111.Shon Sweets
Adakah ibadah penyair yang sedang berpuasa di kampung halamannya
Ia sering mengelus daun jendela yang tak seluas pandangannya
Terlihat seorang bapak yang istirahat di teras setelah memerangi mentari mencabangkan bibit puisi
Sedangkan wangi masakan ibu menyengat di balik bilik kamar adalah dapur ketika penyair merebus air mata untuk kopi dan cita-cita tinggi
Puasa adalah menahan dari segala
Luka jalinan kasih
Liku jalanan kisah
Iba ibu yang membiru
Detak bapak yang berjejak
Bagi penyair pantang ia membatalkan puasa setelah hilang kampung dan halamannya namun ia ingin sekali berbuka peluk ibu yang tersenyum sebagai penuntas dahaga
Bagi penyair sajak adalah doa dalam malam penuh iman kendati telinga bapak sering terbayang menunggu amin anak-anaknya
Sebagai penyair puisi adalah menu buka istimewa dan ibadah paling indah saat berbulan-bulan rindu tertahan meski mirisnya berzikir di atas makna-makna yang nyaring.
Candisari, Mei 2021.
112. Fazri Ramadhanoe
Kepergian yang Tak Dirindukan
Getirnya malam berbisik pada rembulan
Memberi kabar akan kepulangan ramadhan
Amal kebaikan masih saja berantakan
Sementara dosa belum tentu dalam pengampunan
Malam berlalu dengan derai rintik
Bulir-bulir doa terangkum dalam satu titik
Napas sendu kian menyerbu kalbu
Seiring ratap raga mengingat masa lalu
Bait-bait dosa tak terbilang angkanya
Tinta merah meninggalkan jejak luka
Akibat amarah yang digoreksan sengaja
Akankah ampunan tiba sebelum ramadhan tiada?
(Medan, 07 Mei 2021)
Fazri Ramadhanoe adalah nama pena dari fazri Ramadhanu, lahir di Medan 26 Januari 1996. Aktivitas sehari-hari belajar dan mengajar di Rumah Al-Quran Abi ‘nd Ummi. Menulis sebagai sarana dakwah. Bercita-cita menjadi penulis best seller. Penulis dapat dihubungi melalui IG: fazri_ramadhanoe, FB: Fazri Ramadhanoe, WA: 082165026692.
113. Dormauli Justina.
Ingat-Ingat Lupa
Bergerak waktu tergesa
Saatnya menjalankan kewajiban
Entah mengapa angin dingin membelai manja
Rebah dalam buaian hingga senja
Ketika gulita melingkup:
Sial, padahal tadi aku ingat, ingat sekali, namun berakhir terlupa
Ah…sudah terlewat untuk hari ini, tapi tenanglah masih banyak hari esok tersisa
Bergerak waktu melambat
Pertanda kan terhenti lelah dan beban
Rinai dari langit tak kunjung mereda
Syahdunya hingga membiru
Semata jiwa terjaga demi sebuah panggilan
Hei…tubuh siapatah bersemayam kaku?
Namaku dipanggil sebegitu lantang
Sang pemanggil mengamati berulang dan menampik
“Maaf, sudah teringat mengingat ternyata lupa, bahkan di catatan pun tak ada…”
Yk, 10052021
Elegi Rindu Lupa
Belum sempat ayam jantan berkokok
Tiba-tiba alunan suara emak menggelegarkan tubuh terjaga
Gerakan tak beratur menghantarkan doa yang entah benar entah salah terucap
Kesadaran belumlah pulih
Lantunan suara emak iker i memenuhi ruang dengar:
“Jangan lupa buka jendela, agar udara segar memenuhi rumah lalu mandi dan sarapan agar siap menimba ilmu”
Begitu pun sesampai rumah di tengah hari:
“Jangan lupa makan dan istirahat setelahnya kerjakan tugas, sore hari mandi lalu tutup jendela agar nyamuk tak mendahului masuk meraja”
Menjelang tidur malam suara emak melembut berbisik menggelitik:
“Jangan lupa membaca doa agar tak mimpi buruk, panjatkan syukur dan mohon perlindungan”
Sepanjangan tadi hingga subuh kutunggu suara emak namun hanya sepi dan dingin saja
Raga tak jua bangkit atau pun sekedar duduk, hanya berbaring
Menanti-nanti nada tak merdu itu sebagai pengingat
Setiap hari, satu-dua simfoni suara emak menggedor-gedor hati dan iker
Sial, aku lupa merekamnya di telepon genggam buat didengar ulang
Dulu, pura-pura atau sengaja lupa atas hingar-bingar suaranya
Kini, justru lupa berpura-pura untuk tak rindu atas nadanya
Kokok ayam tetangga belakang membuyarkan renjana dalam kalbu
Kesiangan…bukan berarti terlambat memulai kisah baru
Tengadah menatap langit yang belum terlalu benderang
Berharap suara emak meneriaki lantang dari sana: “Bangun!”
Yk, 10052021
Dormauli Justina. Panggil saja DJ. Lahir di Palembang pada tanggal 12 Agustus. Saat ini berdomisili sementara di Yogyakarta.
114.Sukma Putra Permana
TUHANKU, AMPUNI AKU SI MAKHLUK PELUPA
Tuhanku, ampuni aku si makhluk pelupa. Aku tak dapat ingat apapun juga. Lihatlah, walau dipermalukan wajib berjaket oranye. Tapi, toh aku masih ceria tersenyum lebar. Ketika wartawan ramai meliput reportase.
Tuhanku, ampuni aku si makhluk pelupa. Aku tak lagi ingat apapun juga. Lihatlah, walau dimiskinkan disita negara seluruh kekayaan. Tapi, toh aku masih nyaman bersiul sambil santuy berkelakar. Dalam sel lengkap terpenuhi segala keinginan.
Tuhanku, ampuni aku si makhluk pelupa. Aku memang tak mengingat apapun juga. Lihatlah, walau dikurung puluhan tahun hingga jelang kematian. Tapi, toh aku masih dapat bebas berkeliaran di luar. Untuk perawatan kesehatan nyambi ngléncér ke tempat hiburan.
Tuhanku, ampuni aku si makhluk pelupa. Mungkin aku sedang mengidap sejenis radang amnesia…….
NUSANTARA 2021
Sukma Putra Permana
TENTANG PERASAAN KEHILANGAN
Perasaan kehilangan telah mendorongku untuk menyatukannya. Dalam sebuah kitab wujud karya cipta. Sebagian pernah terserak dalam berbagai khazanah pustaka. Sebagian yang lainnya pernah hilang dan susah-payah terkumpul seperti semula.
Pengalaman terjatuh hingga kehilangan sesuatu dari dalam pelukan. Tak kan selamanya dapat dibiarkan meraja menguasai perasaan. Sebagai pengingat, telah kususun catatan-catatan kejadian. Agar kembali terbaca pesan-pesan tentang kesetiaan dan keikhlasan.
Demikianlah, rasa sedih dari sebuah kehilangan. Telah menuntunku menuju karya-karya kebajikan. Semoga menjadi penawar rindu dalam kehidupan. Dan tergores dalam tulisan keabadian.
NUSANTARA 2021
Sukma Putra Permana lahir di Jakarta, 1971. Giat berproses kreatif sebagai editor, penyair, dan penulis nonfiksi di Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta. Beberapa buku antologi terbaru yang memuat puisinya antara lain: Negeri Bahari (2018), Pesisiran (2019), Segara Sakti Rantau Bertuah (2019), Perjalanan Merdeka (2020), CORONA (2020), Gambang Semarang (2020), Rantau (2020), Alumni Munsi Menulis (2020), Kembara Padang Lamun (2020), Angin, Ombak, dan Gemuruh Rindu (2020), dan Kristal-Kristal DIHA (2020). Buku puisi tunggalnya: Sebuah Pertanyaan Tentang Jiwa Yang Terluka (2015) dan Dia Yang Terjatuh Di Rimba Dunia Ketika Satu Sayapnya Patah (2021). Sekarang tinggal di Bantul, D.I.Yogyakarta. Bisa dihubungi melalui alamat berikut: Ringroad Timur Mutihan No.362 RT.5, Wirokerten, Banguntapan, Bantul, D.I.Yogyakarta, 55194. HP/WA: 081392018181. Surel: sukmaputrapermana1@gmail.com, FB: facebook.com/sukmaputrapermana, IG: @suputrapermana.
115. Siti Ratna Sari
Tadarrus Menuju Kedalaman 800-an Meter
Perlahan…
Udara sejuk datang entah dari mana..
Jutaan ruh wangi berbusana putih indah berbaris....
Saat itu,
Kami sedang dalam tugas
Sembari tadarrus surah-surah pendek merebut keberkahan 1000 bulan di Ramadhan
Di tabung silinder sempit,
Irama jiwa kami bergerak senyap di laut nusantara
Dibuaian Kapal selam pasukan hiu kencana
Iringan ruh bercahaya ajaib semakin mendekat
Kami tidak lagi 53 prajurit angkatan laut di ruang sempit nanggala 204 ini,
Tapi bersama jutaan tamu berpakaian indah beraroma wangi....
Tidak ada aura mengancam dari mereka,
Sebaliknya, makin mendekat bagai menyambut mahluk paling istimewa
Tubuh mereka melayang dan memeluk kami satu persatu,
Ruh kami serasa ikut terbang menyambut pelukan yang begitu mengharukan..
Mereka bertasbih, bertahmid, bertahlil...
Haru menyeruak dalam jiwa kami…
peristiwa apakah ini…?
kami sedang dalam menjalankan tugas menjaga Laut NKRI dan latihan uji coba terpedo.
Kutatap semua prajurit lain, wajah mereka begitu bahagia dan juga indah bertabur cahaya...
Ya Allah,
di semestamu ini,
keindahan tiada tara Engkau kirim pada kami.
Sujud syukur menyungkur kami…
Dalam kapal selam yang terus meluncur meninggalkan permukaan…
jiwa kami tenang…damai…
bersama iringan lantunan doa-doa dari permukaan
Tanah Borneo, 25 April 2021
Siti Ratna Sari
Perjalanan Tadarus
Aliif Laam Miiim….
Riuh rendah irama hija’iyah memutari langit Ramadhan
Jejak jutaan rasa mewarnai jiwa…
naik di catatan amal bersama para malaikat.
Pedagang optimis menggelar dagangan…
Ojol berbaris di bawah terik dengan seragam penuh kebanggaan,
masing-masing khusyu menatap layar dengan tuma’ninah,
menunggu keberkahan Ramadhan,
sembari mengukir doa di hati,
syukur-syukur dapat penumpang kaya berbagi rejeki seperti di tayangan tipi…
Para pemudik gesit,
berbagi informasi strategi sampai tujuan tanpa harus perang urat saraf dengan petugas pencegah mudik
Masing-masing mengejar tadarusnya meraih peluang lepas dari himpitan tekanan ambisius covid-19
Tadarus kali ini lebih heroik….
Sabar tentu modal utama…
Tapi, istiqomah menuju kampung halaman harus lebih berbekal nekat dan cadangan akal
Dua tahun sudah tak melihat mamak secara langsung,
Berurai air mata mamak waktu itu, di awal Ramadhan
Basah pula mata awak menatap wajah tua mamak di layar smarthphone
“Pulanglah nak, “ pinta mamak dengan suara seraknya “tak perlu bawa oleh-oleh, cukup kita berhari raya bersama, masa wabah begini kita tak tau umur siapa dulu berakhir, jika mamak yang lebih dulu dijemput malaikat, setidaknya ada kau ikut mengangkat keranda mamak. Jika kau yang lebih dulu….biarkan mamak sempat bersamamu di hari raya ini.” tadarus mamakku menembus nadi mengguncang sekujur kesadaranku
ku ingin secepatnya khatamkan harapan mamak
Kupastikan wudhuku sempurna menggapai ridho Allah…
Ku jaga semua indra nafasku dengan masker paling paten
Ku ulang-ulang membasuh diri dari ujung kaki hingga ujung jari
Kulantunkan doa-doa di bibir kering shaum…
Biar khatam harapan mamak ber hari raya kumpul keluarga…
“Mak, Insyaa Allah aku datang, di antar tadarus hasbiyallah wani’mal wakil ni’mal maula mani’man nashiir…”
Ahad 27 Ramadhan 1442 H di Tanah Borneo –
Tanjung Redeb
116. Wanto Tirta
Dzikir di Tengah Pandemi
Dahaga cinta dzikir puja puji
Lantun doa jurus lurus
Mulut tertutup masker tak sebab surut
Getar jiwa antar kuat kembang tujuh warna
Dalam jalinan syahadattain gema shalawat
Berpendar serbak di langit emas lailatul qodar
Pandemi bukan halangan
Ujung alif tegar ketuk pintu surga
Mengunduh rahmat maghfirahmu
Tak gentar kugelar sajadah jiwa
Tempat sujud leleh air mata
Lintasan waktu teror corona
Bergelantungan di menara masjid dan mushola
Sendi-sendi kerapatan jamaah direntang jarak
Nyaris porak poranda
Menguatkan jemari tangan
Memilah kata sebut namaMu
Silih berganti batu-batu tasbih
Urut membilang keagungan
Menyisih iblis dan setan
Jiwaku optimis bergerak lawan pandemi
KekuasaanMu tonggak pondasi dzikir
Teduh rimbun ayun tujuMu
02052021
Saur
Dini hari dingin sepi di sela butiran nasi
Tersaji di meja makan terselip cinta Rasul
Dari ajaran sunnahMu
Lautan berkah dihamparkan
Makan saur ditunaikan
Cinta mengalir di tiap suap
Aroma embun menggugah pagi
Bergegas waktu lupakan mimpi
Siapkan hati terima seruan illahi
Niat puasa sepenuh hari
Selagi waktu masih luang
Dzikir dan doa dilafalkan
Bersih diri ikhlaskan hati
Imsak datang berhenti makan
Ibadah dipersembahkan
Kokok ayam bersautan
Adzan subuh kumandang
Sujud padaMu sepenuh jiwa raga
Masjid benderang lengang
Dihadang covid-19
Orang-orang gamang
Rindu pencerahan Tuhan
Kau berjanji kelak menjemputku di syurga
01052021
Wanto Tirta, Lahir dan hidup di lingkungan pedesaan. Menulis puisi, guritan, parikan dan membacakannya di berbagai kesempatan. Bermain teater dan ketoprak. Bergiat di Komunitas Orang Pinggiran Indonesia (KOPI), Paguyuban Ketoprak Kusuma Laras. Mendapat penghargaan Gatra Budaya Bidang Sastra dari Pemkab. Banyumas (2015), Nomine Penghargaan Prasidatama kategori Tokoh Penggiat Bahasa dan Sastra Jawa, Balai Bahasa Jawa Tengah (2017). Puisi-puisinya termaktub dalam puluhan buku antologi bersama. Tinggal di Banyumas.
117. Barokah Nawawi
Di Depan Makam Kiyai Haji Zarkasi
Subuh ini aku hadir di pelataran rumahmu
Mengharap tetesan embun yang barangkali bisa mengurangi kesedihanku
Kiai, anakku kini telah pergi
Tertimpa bencana Malang tempo hari.
Ramadhan tahun lalu dia tak bisa pulang lantaran corona
Dan kini terlebih lagi lantaran telah pulang untuk selamanya
Tanpa sempat mengucap maaf dan pesan.
Pilu terasa makin perih di hati
Kenapalah kami rakyat kecil terus ditimpa petaka
Corona belum juga sirna
Dan bencana alam kembali membuat porak poranda
Menjepit bumi yang sudah letih tertatih.
Rasanya dosa kami rakyat kecil tak seberapa
Dibandingkan dosa pemimpin dan penguasa kami
Yang tanpa malu terus melahap dana bantuan untuk kami
Dan mengkriminilisasi para ulama yang menjadi panutan kami
Tapi kenapakah kami rakyat kecil tak berdaya
Yang selalu menjadi sasaran utama?
Lirih kudengar yasin dan tahlil sahdu mengalir
Dari para peziarah yang hadir
Serasa sentuhan dingin menyentuh kalbu
Jangan hanya salahkan orang tapi ingatlah masa lalumu
Adakah dzikir dari gurumu masih terus kau wirid kan
Dengan sepenuh ruh dan jiwamu.
Ingatlah Allah tak pernah salah memberikan pertanda
Hanya manusia yang sering salah mengartikannya.
Pakem Gebang, April 2021
Barokah, lahir di Pacitan 18 Agustus 1954.
Menulis sejak remaja, kumpulan puisi tunggalnya Bunga Bunga Semak, diterbitkan Pustaka Haikuku Bandung 2018.
Antologi haiku Pancaran Hati, diterbitkan Pustaka Haikuku 2019.
Setia ikut antologi puisi Ramadhan di Group Lumbung Puisi sejak 2018.
Barokah adalah pensiunan PT Telkom, dan domisili terakhir di Pakem, Gebang, Purworejo.
118.I Made Suantha
Elegi Yang Kucatat Sebagai Obituari Sunyi
/1/
Duka yang ating dari segala penjuru. Duka yang pergi
Ntah lewat pintu yang mana.
Duka itu tarikan nafas. Kadang terantuk serupa batuk
Seperti hujan menangis
Dengan airmatanya yang dingin.
Lalu bianglala akan menyempurnakannya menjadi ceria
Berbagai warna. Namun bayangan akan tetap
Hitam di sekitar cahaya berwarna!
Duka itu kilau matahari usai hujan
Bagi warna yang menetes dari mata air
Dan mengental di gurat telapak tangan
Yang menumbuhkan demam yang menahun!
/2/
Duka. Saat aku tersesat di pelintasan yang lurus menuju
ke rumahMu. Rumah sunyi
di tengah terbang kupukupu merabas hujan
Merawat hutan dalam kuyub tubuhnya
Dengan kepakkannya yang dingin
Mencipta ranting dan bungabunga pada pohonpohon
Yang menjaganya untuk beranakpinak
Seumur hidupnya melunasi nasib
Obituari sunyi. Duka sejati. Duka serupa hujan
Yang meleleh di terik panas
Dan menghanyutkannya jauh
Kekedalaman sengal nafasmu!
/3/
Duka. Membaca tanah air dengan mata berair
Sunyi. Jejak pulang untuk menjadi abadi
Duka. Perih itu ditumbuhi oleh lukaluka
Yang menganga
Serupa sebuah hutan yang hidup dijiwaku
Tanpa sebatang pohon dan margasatwa.
Duka sunyi. Waktu yang tergelincir dari detak ke detak jam!
Abadi itu duka yang tumbuh sebagai kenangan
Terlunta berlayar di udara yang mencair
Sekejap saja kupandang
Seumur hidup setia kuikhlaskan!
Sukawati, Gianyar, 05.2021
119.Sutarso (Osratus)
Protes Bangun Tidur , Ketika Syukurku Jalan Mundur
"Syukurku patah tulang
ditubruk motor bodong
remnya blong
dari belakang
di tikungan hati
banyak lubang
tampak lurus dan mulus
tapi konsentrasi
tidak fokus
mau ditusuk jarum infus?
Dia ingin kau datang
bukan dengan sekeranjang
uang
atau segudang jipang
kacang, diriku
Dia ingin kau datang
dengan hati lapang
untuk memapahnya
langkahkan kaki ke depan
agar kata 'lupa'
tidak jadi jurus berbisa
yang membuat rasa
'senantiasa
diuntung' oleh-Nya,
binasa."
Sorong, 10 Mei 2021
120.Aslam Kussantyo
Doa Persembahan
dan
bila waktu menjelang
kan kubawa cintaku
pada-Mu
memeluk rembulan
melintasi bintang-bintang
kan kulepas segala benci
suka cita dan dendam
dari setiap pengembaraan
bersama jasad di pekuburan
satu harapanku
Tuhan seru sekalian alam
membuka pintu perjalanan
dalam keridaan
bagi diri papa ini
aamin
Kendal, 3.10.2009
Aslam Kussantyo
Tafakur 2
berlaksa purnama kutancapkan belati
pada kedalaman jantung hingga ulu hati
lalu kubiarkan segala mengalir
dalam deras hujan dan angin mendesir
kunikmati gelegak darah penuh amarah
dalam lelap, lupa diri dan sumpah serapah
denting nafsu dan keinginan meruak
dan puja puji dunia pun merebak
dua pertiga perjalanan telah kususuri
kesiur jarak mengantar pergantian hari
tiba-tiba burung malam mengejar garis fajar
kumandang adzan bagai bias suara samar
lalu bayangan itu berkelebat di cakrawala
menelisik setiap jangat nadi menjadi luka
menyertai dzikir pohonan dan rumputan
menyertai dzikir jalanan dan pegunungan
lalu siapa berteriak di atas bentang sajadah
sementara kudengar rintih di antara rakaat
allahumma innaka ‘afuwwun
tuhibbul ‘afwa fa’ fu’anni
Kendal, Ramadan 1442
Aslam Kussatyo , lahir di Yogayakarta dan sekarang tinggal di Kendal, Jawa Tengah. Saat ini berprofesi sebagai guru di MAN Kendal. Aktif menulis karya sastra sejak tahun 80-an. Beberapa karyanya sempat dimuat di beberapa media massa Jawa Tengah dan diterbitkan dalam antologi Penyair Jawa Tengah. Sempat berhenti dari dunia tulis menulis karena asyik menekuni profesinya sambil membimbing teater. Mulai 2021 ini berniat mengakhiri masa ‘pingsan’-nya. Di tahun ini pula beberapa puisinya sempat masuk dalam antologi bersama Omah dan Sang Acarya