TEKS SULUH


Rabu, 12 Mei 2021

Puisi Tadarus Puisi V 1442 H/2021 , Puisi 111-120

 




111.Shon Sweets


Adakah ibadah penyair yang sedang berpuasa di kampung halamannya


Ia sering mengelus daun jendela yang tak seluas pandangannya

Terlihat seorang bapak yang istirahat di teras setelah memerangi mentari mencabangkan bibit puisi


Sedangkan wangi masakan ibu menyengat di balik bilik kamar adalah dapur ketika penyair merebus air mata untuk kopi dan cita-cita tinggi


Puasa adalah menahan dari segala

Luka jalinan kasih

Liku jalanan kisah

Iba ibu yang membiru

Detak bapak yang berjejak


Bagi penyair pantang ia membatalkan puasa setelah hilang kampung dan halamannya namun ia ingin sekali berbuka peluk ibu yang tersenyum sebagai penuntas dahaga


Bagi penyair sajak adalah doa dalam malam penuh iman kendati telinga bapak sering terbayang menunggu amin anak-anaknya


Sebagai penyair puisi adalah menu buka istimewa dan ibadah paling indah saat berbulan-bulan rindu tertahan meski mirisnya berzikir di atas makna-makna yang nyaring.

Candisari, Mei 2021.


112. Fazri Ramadhanoe


Kepergian yang Tak Dirindukan


Getirnya malam berbisik pada rembulan

Memberi kabar akan kepulangan ramadhan

Amal kebaikan masih saja berantakan

Sementara dosa belum tentu dalam pengampunan


Malam berlalu dengan derai rintik

Bulir-bulir doa terangkum dalam satu titik

Napas sendu kian menyerbu kalbu

Seiring ratap raga mengingat masa lalu


Bait-bait dosa tak terbilang angkanya

Tinta merah meninggalkan jejak luka

Akibat amarah yang digoreksan sengaja

Akankah ampunan tiba sebelum ramadhan tiada?


(Medan, 07 Mei 2021)



Fazri Ramadhanoe adalah nama pena dari fazri Ramadhanu, lahir di Medan 26 Januari 1996. Aktivitas sehari-hari belajar dan mengajar di Rumah Al-Quran Abi ‘nd Ummi. Menulis sebagai sarana dakwah. Bercita-cita menjadi penulis best seller. Penulis dapat dihubungi melalui IG: fazri_ramadhanoe, FB: Fazri Ramadhanoe, WA: 082165026692.






113. Dormauli Justina.

 Ingat-Ingat Lupa

 

Bergerak waktu tergesa

Saatnya menjalankan kewajiban

Entah mengapa angin dingin membelai manja

Rebah dalam buaian hingga senja

Ketika gulita melingkup:

Sial, padahal tadi aku ingat, ingat sekali, namun berakhir terlupa

Ah…sudah terlewat untuk hari ini, tapi tenanglah masih banyak hari esok tersisa

 

Bergerak waktu melambat

Pertanda kan terhenti lelah dan beban

Rinai dari langit tak kunjung mereda

Syahdunya hingga membiru

Semata jiwa terjaga demi sebuah panggilan

Hei…tubuh siapatah bersemayam kaku?

Namaku dipanggil sebegitu lantang

Sang pemanggil mengamati berulang dan menampik

“Maaf, sudah teringat mengingat ternyata lupa, bahkan di catatan pun tak ada…”

Yk, 10052021











Elegi Rindu Lupa

 

Belum sempat ayam jantan berkokok

Tiba-tiba alunan suara emak menggelegarkan tubuh terjaga

Gerakan tak beratur menghantarkan doa yang entah benar entah salah terucap

Kesadaran belumlah pulih

Lantunan suara emak  iker i memenuhi ruang dengar:

“Jangan lupa buka jendela, agar udara segar memenuhi rumah lalu mandi dan sarapan agar siap menimba ilmu”

Begitu pun sesampai rumah di tengah hari:

“Jangan lupa makan dan istirahat setelahnya kerjakan tugas, sore hari mandi lalu tutup jendela agar nyamuk tak mendahului masuk meraja”

Menjelang tidur malam suara emak melembut berbisik menggelitik:

“Jangan lupa membaca doa agar tak mimpi buruk, panjatkan syukur dan mohon perlindungan”

 

Sepanjangan tadi hingga subuh kutunggu suara emak namun hanya sepi dan dingin saja

Raga tak jua bangkit atau pun sekedar duduk, hanya berbaring

Menanti-nanti nada tak merdu itu sebagai pengingat

Setiap hari, satu-dua simfoni suara emak menggedor-gedor hati dan  iker

Sial, aku lupa merekamnya di telepon genggam buat didengar ulang

Dulu, pura-pura atau sengaja lupa atas hingar-bingar suaranya

Kini, justru lupa berpura-pura untuk tak rindu atas nadanya

 

Kokok ayam tetangga belakang membuyarkan renjana dalam kalbu

Kesiangan…bukan berarti terlambat memulai kisah baru

Tengadah menatap langit yang belum terlalu benderang

Berharap suara emak meneriaki lantang dari sana: “Bangun!”

Yk, 10052021

 

Dormauli Justina. Panggil saja DJ. Lahir di Palembang pada tanggal 12 Agustus. Saat ini berdomisili sementara di Yogyakarta.























114.Sukma Putra Permana


TUHANKU, AMPUNI AKU SI MAKHLUK PELUPA


Tuhanku, ampuni aku si makhluk pelupa. Aku tak dapat ingat apapun juga. Lihatlah, walau dipermalukan wajib berjaket oranye. Tapi, toh aku masih ceria tersenyum lebar. Ketika wartawan ramai meliput reportase.


Tuhanku, ampuni aku si makhluk pelupa. Aku tak lagi ingat apapun juga. Lihatlah, walau dimiskinkan disita negara seluruh kekayaan. Tapi, toh aku masih nyaman bersiul sambil santuy berkelakar. Dalam sel lengkap terpenuhi segala keinginan.


Tuhanku, ampuni aku si makhluk pelupa. Aku memang tak mengingat apapun juga. Lihatlah, walau dikurung puluhan tahun hingga jelang kematian. Tapi, toh aku masih dapat bebas berkeliaran di luar. Untuk perawatan kesehatan nyambi ngléncér ke tempat hiburan.


Tuhanku, ampuni aku si makhluk pelupa. Mungkin aku sedang mengidap sejenis radang amnesia…….


NUSANTARA 2021


Sukma Putra Permana


TENTANG PERASAAN KEHILANGAN


Perasaan kehilangan telah mendorongku untuk menyatukannya. Dalam sebuah kitab wujud karya cipta. Sebagian pernah terserak dalam berbagai khazanah pustaka. Sebagian yang lainnya pernah hilang dan susah-payah terkumpul seperti semula.


Pengalaman terjatuh hingga kehilangan sesuatu dari dalam pelukan. Tak kan selamanya dapat dibiarkan meraja menguasai perasaan. Sebagai pengingat, telah kususun catatan-catatan kejadian. Agar kembali terbaca pesan-pesan tentang kesetiaan dan keikhlasan.


Demikianlah, rasa sedih dari sebuah kehilangan. Telah menuntunku menuju karya-karya kebajikan. Semoga menjadi penawar rindu dalam kehidupan. Dan tergores dalam tulisan keabadian.

NUSANTARA 2021

Sukma Putra Permana lahir di Jakarta, 1971. Giat berproses kreatif sebagai editor, penyair, dan penulis nonfiksi di Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta. Beberapa buku antologi terbaru yang memuat puisinya antara lain: Negeri Bahari (2018), Pesisiran (2019), Segara Sakti Rantau Bertuah (2019), Perjalanan Merdeka (2020), CORONA (2020), Gambang Semarang (2020), Rantau (2020), Alumni Munsi Menulis (2020), Kembara Padang Lamun (2020), Angin, Ombak, dan Gemuruh Rindu (2020), dan Kristal-Kristal DIHA (2020). Buku puisi tunggalnya: Sebuah Pertanyaan Tentang Jiwa Yang Terluka (2015) dan Dia Yang Terjatuh Di Rimba Dunia Ketika Satu Sayapnya Patah (2021). Sekarang tinggal di Bantul, D.I.Yogyakarta. Bisa dihubungi melalui alamat berikut: Ringroad Timur Mutihan No.362 RT.5, Wirokerten, Banguntapan, Bantul, D.I.Yogyakarta, 55194. HP/WA: 081392018181. Surel: sukmaputrapermana1@gmail.com, FB: facebook.com/sukmaputrapermana, IG: @suputrapermana.



115. Siti Ratna Sari


Tadarrus Menuju Kedalaman 800-an Meter

 

Perlahan…

Udara sejuk datang entah dari mana..

Jutaan ruh wangi berbusana putih indah berbaris....

Saat itu,

Kami sedang dalam tugas

Sembari tadarrus surah-surah pendek merebut keberkahan 1000 bulan di Ramadhan

Di tabung silinder sempit,

Irama jiwa kami bergerak senyap di laut nusantara

Dibuaian Kapal selam  pasukan hiu  kencana

 

Iringan ruh bercahaya ajaib semakin mendekat

Kami tidak lagi 53 prajurit angkatan laut di ruang sempit nanggala 204 ini,

Tapi bersama jutaan tamu berpakaian indah beraroma wangi....

 

Tidak ada aura mengancam dari mereka,

Sebaliknya, makin mendekat bagai menyambut mahluk paling istimewa

Tubuh mereka melayang dan memeluk kami satu persatu,

Ruh kami serasa ikut terbang menyambut pelukan yang begitu mengharukan..

Mereka bertasbih, bertahmid, bertahlil...

Haru menyeruak dalam jiwa kami…

peristiwa apakah ini…?

kami sedang dalam menjalankan tugas menjaga Laut NKRI dan latihan uji coba terpedo.

 

Kutatap semua prajurit lain, wajah mereka begitu bahagia dan juga indah bertabur cahaya...

Ya Allah,

di semestamu ini,

keindahan tiada tara Engkau kirim pada kami.

Sujud syukur menyungkur kami…

Dalam kapal selam yang terus meluncur meninggalkan permukaan…

jiwa kami tenang…damai…

bersama iringan lantunan doa-doa dari permukaan

Tanah Borneo, 25 April 2021


Siti Ratna Sari


Perjalanan Tadarus

Aliif Laam  Miiim….

Riuh rendah irama hija’iyah memutari  langit  Ramadhan

Jejak jutaan rasa mewarnai jiwa…

naik di catatan amal  bersama para malaikat.

Pedagang optimis  menggelar dagangan…

Ojol berbaris di bawah terik dengan seragam penuh kebanggaan,

masing-masing khusyu menatap layar  dengan tuma’ninah,

menunggu keberkahan Ramadhan,

sembari mengukir doa di hati,

syukur-syukur dapat penumpang kaya berbagi rejeki seperti di tayangan tipi…

Para pemudik gesit,

berbagi informasi   strategi sampai tujuan tanpa harus perang urat saraf  dengan  petugas pencegah  mudik

Masing-masing mengejar tadarusnya meraih peluang lepas dari himpitan tekanan ambisius covid-19

 

Tadarus kali ini lebih heroik….

Sabar tentu modal utama…

Tapi, istiqomah menuju kampung halaman harus lebih berbekal nekat dan cadangan akal

Dua tahun sudah tak melihat mamak secara langsung,

Berurai air mata mamak waktu itu, di awal Ramadhan

Basah pula mata awak menatap wajah tua mamak di layar smarthphone

“Pulanglah nak, “ pinta  mamak dengan suara seraknya “tak perlu bawa oleh-oleh, cukup kita  berhari raya bersama,   masa wabah begini kita tak tau umur siapa dulu berakhir, jika mamak yang lebih dulu dijemput malaikat, setidaknya ada kau ikut mengangkat keranda mamak.  Jika kau yang lebih dulu….biarkan mamak sempat bersamamu di hari raya ini.” tadarus mamakku menembus nadi mengguncang sekujur kesadaranku

ku ingin secepatnya khatamkan harapan mamak

Kupastikan wudhuku sempurna menggapai ridho Allah…

Ku jaga semua indra nafasku dengan masker paling paten

Ku ulang-ulang membasuh diri dari ujung kaki hingga ujung jari

Kulantunkan doa-doa di bibir kering  shaum…

Biar khatam harapan mamak ber hari raya kumpul keluarga…

“Mak, Insyaa Allah aku datang, di antar tadarus hasbiyallah wani’mal wakil ni’mal maula mani’man nashiir…”

 

Ahad 27 Ramadhan 1442 H di Tanah Borneo – 

Tanjung Redeb




116. Wanto Tirta



Dzikir di Tengah Pandemi

 

Dahaga cinta dzikir puja puji

Lantun doa jurus lurus

Mulut tertutup masker tak sebab surut

Getar jiwa antar kuat kembang tujuh warna

Dalam jalinan syahadattain gema shalawat

Berpendar serbak di langit emas lailatul qodar

 

Pandemi bukan halangan

Ujung alif tegar ketuk pintu surga

Mengunduh rahmat maghfirahmu

Tak gentar kugelar sajadah jiwa

Tempat sujud leleh air mata

 

Lintasan waktu teror corona

Bergelantungan di menara masjid dan mushola

Sendi-sendi kerapatan jamaah direntang jarak

Nyaris porak poranda

 

Menguatkan jemari tangan

Memilah kata sebut namaMu

Silih berganti batu-batu tasbih

Urut membilang keagungan

Menyisih iblis dan setan

Jiwaku optimis bergerak lawan pandemi

 

KekuasaanMu tonggak pondasi dzikir

Teduh rimbun ayun tujuMu

 

02052021

Saur

 

Dini hari dingin sepi di sela butiran nasi

Tersaji di meja makan terselip cinta Rasul

 

Dari ajaran sunnahMu

Lautan berkah dihamparkan

Makan saur ditunaikan

Cinta mengalir di tiap suap

 

Aroma embun menggugah pagi

Bergegas waktu lupakan mimpi

Siapkan hati terima seruan illahi

Niat puasa sepenuh hari

 

Selagi waktu masih luang

Dzikir dan doa dilafalkan

Bersih diri ikhlaskan hati

Imsak datang berhenti makan

Ibadah dipersembahkan

 

Kokok ayam bersautan

Adzan subuh kumandang

Sujud padaMu sepenuh jiwa raga

 

Masjid benderang lengang

Dihadang covid-19

Orang-orang gamang

Rindu pencerahan Tuhan

 

Kau berjanji kelak menjemputku di syurga

 

01052021

 

Wanto Tirta, Lahir dan hidup di lingkungan pedesaan. Menulis puisi, guritan, parikan dan membacakannya di berbagai kesempatan. Bermain teater dan ketoprak. Bergiat di Komunitas Orang Pinggiran Indonesia (KOPI), Paguyuban Ketoprak Kusuma Laras. Mendapat penghargaan Gatra Budaya Bidang Sastra dari Pemkab. Banyumas (2015), Nomine Penghargaan Prasidatama kategori Tokoh Penggiat Bahasa dan Sastra Jawa, Balai Bahasa Jawa Tengah (2017). Puisi-puisinya termaktub dalam puluhan buku antologi bersama. Tinggal di Banyumas.

 























117. Barokah Nawawi


Di Depan Makam Kiyai Haji Zarkasi 

 

Subuh ini aku hadir di pelataran rumahmu

Mengharap tetesan embun yang barangkali bisa mengurangi kesedihanku

Kiai, anakku kini telah pergi

Tertimpa bencana Malang tempo hari.

 

Ramadhan tahun lalu dia tak bisa pulang lantaran corona

Dan kini terlebih lagi lantaran telah pulang untuk selamanya

Tanpa sempat mengucap maaf dan pesan.

 

Pilu terasa makin perih di hati

Kenapalah kami rakyat kecil terus ditimpa petaka

Corona belum juga sirna

Dan bencana alam kembali membuat porak poranda

Menjepit bumi yang sudah letih tertatih.

 

Rasanya dosa kami rakyat kecil tak seberapa

Dibandingkan dosa pemimpin dan penguasa kami

Yang tanpa malu terus melahap dana bantuan untuk kami

Dan mengkriminilisasi para ulama yang menjadi panutan kami

Tapi kenapakah kami rakyat kecil tak berdaya

Yang selalu menjadi sasaran utama?

 

Lirih kudengar yasin dan tahlil sahdu mengalir

Dari para peziarah yang hadir

Serasa sentuhan dingin menyentuh kalbu

Jangan hanya salahkan orang tapi ingatlah masa lalumu

Adakah dzikir dari gurumu masih terus kau wirid kan

Dengan sepenuh ruh dan jiwamu.

Ingatlah Allah tak pernah salah memberikan pertanda

Hanya manusia yang sering salah mengartikannya.

Pakem Gebang, April 2021

 

Barokah, lahir di Pacitan 18 Agustus 1954.

Menulis sejak remaja, kumpulan puisi tunggalnya Bunga Bunga Semak, diterbitkan Pustaka Haikuku Bandung 2018.

Antologi haiku Pancaran Hati, diterbitkan Pustaka Haikuku 2019.

Setia ikut antologi puisi Ramadhan di Group Lumbung Puisi sejak 2018.

Barokah adalah pensiunan PT Telkom, dan domisili terakhir di Pakem, Gebang, Purworejo.

 

 


















118.I Made Suantha


Elegi Yang Kucatat Sebagai Obituari Sunyi 


/1/

Duka yang  ating dari segala penjuru.  Duka yang pergi

Ntah lewat pintu yang mana. 

   Duka itu tarikan nafas. Kadang terantuk serupa batuk

   Seperti hujan menangis

   Dengan airmatanya yang dingin. 

Lalu bianglala akan menyempurnakannya menjadi ceria

Berbagai warna. Namun bayangan akan tetap

      Hitam di sekitar cahaya berwarna! 


   Duka itu kilau matahari usai hujan

Bagi warna yang menetes dari mata air

Dan mengental di gurat telapak tangan

   Yang menumbuhkan demam yang menahun! 


/2/

Duka. Saat aku tersesat di pelintasan yang lurus menuju

ke rumahMu. Rumah sunyi

   di tengah terbang kupukupu merabas hujan

Merawat hutan dalam kuyub tubuhnya

Dengan kepakkannya yang dingin

Mencipta ranting dan bungabunga pada pohonpohon 

Yang menjaganya untuk beranakpinak

   Seumur hidupnya melunasi nasib

Obituari sunyi. Duka sejati. Duka serupa hujan

Yang meleleh di terik panas

Dan menghanyutkannya  jauh

Kekedalaman sengal nafasmu! 


/3/

Duka. Membaca tanah air dengan mata berair

Sunyi. Jejak pulang untuk menjadi abadi

   Duka. Perih itu ditumbuhi oleh lukaluka

        Yang menganga

   Serupa sebuah hutan yang hidup dijiwaku

   Tanpa sebatang pohon dan margasatwa. 

Duka sunyi. Waktu yang tergelincir dari detak ke detak jam! 


   Abadi itu duka yang tumbuh sebagai kenangan

Terlunta berlayar di udara yang mencair

Sekejap saja kupandang

Seumur hidup setia kuikhlaskan! 


Sukawati, Gianyar, 05.2021




















119.Sutarso (Osratus)


Protes Bangun Tidur , Ketika Syukurku Jalan Mundur 


"Syukurku patah tulang

 ditubruk motor bodong

 remnya blong

 dari belakang

 di tikungan hati 

 banyak lubang

 tampak lurus dan mulus

 tapi konsentrasi 

 tidak fokus

 mau ditusuk jarum infus?

 Dia ingin kau datang

 bukan dengan sekeranjang 

 uang

 atau segudang jipang 

 kacang, diriku

 Dia ingin kau datang

 dengan hati lapang

 untuk memapahnya

 langkahkan kaki ke depan

 agar kata 'lupa'

 tidak jadi jurus berbisa

 yang membuat rasa

 'senantiasa 

 diuntung' oleh-Nya,

 binasa."

Sorong, 10 Mei 2021




120.Aslam Kussantyo 

 

Doa Persembahan 

 

dan

bila waktu menjelang

kan kubawa cintaku

pada-Mu

memeluk rembulan

melintasi bintang-bintang

 

kan kulepas segala benci

suka cita dan dendam

dari setiap pengembaraan

bersama jasad di pekuburan

 

satu harapanku

Tuhan seru sekalian alam

membuka pintu perjalanan

dalam keridaan

bagi diri papa ini

 

aamin

Kendal, 3.10.2009 











 Aslam Kussantyo


Tafakur 2

 

berlaksa purnama kutancapkan belati

pada kedalaman jantung hingga ulu hati

lalu kubiarkan segala mengalir

dalam deras hujan dan angin mendesir

 

kunikmati gelegak darah penuh amarah

dalam lelap, lupa diri dan sumpah serapah

denting nafsu dan keinginan meruak

dan puja puji dunia pun merebak

 

dua pertiga perjalanan telah kususuri

kesiur jarak mengantar pergantian hari

tiba-tiba burung malam mengejar garis fajar

kumandang adzan bagai bias suara samar

 

lalu bayangan itu berkelebat di cakrawala

menelisik setiap jangat nadi menjadi luka

menyertai dzikir pohonan dan rumputan

menyertai dzikir jalanan dan pegunungan

 

lalu siapa berteriak di atas bentang sajadah

sementara kudengar rintih di antara rakaat

allahumma innaka ‘afuwwun 

tuhibbul ‘afwa fa’ fu’anni

Kendal,  Ramadan 1442

 





Aslam Kussatyo , lahir di Yogayakarta dan sekarang tinggal di Kendal, Jawa Tengah. Saat ini berprofesi sebagai guru di MAN Kendal. Aktif menulis karya sastra sejak tahun 80-an. Beberapa karyanya sempat dimuat di beberapa media massa Jawa Tengah dan  diterbitkan dalam antologi Penyair Jawa Tengah. Sempat berhenti dari dunia tulis menulis karena asyik menekuni profesinya sambil membimbing teater. Mulai 2021 ini berniat mengakhiri masa ‘pingsan’-nya. Di tahun ini pula beberapa puisinya sempat masuk dalam antologi bersama Omah dan Sang Acarya