TEKS SULUH


Minggu, 02 Mei 2021

Tadarus Puisi V 1442 H/2021 , Puisi 61-70

 61.Mast Oim


Ramadhan Harus Menjaga


Suara tadarus di surau membuatku tidur semakin pulas

Dentuman meriam spirtus anak-anak

Memberikan warna lebih pada mimpi yang menawan

Di hari yang penuh berkah ini

Ramadan dengan kedamaiannya

Aku semakin damai bersiap menahan hawa nafsuku untuk menjaga dari segala yang membatalkan


Lima hal penting dari tuturan khatib dalam khutbah Jum'at itu harus kuingat agar ibadah tahun ini semakin bermartabat


Naudhubillah...

Setelah kuteguk dahaga hilang

Air dalam balutan kendi

Barulah kuingat bahwa aku sedang berpuasa


Setelah kucemooh

Orang-orang yang lewat depan tanpa alasan

Barulah aku ingat bahwa aku harus menahan


Setelah berghibah ria

Tentang dia yang sedang pulang membawa sederet mobil deler

Barulah aku tahu bahwa aku harus diam


Aku yang lupa

Menahan makanan dan minuman dari fajar hingga petang

Aku yang lupa

Menahan mulut dari membicarakan orang

Aku yang lupa

Menutup telinga dari mendengar sesuatu yang tidak baik

Aku yang lupa

Menjaga anggota tubuh dari perbuatan yang dilarang

Aku yang lupa

Menjaga hati dari prasangka yang buruk

A-ku yang lu-pa

Pati, 30 April 2021



























62. Wandi Julhandi


Aku Hanya Manusia Biasa


Kita yang terlupakan akan hidup di dunia ini

Telah kita di di berikan segalahnya juga nikmat

Namun kita lupa akan lidah dan buah bibir kita yang sangat tajan dari pisau yang tertajam di dunia ini


Dan Allah SWT telah menujukkan dua jalan kebaikan dan kebenaran yaitu jalan orang-orang sebelumnya 

Yang mana ada yang sesat juga ada yang menujuh jalan kebenaran yaitu kebaikan 


Masihkah kita mau bertindak kejih juga kejam

Bahwa sudah ada karma yang telah banyak saksih kehidupan yang terlihat nyata

Dan apakah masih ragu surga dan neraka itu ada 


Yang mana golongan kanan adalah kebaikan dan golongan kiri adalah kejahatan 

Apakah kalian masih mau ikut kejalan kiri atau kanan 

Maka katakanlah kepada hatimu sendiri yang terbaik itu di mana


Dan ketahuilah andaikan kita tak beribadah yang Maha tak juga rugi 

Dan andaikan kita tak beribadah kita yang tak tak dapatkan pahalahNya

Andaikan engkau tak beribadah engkau yang akan mendapatkan amal juga pahala ilahi Rabbi


Mungkin kita lupa

Dan mungkin kita hanya insan bisa

Namun saat-saat itulah kita berpikir

Dan harus berpikir

Bahwa apakah kita sudah bersih dari noda dan dosa

Hingga kita yang sering berlaku tidak benar juga adil

Kita tak beribah kepadaNya akan lupa

Kita juga yang penuh maksiat di dunia

Alahkah bahgianya mereka yang beribah juga tak bermaksiat

Walau pun ia tak beridah setidaknya tak berbuat dosa yang keji akan kebohongan itu sendiri

Makassar, 15 April 2021


Julhandi kerap di panggil sebutan Wandi berasal dari Makassar, lahir 1987 Januari 1987 hobi penulis dan membaca, alhamdulillah. Sudah ada beberapa antologi dari beberapa grup ada yang tunggal juga gabungan, kurang lebih 15 antologi sudah ada... Antara lain yang  Berjudul: Jiwa Jiwa yang bahagia dan Menang ada pun antologi tunggal yaitu  Merajut Luka Dan Duka Hati. Yang mana seorang Owner penerbit mengajak untuk membuat buku antologi tunggal pada bulan puasa tahun 2020 puisi Renajana, itu Judul Merajut Luka dan Duka Hati 220 halaman bertepatan tahun 2020... Ada pun gabungan Antologi kami berdua bersama Marshelina yaitu berjudul: Harapa 2 Nusa seindah Pelangih penulis || Wandi Julhandi | Marshelina. Dan ada lagi antologi gabungan grup antara lain CELOTEH ANAK NEGERI || DUKA IBU PERTIWI || Kota Cinta || Tarian Pena Sahabat Serumpun Dan Antologi ASU di Lumbun puisi Sastrawan Indonesia aku bahagia bisa ikut bergabung bersama para sahabat seni karya terima kasih kuucap kepada semua yang terkait di dalamnya dan Antologi lainnya yang belum dempat disebut satu persatu lagi  Nama pana Wandi Julhandi... Hobi menulis dari mulai SMP sampai tahun 2021 Sekarang ini dan semoga sampai Nafas terakhirku bisah terus berkarya Semoga... 
































63.Hamsar Opo


Daun Kecil


Daun kecil itu Tuhan...

Kutanyakan nasibnya kepadamu

Jika dahan-dahan kuat tak lagi sanggup melawan angin

Bukanlah bunga apalagi buah

Ketika aku lapar, walau taduhnya cukuplah nikmat


Bantulah ia Tuhan

Menamatkan janji pada alam

Menghijau tua dan kering dengan bijak

Agar pohon tetap tabah menunggu hujan


Makassar, 30 April 2021



















64. Sumrahadi


Tuhan, Kau di mana”


Hening..

Berjalan dalam ketidakpastian

Semua mata memandang curiga

Seolah aku adalah malaikat pencabut nyawa


Para napi keluar

Menenteng arit bahkan pistol di tangannya

Mencoba mengambil makanan dari perut korbannya

Sebab ia  ambal u lagi harus bagaimana


Corona hadir

Negeriku labil

“Tuhan, engkau di mana?” Kataku dalam hati

Lalu samar ku dengar suara “ tanyakan pada hatimu, ia pasti tahu Tuhan di mana. Lagipula, mengapa baru sekarang kau cari Tuhan, padahal sebelumnya engkau tak pernah menemuiNya. “


Aku tersungkur

Tak mampu menampung air mata

“Maafkan aku Tuhan, jangan hukum aku dengan ketakutan kecuali akan dosa “ ratapku  ambal menahan isak yang tak henti menyesak.


JAKARTA 01052021


Negeriku berantakan


Burung bangkai terbang riang di langit kelam

Sambil sesekali menarikan tarian penantian

Lalu tersenyum melihat orang kehilangan nyawa

Korban dari wabah Corona


Di batas kota, di tepi jalan

Orang bertengkar berebut jalan

Mencaci maki para penjaga perbatasan

Seolah ingin segera bertemu Tuhan


Rakyat jelata bernyanyi

Melantunkan jeritan hati

Luapkan emosi

Dari lapar yang tak terperi


Silaturahmi telah di kebiri

Rasa takutpun menjadi batas diri

Memberi jarak antara tiap hati

Hanya dengan dalih “ hati – hati “


Lalu, aturan saling bertabrakan

Membuat harapan menjadi impian

Dan media hanya sebagai tunggangan

Bagi tuan pemilik kepentingan


Negeriku berantakan

Menanti Tuhan turun tangan


JAKARTA 01052021








65. Suyitno Ethex


Malam Seribu Bulan 


Bulan bulat bundar memancar

Malam terang benderang 


Semilir angin daun bergoyang berdzikir 

Malam seribu bulan 

Seisi alam seraya bersujud syukur 


Bintang gemintang berkedipan di langit 

Di pelataran sajadah waktu 

Menyebut-nyebut nama-Mu 


Ya Allah, Ya Rohman, Ya Rokhim 

Ya Allah, Ya Rohman, Ya Rokhim 

Ya Allah, Ya Rohman, Ya Rokhim 


Malam seribu bulan 

Aku langitkan dzikir 


27-4-2021












66.  Rasif Arisa


Kami Yang  Lalai

 

Ribuan nikmat yang Engkau

Beri tapi kami ingkar terhadapMU

 

Dari gejala manusia yang angkuh  

dan sombong, tamak dan rakus                             terhadap apa yang seharusnya                          menjadi zikirnya

 

Lalu berdebah pada alam yang                                taat dan patuh terhadapMU

 

Kini beringas pada pola hidup                                                  sampah yang menganggap

dirinya khalifa,

lalai dan khufur tak henti,

 

Hingga jerah pada sampiran

bahu yang retak dan patah di lempengan itu,

 

semua berserakan, seakan mengingatkan

tidak ada tempat yang nyata kecuali                                                                                 Dia  dan kembali kepadaNya ?                                            

 

PERINGATAN

 

Akibat ulahnya manusia                            seakan tak sadar akan                                     bahwa semua atas kehendakNya

baju-baja sekalipun tak mampu

untuk menolak dan berkata tidak..!

 

Terlalu lalai dalam mengabdi,                      

Terlalu sombong untuk berkata,                     Terlalu rakus dalam berhidup,

terlalu pintar untuk berpikir

tapi lupa untuk berzikir dan bersyukur

semua penuh tanda - tandanya tanpa harus membalas                                   kebaikanNya,

 

Cukup sujud untukNya

Cukup melakukan dan menenggelamkan

propaganda syaiton yang kafir

dan kekal di nerakaNya

 

 

Jambi, 1 Mei 2021

 

 Rasif Arisa, yang biasa dipanggil  Rasyid lahir di Pulau Kecil, 10 Januari 1980 (RIAU) adalah penyair yang tinggal di Kota Jambi, S1 Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam (UIN STS JAMBI 2007), S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (UNIVERSITAS JAMBI 2020). Namanya tercatat di lumbung puisi dalam Antologi  Nasional sampah 2020, Antologi  Nasional gembok 2021, antologi Nasional ASU 2021.

 

 


 







67. Muhamad Salam


Penantian Terindah


Bagiku penantian terindah

Ketika mentari menuju keperaduan

Tenggelam dalam mimpi indahnya

Teriring suara adzan 

Kupanjatkan do'a kebahagian, karena yang ditunggu tiba waktunya


Pagi, siang dan petang kujalani penuh ketabahan,kesabaran menahan segalanya

Waktu mendekati indahnya kemenangan nanti

Memuji krbesaran dan ke AgunganMu ya robbi.


Kuketuk hati yang tak pernah sadar

Akan kewajiban terhadap perintahNya.

Dan menampakkan kesombongan dirinya kepada Tuhan.


Muhamad Salam, lahir di sebuah desa, yaitu Batang Batang kab. Sumenep

Pendidikan terakhir S 1  UNIVERSITAS TERBUKA (UT) 

dan menulis hanya merupakan hoby saja .

Tempat tinggal di sebuah desa di dusun Pandan Ambunten Tengah bersama keluarga kecilku dan saya bekerja di dinas Pendidikan di SDN Ambunten Tengah III. kec.  AMbunten






68.  Akhmad Sekhu

 

Menjelma Tanda

 

Setiap kata yang menjelma tanda, kutegakkan

dengan jiwa bertahan, dari terpaan angin kebimbangan

sungguh telah kutempuh perjalanan begi kembara diri

tiada lelah kuterus melangkah, yang tetap bergairah

 

ada tanda yang dirobohkan, biarkan diriku ini

rebah berpasrah dalam segala ketidakberdayaan

agar dapat diberi kekuatan untuk kembali pulih

dalam setiap kesempatan untuk meraih harapan

 

pada renungku yang makin tajam, pengalaman batin

membaca tanda-tanda, dalam sebuah gambaran nyata

tergelar kebenaran yang ada, betapa telah jelas

luruskan ucapanku, berharap setiap kata bermakna

 

Akhmad Sekhu

 

Tuhan Mengundang kita di Beranda Ramadhan

 

Tuhan mengundang kita di beranda Ramadhan

Ayo kita bersama-sama segera memenuhi undangan-Nya

Jika kita mendekat sejengkal, Tuhan menyongsongnya sehasta

Jika kita mendekat sehasta, Tuhan menyongsongnya sedepa

Jika kita mendekat berjalan, Tuhan menyongsongnya berlari-lari

Di hadapan-Nya, kita sama berkendara rasa lapar dan dahaga

Dengan niat tulus ikhlas kita hanya mengharap keridhoan-Nya

 

Di beranda Ramadhan, tak ada kursi, kita harus maklumi

Karena kalau ada kursi pasti nanti akan diperebutkan

Seperti kursi kekuasaan yang selalu menjadi incaran

Orang-orang licik korup yang penuh tipu muslihat

Dan selalu berbuat yang menghalalkan segala cara

Tuhan, banyak masalah kehidupan yang harus kita bicarakan

Di jaman sekarang yang semakin tak karuan semakin sungsang

Keadaan jaman yang sering terjadi memutar balik kenyataan

Mari, Tuhan, kita dialogkan alternatif penyelesaian terbaik

Di antara kita tak ingin ada rasa sungkan ewuh-pakewuh

Kita begitu akrab layaknya sahabat yang sangat dekat

Persahabatan yang tetap terjalin di dunia sampai akhirat kelak

Di beranda Ramadhan, kita semua diperlakukan sama

Pria-wanita, tua-muda, kaya-miskin, senang-susah

Karena yang membedakan di antara kita adalah

Tingkah laku perbuatan dan ketaqwaan kita beribadah

Menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya

 

Tuhan menyuguhi kami makanan ruhani sejati

Yang mengenyangkan kita akan hakekat makanan

Paling enak dan sangat lezat bagi jiwa yang papa

Semua arah pembicaraan kita di beranda selalu bermuara

Pada permohonan maaf kami sebagai manusia biasa

Yang selalu tak luput dari khilaf dan kesalahan, betapa

Engkaulah, Tuhan Maha Pemaaf dan Maha Penyayang

Betapa aku tak berani menatap wajah Tuhan

Karena aku selalu merasakan kehadiran-Nya

Yang benar nyata ada menyatu dalam diriku

Tuhan, kita begitu sangat dekat, bahkan tak berjarak

Karena Tuhan memang lebih dekat dari urat leher kita


Akhmad Sekhu lahir 27 Mei 1971 di desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, Jawa Tengah. Kini bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Menulis puisi, cerpen, novel, esai sastra-budaya, resensi buku, artikel arsitektur-kota, kupasan film, telaah tentang televisi di berbagai media massa daerah maupun pusat. Memenangkan Lomba Cipta Puisi Perguruan Tinggi se-Yogyakarta (1999). Puisinya telah tersebar di berbagai buku antologi bersama. Buku puisi tunggalnya; Penyeberangan ke Masa Depan (1997), Cakrawala Menjelang (2000), Golden Scene (manuskrip, siap terbit). Kumpulan cerpen “Semangat Orang-orang Jempolan” (siap terbit). Novelnya: Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (2021)

















69.Abu Ahmad Alif :

 

Kepergian

 

Apa kabar orang-orang yang pergi

bersama suramnya cahaya di ujung pulau?

Kemana mereka mendayung sampan

untuk menjauh dari kutukan kepergian?

Tapi jarak tak juga menjauhkannya dengan kemalangan

 

Aku tahu kau pernah bercerita

engkau lahir dari semua itu

Engkau menjadi bagian anak cucu bumi dan laut

yang terus riuh berpuisi sepanjang masa

Dan engkau mengambil peran sebagai si anak hilang

 

Pernah aku mencatat satu per satu wajah

dari mereka dalam kitab nama-nama

yang kupendam di ketinggian pulau

Tapi sampai kini catatan tak lagi pernah dibuka

dan mereka menggantinya dengan dongeng

tentang jin penunggu rimba kesesatan

 

Aku seret dalam pencaharian jejakmu

Biar usai sudah kisah ini

Biar wajahmu terusir jauh di sepuluh terakhir

Bersama orang-orang yang pergi menuju titian

Aku terjerembab di sini

Dalam galauku tentang kepergian

Kefanaan dan kealpaan 

Kota Bontang, Ramadhan ke 20 1442 H

 

 

 

Jalan Pulang

 

Ramadhan telah larut dan makin hanyut jauh ke tengah

saat kubaca pesan akhirmu di persimpangan waktu

Aku berbisik pada para pencari yang melintasi malam tujuhbelas

Aku bertanya pada mereka yang berselimutkan putih,

telah datangkah malam seribu kala bulan terang bersimpuh

di dengung sunyi i’tikaf malam?

 

Aku ingin menitip salam pada cahaya

yang padanya tak kuasa aku berbicara tanpa hijab

dan perantara doa yang berbalut jampi-jampi

Tapi aku, si bebal yang terus lupa ini

tak menginginkan jawaban

meski desir angin telah membawa isyarat

Melalui kerak relung-relung hatiku yang kering,

aku bahkan tak berani melisankan doa-doa

yang hanya mampu kugumamkan dalam keluh lidah hatiku

 

Wahai Engkau Sang Cinta,

Mengapa tak juga waktuku sampai?

Padahal ramadhan demi ramadhan

silih berganti dan berlalu

tak mampu menyalakan kembali pelita jiwaku?

 

Jasad penuh debu ini tak juga menemukan jalan pulang

Maka biarkanlah aku berkalang tanah

Perkenankan aku hancur, sesat dan luluh

 

Aku pendosaMU

Mencari cintaMU

Dalam lalai dan lupaku..

 

Kota Bontang, Ramadhan 1442
































70.Zaeni Boli

Sakit


Pada segala  batu dan pilu 

Waktu yang sepi 

Ranting ranting sunyi 

Daun gugur 

Hatiku hatimu terbang 

Segala sepi 

Pasti pergi 

Pasti kembali 

Seperti duka 

Butir butir kata berubah jadi doa 

Diantara jerit kesakitan 

Hanya Allah 

Hanya Allah Maha Penolong 


Larantuka 2021


Puing dan Beling


Pohon jagung tumbuh diantara reruntuhan 

Tuhan yang  jenaka 

Mengajak kita bercanda 

Meski dalam duka Ia tumbuhkan harapan 


Diantara puing dan beling 

Diatas aspal yang  retak 

Bangkai mobil 


Anak kecil bermain lumpur 

Kenyataan yang sesak 

Tak lagi tumpah menjadi air mata 

 Harus apa 

Bagaimana 

Dimana 

Siapakah 

Kita adalah saudara 

Terbukalah hati para penolong 


Larantuka 2021