawar dan melati. Rambut dan alisnya hitam berkilauan, kontras dengan kulitnya yang cemerlang. Sayangnya, bibirnya yang merah jambu itu terkatup rapat. Padahal aku telah tersenyum manis kepadanya kusertai tatapan penuh sahabatan. Maka segera kusimpulkan, ia seorang perempuan yang angkuh.
Maka timbullah niatku untuk mengurungkan wawancara dengannya, meskipun itu membuatku kehilangan point besar. Karena, kehilangan sumber berita paling berharga untuk surat-kabar di mana aku bekerja sebagai reporter. Lagi pula, apa artinya aku ke Brazil, bila tidak berhasil mewawancarainya? Perempuan angkuh itu merupakan salah satu ‘ruh’ dari obyek berita yang sedang kutelusuri di Brazil. Tugas pokok yang kuterima adalah menulis kehidupan dan penanganan street-children. Aku harus, membongkar akar-akar sejarah sebab musabab membiaknya anak-anak jalanan di kota-kota besar di Brazil, khususnya di Sao Paulo dan Rio de Janeiro.
Apakah anak-anak jalanan itu merupakan fenomena sesaat? Bukankah ia mempunyai sejarah panjang? Bukankah itu merupakan kasus-kasus yang tersisa setelah berlalunya upaya keras Abraham Lincoln membebaskan ras Negro dari sistem perbuadakan yang nyaris abadi? Aku sempat pula mendapatkan secuil fail tentang hubungan system perbudakan, yang dikaitkan dengan maraknya pemutaraan fil-film biru di kawasan Amerika Latin, yang menyebabkan baby boom yang lahir dari perut-perut dara remaja, dengan catatan: di luar nikah. Anak-anak jalanan. Dilahirkan, dibesarkan di jalanan.
Anak-anak jalanan, makan dan tidur di jalanan.
Anak-anak jalanan bercinta dan melahirkan di jalanan tanpa pernikahan. Catatan itu kutemukan di sebuah majalah edisi Inggris terbitan Sao Paulo tahun 1990-an.
Aku senang mendapat kutipan itu, sebab itu ucapan si perempuan angkuh yang sedang kuhadapi: Brenda da Costa, pendiri dan sekaligus Ketua Umum Alfa-Beta Foundation, yang kabarnya punya dana besar untuk menyantuni anak-anak terlantar itu.
“Permadi, bila kita berbicara tentang street children di Brazil, tidaklah lengkap apabila tidak menulis peranan Brenda da Costa, maka you harus mewawancarainya.” kata Lilian Remo, seorang wartawati dari surat kabar paling berpengaruh di Brazil.
Aku mengenal Lilian di sebuah lokakarya jurnalistik di Jerman tahun 1999. Sejak itu, aku akrab dengannya walau hubungan kami hanya melalui telepon dan e-mail. Aku terdorong menulis seluk-beluk kehidupan street-children Brazil karena idenya dan ia mengundangku ke Brazil. Sayangnya, ketika aku sampai di Brazil, ia ditugaskan secara mendadak ke Mexico City. Tapi, ia meminjamiku mobil lengkap dengan sopirnya dan mengatur pertemuanku dengan Brenda da Costa.
Ya, sekarang aku sedang berhadapan dengan Brenda da Costa di rumahnya yang mewah di Morumbi, kawasan elitnya Sao Paulo. Kaki Brenda yang mulus sedang dipijat oleh seorang perempuan tua, berkulit hitam-legam berkerut.. Ia duduk bersimpuh di atas karpet Parsi, Brenda duduk di sofa kayu mahoni beralas kasur putih, seputih bantal dan guling hiasnya. Juga, seputih gaun panjang dan sepatu yang dikenakannya..
“Maaf, Tuan Permadi, saya tidak bisa Anda wawancarai malam ini, karena saya sangat lelah!” bibir Brenda tiba-tiba terkuak, meluncurkan penolakan..
“Maaf, tadi sore ketika saya telepon, Anda menyuruh saya kemari malam ini?” tangkisku cepat, sambil berusaha menyembunyikan kekesalanku.
“Ya, karena tadi saya merasa tidak lelah.” Brenda membentangkan kedua tangannya yang indah. Ia sama sekali tidak merasa bersalah. Sikapnya itu benar-benar membuatku kesal dan kecewa. Dalam hatiku mengumpat: Heh, perempuan angkuh begini jadi pelindung anak-anak jalanan? Mana mungkin?
“Nah, sebaiknya sekarang Anda menikmati keindahan kota ini. Saya sarankan, Anda duduk-duduk di Café de Fravo, menghirup secangkir kopi Brazil atau segelas cerveja – bir khas Brazil sambil mendengarkan musik samba. Café de Fravo, kafe terantik di Sao Paulo, telah berusia ratusan tahun. Itu bisa Anda tulis untuk koran Anda. Obrigada! Tchau!” Brenda meninggalkanku, disertai perempuan tua keriput itu.
Obrigada! Tchau! Thank you! Goodbye! Terima kasih. Selamat jalan! Astaga, jadi Brenda da Costa mengusirku? Mengusir aku, seorang wartawan surat kabar terkemuka di Indonesia? Hem! Jauh-jauh aku dari Indonesia ke Brazil dengan biaya ribuan dolar Amerika, cuma dilecehkan oleh Brenda da Costa. Maka begitu keluar dari rumah Brenda, aku lalu mencari telepon umum untuk memuntahkan kemuakanku ini kepada Lilian yang tengah berada di Mexico City.
Malam itu, udara Sao Paulo dingin sekali, karena tengah berada di puncak winter. Brrbrrrrrr! Angin bertiup kencang sekali, pepohonan gundul di sekitarku terhempas-hempas. Malam itu langit kelabu pekat, suasana sepi. Lampu-lampu penerang jalan sinarnya temaram, membuatku kesulitan menemukan telepon umum, untuk menelepon Lilian.. Sepuluh menit kemudian aku menjumpai seorang lelaki tua tengah terbatuk-batuk. Ia bermantel panjang-tebal, bersyal panjang dan bertopi.
“Permisi, Tuan, di mana ada telepon umum?” tanyaku kepadanya.
“Ini kawasaan elit, tidak ada telepon umum.” sahutnya, berbahasa Inggris gaya Brazil, berlogat Porto. “Anda ke kota saja, naik taksi.” Sarannya.
Kemudian, si Lelaki Tua itu memandangiku, “Anda orang asing. Filipino?”
“Indonesia!” sahutku spontan.
“Oba! Indonesia! Soekarno! Bali! Saya pernah dengar itu!” ia ceria, “Hai, cara! Berada di Sao Paulo tidak afdol, kalau belum ngopi di Café de Fravo. Tchau!” tangannya melambai, lalu meninggalkanku. Ia menyebutku cara – yang berarti ‘anak muda’..
Aku ingin segera menelpon Lilian, untuk menumpahkan kekesalanku atas sikap Brenda padaku. Untung, ada taksi melintas di depanku. Ia mengantarku ke sebuah boks telepon umum. Kuambil beberapa koin uang Brazil untuk menelepon Lilian. Hanya dalam hitungan detik, aku dapat respon darinya.
“Hello, Permadi! Ada apa?” Kudengar suara Lilian yang bening dari Mexico City.
“Aku lagi unhappy, karena dimainin Brenda da Costa!” kataku ketus. “Mana mungkin you bisa dimainin?” Lilian tertawa.
“Memang terjadi, Lilian.Baru kali ini, seumur hidupku, aku dilecehkan habis-habisan oleh perempuan. Aku jauh-jauh dari Indonesia untuk menulis kegiatannya agar bisa dijadikan suri-teladan para perempuan di Indonesia. Karena menurut pengamatanku, cukup banyak perempuan Indonesia yang kaya, tetapi masih sedikit yang mau memikirkan nasib anak-anak jalanan. Ehhh. Brenda malah begitu terhadapku.”
“Really?” sela Lilian.“Padahal aku sudah menjelaskan semua tentang maksudmu …,” “Tapi, Brenda dingin-dingin saja ketika kusebut namamu. Padahal you bilang akrab dengannya, pernah satu sekolah dengannya. Kenyataannya?” aku emosional. “Hai, Permadi, jangan berang . Brenda bersikap dingin terhadap you, itu wajar..,” “Wajar bagaimana, Lilian?” kutukas kalimat Lilian dengan nada tinggi. “Kan di Sao Paulo sedang winter. Jadi, semua serba dingin, termasuk Brenda.. You juga kedinginan kan?” kali ini Lilian tertawa-tawa. “Ah, kau bercanda. Kedatanganku ke Brazil sia-sia!” gerutuku “Jangan begitu. You sudah mengunjungi favela – ya perkampungan slum street-children di Rio de Janeiro dan Sao Paulo. You juga sudah mewawancarai para pengelola panti dan tamanpertanian yang menampung street-children. Juga interview street-children yang terlibat perdagangan narkoba, pelacuran dan penyimpangan seks…,”
“Tapi, aku tidak berhasil mewawancarai Brenda da Costa. Katamu – menulis street-children tanpa menulis Brenda berarti, tidak lengkap!” kupotong kalimat Lilian.
“Tapi, kata-kataku itu kan bukan Bible. Jadi, kalau tidak berhasil mewawancarai Brenda, toh you sudah punya kliping tulisanku mengenai Brenda. Humm, termasuk catatanku mengenai masa kecil Brenda sebagai anak favela yang hidup menderita…,”
“Catatan masa kecil Brenda sebagai anak favela? Rasanya, aku belum menerima materi itu darimu,” Tegasku cepat, tidak mau kehilangan momentum.
“Sudah, dalam amplop kertas coklat. Apa belum you buka?” tanya Lilian tegas.
“O, sorry, sorry, ya…masih di dalam koperku.. Aku belum sempat membukanya.
Aku malas baca, winter di Sao Paulo sangat menganggu konsentrasiku kerja. Selain itu, waktuku juga habis untuk mengejar Brenda..,,” aku berterus terang.
“Nah, amplop coklat besar itu berisi tentang masa kecil Brenda yang penuh derita. Ia lahir sebagai moletto – anak yang lahir dari perempuan Negro yang digundik orang Portugis, hidup terlantar di favela. Dalam usia sepuluh tahun ia diperkosa oleh beberapa orang laki-laki mabok. Ketika berusia sebelas tahun ia dijual oleh seorang mucikari ke rumah bordil di Sao Paulo. Hidupnya terangkat sebagai perempuan bermartabat ketika ia dinikahi oleh Don Pedro de Franco, juragan gula dari Minas Gerais. Ketika itu, Brenda berusia enam belas tahun dan Don Pedro tujuh puluh tahun. Sejak jadi istri Don Pedro, Brenda tinggal di casa grande ya..rumah gedong di Morambi. Don Pedro meninggal tiga tahun setelah menikahi Brenda. Sejak itu, Brenda hidup menjanda dan hartanya didermakan untuk anak-anak jalanan…,”
“Lilian, berapa sekarang usia Brenda?” selaku, memotong kalimat Lilian.
“Ya, sebaya denganku. Tiga-puluh lima. Tanpa anak.” Jelas Lilian.
“Kasihan!” komentarku spontan.
“Ia kaya harta, tetapi mengaku miskin jiwa. Itulah makanya, ia mengurusi anak jalanan. Kalau hatinya tidak sedang sumpek, Brenda lucu, humor-humornya segar,” Lilian tertawa, “Ia suka ngumbar humor-humornya sambil ngopi di Café de Fravo…,”
“Oiya, tadi Brenda menyuruhku ngopi di Café de Fravo. Dia bilang, kafe itu terunik dan tereksklusif di Sao Paulo. ” Ceritaku meluncur spontan.
“Oiya? Lilian terheran-heran. “Itu, isyarat — bagaimanapun, dia menaruh perhatian padamu. Tulis saja itu dalam laporan perjalananmu ke Brazil,” saran Lilian kemudian.
“Ide bagus. Aku memang mau ke kafe itu,” kukatakan rencanaku kepada Lilian.
“Bagus. Tulis saja laporanmu mengenai pertemuanmu yang kacau-balau dengan Brenda, plus bahan-bahan Brenda dariku. Ditambah visiting favela, ke panti-panti dan taman pertanian untuk pelatihan kerja street-children. Tambahannya, pengalaman you yang unik minum kopi Brazil dan cerveja di Café de Fravo. Buat judul tulisanmu Winter di Hati Brenda da Costa. Menarik kan? Optimistik, Bung!” Lilian memberiku semangat.
“Okey. Setuju. Aku sekarang mau ke Café de Fravo. Goodbye, Lilian!” pamitku.
“Goodbye and take care! Kunanti kedatanganmu di Mexico City. Okey?” sahut Lilian.
“Okey!” Aku memang mau ke Mexico City setelah pekerjaanku selesai di Sao Paulo.
Nah, sehabis menelepon Lilian, aku masuk ke Café de Fravo. Kafe yang telah berusia sekitar dua abad ini, ternyata tidak luas. Apalagi temboknya dibiarkan kusam dan mebel-mebelnya berwarna gelap. Kesannya, ruangan yang ada terasa sempit. Padahal, kalau temboknya dicat lebih cerah dan salah satu sisinya dipasangi lembaran cermin, tentu kesannya menjadi luas. Begitu pula lampu-lampunya, dibesar daya-terangnya..
“Anda sudah reservasi kursi, Tuan?” tanya seorang waitress cantik, yang kuperkirakan berdarah Itali-Jepang, menyambut kedatanganku. Ia mengenakan rok panjang model Abad XVIII. Sungguh unik. Terus terang, aku terpesona.
“Belum!” sahutku cepat, agak geragapan, karena asyik memandanginya.
“Maaf, kalau begitu, Anda dalam waiting list, Karena, bangku yang ada sudah dipesan semua, sehari sebelumnya. ” Jelas si Waitress.
“Jadi, aku tidak bisa ngopi di sini? Padahal aku jauh-jauh datang dari Indonesia.” Sahutku dengan membawa nama ‘Indonesia’ agar diberi bangku.
“O, tentu saja bisa.” waitress itu tersenyum, “Tapi, Anda hanya boleh duduk di teras sana!” ia menunjuk meja-meja yang ada di teras dan dinaungi payung-payung.
“O, beku. Orang Indonesia familier dengan winter, apalagi di malam hari.” Sahutku. “Ya, saya mengerti. Tetapi, Tuan, secangkir kopi panas Brazil asli, akan menghangatkan Tuan, apalagi menyantap peixada – sup ikan campur sayuran dan telur. Ini menu winter!” waitress tersenyum lebar, mencerahkan hatiku. Aku memutuskan memesan secangkir kopi dan satu porsi peixada.. “Nao, Anda jangan duduk di teras. Mari, duduk di dalam bersama saya,” tiba-tiba kudengar suara seorang perempuan menghampiriku. Ia bercelana dan berjaket kulit. Aku segera menengoknya. Perempuan itu berambut pendek, model bob dan berkacamata model John Lenon. Ketiaknya mengepit tas kulit hitam.
“Maaf, Anda siapa?” tanyaku, terkejut, sambil mengamatinya.
“Saya Brenda, Tuan Permadi!” ia berbisik, sambil menjabat tanganku..
“Oya?” aku membelalak. Ia berbeda sekali dengan yang kulihat di rumahnya.
“Sttt!” ia memberi isyarat agar aku tenang. Kemudian ia berbisik, “Saya kemari untuk menemui Anda, tetapi please jangan interview saya. Saya di sini ingin menjadi perempuan yang bebas dari atribut sebagai pekerja sosial maupun sebagai Brenda yang ex gadis tak berdaya dari favela. Please perlakukan saya sebagai Brenda perempuan biasa, yang ingin bersantai bersama seorang gentleman dari Indonesia. Maka, malam ini, ketika Anda di sini bersama saya, bukanlah Permadi – yang wartawan, yang sedang mengejar-ngejar obyek beritanya. All right?” Brenda memegangi kedua tanganku erat-erat, sambil memandangiku, “Tolong, beri waktu saya sejenak untuk tidak menjadi Brenda da Costa yang jadi obyek berita. Saya lelah.” .
Aku mengangguk. Genggaman tangan Brenda da Costa kurasakan begitu hangat, membuat winter di Sao Paulo malam itu menjadi bernuansa lain: melelehkan tubuh dan perasaanku! Ingin rasanya aku mencium tangannya, tetapi kuurungkan. Selanjutnya, yang kurasakan adalah getaran keharuan hatiku, menghadapi kebesaran jiwa pengabdiannya bagi mereka yang tidak jelas masa lalunya, dan buram pula masa depannya. *
Sentul City, akhir September 2009
Kujabat tangannya yang mulus, berkuku artistik bercat merah jambu. Ohhh, lembut sekali telapak tangan itu. Tubuhnya yang mungil-molek beraroma paduan sari mawar dan melati. Rambut dan alisnya hitam berkilauan, kontras dengan kulitnya yang cemerlang. Sayangnya, bibirnya yang merah jambu itu terkatup rapat. Padahal aku telah tersenyum manis kepadanya kusertai tatapan penuh sahabatan. Maka segera kusimpulkan, ia seorang perempuan yang angkuh.
Maka timbullah niatku untuk mengurungkan wawancara dengannya, meskipun itu membuatku kehilangan point besar. Karena, kehilangan sumber berita paling berharga untuk surat-kabar di mana aku bekerja sebagai reporter. Lagi pula, apa artinya aku ke Brazil, bila tidak berhasil mewawancarainya? Perempuan angkuh itu merupakan salah satu ‘ruh’ dari obyek berita yang sedang kutelusuri di Brazil. Tugas pokok yang kuterima adalah menulis kehidupan dan penanganan street-children. Aku harus, membongkar akar-akar sejarah sebab musabab membiaknya anak-anak jalanan di kota-kota besar di Brazil, khususnya di Sao Paulo dan Rio de Janeiro.
Apakah anak-anak jalanan itu merupakan fenomena sesaat? Bukankah ia mempunyai sejarah panjang? Bukankah itu merupakan kasus-kasus yang tersisa setelah berlalunya upaya keras Abraham Lincoln membebaskan ras Negro dari sistem perbuadakan yang nyaris abadi? Aku sempat pula mendapatkan secuil fail tentang hubungan system perbudakan, yang dikaitkan dengan maraknya pemutaraan fil-film biru di kawasan Amerika Latin, yang menyebabkan baby boom yang lahir dari perut-perut dara remaja, dengan catatan: di luar nikah. Anak-anak jalanan. Dilahirkan, dibesarkan di jalanan.
Anak-anak jalanan, makan dan tidur di jalanan.
Anak-anak jalanan bercinta dan melahirkan di jalanan tanpa pernikahan. Catatan itu kutemukan di sebuah majalah edisi Inggris terbitan Sao Paulo tahun 1990-an.
Aku senang mendapat kutipan itu, sebab itu ucapan si perempuan angkuh yang sedang kuhadapi: Brenda da Costa, pendiri dan sekaligus Ketua Umum Alfa-Beta Foundation, yang kabarnya punya dana besar untuk menyantuni anak-anak terlantar itu.
“Permadi, bila kita berbicara tentang street children di Brazil, tidaklah lengkap apabila tidak menulis peranan Brenda da Costa, maka you harus mewawancarainya.” kata Lilian Remo, seorang wartawati dari surat kabar paling berpengaruh di Brazil.
Aku mengenal Lilian di sebuah lokakarya jurnalistik di Jerman tahun 1999. Sejak itu, aku akrab dengannya walau hubungan kami hanya melalui telepon dan e-mail. Aku terdorong menulis seluk-beluk kehidupan street-children Brazil karena idenya dan ia mengundangku ke Brazil. Sayangnya, ketika aku sampai di Brazil, ia ditugaskan secara mendadak ke Mexico City. Tapi, ia meminjamiku mobil lengkap dengan sopirnya dan mengatur pertemuanku dengan Brenda da Costa.
Ya, sekarang aku sedang berhadapan dengan Brenda da Costa di rumahnya yang mewah di Morumbi, kawasan elitnya Sao Paulo. Kaki Brenda yang mulus sedang dipijat oleh seorang perempuan tua, berkulit hitam-legam berkerut.. Ia duduk bersimpuh di atas karpet Parsi, Brenda duduk di sofa kayu mahoni beralas kasur putih, seputih bantal dan guling hiasnya. Juga, seputih gaun panjang dan sepatu yang dikenakannya..
“Maaf, Tuan Permadi, saya tidak bisa Anda wawancarai malam ini, karena saya sangat lelah!” bibir Brenda tiba-tiba terkuak, meluncurkan penolakan..
“Maaf, tadi sore ketika saya telepon, Anda menyuruh saya kemari malam ini?” tangkisku cepat, sambil berusaha menyembunyikan kekesalanku.
“Ya, karena tadi saya merasa tidak lelah.” Brenda membentangkan kedua tangannya yang indah. Ia sama sekali tidak merasa bersalah. Sikapnya itu benar-benar membuatku kesal dan kecewa. Dalam hatiku mengumpat: Heh, perempuan angkuh begini jadi pelindung anak-anak jalanan? Mana mungkin?
“Nah, sebaiknya sekarang Anda menikmati keindahan kota ini. Saya sarankan, Anda duduk-duduk di Café de Fravo, menghirup secangkir kopi Brazil atau segelas cerveja – bir khas Brazil sambil mendengarkan musik samba. Café de Fravo, kafe terantik di Sao Paulo, telah berusia ratusan tahun. Itu bisa Anda tulis untuk koran Anda. Obrigada! Tchau!” Brenda meninggalkanku, disertai perempuan tua keriput itu.
Obrigada! Tchau! Thank you! Goodbye! Terima kasih. Selamat jalan! Astaga, jadi Brenda da Costa mengusirku? Mengusir aku, seorang wartawan surat kabar terkemuka di Indonesia? Hem! Jauh-jauh aku dari Indonesia ke Brazil dengan biaya ribuan dolar Amerika, cuma dilecehkan oleh Brenda da Costa. Maka begitu keluar dari rumah Brenda, aku lalu mencari telepon umum untuk memuntahkan kemuakanku ini kepada Lilian yang tengah berada di Mexico City.
Malam itu, udara Sao Paulo dingin sekali, karena tengah berada di puncak winter. Brrbrrrrrr! Angin bertiup kencang sekali, pepohonan gundul di sekitarku terhempas-hempas. Malam itu langit kelabu pekat, suasana sepi. Lampu-lampu penerang jalan sinarnya temaram, membuatku kesulitan menemukan telepon umum, untuk menelepon Lilian.. Sepuluh menit kemudian aku menjumpai seorang lelaki tua tengah terbatuk-batuk. Ia bermantel panjang-tebal, bersyal panjang dan bertopi.
“Permisi, Tuan, di mana ada telepon umum?” tanyaku kepadanya.
“Ini kawasaan elit, tidak ada telepon umum.” sahutnya, berbahasa Inggris gaya Brazil, berlogat Porto. “Anda ke kota saja, naik taksi.” Sarannya.
Kemudian, si Lelaki Tua itu memandangiku, “Anda orang asing. Filipino?”
“Indonesia!” sahutku spontan.
“Oba! Indonesia! Soekarno! Bali! Saya pernah dengar itu!” ia ceria, “Hai, cara! Berada di Sao Paulo tidak afdol, kalau belum ngopi di Café de Fravo. Tchau!” tangannya melambai, lalu meninggalkanku. Ia menyebutku cara – yang berarti ‘anak muda’..
Aku ingin segera menelpon Lilian, untuk menumpahkan kekesalanku atas sikap Brenda padaku. Untung, ada taksi melintas di depanku. Ia mengantarku ke sebuah boks telepon umum. Kuambil beberapa koin uang Brazil untuk menelepon Lilian. Hanya dalam hitungan detik, aku dapat respon darinya.
“Hello, Permadi! Ada apa?” Kudengar suara Lilian yang bening dari Mexico City.
“Aku lagi unhappy, karena dimainin Brenda da Costa!” kataku ketus. “Mana mungkin you bisa dimainin?” Lilian tertawa.
“Memang terjadi, Lilian.Baru kali ini, seumur hidupku, aku dilecehkan habis-habisan oleh perempuan. Aku jauh-jauh dari Indonesia untuk menulis kegiatannya agar bisa dijadikan suri-teladan para perempuan di Indonesia. Karena menurut pengamatanku, cukup banyak perempuan Indonesia yang kaya, tetapi masih sedikit yang mau memikirkan nasib anak-anak jalanan. Ehhh. Brenda malah begitu terhadapku.”
“Really?” sela Lilian.“Padahal aku sudah menjelaskan semua tentang maksudmu …,” “Tapi, Brenda dingin-dingin saja ketika kusebut namamu. Padahal you bilang akrab dengannya, pernah satu sekolah dengannya. Kenyataannya?” aku emosional. “Hai, Permadi, jangan berang . Brenda bersikap dingin terhadap you, itu wajar..,” “Wajar bagaimana, Lilian?” kutukas kalimat Lilian dengan nada tinggi. “Kan di Sao Paulo sedang winter. Jadi, semua serba dingin, termasuk Brenda.. You juga kedinginan kan?” kali ini Lilian tertawa-tawa. “Ah, kau bercanda. Kedatanganku ke Brazil sia-sia!” gerutuku “Jangan begitu. You sudah mengunjungi favela – ya perkampungan slum street-children di Rio de Janeiro dan Sao Paulo. You juga sudah mewawancarai para pengelola panti dan tamanpertanian yang menampung street-children. Juga interview street-children yang terlibat perdagangan narkoba, pelacuran dan penyimpangan seks…,”
“Tapi, aku tidak berhasil mewawancarai Brenda da Costa. Katamu – menulis street-children tanpa menulis Brenda berarti, tidak lengkap!” kupotong kalimat Lilian.
“Tapi, kata-kataku itu kan bukan Bible. Jadi, kalau tidak berhasil mewawancarai Brenda, toh you sudah punya kliping tulisanku mengenai Brenda. Humm, termasuk catatanku mengenai masa kecil Brenda sebagai anak favela yang hidup menderita…,”
“Catatan masa kecil Brenda sebagai anak favela? Rasanya, aku belum menerima materi itu darimu,” Tegasku cepat, tidak mau kehilangan momentum.
“Sudah, dalam amplop kertas coklat. Apa belum you buka?” tanya Lilian tegas.
“O, sorry, sorry, ya…masih di dalam koperku.. Aku belum sempat membukanya.
Aku malas baca, winter di Sao Paulo sangat menganggu konsentrasiku kerja. Selain itu, waktuku juga habis untuk mengejar Brenda..,,” aku berterus terang.
“Nah, amplop coklat besar itu berisi tentang masa kecil Brenda yang penuh derita. Ia lahir sebagai moletto – anak yang lahir dari perempuan Negro yang digundik orang Portugis, hidup terlantar di favela. Dalam usia sepuluh tahun ia diperkosa oleh beberapa orang laki-laki mabok. Ketika berusia sebelas tahun ia dijual oleh seorang mucikari ke rumah bordil di Sao Paulo. Hidupnya terangkat sebagai perempuan bermartabat ketika ia dinikahi oleh Don Pedro de Franco, juragan gula dari Minas Gerais. Ketika itu, Brenda berusia enam belas tahun dan Don Pedro tujuh puluh tahun. Sejak jadi istri Don Pedro, Brenda tinggal di casa grande ya..rumah gedong di Morambi. Don Pedro meninggal tiga tahun setelah menikahi Brenda. Sejak itu, Brenda hidup menjanda dan hartanya didermakan untuk anak-anak jalanan…,”
“Lilian, berapa sekarang usia Brenda?” selaku, memotong kalimat Lilian.
“Ya, sebaya denganku. Tiga-puluh lima. Tanpa anak.” Jelas Lilian.
“Kasihan!” komentarku spontan.
“Ia kaya harta, tetapi mengaku miskin jiwa. Itulah makanya, ia mengurusi anak jalanan. Kalau hatinya tidak sedang sumpek, Brenda lucu, humor-humornya segar,” Lilian tertawa, “Ia suka ngumbar humor-humornya sambil ngopi di Café de Fravo…,”
“Oiya, tadi Brenda menyuruhku ngopi di Café de Fravo. Dia bilang, kafe itu terunik dan tereksklusif di Sao Paulo. ” Ceritaku meluncur spontan.
“Oiya? Lilian terheran-heran. “Itu, isyarat — bagaimanapun, dia menaruh perhatian padamu. Tulis saja itu dalam laporan perjalananmu ke Brazil,” saran Lilian kemudian.
“Ide bagus. Aku memang mau ke kafe itu,” kukatakan rencanaku kepada Lilian.
“Bagus. Tulis saja laporanmu mengenai pertemuanmu yang kacau-balau dengan Brenda, plus bahan-bahan Brenda dariku. Ditambah visiting favela, ke panti-panti dan taman pertanian untuk pelatihan kerja street-children. Tambahannya, pengalaman you yang unik minum kopi Brazil dan cerveja di Café de Fravo. Buat judul tulisanmu Winter di Hati Brenda da Costa. Menarik kan? Optimistik, Bung!” Lilian memberiku semangat.
“Okey. Setuju. Aku sekarang mau ke Café de Fravo. Goodbye, Lilian!” pamitku.
“Goodbye and take care! Kunanti kedatanganmu di Mexico City. Okey?” sahut Lilian.
“Okey!” Aku memang mau ke Mexico City setelah pekerjaanku selesai di Sao Paulo.
Nah, sehabis menelepon Lilian, aku masuk ke Café de Fravo. Kafe yang telah berusia sekitar dua abad ini, ternyata tidak luas. Apalagi temboknya dibiarkan kusam dan mebel-mebelnya berwarna gelap. Kesannya, ruangan yang ada terasa sempit. Padahal, kalau temboknya dicat lebih cerah dan salah satu sisinya dipasangi lembaran cermin, tentu kesannya menjadi luas. Begitu pula lampu-lampunya, dibesar daya-terangnya..
“Anda sudah reservasi kursi, Tuan?” tanya seorang waitress cantik, yang kuperkirakan berdarah Itali-Jepang, menyambut kedatanganku. Ia mengenakan rok panjang model Abad XVIII. Sungguh unik. Terus terang, aku terpesona.
“Belum!” sahutku cepat, agak geragapan, karena asyik memandanginya.
“Maaf, kalau begitu, Anda dalam waiting list, Karena, bangku yang ada sudah dipesan semua, sehari sebelumnya. ” Jelas si Waitress.
“Jadi, aku tidak bisa ngopi di sini? Padahal aku jauh-jauh datang dari Indonesia.” Sahutku dengan membawa nama ‘Indonesia’ agar diberi bangku.
“O, tentu saja bisa.” waitress itu tersenyum, “Tapi, Anda hanya boleh duduk di teras sana!” ia menunjuk meja-meja yang ada di teras dan dinaungi payung-payung.
“O, beku. Orang Indonesia familier dengan winter, apalagi di malam hari.” Sahutku. “Ya, saya mengerti. Tetapi, Tuan, secangkir kopi panas Brazil asli, akan menghangatkan Tuan, apalagi menyantap peixada – sup ikan campur sayuran dan telur. Ini menu winter!” waitress tersenyum lebar, mencerahkan hatiku. Aku memutuskan memesan secangkir kopi dan satu porsi peixada.. “Nao, Anda jangan duduk di teras. Mari, duduk di dalam bersama saya,” tiba-tiba kudengar suara seorang perempuan menghampiriku. Ia bercelana dan berjaket kulit. Aku segera menengoknya. Perempuan itu berambut pendek, model bob dan berkacamata model John Lenon. Ketiaknya mengepit tas kulit hitam.
“Maaf, Anda siapa?” tanyaku, terkejut, sambil mengamatinya.
“Saya Brenda, Tuan Permadi!” ia berbisik, sambil menjabat tanganku..
“Oya?” aku membelalak. Ia berbeda sekali dengan yang kulihat di rumahnya.
“Sttt!” ia memberi isyarat agar aku tenang. Kemudian ia berbisik, “Saya kemari untuk menemui Anda, tetapi please jangan interview saya. Saya di sini ingin menjadi perempuan yang bebas dari atribut sebagai pekerja sosial maupun sebagai Brenda yang ex gadis tak berdaya dari favela. Please perlakukan saya sebagai Brenda perempuan biasa, yang ingin bersantai bersama seorang gentleman dari Indonesia. Maka, malam ini, ketika Anda di sini bersama saya, bukanlah Permadi – yang wartawan, yang sedang mengejar-ngejar obyek beritanya. All right?” Brenda memegangi kedua tanganku erat-erat, sambil memandangiku, “Tolong, beri waktu saya sejenak untuk tidak menjadi Brenda da Costa yang jadi obyek berita. Saya lelah.” .
Aku mengangguk. Genggaman tangan Brenda da Costa kurasakan begitu hangat, membuat winter di Sao Paulo malam itu menjadi bernuansa lain: melelehkan tubuh dan perasaanku! Ingin rasanya aku mencium tangannya, tetapi kuurungkan. Selanjutnya, yang kurasakan adalah getaran keharuan hatiku, menghadapi kebesaran jiwa pengabdiannya bagi mereka yang tidak jelas masa lalunya, dan buram pula masa depannya. *
Sentul City, akhir September 2009