101. Taba Heriyanto
Sungai 1
Bukit barisan bopeng
Batu bara dikuras
Hutan jadi lapang
Sinar matahari menembus hutan
Tak bercelah
Truk bermuatan berat
Berjalan perlahan
Alangkah angkuh
Batu bara menghitam jalan
Bumi investasi
Sungai berwarna coklat pekat
Mengalir dari hulu
Menuju rumah penduduk
Menyaji keruh
Sampai ke muara
Laut pun berwarna asing
Sungai dangkal di musim kemarau
Meluap di musim hujan
Orang turun ke sungai
Batu bara tercurah dari atas bukit
Pengki
Jaring
Penambang
Penghasilan nyata
Tak perlu alat berat
Batu bara datang menghampiri
Biarlah air semakin keruh
Bagai kopi susu sore hari
Bengkulu 09052021
Tabaheriyanto
Sungai 2
Air sungai yang kental
Penduduk tak perlu meradang
Kepada pemilik tambang
Kabarkan
Ambil dengan mudah
Batu bara di sungai
Lupakanlah air sungai
Yang pernah jernih
Ikan yang manis dagingnya
Berganti renyahnya batu bara
Sungai tak pernah lupa
Mengalir
Berseduh berang
Bengkulu 09052021
Tabaheriyanto, Kelahiran di Curup Bengkulu tahun 1954. Alamat Jalan Enggang nomor 26 Blok I Kelurahan Cempaka Permai Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu
102. Elly Azizah,
Tangis
1\
Biar tangisku meniti pelangi
Tersembunyi di balik langit
Tuk mengumpulkan serpihan bintang
Buat perhiasan dara rupawan
2\
Biar tangisku bermanik-manik
Melilit leher lingkar bumi
Tuk hilang rasa panik
Buat lapang dada ini
3\
Biar tangis turun tik-tik
Mendaki lembah menurun bukit
Meratap negeri yang sakit
Pabila akan bangkit
4\
Biar tangis ini menggugu
Kepada Allah tempat mengadu
Ampuni dosa terpadu
Lakon sandiwara yang kelu
5\
Biarkan tangis berbisik
Mengalun mengusik kelana malam
Membersih hati yang bersisik
Pada malam seribu bulan
Bengkulu 1442 H
Elly Azizah, Pensiunan PNS di Bengkulu.
Sekarang tinggal di Jalan Enggang Nomor 26 Blok I Kelurahan Cempaka Permai Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu
103.Odi Shalahuddin
Tuhan , Aku Yakin Kau Tiodak Lelah
bencana demi bencana yang melanda Indonesia
kuyakin bukan adzab darimu, Tuhan
tapi irama alam semesta yang tidak lagi berada dalam putarannya
lantaran ulah manusia dengan keserakahannya yang meraja
atau bahkan mungkin terlena dan larut dalam lupa
kuyakin itu, Tuhan,
sebab ketika semesta tercipta, telah kau lepas ia untuk bekerja
pada setiap bencana, selalu saja berulang kebodohan yang sama
tentang orang-orang yang selalu saja berkata-kata
tentang peringatan darimu, kepada para korban yang dinilai menjadi para pendosa
dan ini disiarkan dalam berbagai ruang-ruang agama
tentang ini, aku tidak yakin, Tuhan
walau dalam keyakinan, semuanya adalah atas kehendak-Mu
tapi manusia pulalah yang harus senantiasa menjaga keseimbangan
dan bersikap waspada terhadap berbagai kemungkinan ancaman bencana
pada setiap bencana, selalu saja berulang kebodohan yang sama
tentang para penguasa yang masih gagap,
suntuk bermain dalam ruang prosedur dan administrasi
sedang para korban butuh pengungsian yang aman, nyaman,
dan terjamin kelangsungan hidupnya
pada setiap bencana, anugrah dariMu, menjelma melalui hati dan sosok
ratusan orang-orang yang ringan bergerak membantu sesamanya
para relawan yang tak henti bekerja, ke dalam wilayah-wilayah bahaya
hingga kematian juga sering membayang-bayangi mereka
Tuhan, ketika nama-Mu digemakan, dengan berjuta permintaan
kutahu, kau tak pernah lelah, dan tak akan pernah lelah
karena diri-Mu memanglah tempat meminta
Odi Shalahuddin
Tuhan, Bahagiakanlah Mereka
Tuhan, maaf lama tak bersapa denganMu
kini aku datang mendekat, bersimpuh di hadapanMu
seperti biasa, aku datang hanya meminta
meminta-minta, tapi aku tak malu, karena hanya pada diriMu-lah layak untuk meminta
dan kau tak pernah marah atau sinis menghujamkan vonis padaku sebagai pengemis
Tuhan, pintaku sangat banyak, tak seimbang dengan kedekatanku padaMu
namun aku sangat yakin bahwa tidak ada perhitungan untung-rugi tentang hal ini
Tuhan, aku meminta kepada-Mu, sungguh, aku meminta
lepaskanlah dari pikiran dan hati kami tentang kebencian kepada para pelayan dan wakil-wakil kami yang dipercaya mengelola bangsa dan Negeri ini
sebab dengan kebencian, kami tidak bisa melihat, berpikir dan berbicara secara jernih, kecuali suara-suara atau tindakan-tindakan penuh prasangka dan amarah, seolah tiada yang benar dari mereka, walaupun mungkin pula benar adanya
Tuhan, aku meminta kepada-Mu, sungguh aku meminta
sempurnakanlah Rahmat dan Hidayah-Mu kepada para pelayan dan wakil kami,
hingga mereka terjauhkan dari petaka dan bisa melaksanakan amanah membangun negeri ini, menegakkan keadilan dan mensejahterakan segenap warga
jangan jadikan tuli kepada mereka yang berpura-pura tak mendengar
jangan jadikan bisu kepada mereka yang selalu tidur tak bersuara atau kebanyakan bicara
jangan jadikan buta kepada mereka yang selalu memicingkan mata kepada jutaan rakyat yang masih menderita
Rahmat dan Hidayah-Mu, ya Tuhan,
biarkan membuka mata-hati agar mereka secara bijak mengambil kebijakan demi semua
menghentikan tangan-tangan ”nakal” yang menggerogoti uang Negara
membuyarkan bayang dan imajinasi tentang kemewahan di tengah kemiskinan mendera
jadikanlah mereka kuat dalam bekerja, agar mereka bisa menjadi pelayan atau wakil yang baik dan terpercaya
Tuhan, bahagiakanlah mereka,
dengan kebahagiaan mereka, tentunya diriku dan diri kami pasti akan bahagia pula
Amin..
Odi Shalahuddin, sejak tahun 1984 bergiat dalam Organisasi Non Pemerintah. Tulisan-tulisannya, terutama mengenai isu hak anak, terhimpun dalam berbagai buku. Mencoba belajar menulis puisi sejak SD, tapi selalu merasa gagal. Sebagian puisi periode 1987-1991, diterbitkan dalam bentuk foto copy: “APALAGI YANG MASIH TERSISA”. Berikutnya pernah aktif menulis cerpen di berbagai media lokal dan nasional, sebagian terhimpun dalam beberapa buku kumpulan cerpen. Kumpulan cerpen tunggalnya “Cinta di Halte” diterbitkan oleh Magma (2006). Sedangkan untuk puisi, lebih banyak terposting di media sosial dan berbagai blog. Baru pada tahun 2020, memberanikan diri terlibat dalam penerbitan Antologi Puisi Bersama, seperti: “Gambang Semarang”, “Gembok”, “Rendezvous Di layar Maya” dan “Antologi Puisi Asu”. Tinggal di Yogyakarta bersama istri dan dua anaknya.
104.Asro Almurthawy
Di Atas Lembar Juz’Amma
melesat dari ayat ke ayat
berkelindan antara huruf dan mahroj
edari tetiap harakat fatah kasrah dzumah
milyaran cahaya mungkin melesap
berdenyaran meruang di kepala
aku tergeragap
lembar jiwa tak juga tersibak
selalu saja aku gagal menerjemahkan tanda
sesat di labirin logika. Kata-kata gagap
terpilin tak mampu tereja meski sepatah
tak alif tak nun tak wau
menajam mengirisi ulu hati
~ iqra bismi robbikalladziii...........~
terhampar dari juz ke juz
lembar demi lembar membentang kisah
tahun alif yang purba hingga nun di masa depan
ribuan episode mengilat
berpusar bagai topan mengapung di lelangit dada
aku tergugu
belum terbaca tuntas alifbataku
Imaji 1438-1442 H
Asro Almurthawy
Rahasia Tiga Bongkah Cahaya
Pada Purnama Ke Delapan
Ada sebongkah cahaya, teramat besar, sayangku, teramat jauh di sisi arsy melayari takdirnya di bawah kun. Tiba-tiba menjelmalah jadi mahluk yang sebenar-benar hidup, mengalir, mengalun menggelombang jadi hamparan luas membiru. Sebenar-benar luas hingga cahaya biasa terasa lambat merambatinya dalam perjalanan teramat panjang. Maa`ul hayat. Ya, air kehidupan itu, sayangku
Lihat! Sebongkah cahaya serupa menceburkan diri dalam samudera yang sedemikian luas bentang horisonnya, melayari takdirnya di bawah kun, maka menjelmalah jadi mahluk yang membetot rasa takjub kita. Berenang, menyelam dan bangkitlah dalam kuyup banyu kauripan itu. Lihatlah sayangku, butiran-butiran air yang menetes dari bulu-bulunya itu, sedemikian banyaknya, bermilyar jumlahnya, mendadak menjelma malaikat berorkestra tasbih irama surgawi: subhanallah wal hamdulillah walaa ilaha illallohu, allohu akbar
Dengarlah doa mereka, sayangku, mereka bayar sorga kita dengan kata-kata
Dengarlah tangis mereka,sayangku, mereka menangis memohon ampun dosa kita.
Maka, segeralah layarkan biduk sholawat: Allohumma sholi alaa Muhammad syafiil anam. Wa aalihi wa shohbihi wa sallim ` alaa dawam. Layarkanlah biduk sholawat, sayangku, pada purnama ke delapan ini. Sebelum bongkah cahaya ketiga, kiamat itu ya kiamat itu, sayangku datang menghempas kita menjadi serpih abu ketiadaan.
Imaji 1438-1442 H
105. Ama Kewaman,
Piluh
Sejenak pada perhentian yang paling lelah
Engjau datang padaku dalam rupa ranum senja
dan bias purnama mencekam duka
aku terpaku memangku harap
burung-burung melagukan sunyi
awan berarak menghampar sepih
dedaunan menguning dan jatuh terperangah
sebab cinta telah rampung dengan derita
kidung kemenangan dicekam musibah
dengan nada-nada piano dan kecapai yang tak lagi merdu
tapi madah kemuliaan berkumandang dengan iringan air mata
“Hendaklah bukakan pintu dan jamulah aku.”
(Lembata, April 2020)
Tanah Perjanjian
Di tanah perjanjian ini aku daraskan rintihan,
“Dengan apa aku datang padamu?”
Aakkhhh....
(Lembata, April 2020)
Aku Mencintaimu dengan Dendam
Aku mencintaimu dengan dendam, dengan air mata, dengan teriakan pilu
dan dengan segala hal yang tak mampu
aku ucapkan
mungkinkah cinta ini cukup untukmu?
Cukup beri aku kedamaian
(Lembata, April 2020)
Ama Kewaman, lahir dengan nama lengkap Feliksianus ama. Kehidupan sehari-hari biasa dipanggil Ama. Saya alumni dari SMAN 1 Nubatukan. Setelah tamat dari SMA, hidup di kampung bersama orang tua. Pada pertengahan Januari 2018 penulis merantau ke Jakarta dan tinggal di Jakarta Selatan. Sekarang tinggal di Lembata dan tergabung dalam Komunitas Tula Tolin yang aktif dalam kegiatan sosial pembangunan dan literasi. “Kegelisahan dalam hidup terus menerus mengajak saya untuk menulis, dan menulis bagi saya adalah melepaskan beban kegelisahan”.
106. Jack Lamurian
Pelayaran Terakhir
Perahu retak menebar harapan palsu
Menumpuk sampah jejaring sosial
Membius angan-angan semu
Menyobek sisa kejayaan masa lalu
Tumbuh berkutat menjadi kerdil
Nurani jiwa-jiwa sekarat
Peta usang terarah membabi buta
Lajur cita-cita tenggelam di gulung ombak
entah menuju pusaran mana?
Dunia sedang telanjang
Berharap bahagia di ruang khayal
Lalu berlabuh ke muara yang mana?
Kudus, 26 Oktober 2020
Jack Lamurian, lahir di Sekarjalak, aktif di LSWK (Lingkar Study Waroeng Kopie), Teater Lintang Utara, antologi " Bulan di Dada Memerah" bersama Hery Subandy dan Azam Jauhary. Lumbung Sastra - Antologi Puisi Bersama "Sampah Puisi Penyair Indonesia (Indramayu, 2020)., Antologi Puisi ASU, Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia edisi Spusial Penyair Indonesia (Indramayu, 2021).
,
107. Sisprili
Dentingan Syahdu
Langit mulai berdenting
Sang Pencipta telah menyemarakkan kesyahduan
di bulan suci pada malam istimewa.
Bumi pun ikut berkumandang
manusia melantunkan puji-pujian
di masjid pada malam istimewa.
Ia berkunjung pada 10 malam terakhir
di bulan suci dengan segala keistimewaannya
dan yang telah menegadahkan tangannya.
Makassar, 10 Mei 2021
Sisprili adalah nama pena yang bernama lengkap Siska Aprilia. Lahir di kota Tasikmalaya pada tanggal 17 April. Sedang menempuh pendidikan di Universitas Alma Ata Yogyakarta dan mondok di Pondok Pesantren Ali Maksum – Krapyak. Bisa dihubungi melalui surelnya, sisprilii@gmail.com.
108.Herry Abdi Gusti :
Sulur-sulur Pohon Tiin
Tiba-tiba Ramadan tiba, lagi-lagi Ramadan datang lagi
mengunjungiku dan aku tak lagi seperti yang dulu…….
Tahun lalu dan sebelumnya aku melupakanmu Ramadan
: aku tak puasa sebagaimana orang-orang beriman yang diwajibkan
Kalau kali ini kau temui aku masih seperti yang dulu
dan jika kau menangkap basah aku bersantap siang dalam bulan ini
boleh kau cambuk aku seribu kali tepat di mulutku, di perutku…
Kakiku yang dulu bergoyang di bangku panjang warung tepi jalan
menghirup wedang kopi mengepulkan asap slepi
seharian sepanjang malam…
: kini tak lagi
menenggak butiran koplo, mencecap arak sengak
di bilik sempit pengap remang-remang
seharian sepanjang malam
: pun tak lagi
Hari pertama kau datang Ramadan
mengetok pintu hatiku, memasuki ruang jantungku
duduk di altar limpaku, menggelitik ginjalku
mengiris empeduku, mengoyak usus-ususku…
tak kau temukan nasi pecel, sayur lodeh, soto dan rawon
bakso atau pun mie ayam…
lambungku telah suwung sejak fajar hingga mentari terbenam
: ufuk timur hingga ufuk barat menjadi saksi atas niatku
Aku bergelayutan dari sulur ke sulur pohon tiin yang tumbuh di surga
sulur-sulurnya menjulur, menerobos plafon rumahku
sembari menatap pendar cahaya indah dari lubang atap
aku berayun-ayun dari puasa ke puasa hingga akhir Ramadan
Bojonegoro, Ramadan 1442 H/2021 M.
wedang : air mendidih untuk menyeduh minuman.
slepi : lintingan tembakau untuk rokok hasil membuat sendiri (bukan pabrikan).
koplo : istilah untuk pil ekstasi (sejenis narkoba).
sengak : bau menyengat.
suwung : kosong, nihil.
Herry Abdi Gusti
Merindu Takbiran
Penghujung Ramadan kujumpai malam seribu bulan
seonggok amalanku jadi berlipat seribu onggok
’kan kucari nampan besar nan lebar yaa Ramadan
menampung pahala atas limpahan rahmat Illahi Rabbi
Kulepas kau dengan lantunan takbir pada malam akhirmu
takbir yang tak sepantasnya diteriakkan di jalanan,
di panggung pemilihan-pemilihan dan comberan
Ya, aku ‘kan mengumandangkan takbir dengan riang
penuh ketenteraman dan kedamaian dalam sanubari
jauh merasuk di lubuk hati insan-insan berbalut kasih-sayang
”Allaahu Akbar… Allaahu Akbar… Allaahu Akbar…
Laa ilaaha Illallaahu Allaahu Akbar,
Allaahu Akbar wa lillaahil hamdu...”
Bojonegoro, Ramadan 1442 H/2021 M.
Herry Abdi Gusti lahir 14 Agustus 1968 di Bojonegoro (Jawa Timur). Menulis karya sastra sejak SMA kelas 2 (tahun 1985) dimuat majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat, Jaya Baya dan Mekar Sari, juga dalam bahasa Indonesia berupa puisi dan opini di surat kabar harian Jawa Pos dan Radar Bojonegoro serta tabloid Citra Jakarta. Karya-karyanya yang sudah terbit berupa buku antologi bersama yakni ”Kembang Saka Ketintang” (HMJ Bahasa Jawa FPBS IKIP Surabaya, 1990), ”TES...” (Taman Budaya Jawa Timur, 1997), ”Serat Daun Jati” (KSMB, 2010), ”Tunggak Jarak Mrajak” (Sanggar Sastra PSJB, 2010) dan ”Pasewakan” (Panitia Konggres Sastra Jawa III, 2011), ”Epifani Serpihan Duka Bangsa” (Sembilan Mutiara Publishing, 2012), ”Pancawarna” (SAMMIN, 2015), ”Lingkar Jati” (PSJB, 2015), ”Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak”; MAKTA (Forum Sastra Surakarta, 2016), ”Sur Bumi Sor Kukusan” (Sembilan Mutiara Publishing, 2016), ”Cengkir Gadhing Tamparan Sutra” (Sembilan Mutiara Publishing, 2017),”Pengkok” (SAMMIN, 2017),”Kembang Setaman PSJB” (PSJB, 2018),”Rawat Ruwat Bengawan” (Festival Bengawan Bojonegoro, 2018), ”Hari Hari Huru Hara” (Yayasan Putiba, 2020), ”Udhu Klungsu” (PSJB, 2020) serta ”Ibuku Surgaku”, ”Ayahku Jagoanku” dan ”Anakku Permataku” (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2020-2021). Satu karyanya lolos kurasi dalam ”Festival Musim Hujan” (Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival) Banjarbaru – Kalimantan Selatan, 2020. Buku antologi tunggalnya berjudul ”CANDRAMAWA” (Sanggar Sastra PSJB, 2017).
Herry Abdi Gusti tinggal bersama isteri Erma Widyastutik serta kedua puterinya - Ardhanareswari Essa Maharsiwi dan Ardhapramesthi Kania Maharsiwi - di padhepokan Sanggar Pakeliran, Bojonegoro .
109. Mita Katoyo
Menhgejarmu di Saat Takut Mati
tiba-tiba aku merintih
mendadak ribuan kata menari -nari di benakku
sementara pijakan kaki serasa menghentak hentak dada
aku mengaduh
aku memohon
aku membudaki Tuhan
lupa mana kekhilafan yang dimaklumkan dan mana yang benar benar kealpaan
tak ada satupun terucap kata kesopanan
kupaksa Ia mengabulkan satu permohonan
dan harus diiyakan,
“biarkan aku tetap hidup! “
Jakarta, 100521
Mita Katoyo
Hujan di Saat Adzan
lalu bergetarlah bibir pada sebutan namaMu
pada hati yang terketuk
pada hidup yang me-lena-kan
pdklapa,061218
Mita Katoyo, Lahir dan dibesarkan di Jakarta, suka akan menulis, ngemil dan dengar musik. Juga gemar mengamati kisah kehidupan.
Ada hampir 7 buah buku diterbitkan, termasuk yang diterjemahkan dalam bahasa inggris, tapi semua baginya masih dalam proses belajar.
Mita juga ikut dalam beberapa Antologi Bersama
110.Aisyah Jamela
Janji Yang Dilupakan
Berkoar-koar dengan seribu janji
Demi menarik simpati
Pagi hari
Siang hari
Malam hari
Tak perduli demi ambisi
Hujan panaspun dilalui
Berteman hantupun berani
Penuh semangat berapi-api
Seolah dia pemilik kebaikan yang sejati
Namun
Ketika habis masanya berkoar-koar
Semuanyapun bubar
Bersisa hambar
Lenyap tak berkabar
Meski bendera kemenangannya berkibar
Lupa janji yang pernah terikrar
Langkat, 23 April 2021
Aisyah Jamela
Pura-Pura Amnesia
Ketika langit menangis tiada henti
Ketika laut mengeluarkan amarah penuh emosi
Ketika angin enggan melirik
Maka dalam hitungan detik
Kesengsaraan akan bertilik
Dalam derai menitik
Semua akan hancur porak poranda
Bahkan bisa musnah seketika
Lenyap tiada bersisa
Lalu,
Kenapa selalu bangga berlimpah harta?
Jikai hartamu bisa musnah tanpa aba-aba
Kenapa masih bisa berjalan penuh kesombongan
Hanya karena kau memiliki jabatan
Jika akhirnya harta dan jabatan hanyalah titipan yang tiada kekal bertahan
Mungkin kau lupa
Bahwa ketika duniamu diisi dengan pesta pora tiada guna
Ketika duniamu diisi dengan penimbunan harta
Ketika duniamu diisi dengan tanpa peduli sesama
Maka kerugian besar berpihak padamu
Penyesalanpun muncul di ujung cerita hidupmu
Mungkin kau lupa atau pura-pura amnesia
Langkat, 04 Mei 2021
Aisyah Jamela bernama lengkap Dra.Hj.Aisyah. Terlahir dari pasangan Alm Bapak H. Ibnu Haidir dan Almh ibu Muzaini S.Pdi. Merupakan Sarjana S1 Fakultas Tarbiyah IAIN Medan Sumatera Utara.
Penulis buku solo berupa kumpulan puisi yang berjudul “Kumenangis di Bumi Langkat” dan juga beberapa buku antologi ersama penulis-penulis se-Nusantara yang berjudul : Sepenggal Goresan Garda Terdepan Madrasah, Jalan Terang Guru Pemenang, Di Rumah Aja , The Power Of Kepekso, Mudita Lega, Menyemai Renjana Memendar Senjana, Berpuisi Tanpa Batas, Tilas Sebingkai Desember dan Narasi Bait Waktu, Edelweis, Japa Lampah dan Setetes Asa di Ranting Aksara, Dari Panca Laku Hingga Webinar dan Kreasi Semaris.
Bekerja di Yayasan Pendidikan Halimsyah sebagai Kepala Madrasah sekaligus pemilik Yayasan Pendidikan