TEKS SULUH


Senin, 09 September 2013

Puisi Puisi Shinta Miranda


     ANAK RAHIMNYA

Seorang perempuan lacur 
yang menyusui anak rahimnya
berlomba dengan malam, 
tak ingin membelah buah dadanya
melapis lipas helai berhelai 
dari lelaki-lelaki
menjajani dan menyantapnya 
untuk makanan selingan
dia tak menyimpan jalangnya binatang 
dari rimba lelaki-lelaki lapar
dia menyimpan roti-roti berdebu 
beroleskan keringat lelaki penidurnya
Seorang perempuan lacur 
yang menyusui anak rahimnya
berlomba dengan literan air susunya 
sebab tak ingin dituangkan
ke dalam mulut lelaki-lelaki 
yang tak pernah usai hausnya
dia menyimpan semua potongan hati, 
memecahnya bergetah-getih
dia memburai salju-salju membeku 
lelaki berserakan di tilamnya
dia mencairkannya sebagai noktah 
perjalanan tubuh
nyaIa mendengar suara..
setiap bisikan..
setiap desahan, 
setiap jerit dan tangis
dari potongan hati 
menggenta cinta menggemakan 
kesia-siaan
kepada setiap lelaki 
yang bukan manusianya


               MENUNGGU

engkau telah menggodam jeruji penjara
sebab kau ingin merdekaksu tidak 
pernah mengertiterlalu banyak rantai berkait
engkau telah saksikan
semburan darah menghitam
memancar dari rongga mulutku
mencekik nafasku
sesungguhnya aku darah dan daging
yang membusuk dalam penjara
berteriak jeritkan namanya
diakah yang menggenggam kuncinya
bukan engkau kuharap datang
sebab dirimu memenjarakan lagi
setuntas kemerdekaan 
yang telah kau rampas dulu
kau cuma penjaga berjubah peri
dimana engkau yang menggenggam 
mohon dan pinta
bersembunyi kucari ke pojok-pojok 
tembok
menadah tangan memilah debu
engkau hanya diam membisu


          SURAT KEPADA BUMI

Kepadamu bumi tepatku berpijak
telah kutulis sepucuk surat
dan akan kusampaikan
lewat tangan-tangan tak nampak
yang telah membuatmu menangis luka
walau bumi tak pernah bersurat padaku
akan kuceritakan kayamu
sebuah cerita sederhana
yang tak pernah kau ceritakan
kepada kami penghuni bumi
biar mereka mendengar darimu
telah kau berikan semua
bagi putra-putrimu
cinta dan pengurbanan bumi
tempat ayah bunda manusia


     MEMORI KECIL DI OSDORP

bulan sabit cuma sepenggalan
terangnya romantisku
duduk bersamanya di taman umum
di muka sebuah restoran kota osdorp
musim panas adalah 
sore panjang di amsterdam
angsa-angsa coklat dan putih 
enggan pulang
berenang hilir mudik di sungai taman
sesekali perahu bermuatan sejoli
lewati sungai yang angsanya berciuman
seminggu lalu kami masih di leerdam
kota kecil tempat pengrajin kaca berseni
jumpa dia dalam sebuah galeri miliknya
dia bilang terpesona 
dan jatuh cinta padaku
kubilang, aku janda yang berduka
di esdoorn straat ia datang menemui
kusebuket tulip ia bawakan untuk
kumengajak kencan di sebuah cafe
lalu berdansa tra la la la lala
meneguk air kata-kata berseloki-seloki
siang kemudian dia meneleponku
dia bilang lupa menciumku tadi malam
mari kencan kembali sebentar malam
di sebuah tempat romantis 
bekas pelabuhan kecil
di pinggiran kota leerdam
kami berdua menikmati bulan sabit tertawa
sungai tenang dan berlalunya perahu
melihat lekat angsa putih dan cokelat
pulang ke rumahnya kembali
meninggalkan bulan sabit sepenggal
yang tertinggal di badan sungai
ketika jemarinya menyentuh jemariku
yang dingin oleh angin musim kemarau
aku menyentuh cincin melingkar dingin
pada jari manisnya
membuat kedua tanganku semakin 
dingin
kami tak sempat berciuman

                         * Osdorp-Amsterdam 10 Juni 2007


               SEMPURNA

malam menaiki subuh pada gema pencipta
adakah hari dan haru bakal singgah di sini
subuh mendaki petang pada gema pencipta
merakit raga di atas riak sungai berbatu
waktu menjadi masa dan tinggal cerita
waktu menjadi cerita tumpah menyerat
menderit mewirit mendesak ajal
semakin pipih bulir bulir doa
menyelinap perih mencari nadi
menjulur lidah ajal menjimpit
menyirna sakit membukit
usai sudah menjadi purna

*  persembahan bagi para penderita