Anak-anak itu tetap saja bermain hujan-hujanan, merasakan dinginnya air hujan yang turun dari langit, membasahi badannya yang setengah telanjang. Kegembraan mereka menjadi-jadi saat mereka bisa saling ciprat-cipratan dengan genangan air yang ada di tengah halaman itu. Teriakan teriakan senang kala temannya tercipratoleh air genangan, dan yang terciprat sibuk menutup mukanya agar air kotor itu tidak mengenai muka, terutama matanya.
Saking senangnya, ke tiga anak itu tak merasakan betapa dingin air hujai sore itu, mereka sibuk dengan berlari- lari dan sesekali menabrakkan tubuh mereka satu dengan yang lain, menimbulkan bunyi lucu, membuat mereka merasa kuat dan hangat. Saat suara adzan mahgrib terdengar dari mikrofon masjid, merekapun saling pandang, dan sama-sama berteriak “mulih”. Ketiganya belari cepat ke rumah masing-masing.
Halaman rumah besar itu kembali kosong, pintu gerbangnya yang setengah terbuka hanya diam dalam guyuran hujan yang semakin deras. Semakin sepi saat gelap mulai menelan senja. Hanya bunyi air mengucur dari talang depan rumah yang bocor menimpa bangku kayu yang sudah setengah reyot. Rumah besar itu semakin gelap dikungkung malam.
Jalanan sepi, hujan masih saja riang menyiram bumi
Anak anak meringkuk berselimut sarung
Merajut mimpi dalam dekapan bunda
Kehangatan yang sempurna
Sementara rumah besar itu
Cuma membisu
tercekik oleh rindunya
pada penghuni cinta merana
ditinggal mati kekasihnya
*) Sulis Bambang, Penyair dan praktisi kebudayaan menggerakan gairah kesenian dan kebudayaan di berbagai kota di Jawa Tengah Dan Jawa Timur