TEKS SULUH


Selasa, 05 September 2017

Belajar Sepanjang Hayat

Demikian belajar sepanjang hayat. Malu kita sama Ibu Subini, usia 54 th mulai kuliah S1, lulus 58 th sudah mendekati pengsiun sebagai guru sekolah dasar. Kita terkadang puas dengan apa yang diperoleh, tetapi kebanggaan itu tidak dibarengi dengan kemauan unt terus belajar sehingga banyak tertinggal dengan orang lain. Padahal belajar sepanjang hayat itu dapat diperoleh dari mana saja termasuk pengalaman diri seseorang.
Aku justru salut kepada penyair penyair besar  ketika aku buka sekolah Penyair Gratis ia mendaftar sebagai mahasiswa. Sebuah kecerdasan tersendiri sebagai orang yang benar2 intelek. Bagiku yang faham betul bahasa (dalam tanda kutip) ada kerendahan hati dibalik keilmuan seseorang. Oleh karena itu aku justru berbalik ingin berguru pada mereka.
Itulah sebabnya sering aku katakan bahwa popularitas sastrawan dengan puja2 dan berbagai sebutan serta pengakuan dan penghargaan tanpa karya bermutu adalah hanya faktor keberuntungan. Jauh di berbagai pelosok Tanah Air masih banyak sastrawan linuih yang memiliki karya bermutu sastra tinggi dan ketajaman intelektual nyaris tak disebut sebagai sastrawan. Kita terkadang keliru memandang, sebetulnya sama kedudukannya sastrawan/ penyair dimanapun berada.
Terkadang orang silau terhadap gemerlapnya lampu-lampu mercuri dan gedung2 bertingkat, pencakar langit yang menjulang. Sebetulnya hanya generator kecil yang digerakkan batu bara. Ketika batu bara itu habis, matilah terang benderang sepanjang jalan. Di desa terpencil orang2 duduk melingkari perapian bertukar ilmu dan saling menghormat siapa bicara. Sungguh sebuah perbedaan yang sebetulnya pandangan kemulian untuk mereka dari kita yang memahami hidup.
Rg Bagus warsono