TEKS SULUH


Kamis, 23 Januari 2014

Katrin Bandel

Katrin Bandel

Dr. phil., Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (Java, Indonesien)
Promotion mit einer Arbeit über "Medizin und Magie in der modernen indonesischen Prosa" (Universität Hamburg 2004).
Publikationen zur indonesischen Literatur und Kultur.
Dozentin an der Universitas Sanata Dharma (Religions- und Kulturwissenschaften).
Übersetzungstätigkeit.

Nama-nama yang Hilang by Katrin Bandel

KBR68H, Jakarta - Kemunculan buku berjudul 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh menuai polemik. Buku itu mendaftar 33 sastrawan paling berpengaruh menurut Tim 8 Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin sejak tahun 1900. 

Pusat Dokumentasi Sastra itu sebelumnya membentuk delapan juri untuk menentukan daftar sastrawan tersebut. Delapan juri itu adalah Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah. Sumber polemik pengkanonan itu tidak hanya ada pada nama Denny JA. Kritikus sastra Indonesia asal Jerman Katrin Bandel memaparkan kejanggalan-kejanggalan 33 versi dan proses penjaringannya pada KBR68H. 

Sasaran kritik paling keras dari 33 nama itu adalah Denny JA yang masuk karena karya Atas Nama Cintayang (2012). Tim Juri menilai Denny JA berpengaruh karena melahirkan genre puisi esai. Tim juri menilai puisi ini kini menjadi salah satu tren sastra mutakhir yang sudah direkam dalam kurang lebih sepuluh buku. 

Katrin menilai tidak ada pertanggungjawaban akademis terhadap pernyataan ini. Doktor kritik sastra itu menilai pemunculan genre sastra baru itu mengada-ada.

“Genre puisi esai. Itu kalau sejauh yang saya amati, puisi yang ditulis atas nama genre itu adalah puisi naratif; puisi yang agak panjang, bernarasi” paparnya. Puisi naratif Denny JA tidak beda jauh dalam bentuk dengan puisi serupa karya Rendra dan Linus Suryadi.

“Bedanya hanya diberi catatan kaki yang menurut pengamatan saya fungsinya tidak begitu jelas dan tidak benar-benar dibutuhkan. Jadi bagi saya itu nampak di situ ada usaha untuk sengaja membuat genre baru supaya nampak ada sesuatu yang heboh padahal tidak ada yang benar-benar baru di situ,” jelas perempuan yang tinggal di Yogyakarta tersebut. 

Kemampuan Dewan Juri untuk memilih secara objektif dan beralasan juga memunculkan pertanyaan besar. Dari 8 nama dewan juri, Katrin tidak menemukan satupun yang mewakili unsur kritikus sastra. Padahal, Tim 8 mengklaim buku mengenai 33 sastrawan paling berpengaruh itu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 

“Saya tidak melihat ada banyak akademisi yang bisa membuat buku dengan kompetensi membuat buku semacam itu dengan penjelasan akademis yang konon ada di situ. Mayoritas (dewan juri.red) sastrawan,” ujar kritikus sastra yang mendapat gelas Doktor dari Universitas Hamburg, Jerman itu. 

Meskipun ada nama Berthold Damshäuser, Katrin menilai Berthold tetap tidak memiliki kompetensi kritik sastra. “Berthold Damshäuser kan pengajar di sebuah jurusan yang khusus mengenai penerjemahan, jadi dia asli penerjemahan dan bukan kritikus sastra sebetulnya. Kelihatannya tidak ada satupun kritikus sastra di situ,” katanya. 

Keterlibatan para sastrawan aktif dalam penilaian itu juga menimbulkan keraguan objektivitas penilaian. Pertama, Katrin beralasan para sastrawan tidak terdidik secara akademis untuk menjadi kritikus sastra. 

“Biasanya ini sekedar kegiatan tambahan dan tidak mendalami benar-benar secara akademis bagaimana cara melakukan kritik sastra, mempelajari teori sastra dan sebagainya sehingga saya merasa ada kejanggalan di situ,” pungkasnya. 

Kedua, status sebagai sastrawan aktif membuat mereka tidak bebas dari kepentingan-kepentingan. “Tentu saja sebagai sastrawan yang terlibat di dunia sastra Indonesia mereka punya kepentingan-kepentingan sendiri sehingga objektifitvasnya bisa diragukan, atas dasar apa mereka memilih sastrawan-sastrawan yang berpengaruh,” ujar Katrin. 

Nama-nama yang Hilang 

"Dalam daftar 33 nama sastrawan yang paling berpengaruh memang bertebaran sejumlah nama-nama sastrawan dari berbagai golongan mulai sastrawan buruh Wowok Hesti Prabowo hingga Taufiq Ismail yang begitu membenci sosialisme," Daftar nama itu juga memasukan sastrawan yang tidak mendapat pengakuan resmi sejarah sastra nasional seperti Kwee Tek Hoay. Banyak bermunculan pertanyaan-pertanyaan di media sosial soal kenapa nama-nama tertentu tidak dimasukan dalam daftar yang dianggap berpengaruh. 

Katrin memberi catatan nama-nama sastrawan yang berpengaruh besar seperti hilang begitu saja. “Seperti misalnya Wiji Tukul yang jelas berpengaruh,” kata Katrin mempertanyakan nama penyair yang hilang diculik Orde Baru tersebut. Meskipun nama Wowok Hesti Prabowo masuk untuk mewakili sastra buruh, Katrin menilai pengaruh Wiji Tukul jauh lebih kuat dalam dunia sastra Indonesia. 

Dengan kejanggalan-kejanggalan tersebut, kritikus sastra Katrin Bandel mempertanyakan apakah ada motif politik dalam mengkanonkan sejumlah nama tersebut. Terlebih, pameran buku Frankfurt 2014 akan segera berlangsung. Katrin mempertanyakan apakah penerbitan ini akan menjadi alasan untuk menerjemahkan karya tertentu dan merepresentasikannya di dunia internasional sebagai perwakilan sastra Indonesia. 

Selain itu, Katrin meminta masyarakat mewaspadai jika penerbitan buku ini menjadi dasar dalam pengajaran sastra Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menurutnya, gerakan menentang versi tersebut perlu mendapat dukungan jika ternyata penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh menjadi dasar pembuatan kanon sastra baru.