TEKS SULUH


Minggu, 17 September 2017

Anung Ageng Prihantoko dalam "Jalan"


Lain penyair lain cerita, lain mata lain yang dilihat. Kacamata boleh minus sama, tetapi apa yg dilihat penyair Anung Ageng A.a. Prihantoko sungguh berbeda kacamata. Pedih dan miris membaca puisi berjudul "Jalan "ini. Sebuah kenyataan yang dihadapi generasi ini. Bilakah ada sinar terang untuk generasi muda agar bisa meraih cita hidupnya atau kita mewarisi beban berat anak-anak kita. sebuah puisi yang pantas menjadi renungan kita semua. "Jalan" karya A.a. Prihantoko :


Anung Ageng Prihantoko

Jalan

Anak-anak bimbang menapak jalan-jalan runtuh
Mungkinkah tanda petang yang gamang mulai turun berlabuh
Nilai-nilai luhur sebagai marka terlihat semakin kabur
Toleransi terkerat mati suri, kebijaksanaan sayapnya terbakar tubuh sendiri

Ibu yang menggigil, ibu yang melafalkan nama anak-anak yang selalu dipanggil
Sebab pintu-pintu dunia telah dibuka
Sebab hempasan badai semakin terasa di dada
Dan liar ombak yang berdebur semakin melemahkan bahagia suara kesiur nyiur di telinga
Sebab terik matahari semakin ganas untuk menghanguskan cita-cita di kepala

Anak-anak bermain di museum
: Mengenang coklat hutan yang dahulu hijau
Mengenang keramahtamahan yang disayat karat hujat
Mengenang gotong-royong yang semakin punah terongrong
Pulanglah anak-anak ibu, yang berbeda-beda namun tetap satu
Cilacap, 25 agustus 2017