TEKS SULUH


Rabu, 25 September 2013

Saut Poltak Tambunan

Saut Poltak Tambunan, lahir di Balige, kota kecil pinggir Danau Toba, menikah dengan gadis Kawanua - Menado (Lenny Runturambi). Mungkin tidak laku untuk gadis Batak karena tidak bisa main gitar dan tidak suka catur. Punya anak 3 (1-2 perempuan, alumni di PR London School dan alumni FH Unpad, yang ke-3 laki-laki masih tahun I di FIKOM UNPAD).

Saut Poltak Tambunan, adalah penulis cerita pendek, novel, skenario, puisi, kolom, artikel. Mantan PNS, tahun 1981 mendirikan Yayasan Pengarang Indonesia AKSARA di Jakarta dan menjabat sebagai Ketua I dan sekaligus menjadi Ketua Yayasan Pengarang AKSARA hingga sekarang. (Oktober 2009 mendirikan Komunitas Kedailalang – Kedai Sastra Ide Kalimalang bersama Kurnia Effendi (KEF) dan teman-teman. Aktif menyelenggarakan workshop penulisan cerpen/novel dengan bukunya ’Kiat Sukses Menulis Novel’.
Saut menyelesaikan/menerbitkan puluhan novel, ratusan cerita pendek/artikel dan skenario film/sinetron. Beberapa novelnya menjadi bestseller pada dekade tahun 80-an, diangkat ke layar lebar dan belakangan menjadi sinetron. Antara lain, Hatiku Bukan Pualam (layar lebar), Jangan Ada Dusta (sinetron), Dia Ingin Anaknya Mati (Sinetron Mini Seri), Harga Diri (layar lebar) , Yang Perkasa (layar lebar), Jalur Bali (layar lebar). Beberapa novel masih dalam penulisan skenario untuk sinetron, yaitu Harga Diri, Kembalikan Anakku, Lia Nathalia, Permata Hati. Termasuk 3 kumpulan cerpen Rinai Cinta Seorang Sahabat (1985) Lanteung, (2004), Jangan Pergi, Jonggi (2005). Kumpulan cerpen ke-4 ’Tortor Orang Batak’ sedang dalam proses.
Sambil menjadi PNS ketika di Jakarta, sempat nyambi menjadi wartawan, editor dan penulis kolom ‘perilaku konsumen’ pada majalah Kartini termasuk ’penjaga gawang’ Departemen Buku Kartini. Juga sempat menjadi dosen pada Akademi Sekretaris Managemen Indonesia (ASMI) dan Akademi Maritim Indonesia (AMI) di Jakarta. Tahun 2008 menjadi co-writer dan editor untuk buku marketing managemen berjudul Launching.


erani Meski Tak Benar
Sekolahku Sekolah Rakyat biasa di kaki bukit dekat Danau Toba,
di kelas dua kami masih saja belajar membaca dan pelajaran berhitung pun baru sampai di perkalian tiga
Belebas panjang beringas di tangan Encik Guru menyimpan ratusan sidik betis turun temurun sejak zaman Namboruku, membesut anak-anak kampung ke kursi tinggi empuk berlapis beledru
Kata Encik benderaku sang dwi warna merah putih perlambang berani karena benar,
setiap pagi dan siang kami hormat setegak bisa sambil menggegap Indonesia Raya dan Garuda Panca Sila (yang belakangan kutahu tak benar syairnya)*.
Encik guruku sudah tak ada. Masih kuingat pesannya merah putih lambang berani karena benar. Tetapi mengapa benderaku kini kian memerah putihnya? Mengapa di negeriku semakin banyak orang berani meski tak benar?
saut poltak tambunan
Jkt, 24 Jan 2010
* Ketika itu tak ada buku dan tak pernah melihat teks lagu Garuda Panca Sila yang sebenarnya, hanya meniru-nirukan bunyinya dari kakak kelas:
Garuda Panca Sila,
akulah pendukurmu
Patiroprop lamasi (menurut teman sebangku ‘tapilopot lamasi’)
Setia berkota untukmu
Panca Sila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Dibang dibangsaku
Ayo, maju, maju, ayo, maju, maju!

Ingkar
Ilalang
membakung
Gunung
hilang akar

Lelangit
runtuh
spt, 29 Nov 2009
GARUDA
Dalam temaram garudaku nelangsa
terjelapak jatuh di belakang gudang jemuran padi
lunglai lehernya terkulai
digelantung beban lambang-lambang besar
sementara gambar lainnya berebut posisi
di kepala
di mata
di dada
di paruh
di cakar
Dalam temaram gagahnya sirna
Perisai lama bergambar lima
telingsut lenyap entah di belahan dada mana
Tujuhbelas delapan empatlima
bulunya jadi umbul-umbul dan bendera
berkibar berkobar berwarna-warna
Dalam temaram garuda meradang tiba-tiba
mencakar mata sendiri
mematuk cakar sendiri
merobek dada sendiri
Dalam temaram garuda berteriak:
tak akan cucakrowo menggusur aku!
lalu diam
lalu diam
lalu ...!?
November 2009
Masih, Meski Bukan yang Dulu
Risaukan apa lagi, kekasihku. Masih ada taman ini menjulurkan rindangnya untuk kita berteduh. Masih ada rumpun semak untuk kita sembunyi bercumbu. Masih ada kupu-kupu putih mungil melintas di atas kepala kita. Masih, meski semua itu bukan yang dulu.
Risaukan apa lagi, kekasihku. Masih ada langkah yang bisa kita ayun bersama, meski sedikit goyah terseret. Masih ada helai rambut yang harus kusibak di keningmu untuk dapat membisikkan suara dari hatiku, meski mulai memutih. Pendengaran kita mungkin mulai berkurang, tetapi kita selalu sudah mendengar sebelum kita mulai mengatakannya.
Risaukan apa lagi, kekasihku, aku selalu ada, meski semakin meski..
spt, mei 2009
KULO NIKI . . . . !

Saut Poltak Tambunan, lahir di Balige, kota kecil pinggir Danau Toba, menikah dengan gadis Kawanua - Menado (Lenny Runturambi). Mungkin tidak laku untuk gadis Batak karena tidak bisa main gitar dan tidak suka catur. Punya anak 3 (1-2 perempuan, alumni di PR London School dan alumni FH Unpad, yang ke-3 laki-laki masih tahun I di FIKOM UNPAD).
Saut Poltak Tambunan, adalah penulis cerita pendek, novel, skenario, puisi, kolom, artikel. Mantan PNS, tahun 1981 mendirikan Yayasan Pengarang Indonesia AKSARA di Jakarta dan menjabat sebagai Ketua I dan sekaligus menjadi Ketua Yayasan Pengarang AKSARA hingga sekarang. (Oktober 2009 mendirikan Komunitas Kedailalang – Kedai Sastra Ide Kalimalang bersama Kurnia Effendi (KEF) dan teman-teman. Aktif menyelenggarakan workshop penulisan cerpen/novel dengan bukunya ’Kiat Sukses Menulis Novel’.
Saut menyelesaikan/menerbitkan puluhan novel, ratusan cerita pendek/artikel dan skenario film/sinetron. Beberapa novelnya menjadi bestseller pada dekade tahun 80-an, diangkat ke layar lebar dan belakangan menjadi sinetron. Antara lain, Hatiku Bukan Pualam (layar lebar), Jangan Ada Dusta (sinetron), Dia Ingin Anaknya Mati (Sinetron Mini Seri), Harga Diri (layar lebar) , Yang Perkasa (layar lebar), Jalur Bali (layar lebar). Beberapa novel masih dalam penulisan skenario untuk sinetron, yaitu Harga Diri, Kembalikan Anakku, Lia Nathalia, Permata Hati.
Termasuk 3 kumpulan cerpen Rinai Cinta Seorang Sahabat (1985) Lanteung, (2004), Jangan Pergi, Jonggi (2005). Kumpulan cerpen ke-4 ’Tortor Orang Batak’ sedang dalam proses.
Sambil menjadi PNS ketika di Jakarta, sempat nyambi menjadi wartawan, editor dan penulis kolom ‘perilaku konsumen’ pada majalah Kartini termasuk ’penjaga gawang’ Departemen Buku Kartini. Juga sempat menjadi dosen pada Akademi Sekretaris Managemen Indonesia (ASMI) dan Akademi Maritim Indonesia (AMI) di Jakarta. Tahun 2008 menjadi co-writer dan editor untuk buku marketing managemen berjudul Launching.
Jakarta, 2010.